- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Komedi Tepung antara lucu dan mubazir


TS
sha93
Komedi Tepung antara lucu dan mubazir
miris sebenernya lihat acara di televisi sekarang, isinya sama semua dan seragam. yaitu acara - acara seperti komedi maupun acara musik yang menggunakan media tepung sebagai bahan hiburan. padahal negara kita belum bisa menghasilkan sendiri tepung, melainkan import. tapi di sini cuma dihambur2kan. kan lumayan apabila dijadikan roti bisa berapa banyak itu. oh ya mungkin ada yang bilang itu bedak? tapi kalo bedak sepertinya lebih mahal daripada tepung. berikut sejarah awal mulanya komedi tepung berikut opini opini dari penulis.
sumber : kompasiana
Quote:
“Komedi Tepung”: Pelecehan yang Ditertawakan &
Tertawa yang Menyakitkan
Oleh: Hendra Wardhana | 13 July 2013 | 09:33 WIB
Saya benar-benar geram melihat acara Yuk Kita
Sahur di Trans TV. Dalam program komedi (?)
yang ditayangkan secara live menjelang dan saat
sahur tersebut lagi-lagi sebuah trik murahan
digunakan untuk memancing tawa penonton. Lagi-
lagi digunakan karena sebenarnya acara Yuk Kita
Sahur bukan yang pertama kali mengumbar trik â
€œmenyakitkanâ€� tersebut.
Trik tepung atau bedak sebenarnya telah lama
menjadi bagian dari panggung komedi Indonesia.
Dulu Srimulat sesekali memunculkan trik tersebut
untuk adegan minum. Dalam Srimulat trik ini
biasanya dilakukan oleh seorang pembantu kepada
sang majikan. Dalam adegan pembantu akan
menyodorkan gelas yang diam-diam berisi tepung
atau bedak, bukan air. Momen yang dipilih pun
sangat cerdas yakni ketika sang majikan sedang
terlibat pembicaraan atau sedang marah dengan
lawan mainnya. Maka ketika tiba-tiba disodorkan
sebuah gelas ia akan segera mengangkat dan
berusaha menenggaknya tanpa banyak melihat.
Saat itulah tepung seketika berhamburan ke
mukanya. Sebuah trik yang cerdas dan menjadi ice
breaking yang mengejutkan bagi penonton. Trik
tepung ini pun mengandung pesan dan maksud
bahwa ketika sedang dilanda emosi, seseorang
perlu untuk sejenak menarik amarahnya atau
bahkan menghilangkan unsur amarah dalam
komunikasi.
Tapi kecerdasan trik tepung kini telah hilang. Trik
tepung telah berubah menjadi “Komedi
Tepung�. Semburan tepung tak lagi digunakan
sebagai ice breaking yang disampaikan secara
cerdas dan cermat, tapi telah menjadi sebuah
menu utama dan wajib bagi sebuah acara komedi.
Parahnya itu dilakukan dengan tidak memandang
situasi dan dilakukan dengan cara yang amat
melecehkan dan merusak kaidah tontonan komedi.
Fesbuker di ANTV mungkin boleh dianggap sebagai
inisiator boomingnya “Komedi Tepung�.
Gaya lawakan murahan ini kemudian diadopsi oleh
banyak acara sejenis dan terbaru muncul dalam
Yuk Kita Sahur di Trans TV. Tidak mengherankan
sebenarnya karena pelaku dari Komedi Tepung di
sejumlah stasiun TV juga itu-itu saja yakni Olga &
Friends (Olga, Denny Cagur, Raffi Ahmad, Sapri
dkk.). Meski formasi Olga & Friends tak selalu
sama di setiap acara komedi, tapi hampir bisa
dipastikan jika mereka ada maka komedi yang
akan mereka bawakan tak akan jauh-jauh dari â
€œKomedi Tepungâ€�.
Kita tinggalkan para aktivis “Komedi Tepungâ
€� tersebut karena hal yang lebih penting dan
mendesak untuk kita kritisi adalah pelecehan
tersamar dan tawa yang menyakitkan di balik â
€œKomedi Tepungâ€� tersebut.
Sejak awal kemunculan Fesbuker dan sejumlah â
€œkomedi tepungâ€� lainnya, saya memilih untuk
men-skip tontonan tersebut. Saya hampir tak bisa
tertawa setiap ketika melihat adegan itu. Beda
ketika trik tersebut disisipkan secara cerdas oleh
pelawak-pelawak Srimulat dulu. Maka saya heran
bagaimana bisa banyak penonton di studio itu
begitu renyah tertawanya setiap kali “prosesi
penepungan� itu digelar. Terlepas dari mereka
adalah penonton bayaran, tapi pada akhirnya
Komedi Tepung ini dianggap wajar oleh banyak
masyarakat penonton lainnya. Mereka menjadi
terbiasa dan memakluminya. Padahal adegan-
adegan dalam Komedi Tepung sebenarnya sangat
melecehkan.
Seorang pemain yang akan dikorbankan atau
dengan sukarela menjadi korban biasaanya akan
diperlakukan dengan beberapa bentuk prosesi
pemanasan seperti dibekap, dirangkul kuat bahkan
setengah dicekik, sering juga kepalanya dijitak
atau diuyel-uyel terlebih dahulu. Lalu dengan
penuh persiapan dan antusias pemain lainnya
menyemprotkan tepung atau bedak ke arah kepala
hingga wajah. Penonton pun “tertawa�,
padahal mereka sedang “disakiti�
pikirannya.
Tak hanya dilakukan sekali. Komedi Tepung
digelar berkali-kali baik pada segmen yang sama
maupun segmen-segmen berikutnya. Kita tentu
tak bisa menyepelekan dampak tepung atau bedak
bagi kesehatan organ mata maupun pernafasan
meski adegan itu dilakukan “suka sama sukaâ
€�. Jika pelakunya tak peduli, maka televisi
dalam hal ini acara komedia tersebut seharusnya
mencerminkan sikap manusiawinya karena
penonton yang melihatnya termasuk anak-anak
akan terbiasa dan mengadopisnya sebagai
candaan kepada sesamanya. Ini jelas
membahayakan.
Kita tak bisa beralasan bahwa tak ada yang salah
dengan “Komedi Tepung� karena nyatanya
rating atau sharing acara-acara komedia itu cukup
besar. Fesbuker bahkan mememangan sebuah
award penting beberapa saat lalu. Dalam hal ini
saya harus mengatakan kemenangan Fesbuker
atau acara-acara komedi serupa, juga
kemenangan-kemenangan komedia aktivis Komedi
Tepung sebenarnya adalah bentuk pelcehan bagi
dunia penyiaran Indonesia dan menyakitkan bagi
penonton Indonesia. Jika banyak penonton yang
suka itu lebih disebabkan karena pembiaran dan
eksploitasi yang terus menerus dilakukan pada
akhirnya membuat secata tidak sadar masyarakat
menjadi terbiasa dan menganggapnya wajar. â
€œKebiasaanâ€� menonton Komedi Tepung
karena mereka tak memiliki banyak pilihan, hampir
semua tayangan komedian seperti demikian.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Taufik dkk.
dari Universitas Sebelas Maret dengan responden
mahasiswa menunjukkan bahwa tingkat kepuasan
penonton terhadap acara komedi salah satunya
Fesbuker ANTV ternyata di bawah 30% alias
rendah. Jangan bandingkan hasil ini dengan angka
lembaga rating karena survey yang dilakukan
lembaga rating memang sudah lama bermasalah
dan dikritik menyesatkan.
“Komedi Tepung� telah keluar dari spirit
humor sebuah komedi. Apalagi dalam Komedi
Tepung biasanya disertai cacian-cacian atau
gerakan-gerakan tarian yang tidak elegan. Sebagai
sebuah bentuk hiburan dan komunikasi, komedi
pada dasarnya digunakan untuk menyampaikan
pesan secara persuasif dan ringan. Humor dalam
komedi diharapkan mendatangkan impresi yang
diwujudkan dalam bentuk tawa namun bertujuan
untuk mempengaruhi atau mengajak penonton
menerima anjuran yang disampaikan. Dari makna
ini bisa kita boleh khawatir dengan kuat bahwa
Komedi Tepung akan  menciptakan bentuk baru
bullying di sekolah atau lingkungan pergaulan
nyata.
“Komedi Tepung� ini juga tak berbeda jauh
dari “Candaan Gabus� di mana para
komedian “memasyaratkan� simulasi
kekerasan dengan benda-benda yang terbuat dari
stereofoam. Dalih “properti yang digunakanâ
€� tidak berbahaya justru mendatangkan bahaya
karena yang ditangkap oleh penonton terutama
anak-anak seringkali bukan propertinya tapi
bentuk dan cara-cara “mengerjai� orang.
Pun demikian stereofoam sangat tidak dianjurkan
untuk digunakan dalam jumlah besar karena
sebagai sampah barang itu hampir tidak bisa
diurai.
Sebagai sebuah humor, komedi memang penting
untuk membuat orang tersenyum atau tertawa.
Tapi siapapun yang memperhatikan “Komedi
Tepung� mungkin akan menangkap perbedaan
rasa tertawa yang lahir dari adegan-adegan
penepungan tersebut. Tawa-tawa itu
sesungguhnya tawa yang menyakitkan.
Humor adalah sarana komunikasi alternatif.
Sebuah kelucuan dalam komedi tetap perlu
mengandung sebuah pesan. Jika sebuah komedi
yang disajikan secara “berlebihan�
membuat komunikasi menjadi kabur. Jadi pesan
dan komunikasi model apa yang bisa ditonton dari
sebuah “Komedi Tepung�??. Kecuali kita
sedang menertawakan sebuah pelecehan dan
menerima sebuah kesakitan.
“Komedi Tepung� seakan mengklarifikasi
kembali betapa ruang tontonan masyarakat kita
terutama televisi sebenarnya sedang sakit parah.
Sebuah komedi yang dipentaskan untuk
memunculkan impresi melalui canda berubah
menjadi adegan-adegan yang memaksa tawa.
Canda-canda itu hanya melahirkan tawa-tawa
yang menyakitkan. Melalui “Komedi Tepungâ
€�, tepung dan bedak telah berubah menjadi
barang yang membahayakan dan menyakitkan.
Tertawa yang Menyakitkan
Oleh: Hendra Wardhana | 13 July 2013 | 09:33 WIB
Saya benar-benar geram melihat acara Yuk Kita
Sahur di Trans TV. Dalam program komedi (?)
yang ditayangkan secara live menjelang dan saat
sahur tersebut lagi-lagi sebuah trik murahan
digunakan untuk memancing tawa penonton. Lagi-
lagi digunakan karena sebenarnya acara Yuk Kita
Sahur bukan yang pertama kali mengumbar trik â
€œmenyakitkanâ€� tersebut.
Trik tepung atau bedak sebenarnya telah lama
menjadi bagian dari panggung komedi Indonesia.
Dulu Srimulat sesekali memunculkan trik tersebut
untuk adegan minum. Dalam Srimulat trik ini
biasanya dilakukan oleh seorang pembantu kepada
sang majikan. Dalam adegan pembantu akan
menyodorkan gelas yang diam-diam berisi tepung
atau bedak, bukan air. Momen yang dipilih pun
sangat cerdas yakni ketika sang majikan sedang
terlibat pembicaraan atau sedang marah dengan
lawan mainnya. Maka ketika tiba-tiba disodorkan
sebuah gelas ia akan segera mengangkat dan
berusaha menenggaknya tanpa banyak melihat.
Saat itulah tepung seketika berhamburan ke
mukanya. Sebuah trik yang cerdas dan menjadi ice
breaking yang mengejutkan bagi penonton. Trik
tepung ini pun mengandung pesan dan maksud
bahwa ketika sedang dilanda emosi, seseorang
perlu untuk sejenak menarik amarahnya atau
bahkan menghilangkan unsur amarah dalam
komunikasi.
Tapi kecerdasan trik tepung kini telah hilang. Trik
tepung telah berubah menjadi “Komedi
Tepung�. Semburan tepung tak lagi digunakan
sebagai ice breaking yang disampaikan secara
cerdas dan cermat, tapi telah menjadi sebuah
menu utama dan wajib bagi sebuah acara komedi.
Parahnya itu dilakukan dengan tidak memandang
situasi dan dilakukan dengan cara yang amat
melecehkan dan merusak kaidah tontonan komedi.
Fesbuker di ANTV mungkin boleh dianggap sebagai
inisiator boomingnya “Komedi Tepung�.
Gaya lawakan murahan ini kemudian diadopsi oleh
banyak acara sejenis dan terbaru muncul dalam
Yuk Kita Sahur di Trans TV. Tidak mengherankan
sebenarnya karena pelaku dari Komedi Tepung di
sejumlah stasiun TV juga itu-itu saja yakni Olga &
Friends (Olga, Denny Cagur, Raffi Ahmad, Sapri
dkk.). Meski formasi Olga & Friends tak selalu
sama di setiap acara komedi, tapi hampir bisa
dipastikan jika mereka ada maka komedi yang
akan mereka bawakan tak akan jauh-jauh dari â
€œKomedi Tepungâ€�.
Kita tinggalkan para aktivis “Komedi Tepungâ
€� tersebut karena hal yang lebih penting dan
mendesak untuk kita kritisi adalah pelecehan
tersamar dan tawa yang menyakitkan di balik â
€œKomedi Tepungâ€� tersebut.
Sejak awal kemunculan Fesbuker dan sejumlah â
€œkomedi tepungâ€� lainnya, saya memilih untuk
men-skip tontonan tersebut. Saya hampir tak bisa
tertawa setiap ketika melihat adegan itu. Beda
ketika trik tersebut disisipkan secara cerdas oleh
pelawak-pelawak Srimulat dulu. Maka saya heran
bagaimana bisa banyak penonton di studio itu
begitu renyah tertawanya setiap kali “prosesi
penepungan� itu digelar. Terlepas dari mereka
adalah penonton bayaran, tapi pada akhirnya
Komedi Tepung ini dianggap wajar oleh banyak
masyarakat penonton lainnya. Mereka menjadi
terbiasa dan memakluminya. Padahal adegan-
adegan dalam Komedi Tepung sebenarnya sangat
melecehkan.
Seorang pemain yang akan dikorbankan atau
dengan sukarela menjadi korban biasaanya akan
diperlakukan dengan beberapa bentuk prosesi
pemanasan seperti dibekap, dirangkul kuat bahkan
setengah dicekik, sering juga kepalanya dijitak
atau diuyel-uyel terlebih dahulu. Lalu dengan
penuh persiapan dan antusias pemain lainnya
menyemprotkan tepung atau bedak ke arah kepala
hingga wajah. Penonton pun “tertawa�,
padahal mereka sedang “disakiti�
pikirannya.
Tak hanya dilakukan sekali. Komedi Tepung
digelar berkali-kali baik pada segmen yang sama
maupun segmen-segmen berikutnya. Kita tentu
tak bisa menyepelekan dampak tepung atau bedak
bagi kesehatan organ mata maupun pernafasan
meski adegan itu dilakukan “suka sama sukaâ
€�. Jika pelakunya tak peduli, maka televisi
dalam hal ini acara komedia tersebut seharusnya
mencerminkan sikap manusiawinya karena
penonton yang melihatnya termasuk anak-anak
akan terbiasa dan mengadopisnya sebagai
candaan kepada sesamanya. Ini jelas
membahayakan.
Kita tak bisa beralasan bahwa tak ada yang salah
dengan “Komedi Tepung� karena nyatanya
rating atau sharing acara-acara komedia itu cukup
besar. Fesbuker bahkan mememangan sebuah
award penting beberapa saat lalu. Dalam hal ini
saya harus mengatakan kemenangan Fesbuker
atau acara-acara komedi serupa, juga
kemenangan-kemenangan komedia aktivis Komedi
Tepung sebenarnya adalah bentuk pelcehan bagi
dunia penyiaran Indonesia dan menyakitkan bagi
penonton Indonesia. Jika banyak penonton yang
suka itu lebih disebabkan karena pembiaran dan
eksploitasi yang terus menerus dilakukan pada
akhirnya membuat secata tidak sadar masyarakat
menjadi terbiasa dan menganggapnya wajar. â
€œKebiasaanâ€� menonton Komedi Tepung
karena mereka tak memiliki banyak pilihan, hampir
semua tayangan komedian seperti demikian.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Taufik dkk.
dari Universitas Sebelas Maret dengan responden
mahasiswa menunjukkan bahwa tingkat kepuasan
penonton terhadap acara komedi salah satunya
Fesbuker ANTV ternyata di bawah 30% alias
rendah. Jangan bandingkan hasil ini dengan angka
lembaga rating karena survey yang dilakukan
lembaga rating memang sudah lama bermasalah
dan dikritik menyesatkan.
“Komedi Tepung� telah keluar dari spirit
humor sebuah komedi. Apalagi dalam Komedi
Tepung biasanya disertai cacian-cacian atau
gerakan-gerakan tarian yang tidak elegan. Sebagai
sebuah bentuk hiburan dan komunikasi, komedi
pada dasarnya digunakan untuk menyampaikan
pesan secara persuasif dan ringan. Humor dalam
komedi diharapkan mendatangkan impresi yang
diwujudkan dalam bentuk tawa namun bertujuan
untuk mempengaruhi atau mengajak penonton
menerima anjuran yang disampaikan. Dari makna
ini bisa kita boleh khawatir dengan kuat bahwa
Komedi Tepung akan  menciptakan bentuk baru
bullying di sekolah atau lingkungan pergaulan
nyata.
“Komedi Tepung� ini juga tak berbeda jauh
dari “Candaan Gabus� di mana para
komedian “memasyaratkan� simulasi
kekerasan dengan benda-benda yang terbuat dari
stereofoam. Dalih “properti yang digunakanâ
€� tidak berbahaya justru mendatangkan bahaya
karena yang ditangkap oleh penonton terutama
anak-anak seringkali bukan propertinya tapi
bentuk dan cara-cara “mengerjai� orang.
Pun demikian stereofoam sangat tidak dianjurkan
untuk digunakan dalam jumlah besar karena
sebagai sampah barang itu hampir tidak bisa
diurai.
Sebagai sebuah humor, komedi memang penting
untuk membuat orang tersenyum atau tertawa.
Tapi siapapun yang memperhatikan “Komedi
Tepung� mungkin akan menangkap perbedaan
rasa tertawa yang lahir dari adegan-adegan
penepungan tersebut. Tawa-tawa itu
sesungguhnya tawa yang menyakitkan.
Humor adalah sarana komunikasi alternatif.
Sebuah kelucuan dalam komedi tetap perlu
mengandung sebuah pesan. Jika sebuah komedi
yang disajikan secara “berlebihan�
membuat komunikasi menjadi kabur. Jadi pesan
dan komunikasi model apa yang bisa ditonton dari
sebuah “Komedi Tepung�??. Kecuali kita
sedang menertawakan sebuah pelecehan dan
menerima sebuah kesakitan.
“Komedi Tepung� seakan mengklarifikasi
kembali betapa ruang tontonan masyarakat kita
terutama televisi sebenarnya sedang sakit parah.
Sebuah komedi yang dipentaskan untuk
memunculkan impresi melalui canda berubah
menjadi adegan-adegan yang memaksa tawa.
Canda-canda itu hanya melahirkan tawa-tawa
yang menyakitkan. Melalui “Komedi Tepungâ
€�, tepung dan bedak telah berubah menjadi
barang yang membahayakan dan menyakitkan.
sumber : kompasiana
0
3K
Kutip
26
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan