- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Karena Negara Bukan Tukang Palak
TS
faktapajak
Karena Negara Bukan Tukang Palak
Tempo, 03 Oktober 2013
Karena Negara Bukan Tukang Palak
Anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dihimpun dari berbagai sektor, baik pajak maupun non-pajak. Soal pajak sendiri, negara melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, melakukan pemungutan pajak dan dihimpun ke dalam APBN untuk melancarkan program-progam pemerintah.
Hal ini disampaikan anggota Komisi IV DPR RI, Viva Yoga Mauladi. “Secara teoritis, begitulah seharusnya,” katanya. Bagaimana dalam penerapannya? Menurut Viva, panggilan kecilnya, masyarakat kurang paham betul mekanisme keuangan negara, sehingga kurang merasakan manfaat pajak.
“Negara harus bisa memberikan keyakinan pada masyarakat bahwa itu adalah hasil dari pajak mereka. Jangan sampai DJP ini terkesan menjadi tukang palak. Kemudian tukang palak ini tidak menyetorkan uangnya pada negara,” ujar Wakil Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) ini. Apalagi, lanjutnya, kerapkali terjadi kasus-kasus moral hazard yang dilakukan sejumlah oknum petugas pajak di DJP.
Dengan sistem remunerasi, lanjutnya, DJP telah menerapkan sistem administrasi modern dengan sangat bagus. “Tapi kalau menyangkut soal manusia juga perlu monitor khusus. Juga ada kepastian hukum. Sebab, muncul ketidakpercayaan masyarakat terhadap pajak, karena manfaat yang tak dirasakan juga performa aparat pajaknya,” ujarnya.
Soal manfaat, menurut Yoga, dari sisi teori terdapat sejumlah manfaat pajak yang bisa dirasakan masyarakat. Tapi kalau menyangkut persepsi masyarakat, mereka tidak merasakan apa pun dari pajak yang mereka bayar. “Saya bayar pajak, tapi kok tak merasakan apa-apa. Persepsi ini berhubungan dengan tingkat pemahaman dan penyerapan informasi dari manfaat pajak,” ujarnya.
Terbukti, lanjutnya, inflasi semakin tinggi. Harga pangan dan kebutuhan hidup juga semakin naik. Padahal pajak diambil dari uang rakyat secara resmi berdasarkan undang-undang. “Seharusnya bisa ada distribusi manfaat, tapi karena problemnya terjadi inflasi dan kenaikan harga barang dan jasa sehingga masyarakat tidak merasakan manfaat pajak itu. Tidak ada efek timbal balik buat peningkatan fasilitas umum maupun kesejahteraan,” katanya.
Dalam APBN, menurut Yoga, dana yang dihimpun dari pajak maupun non-pajak lalu dialokasikan ke sejumlah sektor. “Tiap tahun mengalami kenaikan penerimaan pajak, juga terjadi peningkatan dana APBN,” katanya. Alokasi dana ini, sesuai dengan nota keuangan presiden pada Agustus lalu, memprioritaskan pada sekitar delapan kementerian dan lembaga negara, yang memperoleh dana terbesar. Antara lain pendidikan dan pertahanan maupun keamanan.
“Pertanian pun terlupakan. Harusnya porsi di pertanian besar. Pada Orde Baru saja 15 persen, sekarang 1,5 persen dari APBN,” katanya. Harusnya, menurut Yoga, dengan semakin terjadinya peningkatan pajak dan dana APBN, makin membuat rakyat sejahtera.
Untuk sektor pendidikan, ia setuju mendapatkan alokasi sebesar 20 persen. “Tapi jangan ego sektoral, ego kementerian. Semua sektor memang penting, tapi harus ada level prioritas lebih tinggi,” katanya. Karena itu, ia menyarankan, pemerintah juga menempatkan pertanian dalam skala prioritas lainnya selain pendidikan, pertahanan dan keamanan, infrastruktur.
Hal ini dimaksudkan untuk membangun kedaulatan pangan. “Karena kalau pangan berdaulat, negara juga berdaulat,” tuturnya. Apalagi, sekarang ini sebagian besar impor. Impor itu bisa mengurangi devisa negara dan merugikan petani.
Yoga menyarankan, pemerintah seharusnya mengalokasikan sekitar 10 persen dari dana APBN untuk pertanian. “Kenapa alokasi dana APBN terhadap sektor ini rendah,” ujarnya, bertanya.
Ia pun tak habis pikir. Masyarakat kita sebagian besar hidup dari petani dan nelayan. Hal lainnya, petani adalah orang yang menggarap bidang pertanian. “Janganlah semata dihargai dari sisi ekonomi semata, tapi juga sebagai sebuah sikap dan gaya hidup,” ujarnya.
Apakah kementerian atau lembaga negara yang mendapatkan alokasi dana APBN itu bisa mempertanggungjawabkan dananya? Yoga menjawab, “Ukuran formalnya adalah laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP),” kata dia.
Beberapa kementerian ada yang memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Kendati demikian, ada pula yang mendapat predikat disclaimer dari sisi realisasi anggaran. “Negara kita kan besar, tapi tak dikerjakan secara komprehensif,” ujarnya, menyayangkan.
Karena itu, ia menyarankan, harus ada common platform, yang menuntun kita akan dibawa ke mana bangsa ini. Harus ada komunikasi intensif yang memperlihatkan apa kemauan kita sebagai bangsa, di luar kompetisi kekuasaan. “Kalau leadership kuat, serius, berani, saya rasa masyarakat kita yang memiliki ciri gotong royong dan tak neko-neko pasti akan patuh,” ujarnya.
Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2013/1...n-Tukang-Palak
Karena Negara Bukan Tukang Palak
Anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dihimpun dari berbagai sektor, baik pajak maupun non-pajak. Soal pajak sendiri, negara melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, melakukan pemungutan pajak dan dihimpun ke dalam APBN untuk melancarkan program-progam pemerintah.
Hal ini disampaikan anggota Komisi IV DPR RI, Viva Yoga Mauladi. “Secara teoritis, begitulah seharusnya,” katanya. Bagaimana dalam penerapannya? Menurut Viva, panggilan kecilnya, masyarakat kurang paham betul mekanisme keuangan negara, sehingga kurang merasakan manfaat pajak.
“Negara harus bisa memberikan keyakinan pada masyarakat bahwa itu adalah hasil dari pajak mereka. Jangan sampai DJP ini terkesan menjadi tukang palak. Kemudian tukang palak ini tidak menyetorkan uangnya pada negara,” ujar Wakil Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) ini. Apalagi, lanjutnya, kerapkali terjadi kasus-kasus moral hazard yang dilakukan sejumlah oknum petugas pajak di DJP.
Dengan sistem remunerasi, lanjutnya, DJP telah menerapkan sistem administrasi modern dengan sangat bagus. “Tapi kalau menyangkut soal manusia juga perlu monitor khusus. Juga ada kepastian hukum. Sebab, muncul ketidakpercayaan masyarakat terhadap pajak, karena manfaat yang tak dirasakan juga performa aparat pajaknya,” ujarnya.
Soal manfaat, menurut Yoga, dari sisi teori terdapat sejumlah manfaat pajak yang bisa dirasakan masyarakat. Tapi kalau menyangkut persepsi masyarakat, mereka tidak merasakan apa pun dari pajak yang mereka bayar. “Saya bayar pajak, tapi kok tak merasakan apa-apa. Persepsi ini berhubungan dengan tingkat pemahaman dan penyerapan informasi dari manfaat pajak,” ujarnya.
Terbukti, lanjutnya, inflasi semakin tinggi. Harga pangan dan kebutuhan hidup juga semakin naik. Padahal pajak diambil dari uang rakyat secara resmi berdasarkan undang-undang. “Seharusnya bisa ada distribusi manfaat, tapi karena problemnya terjadi inflasi dan kenaikan harga barang dan jasa sehingga masyarakat tidak merasakan manfaat pajak itu. Tidak ada efek timbal balik buat peningkatan fasilitas umum maupun kesejahteraan,” katanya.
Dalam APBN, menurut Yoga, dana yang dihimpun dari pajak maupun non-pajak lalu dialokasikan ke sejumlah sektor. “Tiap tahun mengalami kenaikan penerimaan pajak, juga terjadi peningkatan dana APBN,” katanya. Alokasi dana ini, sesuai dengan nota keuangan presiden pada Agustus lalu, memprioritaskan pada sekitar delapan kementerian dan lembaga negara, yang memperoleh dana terbesar. Antara lain pendidikan dan pertahanan maupun keamanan.
“Pertanian pun terlupakan. Harusnya porsi di pertanian besar. Pada Orde Baru saja 15 persen, sekarang 1,5 persen dari APBN,” katanya. Harusnya, menurut Yoga, dengan semakin terjadinya peningkatan pajak dan dana APBN, makin membuat rakyat sejahtera.
Untuk sektor pendidikan, ia setuju mendapatkan alokasi sebesar 20 persen. “Tapi jangan ego sektoral, ego kementerian. Semua sektor memang penting, tapi harus ada level prioritas lebih tinggi,” katanya. Karena itu, ia menyarankan, pemerintah juga menempatkan pertanian dalam skala prioritas lainnya selain pendidikan, pertahanan dan keamanan, infrastruktur.
Hal ini dimaksudkan untuk membangun kedaulatan pangan. “Karena kalau pangan berdaulat, negara juga berdaulat,” tuturnya. Apalagi, sekarang ini sebagian besar impor. Impor itu bisa mengurangi devisa negara dan merugikan petani.
Yoga menyarankan, pemerintah seharusnya mengalokasikan sekitar 10 persen dari dana APBN untuk pertanian. “Kenapa alokasi dana APBN terhadap sektor ini rendah,” ujarnya, bertanya.
Ia pun tak habis pikir. Masyarakat kita sebagian besar hidup dari petani dan nelayan. Hal lainnya, petani adalah orang yang menggarap bidang pertanian. “Janganlah semata dihargai dari sisi ekonomi semata, tapi juga sebagai sebuah sikap dan gaya hidup,” ujarnya.
Apakah kementerian atau lembaga negara yang mendapatkan alokasi dana APBN itu bisa mempertanggungjawabkan dananya? Yoga menjawab, “Ukuran formalnya adalah laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP),” kata dia.
Beberapa kementerian ada yang memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Kendati demikian, ada pula yang mendapat predikat disclaimer dari sisi realisasi anggaran. “Negara kita kan besar, tapi tak dikerjakan secara komprehensif,” ujarnya, menyayangkan.
Karena itu, ia menyarankan, harus ada common platform, yang menuntun kita akan dibawa ke mana bangsa ini. Harus ada komunikasi intensif yang memperlihatkan apa kemauan kita sebagai bangsa, di luar kompetisi kekuasaan. “Kalau leadership kuat, serius, berani, saya rasa masyarakat kita yang memiliki ciri gotong royong dan tak neko-neko pasti akan patuh,” ujarnya.
Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2013/1...n-Tukang-Palak
0
1K
3
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan