Kaskus

News

faktapajakAvatar border
TS
faktapajak
Dilema Pajak: Sensitivitas Kerahasiaan Kekayaan dan Transparansi Pelaporan
Mengawali posting pertama tentang pajak, kami ingin mengangkat hal-hal bukan yang sangat teknis pajak tapi tetap terkait pajak.

Pajak selalu berkaitan dengan pendapatan dan kekayaan. Selalu hadir dilema saat seseorang bukan bermaksud menyembunyikan kekayaan, tapi dituduh merahasiakan. Masih banyak orang, baik biasa saja maupun memang amat kaya, merasa tabu membicarakan kekayaan atau pendapatannya. Sekalipun tabu, tapi mereka tetap membayar pajak. Sayangnya, dilema tabu tersebut kadang merembet pada isu lain bahwa seseorang tidak kooperatif dalam perpajakan karena dituduh sengaja menyembunyikan kekayaannya. Padahal tidak demikian.

Gesekan antara dilema seseorang yang tabu menyampaikan kekayaannya karena merasa tidak perlu pamer pendapagtan/kekayaan, dengan kondisi seseorang/pihak lain yang memang secara sistematis./sengaja menghindari pajak, selalu bertemu pada ruang lingkup perbankan. atau secara lebih spesifik, kebijakan kerahasiaan bank dalam hal rekening nasabahnya.

Prinsip kerahasiaan bank menjadi jualan utama bank demi kenyamanan nasabah. Kerahasiaan bank diatur diatur Pasal 40 UU No.10/1998 tentang Perbankan dan Peraturan Bank Indonesia (BI) Nomor 2/19/PBI/2000, dengan pengecualian Pasal 2(4), dimana kerahasiaan bank bisa dibuka untuk kepentingan perpajakan. Pembukaan rahasia dilakukan oleh bank, jika ada permintaan tertulis dari Menteri Keuangan dengan menyebutkan nama pejabat pajak, nama Nasabah, nama kantor Bank, keterangan yang diminta, dan alasan diperlukannya keterangan.

Kaitan antara bank dengan pajak setidaknya ada empat yaitu Pertama, BI mensyaratkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sesuai prinsip pengenalan nasabah (Know Your Customer), diatur dengan PBI Nomor 5/21/PBI/2003. Kedua, dalam pengajuan kredit lebih dari Rp.50 juta wajib dilampirkan NPWP. Ketiga, untuk pembelian valuta asing minimal $ 100 ribu, diwajibkan ada NPWP, sesuai PBI No.10/28/ PBI/2008 tentang Pembelian Valuta Asing Terhadap Rupiah kepada Bank. Keempat, dalam PBI No.13/20/PBI/2011, eksportir wajib menyampaikan informasi devisa hasil ekspor (DHE) ke bank devisa.
Kerahasiaan bank ternyata mencakup liabilities bank (berupa simpanan nasabah) dan asset bank (kredit yang disalurkan). Padahal bank mensyaratkan NPWP untuk kredit di atas 50 juta. Lalu apa fungsi NPWP untuk hal ini?

Jika melihat demografi nasabah bank, sebenarnya potensi penggalian pajak masih besar. Data Lembaga Penjamin Simpanan per Juli 2013 menyebutkan rekening total sebanyak 126,8 juta rekening dengan nominal simpanan Rp.3.447 trilyun. Simpanan di atas Rp.500 juta sebanyak 746.456 rekening dengan nominal Rp.2.373 trilyun. Berarti 0,58 persen jumlah rekening bank nasional menguasai 70,4 persen total simpanan di bank.

Selama ini, analisis potensi pajak terbentur keterbatasan data keuangan wajib pajak. Contoh, pedagang mencantumkan rekening bank untuk penjualan online, tetapi rekening tersebut tidak dilaporkan pada SPT Tahunan. Aparat pajak kesulitan untuk menjangkau data nasabah karena terhadap nasabah belum dilakukan tindak pemeriksaan yang menunjukkan tindak pidana pajak, walaupun analisis perhitungan menunjukkan ada penghindaran pajak.

Aturan kewajiban memberikan data telah diatur Pasal 35A UU Ketentuan Umum Perpajakan Nomor 16/2009. Pasal ini mewajibkan lembaga pemerintah, lembaga, asosiasi dan pihak lain (termasuk bank) untuk memberikan data perpajakan kepada Ditjen Pajak, meliputi data nasabah debitur, transaksi keuangan, kartu kredit, lalu lintas devisa. Pada pasal 41 C UU KUP telah diatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) bisa dipidana penjara maksimal 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.1 milyar. Andai saja data akses ke perbankan bisa diberikan, kemungkinan banyak wajib pajak yang bisa dihimbau untuk melakukan pembetulan SPT Tahunan.

Tentu pembukaan data nasabah bank harus secara hati-hati agar tidak memicu penarikan dana dari bank. Informasi rekening nasabah ditampung pada suatu komisi informasi perpajakan. Kantor pajak nantinya akan mengakses data ini sepengetahuan komisi informasi perpajakan untuk keamanan data nasabah dari kejahatan perbankan.

Namun demikian perlu dikaji lebih lanjut pembukaan rahasuia bank dalam rangka pengejaran penghindaran pajak. Pertama, penindakan wajib pajak yang menyimpan uang di luar negeri. Bentuk diplomasi bisa dilakukan dengan mencabut ijin bank-bank dari negara tersebut di Indonesia.

Kedua, revisi batasan pencantuman NPWP untuk pembelian valuta asing menjadi $10,000 ke atas. Jika mampu membeli valas $10.000, sementara penghasilan pada SPT Tahunan hanya Rp.30 juta, tentu ada penghasilan lain yang tidak dilaporkan.

Ketiga, revisi UU Perbankan bahwa kewajiban jabatan untuk merahasiakan data dikecualikan atas kepentingan perpajakan. Akses data wajib pajak seperti rekening bank, basisdata pembeli Surat Utang Negara dan Sistem Informasi Debitur Bank Indonesia (SIDBI), diperlukan untuk penggalian potensi pajak, terutama sektor informal atau Usaha Kecil Menengah. Pemilik 746 ribu rekening dengan saldo di atas Rp.500 juta, tentu perlu diteliti kepatuhan pembayaran pajaknya. Seharusnya, akses data tidak harus menunggu adanya pemeriksaan tindak pidana perpajakan.

Keempat, Indonesia perlu meniru program voluntary disclosure dari IRS, yang memberikan bebas denda pajak bagi wajib pajak yang sukarela melaporkan kepemilikan rekening bank di luar negeri. Cara ini dengan mempersuasif pemilik rekening agar memberikan data rekening bank luar negeri.
Kelima, BI perlu menambahkan opsi persyaratan pembukaan rekening bank bahwa bank diperbolehkan memberikan data simpanan dan pinjaman nasabah jika ada permintaan dari kantor pajak, tanpa harus ada tindak pidana perpajakan.

Sumber: http://faktapajak.tumblr.com/post/62...n-kekayaan-dan
0
1.3K
12
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan