- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
[MINTA PENDAPAT] Cerita Bersambung 3 part.


TS
akiortagem
[MINTA PENDAPAT] Cerita Bersambung 3 part.
Hai agan dan sistah kaskus yang ganteng n cantik 

ane lagi bikin cerita bersambung nih dalam rangka iseng-iseng.
Settingnya di Indonesia yang sedang terpojok karena adanya serangan teroris/pemberontak. Sekarang baru selesai chapter 1, nanti akan ane update chapter 2 dan 3 nya. Judulnya belom tau mau ane kasih apaan, mungkin sekalian minta pendapat agan-agan disini juga hehe
ane mau minta pendapat agan-agan nih, bagaimana cerita buatan ane, apakah ada yang harus diperbaiki?
oh iya sebelumnya ini benar-benar fiksi, kalau ada kesamaan nama, saya mohon maaf.
kalo salah kamar ane juga mohon maaf hehe
ane tunggu komen dan ratenya ya gan
Sudah tiga tahun berlalu sejak insiden itu. Sekelompok teroris menghancurkan simbol kekayaan Indonesia, Monas. Kelompok tersebut memanggil dirinya Duryodana. Setelah menghancurkan Monas, pemimpin mereka, Mega, membuat pengumuman ke seluruh Indonesia, Ia menyatakan bahwa Duryodana akan mengambil alih seluruh Indonesia, Mega juga tidak segan-segan mengancam akan membunuh siapa saja yang berani melawan. Waktu itu ancaman Mega terdengar bodoh dan tidak mungkin, tapi betapa terkejutnya seluruh rakyat Indonesia, saat Duryodana berhasil melumpuhkan banyak titik strategis Indonesia. Mereka berhasil merampok senjata milik TNI dan PINDAD, lalu menggunakanya untuk melawan kekuatan militer Indonesia. Tidak hanya angkatan darat, sekarang Duryodana juga bermain imbang dengan Indonesia dalam daerah kelautan, sebab Duryodana juga berhasil mengambil alih kekuatan TNI-AL Indonesia.
Operasi yang dilakukan oleh Duryodana sangat terarah, tidak seperti barisan pemberontak lainya. Gerak-gerik mereka juga sangat sulit terdeteksi.Oleh karena itu Duryodana juga telah berhasil membunuh banyak pemimpin pemerintahan Indonesia, mulai dari menteri-menteri, pimpinan militer dan bahkan Presiden pun tak luput dari target mereka. Indonesia sekarang dalam keadaan sangat tidak terkoordinasi, kepala pemerintahan Indonesia turun sampai ke Gubernur Jakarta. Pangkat paling tinggi kemiliteran saat ini dipegang oleh Mayor Jenderal dan setingkatnya.
Mega, sang pemimpin Duryodana, tiga hari yang lalu mengumumkan akan membunuh Gubernur Jakarta pada hari ini. Aku sebagai Kolonel angkatan darat ditugaskan untuk mengamankan kediaman sang Gubernur. Gubernur Jakarta saat ini, Budi, adalah seorang pemimpin teladan. Sebelum pecahnya gerakan teroris Duryodana, Budi adalah pemimpin yang berbeda dari pemimpin lainya, ia sangat memikirkan kesejahteraan masyarakat dan menerima masukan dari berbagai sumber. Walau terlihat tidak teratur, banyak program-program dari Budi yang sangat memajukan Jakarta. Saat ini, walaupun banyak hal yang diluar keahlianya, Budi masih bisa memimpin Indonesia dengan baik sebagai pemimpin darurat. Budi merupakan satu-satunya harapan Indonesia yang bisa diandalkan, apabila Mega berhasil membunuh Budi, aku takut Indonesia tidak akan mampu bertahan.
"Kolonel, Lapor, semua sektor sudah diamankan, perimeter sudah di cek ganda. Sampai sekarang belum ada tanda-tanda gerakan teroris!"
"Ehem, Kolonel Anton!" Seorang letnan menyadarkanku dari lamunan.
"Bagus letnan, tetap jaga perimeter, kita tidak boleh kecolongan. Gubernur Budi harus selamat!"
"Siap, Kolonel!"
Tidak boleh ada lagi korban yang jatuh akibat kekejaman Duryodana dan Mega.
"Kembali bertugas letnan, saya akan memeriksa kembali rekaman gerak gerik mereka!"
"Siap, kolonel! Selamat Malam!"
Setelah letnan tadi pergi aku kembali ke mejaku. Diatas mejaku tertumpuk dokumen-dokumen rahasia tentang rekaman gerak-gerik Duryodana. Apabila aku bisa melihat sebuah pola maka...
Kau harus selangkah lebih maju Anton! Itulah rahasia bermain catur, hahaha
Aku teringat kata-kata teman dekatku, Rino.Aku dan Rino sudah berteman sejak SMA. Tidak seperti aku yang mengejar karir di militer setelah lulus SMA, Rino sempat menyelesaikan S1nya di bidang teknik sebelum akhirnya menjadi perwira karir. Rino adalah seorang jenius, ia dapat menguasai semua materi ilmu perang dalam waktu kurang dari setengah tahun. Para perwira tinggi pun banyak yang berkonsultasi dan berdiskusi dengan Rino mengenai pengembangan taktik perang dan strategi perang. Rino sempat memegang pangkat Letnan Kolonel, sebelum ia meninggal. Tepatnya 10 hari setelah rubuhnya Monas, Duryodana menyerang Akademi Militer di Magelang, dan Letkol Rino ditugaskan untuk mengkoordinasi pertahanan disana. Sayangnya, perwira akmil yang berada disana kebanyakan belum pernah terlibat situasi perang sebenarnya, hanya simulasi dan latihan, Rino gugur dalam pertahanan dan Akademi Militer berhasil direbut.
Di sela-sela fokusku pada dokumen rahasia yang tertumpuk di mejaku mataku sekali-kali tertuju pada bidak menteri hitam di pojok mejaku. Bidak tersebut adalah bidak favorit Rino. Setelah ia meninggal aku menyimpan bidak tersebut dari kotak catur yang biasa kita pakai bermain untuk mengisi waktu kosong.
Aku dan Rino sering sekali bermain catur bersama. Aku selalu kalah, namun setiap hari pasti aku belajar trik-trik baru dari Rino. Di selang gerak-gerik bidak pasti ada saja obrolan yang kita bahas. Terkadang mengenai kehidupan sehari-hari, terkadang mengenai negara dan topik-topik berat. Sejujurnya bermain catur hanya formalitas saja bagi kami, yang aku dan kejar sebenarnya adalah kesempatan mengobrol. Rino adalah seorang yang sangat nasionalis, terlihat dari cara bicaranya apabila kami mengobrol tentang negara. Ia pasti selalu menggebu-gebu, mematok impian yang sangat tinggi dan selalu dengan mata yang berbinar-binar.
"Rino, padahal bangsa ini sangat membutuhkanmu sekarang..."
Kesepian malam ini tiba-tiba terpecah oleh suara teriakan seorang tamtama.
"SNIPER!!! SNIPER!!! BERLINDUNG!!!"
Dalam sekejap aku berdiri dan mengeluarkan pistolku. Belum sempat aku keluar ruangan, dua tamtama yang menjaga ruanganku tiba-tiba roboh ditembak pelipisnya. Dengan sigap aku berlindung di balik tembok. Dari beberapa kilatan yang aku lihat hanya ada beberapa sniper saja diluar sana, mungkin 3 orang. Belum sempat bereaksi tiba-tiba aku mendengar suara ledakan hebat yang berasal dari seberang kediaman Gubernur, tepatnya di gerbang selatan.
"Di belakang juga?" Nampaknya Duryodana berniat mengalihkan perhatian dengan ledakan tersebut, pasti mereka berniat untuk menyerbu dari gerbang utara tempatku sekarang.
Aku segera mengambil radio komunikasi.
"Perhatian, semuanya! Ini kolonel Anton, Perhatian! Pleton 1! segera menuju gerbang utara, segera ambil posisi bertahan, hati-hati sniper! Pleton 2 segera menuju ke ruang gubernur SEKARANG JUGA, temui saya disana!"
"Siap kolonel!"
Benar saja, belum tiga langkah serbuan dari Duryodana sudah mulai. Rentetan senapan serbu mulai bersahutan. Aku segera mempercepat gerakanku menuju ruang Gubernur.
Gubernur Budi harus selamat. Aku bisa membawa kabur Gubernur Budi keluar dari kediaman. Ada satu jalur rahasia di ruang Gubernur yang berakhir jauh dari kediaman Gubernur, para teroris sialan itu mungkin bisa merebut gedung kediaman ini, tapi Gubernur Budi tidak boleh mati.
"Kolonel Anton, Peleton 2 siap!" Di tengah perjalanan aku bertemu dengan peleton 2 yang juga sedang menuju ke ruang Gubernur.
"Bagus, siapkan senapan kalian, beberapa ** SENSOR ** itu mungkin sudah berhasil masuk!"
"siap kolonel!"
Tidak lama setelah itu aku dan peleton 2 sampai di ruang Gubernur.
"Anton, ada apa? apakah Duryodana...?" Gubernur Budi terlihat agak khawatir mengenai situasi saat ini.
"Ya Pak Gubernur! Ikuti kami, kita akan melarikan diri melalui jalur rahasia!"
"Tetapi bagaimana dengan pasukanmu?"
"Tugas kami adalah melindungi Bapak, walaupun nyawa taruhanya, sekarang saya mohon Bapak ikuti saya"
Aku segera membuka pintu rahasia di lantai yang disamarkan sebagai lantai ubin biasa. Setelah terbuka, terlihat sebuah tangga menuju bawah tanah.
"Pak Gubernur, tolong...-!" Sebelum aku menyelsaikan kalimatku, tiba-tiba terdengar lagi ledakan yang tidak jauh dari ruangan ini.
"Peleton 2!"
"Tidak usah bilang lagi Kolonel! kami akan memberi waktu untuk Kolonel dan Bapak Gubernur!"
"T-Terimakasih...."
Sebelum aku dan Gubernur Budi angkat kaki menuju ke jalur rahasia aku memberikan penghormatan terakhir kepada prajurit peleton 2. Seorang tamtama membalas hormat dan akhirnya menutup jalur rahasia.
"Baik pak Budi, mari ikut saya!"
Aku dan Gubernur Budi berjalan dalam kegelapan, ditemani dengan teriakan akhir para prajurit pemberani peleton 2 saat akhirnya mereka diserbu oleh para teroris jahanam.
"Anton..." Gubernur Budi berusaha memecah kesunyian sepanjang jalan.
"Kita harus selamat Pak, kalau bukan kita siapa lagi yang bisa membela negara kita?"
"Saya mengerti, kemana tujuan kita?"
"Kita akan menuju ke Tanjung Priok dan segera menuju ke Bukittinggi Pak"
"Bukittinggi?"
"Ya Pak, disana aman, nanti saya akan mengontak beberapa petinggi Indonesia yang masih ada untuk segera menuju kesana, kita bentuk pemerintahan darurat disana"
"Seperti pada saat perang kemerdekaan...."
"Sayangnya musuh kita saat ini adalah orang gila yang haus kekuasaan..." Aku sangat menyesali keadaan Indonesia saat ini. Bagaimana mungkin bisa sampai seperti ini?
Beberapa menit kemudian, akhirnya kita mencapai pintu keluar.
"Bapak tunggu disini, saya akan mengecek keadaan diluar"
"Baik, Hati-hati Anton."
Jalur rahasia tersebut berakhir pada sebuah pojok gang yang agak luas. Tidak banyak yang tahu akan tempat ini, jadi aku rasa pasti aman. Aku segara melihat keadaan, memeriksa setiap sudut bayangan. Terangnya bulan malam agak membantu jarak pandangan di tempat gelap tanpa penerangan seperti ini, namun tidak ada tanda-tanda siapapun di gang ini.
"Pak Budi, keadaan aman, Bapak bisa keluar"
Saat Gubernur Budi keluar dari jalur rahasia, tiba-tiba seseorang muncul dari balik tembok gang.
"Bapak Gubernur Budi. Dan kalau tidak salah, Kolonel Anton?" Tidak salah lagi, sosok tersebut adalah Mega. Ia muncul dengan topeng khasnya yang menutupi seluruh kepalanya. Topengnya berwarna hitam kelam dan terlihat memantulkan cahaya bulan. Pada topengnya terdapat goggle di bagian matanya. Mega juga memakai jubah panjang berwarna hitam kelam. Sungguh sosok yang tidak bisa aku lupakan. Sosok yang sama yang aku lihat saat rubuhnya Monas.
Spontan aku langsung mengarahkan pistolku ke Mega.
"MEGA! MATI KAU!"
Sebelum aku sempat menekan pelatuk, tiba-tiba titik-titik merah menyala muncul pada sekujur tubuh Gubernur Budi. Beberapa teroris keluar dari persembunyian dan mengarahkan senapan mereka ke Gubernur Budi.
"Silahkan, tembak, dan Pak Budi akan mati, hahahaha"
"** SENSOR **!"
Aku menurunkan pistolku. Sambil mengutuk dalam hati.
"Tendang pistolmu ke sini Kolonel."
Aku tak punya pilihan lain selain menuruti si bajingan ini. Nyawa Gubernur Budi taruhanya.
"Anton, jangan..."
"Maaf, Pak, saya tidak bisa membiarkan Bapak mati!"
Aku segera meletakkan pistolku di tanah dan menendangnya ke arah Mega. Mega langsung mengambil pistolku. Tiba tiba ia memetik jarinya. Seorang teroris berjalan kearahku dan memukul kakiku dengan popor senapan. Akupun roboh berlutut. Tidak sampai disitu, teroris itu langsung memukul punggungku hingga aku terjatuh dan lalu ia menginjakku.
Mega berjalan pelan menuju Gubernur Budi.
"Bapak Gubernur Budi, harapan terakhir Indonesia"
*DOR*
"AAAARGGGHHHHHH" Mega menembak lutut Gubernur Budi. Gubernur Budi melenguh kesakitan dan jatuh berlutut.
"MEGA ** SENSOR ** KAU! JANGAN BERANI KAU BUNUH DIA!"
"Atau apa? Kau bisa apa? heh"
*DOR*
*DOR*
*DOR*
*DOR*
*DOR*
Lima peluru dilepaskan pada kepala Gubernur Budi, sudah tidak ada kemungkinan ia selamat...
"MEGAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!"
"HAHAHA, dengan ini berkurang orang-orang bodoh yang berani melawanku!!"
Aku tak bisa bergerak, tiga orang teroris mengunci gerakanku. Aku tidak bisa membalas sama sekali.
"Kolonel Anton, sekarang giliranmu" Mega mengarahkan pistolku sendiri ke kepalaku.
Inikah akhir dari hidupku? Inikah akhir dari Indonesia? Rino, maaf, aku tidak bisa menjaga negara yang sangat kau cintai...
*KLIK*
*KLIK*
"Hmph, kau sangat beruntung rupanya Kolonel. Pistolmu tidak mau membunuhmu hahahaha." Mega melempar pistolku ke mukaku,lalu ia memetik jarinya. Seorang teroris memukul
kepalaku dengan popor senapanya, akupun kehilangan kesadaran.

Chapter 2


ane lagi bikin cerita bersambung nih dalam rangka iseng-iseng.

Settingnya di Indonesia yang sedang terpojok karena adanya serangan teroris/pemberontak. Sekarang baru selesai chapter 1, nanti akan ane update chapter 2 dan 3 nya. Judulnya belom tau mau ane kasih apaan, mungkin sekalian minta pendapat agan-agan disini juga hehe
ane mau minta pendapat agan-agan nih, bagaimana cerita buatan ane, apakah ada yang harus diperbaiki?
oh iya sebelumnya ini benar-benar fiksi, kalau ada kesamaan nama, saya mohon maaf.
kalo salah kamar ane juga mohon maaf hehe

ane tunggu komen dan ratenya ya gan

Spoiler for Chapter 1:
Sudah tiga tahun berlalu sejak insiden itu. Sekelompok teroris menghancurkan simbol kekayaan Indonesia, Monas. Kelompok tersebut memanggil dirinya Duryodana. Setelah menghancurkan Monas, pemimpin mereka, Mega, membuat pengumuman ke seluruh Indonesia, Ia menyatakan bahwa Duryodana akan mengambil alih seluruh Indonesia, Mega juga tidak segan-segan mengancam akan membunuh siapa saja yang berani melawan. Waktu itu ancaman Mega terdengar bodoh dan tidak mungkin, tapi betapa terkejutnya seluruh rakyat Indonesia, saat Duryodana berhasil melumpuhkan banyak titik strategis Indonesia. Mereka berhasil merampok senjata milik TNI dan PINDAD, lalu menggunakanya untuk melawan kekuatan militer Indonesia. Tidak hanya angkatan darat, sekarang Duryodana juga bermain imbang dengan Indonesia dalam daerah kelautan, sebab Duryodana juga berhasil mengambil alih kekuatan TNI-AL Indonesia.
Operasi yang dilakukan oleh Duryodana sangat terarah, tidak seperti barisan pemberontak lainya. Gerak-gerik mereka juga sangat sulit terdeteksi.Oleh karena itu Duryodana juga telah berhasil membunuh banyak pemimpin pemerintahan Indonesia, mulai dari menteri-menteri, pimpinan militer dan bahkan Presiden pun tak luput dari target mereka. Indonesia sekarang dalam keadaan sangat tidak terkoordinasi, kepala pemerintahan Indonesia turun sampai ke Gubernur Jakarta. Pangkat paling tinggi kemiliteran saat ini dipegang oleh Mayor Jenderal dan setingkatnya.
Mega, sang pemimpin Duryodana, tiga hari yang lalu mengumumkan akan membunuh Gubernur Jakarta pada hari ini. Aku sebagai Kolonel angkatan darat ditugaskan untuk mengamankan kediaman sang Gubernur. Gubernur Jakarta saat ini, Budi, adalah seorang pemimpin teladan. Sebelum pecahnya gerakan teroris Duryodana, Budi adalah pemimpin yang berbeda dari pemimpin lainya, ia sangat memikirkan kesejahteraan masyarakat dan menerima masukan dari berbagai sumber. Walau terlihat tidak teratur, banyak program-program dari Budi yang sangat memajukan Jakarta. Saat ini, walaupun banyak hal yang diluar keahlianya, Budi masih bisa memimpin Indonesia dengan baik sebagai pemimpin darurat. Budi merupakan satu-satunya harapan Indonesia yang bisa diandalkan, apabila Mega berhasil membunuh Budi, aku takut Indonesia tidak akan mampu bertahan.
"Kolonel, Lapor, semua sektor sudah diamankan, perimeter sudah di cek ganda. Sampai sekarang belum ada tanda-tanda gerakan teroris!"
"Ehem, Kolonel Anton!" Seorang letnan menyadarkanku dari lamunan.
"Bagus letnan, tetap jaga perimeter, kita tidak boleh kecolongan. Gubernur Budi harus selamat!"
"Siap, Kolonel!"
Tidak boleh ada lagi korban yang jatuh akibat kekejaman Duryodana dan Mega.
"Kembali bertugas letnan, saya akan memeriksa kembali rekaman gerak gerik mereka!"
"Siap, kolonel! Selamat Malam!"
Setelah letnan tadi pergi aku kembali ke mejaku. Diatas mejaku tertumpuk dokumen-dokumen rahasia tentang rekaman gerak-gerik Duryodana. Apabila aku bisa melihat sebuah pola maka...
Kau harus selangkah lebih maju Anton! Itulah rahasia bermain catur, hahaha
Aku teringat kata-kata teman dekatku, Rino.Aku dan Rino sudah berteman sejak SMA. Tidak seperti aku yang mengejar karir di militer setelah lulus SMA, Rino sempat menyelesaikan S1nya di bidang teknik sebelum akhirnya menjadi perwira karir. Rino adalah seorang jenius, ia dapat menguasai semua materi ilmu perang dalam waktu kurang dari setengah tahun. Para perwira tinggi pun banyak yang berkonsultasi dan berdiskusi dengan Rino mengenai pengembangan taktik perang dan strategi perang. Rino sempat memegang pangkat Letnan Kolonel, sebelum ia meninggal. Tepatnya 10 hari setelah rubuhnya Monas, Duryodana menyerang Akademi Militer di Magelang, dan Letkol Rino ditugaskan untuk mengkoordinasi pertahanan disana. Sayangnya, perwira akmil yang berada disana kebanyakan belum pernah terlibat situasi perang sebenarnya, hanya simulasi dan latihan, Rino gugur dalam pertahanan dan Akademi Militer berhasil direbut.
Di sela-sela fokusku pada dokumen rahasia yang tertumpuk di mejaku mataku sekali-kali tertuju pada bidak menteri hitam di pojok mejaku. Bidak tersebut adalah bidak favorit Rino. Setelah ia meninggal aku menyimpan bidak tersebut dari kotak catur yang biasa kita pakai bermain untuk mengisi waktu kosong.
Aku dan Rino sering sekali bermain catur bersama. Aku selalu kalah, namun setiap hari pasti aku belajar trik-trik baru dari Rino. Di selang gerak-gerik bidak pasti ada saja obrolan yang kita bahas. Terkadang mengenai kehidupan sehari-hari, terkadang mengenai negara dan topik-topik berat. Sejujurnya bermain catur hanya formalitas saja bagi kami, yang aku dan kejar sebenarnya adalah kesempatan mengobrol. Rino adalah seorang yang sangat nasionalis, terlihat dari cara bicaranya apabila kami mengobrol tentang negara. Ia pasti selalu menggebu-gebu, mematok impian yang sangat tinggi dan selalu dengan mata yang berbinar-binar.
"Rino, padahal bangsa ini sangat membutuhkanmu sekarang..."
Kesepian malam ini tiba-tiba terpecah oleh suara teriakan seorang tamtama.
"SNIPER!!! SNIPER!!! BERLINDUNG!!!"
Dalam sekejap aku berdiri dan mengeluarkan pistolku. Belum sempat aku keluar ruangan, dua tamtama yang menjaga ruanganku tiba-tiba roboh ditembak pelipisnya. Dengan sigap aku berlindung di balik tembok. Dari beberapa kilatan yang aku lihat hanya ada beberapa sniper saja diluar sana, mungkin 3 orang. Belum sempat bereaksi tiba-tiba aku mendengar suara ledakan hebat yang berasal dari seberang kediaman Gubernur, tepatnya di gerbang selatan.
"Di belakang juga?" Nampaknya Duryodana berniat mengalihkan perhatian dengan ledakan tersebut, pasti mereka berniat untuk menyerbu dari gerbang utara tempatku sekarang.
Aku segera mengambil radio komunikasi.
"Perhatian, semuanya! Ini kolonel Anton, Perhatian! Pleton 1! segera menuju gerbang utara, segera ambil posisi bertahan, hati-hati sniper! Pleton 2 segera menuju ke ruang gubernur SEKARANG JUGA, temui saya disana!"
"Siap kolonel!"
Benar saja, belum tiga langkah serbuan dari Duryodana sudah mulai. Rentetan senapan serbu mulai bersahutan. Aku segera mempercepat gerakanku menuju ruang Gubernur.
Gubernur Budi harus selamat. Aku bisa membawa kabur Gubernur Budi keluar dari kediaman. Ada satu jalur rahasia di ruang Gubernur yang berakhir jauh dari kediaman Gubernur, para teroris sialan itu mungkin bisa merebut gedung kediaman ini, tapi Gubernur Budi tidak boleh mati.
"Kolonel Anton, Peleton 2 siap!" Di tengah perjalanan aku bertemu dengan peleton 2 yang juga sedang menuju ke ruang Gubernur.
"Bagus, siapkan senapan kalian, beberapa ** SENSOR ** itu mungkin sudah berhasil masuk!"
"siap kolonel!"
Tidak lama setelah itu aku dan peleton 2 sampai di ruang Gubernur.
"Anton, ada apa? apakah Duryodana...?" Gubernur Budi terlihat agak khawatir mengenai situasi saat ini.
"Ya Pak Gubernur! Ikuti kami, kita akan melarikan diri melalui jalur rahasia!"
"Tetapi bagaimana dengan pasukanmu?"
"Tugas kami adalah melindungi Bapak, walaupun nyawa taruhanya, sekarang saya mohon Bapak ikuti saya"
Aku segera membuka pintu rahasia di lantai yang disamarkan sebagai lantai ubin biasa. Setelah terbuka, terlihat sebuah tangga menuju bawah tanah.
"Pak Gubernur, tolong...-!" Sebelum aku menyelsaikan kalimatku, tiba-tiba terdengar lagi ledakan yang tidak jauh dari ruangan ini.
"Peleton 2!"
"Tidak usah bilang lagi Kolonel! kami akan memberi waktu untuk Kolonel dan Bapak Gubernur!"
"T-Terimakasih...."
Sebelum aku dan Gubernur Budi angkat kaki menuju ke jalur rahasia aku memberikan penghormatan terakhir kepada prajurit peleton 2. Seorang tamtama membalas hormat dan akhirnya menutup jalur rahasia.
"Baik pak Budi, mari ikut saya!"
Aku dan Gubernur Budi berjalan dalam kegelapan, ditemani dengan teriakan akhir para prajurit pemberani peleton 2 saat akhirnya mereka diserbu oleh para teroris jahanam.
"Anton..." Gubernur Budi berusaha memecah kesunyian sepanjang jalan.
"Kita harus selamat Pak, kalau bukan kita siapa lagi yang bisa membela negara kita?"
"Saya mengerti, kemana tujuan kita?"
"Kita akan menuju ke Tanjung Priok dan segera menuju ke Bukittinggi Pak"
"Bukittinggi?"
"Ya Pak, disana aman, nanti saya akan mengontak beberapa petinggi Indonesia yang masih ada untuk segera menuju kesana, kita bentuk pemerintahan darurat disana"
"Seperti pada saat perang kemerdekaan...."
"Sayangnya musuh kita saat ini adalah orang gila yang haus kekuasaan..." Aku sangat menyesali keadaan Indonesia saat ini. Bagaimana mungkin bisa sampai seperti ini?
Beberapa menit kemudian, akhirnya kita mencapai pintu keluar.
"Bapak tunggu disini, saya akan mengecek keadaan diluar"
"Baik, Hati-hati Anton."
Jalur rahasia tersebut berakhir pada sebuah pojok gang yang agak luas. Tidak banyak yang tahu akan tempat ini, jadi aku rasa pasti aman. Aku segara melihat keadaan, memeriksa setiap sudut bayangan. Terangnya bulan malam agak membantu jarak pandangan di tempat gelap tanpa penerangan seperti ini, namun tidak ada tanda-tanda siapapun di gang ini.
"Pak Budi, keadaan aman, Bapak bisa keluar"
Saat Gubernur Budi keluar dari jalur rahasia, tiba-tiba seseorang muncul dari balik tembok gang.
"Bapak Gubernur Budi. Dan kalau tidak salah, Kolonel Anton?" Tidak salah lagi, sosok tersebut adalah Mega. Ia muncul dengan topeng khasnya yang menutupi seluruh kepalanya. Topengnya berwarna hitam kelam dan terlihat memantulkan cahaya bulan. Pada topengnya terdapat goggle di bagian matanya. Mega juga memakai jubah panjang berwarna hitam kelam. Sungguh sosok yang tidak bisa aku lupakan. Sosok yang sama yang aku lihat saat rubuhnya Monas.
Spontan aku langsung mengarahkan pistolku ke Mega.
"MEGA! MATI KAU!"
Sebelum aku sempat menekan pelatuk, tiba-tiba titik-titik merah menyala muncul pada sekujur tubuh Gubernur Budi. Beberapa teroris keluar dari persembunyian dan mengarahkan senapan mereka ke Gubernur Budi.
"Silahkan, tembak, dan Pak Budi akan mati, hahahaha"
"** SENSOR **!"
Aku menurunkan pistolku. Sambil mengutuk dalam hati.
"Tendang pistolmu ke sini Kolonel."
Aku tak punya pilihan lain selain menuruti si bajingan ini. Nyawa Gubernur Budi taruhanya.
"Anton, jangan..."
"Maaf, Pak, saya tidak bisa membiarkan Bapak mati!"
Aku segera meletakkan pistolku di tanah dan menendangnya ke arah Mega. Mega langsung mengambil pistolku. Tiba tiba ia memetik jarinya. Seorang teroris berjalan kearahku dan memukul kakiku dengan popor senapan. Akupun roboh berlutut. Tidak sampai disitu, teroris itu langsung memukul punggungku hingga aku terjatuh dan lalu ia menginjakku.
Mega berjalan pelan menuju Gubernur Budi.
"Bapak Gubernur Budi, harapan terakhir Indonesia"
*DOR*
"AAAARGGGHHHHHH" Mega menembak lutut Gubernur Budi. Gubernur Budi melenguh kesakitan dan jatuh berlutut.
"MEGA ** SENSOR ** KAU! JANGAN BERANI KAU BUNUH DIA!"
"Atau apa? Kau bisa apa? heh"
*DOR*
*DOR*
*DOR*
*DOR*
*DOR*
Lima peluru dilepaskan pada kepala Gubernur Budi, sudah tidak ada kemungkinan ia selamat...
"MEGAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!"
"HAHAHA, dengan ini berkurang orang-orang bodoh yang berani melawanku!!"
Aku tak bisa bergerak, tiga orang teroris mengunci gerakanku. Aku tidak bisa membalas sama sekali.
"Kolonel Anton, sekarang giliranmu" Mega mengarahkan pistolku sendiri ke kepalaku.
Inikah akhir dari hidupku? Inikah akhir dari Indonesia? Rino, maaf, aku tidak bisa menjaga negara yang sangat kau cintai...
*KLIK*
*KLIK*
"Hmph, kau sangat beruntung rupanya Kolonel. Pistolmu tidak mau membunuhmu hahahaha." Mega melempar pistolku ke mukaku,lalu ia memetik jarinya. Seorang teroris memukul
kepalaku dengan popor senapanya, akupun kehilangan kesadaran.

Chapter 2
Diubah oleh akiortagem 17-11-2013 14:16
0
2.2K
Kutip
22
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan