lee89sivaAvatar border
TS
lee89siva
Rezim Diem Mendiskriminasi Kaum Buddha, Biksu Thich Quang Duc Bakar Diri
sorry kalau emoticon-Repost dari dragonroar cuma mo share....


Selasa siang, 11 Juni 1963, lalu lintas di Kota Saigon, ibukota Vietnam Selatan sedang ramai-ramainya. Pada perempatan Jalan Phan Dinh Phung – Le Van Duyet, ratusan biksu berjajar di sekitar perempatan. Sebuah mobil sedan biru mendadak berhenti. Dari dalam mobil seorang biksu melangkah keluar menuju tengah perempatan, diikuti oleh dua orang biksu lainnya. Salah seorang biksu pengikut meletakkan bantalan di tengah perempatan sedang yang satunya lagi mengeluarkan 5 jerigen dari dalam bagasi mobil.

Sesampainya di tengah perempatan, biksu yang pertama, belakangan diketahui bernama Thich Quang Duc, duduk dengan mengambil posisi lotus tradisional, posisi bersila dalam bertapa. Dua biksu pengikut menuangkan isi jerigen yang ternyata adalah bensin ke sekujur tubuh biksu yang duduk tersebut.

“Nam Mo A Di Da Phat…,” terdengar biksu tersebut sejenak berdoa. Berikutnya, dengan tenang dia menggoreskan korek api dan membakar tubuhnya.

Api seketika membakar sekujur tubuh biksu tersebut. Luar biasa, sedikitpun tubuhnya tak bergerak dan sama sekali tak terdengar suara mengerang apalagi menjerit kesakitan. Sungguh bertolak belakang dengan keadaan di sekelilingnya yang hiruk pikuk oleh kegaduhan dan suara ratapan orang-orang yang menyaksikannya.

Polisi yang berada di sekitar lokasi mencoba mengendalikan situasi. Namun gagal karena blokade lingkaran yang dibuat oleh ratusan biksu lainnya. Salah seorang biksu terus-menerus berteriak: “Seorang Biksu Buddhis membakar diri. Seorang biksu Buddhis menjadi martir!!!”

Thich Quang Duc adalah seorang biksu Buddha Ramayana. Apa yang dilakukannya adalah ritual Self-Immolation atau pengorbanan diri sendiri. Itu dilakukannya sebagai protes terhadap rezim Ngo Dinh Diem yang kerap membantai dan menyiksa biksu-biksu

Dalam pesan terakhirnya, yang disampaikan melalui sebuah surat, Thich Quang Duc berujar: “Sebelum aku menutup mata dan mendekatkan diriku kepada Buddha, dengan penuh rasa hormat aku meminta kepada Ngo Dinh Diem untuk menunjukkan sedikit rasa belas kasih kepada rakyatmu dan memberlakukan kesamaan agama untuk mempertahankan kesatuan negeri ini. Aku juga memanggil saudara-saudara dalam se-dhamma untuk melakukan pengorbanan dalam rangka melindungi Buddhisme”

Apa yang dilakukan oleh Thich Quang Duc bukanlah kejadian yang tiba-tiba. Melainkan sebuah tindakan yang telah direncanakan sebelumnya. Terbukti, sehari sebelum aksi tersebut, juru bicara umat Buddha di kota itu telah menyampaikan pesan kepada koresponden-koresponden Amerika yang banyak terdapat di sana (catatan: pada waktu itu tengah berlangsung invasi …Amerika Serikat ke Vietnam sehingga banyak wartawan Amerika Serikat yang berada di Vietnam untuk meliput jalannya perang). Isinya menyatakan bahwa akan terjadi “sesuatu yang penting” esok hari di jalan di depan Kedubes Kamboja. Namun, karena persoalan Buddha sudah menjadi krisis sejak beberapa bulan sebelumnya, tak banyak wartawan yang menanggapi pesan tersebut.

Meskipun aksi tersebut telah merenggut nyawa Thich Quang Duc, namun Presiden Ngo Dinh Diem, sebagai sasaran aksi protes, menanggapi dengan dingin aksi tersebut. Dia bahkan mengeluarkan pernyataan yang menyebut Thich Quang Duc dalam keadaan mabuk obat-obatan sebelum dipaksa melakukan aksi bakar diri. Sebuah pernyataan yang menggelikan. Bagaimana mungkin seorang biksu mengkonsumsi obat-obatan hingga mabuk.

Komentar lebih sinis datang dari adik ipar Dinh Diem, yang saat itu dianggap sebagai Lady First karena Dinh Diem adalah bujangan. Wanita tersebut berkomentar: “clap hands at seeing another monk barbecue show”. Kurang lebih artinya: “Mari bertepuk tangan untuk pertunjukan barbeque biarawan”

Namun, pada saat kejadian, dua orang reporter New York Times, Malcolm Browne dan David Halberstam datang ke lokasi dan meliput kejadian. Publikasi besar-besaran terhadap peristiwa tersebut menarik perhatian dunia internasional. Dilengkapi dengan foto Malcolm Browne yang mengabadikan momen saat tubuh Thich Quang Duc terbakar, David Halberstam antara lain menulis: Aku mengamati lagi, tetapi sekali saja sudah cukup. Api itu datang dari manusia; tubuhnya perlahan layu dan mengerut ke atas, kepalanya menghitam dan menjadi arang. Di udara tercium bau daging manusia terbakar; seorang manusia secara mengejutkan terbakar dengan cepat. Dibelakangku, aku bisa mendengar isak para warga Vietnam yang sekarang berkumpul. Aku terlalu shock untuk menangis, terlalu bingung untuk mencatat atau mengajukan pertanyaan, dan terlalu bingung untuk berpikir … Ketika ia terbakar, ia tidak pernah bergerak sedikitpun, tidak mengucapkan suara, dilakukan dengan ketenangan luar biasa, menjadi kontras dengan ratapan orang-orang di sekelilingnya.

Simpati terhadap biksu-biksu Buddha dan tekanan terhadap rezim Ngo Dinh Diem pun berdatangan dari segala penjuru dunia. Malcolm Browne dan David Halberstam mendapat Penghargaan Pulitzer, penghargaan tertinggi untuk bidang jurnalisme cetak di AS.

Apa yang dilakukan Thich Quang Duc merupakan puncak perlawanannya terhadap rezim Ngo Dinh Diem yang telah berlangsung bertahun-tahun. Ngo Dinh Diem yang menganut agama Katolik kerap melakukan tindak diskriminatif, penyiksaan dan pembunuhan terhadap umat Buddha dalam kerangka kebijakan meng-Katolik-kan Vietnam. Padahal Vietnam adalah negara dimana mayoritas penduduknya memeluk agama Buddha. Lebih dari 70% penduduknya merupakan penganut agama Buddha. Pada masa itu umat Buddha dibatasi kebebasannya dalam menyelenggarakan kegiatan ibadah, tidak sebebas penganut agama Katolik. Unjuk rasa yang dilakukan oleh umat Buddha senantiasa ditindak dengan kekerasan oleh pasukan paramiliter. Di instansi pemerintah, khususnya militer, promosi diutamakan bagi penganut agama Katolik atau penganut Buddha yang rela berpindah agama menjadi Katolik. Para penganut agama Buddha pun kerap dituduh dan dicap sebagai antek-antek komunis, tidak nasionalis dan berniat menumbangkan pemerintahan. Sebuah kondisi yang pada saat itu disebut sebagai “krisis Buddha”.


Pengorbanan Thich Quang Duc memang tidak seketika menghasilkan perubahan. Namun aksinya tersebut diikuti dengan rangkaian aksi protes yang dilakukan oleh biksu-biksu di seluruh Vietnam Selatan. Kalap oleh aksi-aksi tersebut, pada bulan Agustus 1963 Ngo Dinh Diem memerintahkan pasukan paramiliter menyerbu Pagoda Xa Loi yang terletak di Kota Saigon. Seluruh isi pagoda dirusak dan dihancurkan, biksu-biksu dipukuli dan disiksa. Serangan serupa secara simultan dilakukan di seluruh penjuru negeri. Lebih kurang 1400 orang biksu ditangkap. Umat Buddha yang dating untuk memberikan dukungan kepada biksu-biksu disambut dengan penumpasan kejam. Puluhan umat Buddha tewas dan ratusan lainnya terluka.

Penyerbuan tersebut memicu keresahan dan kemarahan masyarakat yang sebelumnya bersikap apolitis. Mahasiswa-mahasiswa di Universitas Saigon dan Universitas Hue melakukan aksi mogok kuliah dan membuat kerusuhan di lingkungan kampus. Aksi-aksi tersebut ditanggapi pemerintah dengan melakukan penangkapan dan penahanan. Universitas-universitas ditutup. Lebih dari 1000 orang mahasiswa dikirim ke kamp pendidikan khusus.

Di luar negeri, tekanan internasional membuat Pemerintah AS menghentikan bantuannya terhadap rezim Ngo Dinh Diem. Padahal Ngo Dinh Diem bisa berkuasa atas bantuan dan dukungan Pemerintah AS dengan jalan menggulingkan Kaisar Bao Dai. Puncaknya, Pemerintah AS member lampu hijau berupa jaminan tidak akan ikut campur terhadap upaya kudeta yang dirancang dan dipimpin oleh Jenderal Duong Van Minh. Pada tanggal 1 November 1963, Presiden Ngo Dinh Diem ditawari untuk menyerah dengan jaminan kebebasan berangkat mengasingkan diri ke luar negeri. Namun Ngo Dinh Diem menolak tawaran tersebut dan berusaha melarikan diri melalui terowongan bawah tanah istana kepresidenan. Namun keesokan harinya Presiden Ngo Dinh Diem dan beberapa orang pengikutnya tertangkap dan dieksekusi hingga mati oleh Nguyen Van Nhung, seorang mayor Angkatan Bersenjata Vietnam, dalam perjalanan menuju Markas Staf Gabungan Angkatan Bersenjata Vietnam.

Demikianlah sebuah revolusi dimulai dengan pantikan sebata korek api oleh seorang biksu yang dengan berani dan ikhlas mengorbankan dirinya. Kembali kepada Thich Quang Duc, api yang membakar tubuhnya memang merenggut nyawanya, tapi tak menghanguskan sama sekali jasadnya. Sisa tubuhnya yang terbakar dibawa oleh para biksu untuk dikremasi ulang.

Saat akan dikremasi ulang, pada tubuhnya yang hangus terbakar, diketahui kenyataan bahwa jantung Thich Quang Duc sama sekali tidak terbakar dan masih dalam keadaan segar. Dipandang sebagai lambing kesucian, jantung tersebut kemudian diawetkan dan disimpan di pagoda Xa Loi.

Sumber:
- bassier.wordpress.com/2011/12/21/the-self-immolation-thich-quang-duc/
- bassier.wordpress.com/2011/12/21/the-self-immolation-thich-quang-duc-2-2/
- bassier.wordpress.com/2011/12/22/56/
0
9K
28
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan