- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Analisa Teori G 30S/PKI Part II
TS
moe123
Analisa Teori G 30S/PKI Part II
Analisa II
Kudeta Soeharto terhadap Sukarno
Lanjutan dari Part 1
Bahwa seluruh rangkaian peristiwa itu adalah sebuah kudeta Pak Harto terhadap Bung Karno. Teori ini berdasar realita, bahwa akhir dari semua peristiwa itu adalah jatuhnya Bung Karno dan munculnya Pak Harto sebagai Presiden kedua RI. Teori ini banyak dipercayai sebagai teori yang benar, oleh kalangan yang dekat dengan Bung Karno dan juga oleh kalangan eks-tahanan politik G30S. Teori ini percaya, bahwa Pak Harto sudah tahu atau sudah diberitahu oleh Kol. Latief, salah satu penggerak G30S, hanya beberapa jam sebelum G30S berlangsung, namun membiarkan peristiwa itu terus berlanjut.
Sepintas, teori tersebut sangat logis. Namun, apa yang terjadi, sesungguhnya tidak sesederhana itu. Proses pergantian itu berjalan sangat alot, bahkan melelahkan. Sebabnya, karena Pak Harto di saat itu belum siap atau bahka tidak bersedia untuk pergantian kekuasaan. Pak Harto, sebenarnya sangat loyal kepada Bung Karno. Antara lain, terbukti dengan tambahan untuk mengamalkan “Panca Azimat Revolusi” dalam konsideran pembubaran PKI, yang ditulisnya sendiri, meskipun sudah diketik. Meskipun desakan sudah sangat kuat, Pak Harto mempunyai pertimbangan sendiri terhadap Bung Karno. Dapat dipahami, sebagai orang Jawa, Pak Harto menganut falsafah “mikul nduwur mendem jero”. Sikapnya seperti itu, juga ditunjukkan ketika Pak Harto sudah menjadi presiden. Pak Harto telah memberi nama Bandara Cengkareng dan membangun monumen proklamasi untuk mengabadikan nama Sukarno-Hatta dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Menurut Victor M. Fic, dalam bukunya The Anatomy of the Jakarta Coup (2005), kedatangan Kol. Latief ke Pak Harto sebenarnya adalah untuk mengajak Pak Harto untuk mendukung Gerakan 30 September. Kalau Pak Harto tidak bersedia, ia akan dimasukkan dalam daftar jenderal yang akan diculik. Ternyata, dukungan tidak diperoleh, sementara persiapan untuk penculikan sudah matang. Menambah daftar sasaran juga tidak mudah, mengingat ketersediaan pasukan dan hambatan yang harus diantisipasi. Misalnya, dimana Pak Harto akan diculik? di RS Gatot Subroto? akhirnya Pak Harto selamat dari sasaran penculikan. Cerita Kol. Latief itu, bahkan menambah informasi apa yang sesungguhnya terjadi.
Sebagaimana telah dikemukakan di depan, bahwa Pak Harto telah memiliki firasat, bahwa PKI berada di balik Gerakan 30 September sejak awal, ketika diberitahu oleh Mashuri, tetangganya di pagi hari tanggal 1 Oktober 1965. Hari itu juga, pada jam 06.30 pagi Pak Harto telah berada di Markas Kostrad, dan sesuai konvensi yang berlaku, ia mengambil keputusan untuk mengambil alih kepemimpinan Angkatan Darat. Meskipun tidak menolak dengan tegas, Pak Harto juga mengabaikan pengangkatan Caretaker pimpinan Angkatan Darat, Jenderal Pranoto Reksosamodra, yang diangkat oleh Bung Karno setelah mengetahui, bahwa Jenderal Achmad Yani telah tiada. Sikap seperti ini, di kalangan angkatan darat, bukan hal yang luar biasa ketika dirasakan negara dalam krisis, sebagaimana juga pernah diperlihatkan oleh Jenderal Soedirman terhadap Bung Karno di awal Revolusi. Jenderal Soeharto juga tidak dapat memenuhi panggilan Bung Karno untuk datang ke Halim, oleh karena Halim adalah wilayah yang telah dijadikan markasnya G30S.
Sementera itu, begitu peristiwa G30S meletus, desakan rakyat agar Pak Harto segera mengambil alih kekuasaan semakin lama semakin besar. Namun, proses itu baru terjadi pada tahun 1967, dua tahun setelah peristiwa G30S. Di kalangan aktivis mahasiswa, sikapnya sering dinilai sangat lamban. Apa yang sesungguhnya terjadi?
Keadaan seperti itu, disebabkan oleh adanya “dualisme” kepemimpinan nasional di waktu itu, antara Pak Harto dan Bung Karno yang harus segera diakhiri. Dualisme itu, pada dasarnya disebabkan adanya perbedaan di dalam menyikapi tuntutan pembubaran PKI. Sejak awal, Pak Harto ternyata sudah mempunyai firasat bahwa di balik G30S adalah PKI. Pak Harto ternyata dapat memahami tuntutan rakyat untuk pembubaran PKI, sementara Bung Karno mempunyai sikap lain. Tuntutan terhadap pembubaran PKI, sebagaimana kita catat, terjadi hanya selang dua hari setelah G30S meletus.
Pada tanggal 2 Oktober, telah keluar pernyataan organisasi/partai politik untuk menuntut pembubaran organisasi-organisasi yang mendukung G30S. dan pada tanggal 4 Oktober, sebuah rapat umum telah berlangsung di Taman Suropati, menuntut pembubaran PKI. Peristiwa-peristiwa itulah yang menjadi awal berdirinya Komando Aksi Pengganyangan G30S/PKI, yang kemudian dikenal sebagai KAP Gestapu atau Front Pancasila. KAP Gestapu/Front Pancasila ini dipimpin oleh Subchan Z.E., seorang Ketua PB NU, dengan Sekjrn Harry Tjan Silalahi, dari PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), yang kemudian juga menjadi Sekjen Partai Katolik. Setelah itu, lahirlah berbagai Kesatuan Aksi, termasuk KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), yang kesemuanya itu kemudian melahirkan suatu gelombang yang dahsyat, gelombang tuntutan terhadap pembubaran PKI.
Meskipun demikian, ketika Pak Harto, selaku Panglima Kostrad menerima para aktivis/tokoh-tokoh yang memprakarsasi tuntutan pembubaran PKI pada tanggal 4 Oktober 1965 di Kostrad, Pak Harto menyatakan, bahwa kalau tujuan kita sama, maka kita dapat berjalan bersama, begitu kira-kira ucapan Pak Harto. Bagi saya, hal itu mengindikasikan, bahwa Pak Harto belum sepenuhnya meyakini garis perjuangan atau bahkan keberadaan kami. Langkah-langkah Pak Harto, sebagaimana kita ketahui, berjalan di atas prinsip melaksanakan dan memurnikan Pancasila/UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Nampaknya, ada stigma ideologi yang masih menyelimuti Pak Harto, disebabkan adanya konflik ideologi yang sangat tajam menjelang G30S. Karena itu, nama KAP Gestapu kemudian juga dilengkapi dengan “Front Panjasila”. Front ideologi, yang berlawanan dengan Komunisme yang tidak Pancasilais.
Pada sidang kabinet tanggal 11 Maret 1966 Bung Karno memperoleh laporan, bahwa istana telah dikepung oleh para demonstran, disertai pasukan yang tidak berseragam. Bung Karno kemudian diterbangkan ke Istana Bogor. Sementara Pak Harto, selaku Menteri Panglima Angkatan Darat yang waktu itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit, kemudian mengutus Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen M. Yusuf dan Brigjen Amirmachmud. Kepada ketiga jenderal itu, Pak Harto menyampaikan pesan, seandainya ia masih dipercaya agar Bung Karno menyerahkan pemulihan ketertiban dan keamanan kepada dirinya. Pesan itu disampaikan kepada Bung Karno di Istana Bogor, dan terjadilah proses penyusunan surat perintah, yang konon tidak mudah, meskipun akhirnya keluar naskah sebuah perintah, yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Super Semar).
Super Semar itu diserahkan kepada Pak Harto malam hari di Kostrad oleh ketiga jenderal itu. Langkah pertama, Pak Harto setelah menerima Super Semar itu adalah memerintahkan konsep surat keputusan pembubaran PKI. Sudharmono SH, yang waktu itu adalah asisten Ketua GV KOTI, Brigjen Sutjipto SH, menyatakan bahwa setelah keluarnya Super Semar itu, landasan hukum pembubaran PKI telah diperoleh. Dengan “bersiul”, kata Pak Dhar, sudah tidak ada keraguan lagi untuk mempersiapkan Surat Keputusan Pembubaran PKI (12 Maret 1966). Meskipun demikian, konsep Surat Keputusan Pembubaran PKI itu masih dikoreksi oleh Pak Harto. Dalam konsiderans surat keputusan itu, Pak Harto menambahkan (dengan tulisan tangan) untuk ditambah konsiderans dalam rangka mengamalkan Panca Azimat Revolusi (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia), sebagaimana telah dikemukakan di atas. Selain itu, juga dikeluarkan surat perintah pengamanan terhadap menteri-menteri Kabinet Dwikora yag diindikasikan terlibat G30S.
Setelah itu, MPRS bersidang. Jenderal Nasution terpilih sebagai Ketua MPRS, dengan salah satu wakilnya adalah Subchan Z.E., Ketua KAP Gestapu/Front Pancasila. Di sidang MPRS inilah untuk pertama kalinya, kebijakan Bung Karno digugat. Padahal, sidang MPRS sebelumnya telah mengangkat Bung Karno sebagai Presiden seumur hidup.
Dalam Sidan MPRS inilah berbagai keputusan yang strategis diambil, misalnya pengukuhan Super Semar menjadi TAP XI MPRS, pencabutan predikat presiden seumur hidup (TAP XVIII/MPRS), keputusan mengenai pembubaran PKI, pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh Indonesia, dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarluaskan Komunisme/Marxisme, Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya (TAP XXV/MPRS/1966) dan keputusan untuk mengkaji ajaran Bung Karno (TAP XVI/MPRS/1966), dimana pengemban Super Semar yang telah berubah menjadi pengemban TAP IX/MPRS, untuk bersama-sama Bung Karno membentuk Kabinet.
Keputusan-keputusan MPRS yang terkait dengan Bung Karno dan Pak Harto, merupakan jalan tengah di waktu itu. Sementera di Luar gedung MPR tuntutan terhadap penggantian kepemimpinan nasional sudah sangan gencar. Pak Harto ternyata tidak mempersiapkan diri untuk melangkah sejauh itu. Sebaliknya, kalangan dekat Pak Harto justru mempertanyakan, mengapa tokoh-tokoh yang dahulu dikenal sebagai sangat dekat dengan Bung Karno, berbalik begitu cepat?
Meskipun demikian, tuntutan terhadap Bung Karno tidak berhenti. Mahkamah Militer Luar Biasa yang digelar untuk mengadili tokoh-tokoh G30S dan PKI mengindikasikan, bahwa tidak mustahil Bung Karno juga terlibat dalam G30S. Bung karno, setidaknya diduga mengetahui peristiwa itu. Bung Karno tidak hanya dituntut untuk berhenti, tetapi juga dituntut untuk diadili Mahkamah Militer Luar Biasa.
Akhirnya, pada Bulan Januari 1967, DPR mengeluarkan resolusi untuk menyelenggarakan Sidang Umum Istimewa MPRS. Resolusi itu dikenal sebagai Resolusi Djamaludin Malik, seorang tokoh NU, oleh karena dialah penandatangan pertama. Dan pada bulan Maret, MPRS menyelenggarakan sidang istimewa. Suatu hal yang merupakan pengalaman baru bagi Indonesia. Peralihan kekuasaan negeri ini, secara bertahap. Sebab, Pak Harto baru sebagai “pejabat” Presiden. Toh dalam sidang istimewa MPRS di tahun 1967 itu, Pak Harto tidak menghendaki adanya ketetapan MPRS untuk mengadili Bung Karno. Melalui berbagai saluran dan bahkan beberapa anggota MPRS, Pak Harto menyatakan sikapnya untuk mencegah terbitnya Ketetapan MPRS untuk mengadili Bung Karno. Dan benar, Ketetetapan MPRS yang terkait dengan Bung Karno menyatakan bahwa masalah itu diserahkan pada pengemban Super Semar/TAP MPRS IX/1966. Disidang Istimewa MPRS inilah Bung Karno mengakhiri jabatannya selaku Presiden RI, sedangkan Pak Harto, masih baru diangkat sebagai Pejabat Presiden. Ketetapan itu termuat di dalam TAP XXIII/MPRS/1967. Dalam Ketetapan MPRS itu juga dinyatakan bahwa, Bung Karno dilarang melakukan kegiatan politik sampai pemilihan umum yang akan datang. Wajar, kalau seorang tokoh seperti Bung Karno, merasa dipenjara.
Dalam Buku otobiografi Pak Harto; Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (hal. 204) antara lain Pak Harto mengatakan, bahwa setelah menjabat Pejabat Presiden, Pak Harto masih membuka kemungkinan Bung Karno tetap menjadi presiden, asal bersikap tegas terhadap PKI. Suatu hal, yang nampaknya tidak mungkin dilakukan oleh Bung Karno. Padahal, pembubaran PKI adalah merupakan isu sentral tuntutan rakyat di waktu itu. Karena itu, akhirnya Pak Harto tidak mungkin lagi mengelak dari tuntutan rakyat dan mahasiswa yang telah lama menghendaki pergantian kepemimpinan itu, setelah MPRS mengeluarkan Ketetapan itu.
Khalayak dapat menyimpulkan (sendiri), apakah pergantian kekuasaan itu merupakan sebuah kudeta secara bertahap atau sebuah proses konstitusional biasa. Disinilah orang bisa terbelah. Kalangan yang dekat dengan Bung Karno menilai, bahwa semua itu adalah sebuah kudeta Pak Harto secara bertahap kepada Bung Karno. Sebaliknya, orang tidak bisa membayangkan, betapa sulitnya bagi Pak Harto di waktu itu untuk menyikapi perkembangan politik. Ia dihadapkan pada satu masalah yang sangat dilematis. Meskipun Pak Harto pada dasarnya loyal terhadap Bung Karno, arus deras politik menghendakinya segera mengambil alih kekuasaan. Suasana konflik sudah mencapai puncaknya. Suatu hal, yang juga disadari oleh Bung Karno. Sikap Bung Karno di waktu itu adalah mencerminkan sikap seorang negarawan sejati “Biarlah saya tenggelam, asal tidak terjadi pertumpahan darah di antara sesama bangsa ini”. Sebab, kekuatan pendukung Bung Karno, sebenarnya juga masih besar, termasuk di kalangan militer.
Seandainya Bung Karno bersedia membubarkan PKI, sebagaimana Bung Karno membubarkan Masyumi dan PSI di tahun 1960, perjalanan sejarah bangsa ini mungkin akan lain. Terlepas bahwa keanggotaan MPRS telah diubah, tokoh-tokoh yang dahulu ikut mengangkat Bung Karno sebagai presiden seumur hidup pun (1963), ternayta ikut menyetujui keluarnya ketetapan itu. Demikian juga rakyat, mahasiswa dan kekuatan politik lainnya, bahkan telah lama menghendaki pergantian itu. Perubahan inilah yang nampaknya kurang disadari oleh Bung Karno, sehingga berdampak kejatuhannya. Setahun kemudian (1968), Pak Harto ditetapkan sebagai Presiden Kedua. Sebuah proses konstitusional yang tidak mudah, yang masih membukan berbagai kritik sampai dewasa ini. Namun, dengan segala kekurangannya, itulah proses konstitusional yang dimiliki bangsa ini di waktu itu.
Kudeta Soeharto terhadap Sukarno
Lanjutan dari Part 1
Quote:
Bahwa seluruh rangkaian peristiwa itu adalah sebuah kudeta Pak Harto terhadap Bung Karno. Teori ini berdasar realita, bahwa akhir dari semua peristiwa itu adalah jatuhnya Bung Karno dan munculnya Pak Harto sebagai Presiden kedua RI. Teori ini banyak dipercayai sebagai teori yang benar, oleh kalangan yang dekat dengan Bung Karno dan juga oleh kalangan eks-tahanan politik G30S. Teori ini percaya, bahwa Pak Harto sudah tahu atau sudah diberitahu oleh Kol. Latief, salah satu penggerak G30S, hanya beberapa jam sebelum G30S berlangsung, namun membiarkan peristiwa itu terus berlanjut.
Sepintas, teori tersebut sangat logis. Namun, apa yang terjadi, sesungguhnya tidak sesederhana itu. Proses pergantian itu berjalan sangat alot, bahkan melelahkan. Sebabnya, karena Pak Harto di saat itu belum siap atau bahka tidak bersedia untuk pergantian kekuasaan. Pak Harto, sebenarnya sangat loyal kepada Bung Karno. Antara lain, terbukti dengan tambahan untuk mengamalkan “Panca Azimat Revolusi” dalam konsideran pembubaran PKI, yang ditulisnya sendiri, meskipun sudah diketik. Meskipun desakan sudah sangat kuat, Pak Harto mempunyai pertimbangan sendiri terhadap Bung Karno. Dapat dipahami, sebagai orang Jawa, Pak Harto menganut falsafah “mikul nduwur mendem jero”. Sikapnya seperti itu, juga ditunjukkan ketika Pak Harto sudah menjadi presiden. Pak Harto telah memberi nama Bandara Cengkareng dan membangun monumen proklamasi untuk mengabadikan nama Sukarno-Hatta dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Menurut Victor M. Fic, dalam bukunya The Anatomy of the Jakarta Coup (2005), kedatangan Kol. Latief ke Pak Harto sebenarnya adalah untuk mengajak Pak Harto untuk mendukung Gerakan 30 September. Kalau Pak Harto tidak bersedia, ia akan dimasukkan dalam daftar jenderal yang akan diculik. Ternyata, dukungan tidak diperoleh, sementara persiapan untuk penculikan sudah matang. Menambah daftar sasaran juga tidak mudah, mengingat ketersediaan pasukan dan hambatan yang harus diantisipasi. Misalnya, dimana Pak Harto akan diculik? di RS Gatot Subroto? akhirnya Pak Harto selamat dari sasaran penculikan. Cerita Kol. Latief itu, bahkan menambah informasi apa yang sesungguhnya terjadi.
Sebagaimana telah dikemukakan di depan, bahwa Pak Harto telah memiliki firasat, bahwa PKI berada di balik Gerakan 30 September sejak awal, ketika diberitahu oleh Mashuri, tetangganya di pagi hari tanggal 1 Oktober 1965. Hari itu juga, pada jam 06.30 pagi Pak Harto telah berada di Markas Kostrad, dan sesuai konvensi yang berlaku, ia mengambil keputusan untuk mengambil alih kepemimpinan Angkatan Darat. Meskipun tidak menolak dengan tegas, Pak Harto juga mengabaikan pengangkatan Caretaker pimpinan Angkatan Darat, Jenderal Pranoto Reksosamodra, yang diangkat oleh Bung Karno setelah mengetahui, bahwa Jenderal Achmad Yani telah tiada. Sikap seperti ini, di kalangan angkatan darat, bukan hal yang luar biasa ketika dirasakan negara dalam krisis, sebagaimana juga pernah diperlihatkan oleh Jenderal Soedirman terhadap Bung Karno di awal Revolusi. Jenderal Soeharto juga tidak dapat memenuhi panggilan Bung Karno untuk datang ke Halim, oleh karena Halim adalah wilayah yang telah dijadikan markasnya G30S.
Sementera itu, begitu peristiwa G30S meletus, desakan rakyat agar Pak Harto segera mengambil alih kekuasaan semakin lama semakin besar. Namun, proses itu baru terjadi pada tahun 1967, dua tahun setelah peristiwa G30S. Di kalangan aktivis mahasiswa, sikapnya sering dinilai sangat lamban. Apa yang sesungguhnya terjadi?
Keadaan seperti itu, disebabkan oleh adanya “dualisme” kepemimpinan nasional di waktu itu, antara Pak Harto dan Bung Karno yang harus segera diakhiri. Dualisme itu, pada dasarnya disebabkan adanya perbedaan di dalam menyikapi tuntutan pembubaran PKI. Sejak awal, Pak Harto ternyata sudah mempunyai firasat bahwa di balik G30S adalah PKI. Pak Harto ternyata dapat memahami tuntutan rakyat untuk pembubaran PKI, sementara Bung Karno mempunyai sikap lain. Tuntutan terhadap pembubaran PKI, sebagaimana kita catat, terjadi hanya selang dua hari setelah G30S meletus.
Pada tanggal 2 Oktober, telah keluar pernyataan organisasi/partai politik untuk menuntut pembubaran organisasi-organisasi yang mendukung G30S. dan pada tanggal 4 Oktober, sebuah rapat umum telah berlangsung di Taman Suropati, menuntut pembubaran PKI. Peristiwa-peristiwa itulah yang menjadi awal berdirinya Komando Aksi Pengganyangan G30S/PKI, yang kemudian dikenal sebagai KAP Gestapu atau Front Pancasila. KAP Gestapu/Front Pancasila ini dipimpin oleh Subchan Z.E., seorang Ketua PB NU, dengan Sekjrn Harry Tjan Silalahi, dari PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), yang kemudian juga menjadi Sekjen Partai Katolik. Setelah itu, lahirlah berbagai Kesatuan Aksi, termasuk KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), yang kesemuanya itu kemudian melahirkan suatu gelombang yang dahsyat, gelombang tuntutan terhadap pembubaran PKI.
Meskipun demikian, ketika Pak Harto, selaku Panglima Kostrad menerima para aktivis/tokoh-tokoh yang memprakarsasi tuntutan pembubaran PKI pada tanggal 4 Oktober 1965 di Kostrad, Pak Harto menyatakan, bahwa kalau tujuan kita sama, maka kita dapat berjalan bersama, begitu kira-kira ucapan Pak Harto. Bagi saya, hal itu mengindikasikan, bahwa Pak Harto belum sepenuhnya meyakini garis perjuangan atau bahkan keberadaan kami. Langkah-langkah Pak Harto, sebagaimana kita ketahui, berjalan di atas prinsip melaksanakan dan memurnikan Pancasila/UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Nampaknya, ada stigma ideologi yang masih menyelimuti Pak Harto, disebabkan adanya konflik ideologi yang sangat tajam menjelang G30S. Karena itu, nama KAP Gestapu kemudian juga dilengkapi dengan “Front Panjasila”. Front ideologi, yang berlawanan dengan Komunisme yang tidak Pancasilais.
Pada sidang kabinet tanggal 11 Maret 1966 Bung Karno memperoleh laporan, bahwa istana telah dikepung oleh para demonstran, disertai pasukan yang tidak berseragam. Bung Karno kemudian diterbangkan ke Istana Bogor. Sementara Pak Harto, selaku Menteri Panglima Angkatan Darat yang waktu itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit, kemudian mengutus Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen M. Yusuf dan Brigjen Amirmachmud. Kepada ketiga jenderal itu, Pak Harto menyampaikan pesan, seandainya ia masih dipercaya agar Bung Karno menyerahkan pemulihan ketertiban dan keamanan kepada dirinya. Pesan itu disampaikan kepada Bung Karno di Istana Bogor, dan terjadilah proses penyusunan surat perintah, yang konon tidak mudah, meskipun akhirnya keluar naskah sebuah perintah, yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Super Semar).
Super Semar itu diserahkan kepada Pak Harto malam hari di Kostrad oleh ketiga jenderal itu. Langkah pertama, Pak Harto setelah menerima Super Semar itu adalah memerintahkan konsep surat keputusan pembubaran PKI. Sudharmono SH, yang waktu itu adalah asisten Ketua GV KOTI, Brigjen Sutjipto SH, menyatakan bahwa setelah keluarnya Super Semar itu, landasan hukum pembubaran PKI telah diperoleh. Dengan “bersiul”, kata Pak Dhar, sudah tidak ada keraguan lagi untuk mempersiapkan Surat Keputusan Pembubaran PKI (12 Maret 1966). Meskipun demikian, konsep Surat Keputusan Pembubaran PKI itu masih dikoreksi oleh Pak Harto. Dalam konsiderans surat keputusan itu, Pak Harto menambahkan (dengan tulisan tangan) untuk ditambah konsiderans dalam rangka mengamalkan Panca Azimat Revolusi (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia), sebagaimana telah dikemukakan di atas. Selain itu, juga dikeluarkan surat perintah pengamanan terhadap menteri-menteri Kabinet Dwikora yag diindikasikan terlibat G30S.
Setelah itu, MPRS bersidang. Jenderal Nasution terpilih sebagai Ketua MPRS, dengan salah satu wakilnya adalah Subchan Z.E., Ketua KAP Gestapu/Front Pancasila. Di sidang MPRS inilah untuk pertama kalinya, kebijakan Bung Karno digugat. Padahal, sidang MPRS sebelumnya telah mengangkat Bung Karno sebagai Presiden seumur hidup.
Dalam Sidan MPRS inilah berbagai keputusan yang strategis diambil, misalnya pengukuhan Super Semar menjadi TAP XI MPRS, pencabutan predikat presiden seumur hidup (TAP XVIII/MPRS), keputusan mengenai pembubaran PKI, pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh Indonesia, dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarluaskan Komunisme/Marxisme, Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya (TAP XXV/MPRS/1966) dan keputusan untuk mengkaji ajaran Bung Karno (TAP XVI/MPRS/1966), dimana pengemban Super Semar yang telah berubah menjadi pengemban TAP IX/MPRS, untuk bersama-sama Bung Karno membentuk Kabinet.
Keputusan-keputusan MPRS yang terkait dengan Bung Karno dan Pak Harto, merupakan jalan tengah di waktu itu. Sementera di Luar gedung MPR tuntutan terhadap penggantian kepemimpinan nasional sudah sangan gencar. Pak Harto ternyata tidak mempersiapkan diri untuk melangkah sejauh itu. Sebaliknya, kalangan dekat Pak Harto justru mempertanyakan, mengapa tokoh-tokoh yang dahulu dikenal sebagai sangat dekat dengan Bung Karno, berbalik begitu cepat?
Meskipun demikian, tuntutan terhadap Bung Karno tidak berhenti. Mahkamah Militer Luar Biasa yang digelar untuk mengadili tokoh-tokoh G30S dan PKI mengindikasikan, bahwa tidak mustahil Bung Karno juga terlibat dalam G30S. Bung karno, setidaknya diduga mengetahui peristiwa itu. Bung Karno tidak hanya dituntut untuk berhenti, tetapi juga dituntut untuk diadili Mahkamah Militer Luar Biasa.
Akhirnya, pada Bulan Januari 1967, DPR mengeluarkan resolusi untuk menyelenggarakan Sidang Umum Istimewa MPRS. Resolusi itu dikenal sebagai Resolusi Djamaludin Malik, seorang tokoh NU, oleh karena dialah penandatangan pertama. Dan pada bulan Maret, MPRS menyelenggarakan sidang istimewa. Suatu hal yang merupakan pengalaman baru bagi Indonesia. Peralihan kekuasaan negeri ini, secara bertahap. Sebab, Pak Harto baru sebagai “pejabat” Presiden. Toh dalam sidang istimewa MPRS di tahun 1967 itu, Pak Harto tidak menghendaki adanya ketetapan MPRS untuk mengadili Bung Karno. Melalui berbagai saluran dan bahkan beberapa anggota MPRS, Pak Harto menyatakan sikapnya untuk mencegah terbitnya Ketetapan MPRS untuk mengadili Bung Karno. Dan benar, Ketetetapan MPRS yang terkait dengan Bung Karno menyatakan bahwa masalah itu diserahkan pada pengemban Super Semar/TAP MPRS IX/1966. Disidang Istimewa MPRS inilah Bung Karno mengakhiri jabatannya selaku Presiden RI, sedangkan Pak Harto, masih baru diangkat sebagai Pejabat Presiden. Ketetapan itu termuat di dalam TAP XXIII/MPRS/1967. Dalam Ketetapan MPRS itu juga dinyatakan bahwa, Bung Karno dilarang melakukan kegiatan politik sampai pemilihan umum yang akan datang. Wajar, kalau seorang tokoh seperti Bung Karno, merasa dipenjara.
Dalam Buku otobiografi Pak Harto; Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (hal. 204) antara lain Pak Harto mengatakan, bahwa setelah menjabat Pejabat Presiden, Pak Harto masih membuka kemungkinan Bung Karno tetap menjadi presiden, asal bersikap tegas terhadap PKI. Suatu hal, yang nampaknya tidak mungkin dilakukan oleh Bung Karno. Padahal, pembubaran PKI adalah merupakan isu sentral tuntutan rakyat di waktu itu. Karena itu, akhirnya Pak Harto tidak mungkin lagi mengelak dari tuntutan rakyat dan mahasiswa yang telah lama menghendaki pergantian kepemimpinan itu, setelah MPRS mengeluarkan Ketetapan itu.
Khalayak dapat menyimpulkan (sendiri), apakah pergantian kekuasaan itu merupakan sebuah kudeta secara bertahap atau sebuah proses konstitusional biasa. Disinilah orang bisa terbelah. Kalangan yang dekat dengan Bung Karno menilai, bahwa semua itu adalah sebuah kudeta Pak Harto secara bertahap kepada Bung Karno. Sebaliknya, orang tidak bisa membayangkan, betapa sulitnya bagi Pak Harto di waktu itu untuk menyikapi perkembangan politik. Ia dihadapkan pada satu masalah yang sangat dilematis. Meskipun Pak Harto pada dasarnya loyal terhadap Bung Karno, arus deras politik menghendakinya segera mengambil alih kekuasaan. Suasana konflik sudah mencapai puncaknya. Suatu hal, yang juga disadari oleh Bung Karno. Sikap Bung Karno di waktu itu adalah mencerminkan sikap seorang negarawan sejati “Biarlah saya tenggelam, asal tidak terjadi pertumpahan darah di antara sesama bangsa ini”. Sebab, kekuatan pendukung Bung Karno, sebenarnya juga masih besar, termasuk di kalangan militer.
Seandainya Bung Karno bersedia membubarkan PKI, sebagaimana Bung Karno membubarkan Masyumi dan PSI di tahun 1960, perjalanan sejarah bangsa ini mungkin akan lain. Terlepas bahwa keanggotaan MPRS telah diubah, tokoh-tokoh yang dahulu ikut mengangkat Bung Karno sebagai presiden seumur hidup pun (1963), ternayta ikut menyetujui keluarnya ketetapan itu. Demikian juga rakyat, mahasiswa dan kekuatan politik lainnya, bahkan telah lama menghendaki pergantian itu. Perubahan inilah yang nampaknya kurang disadari oleh Bung Karno, sehingga berdampak kejatuhannya. Setahun kemudian (1968), Pak Harto ditetapkan sebagai Presiden Kedua. Sebuah proses konstitusional yang tidak mudah, yang masih membukan berbagai kritik sampai dewasa ini. Namun, dengan segala kekurangannya, itulah proses konstitusional yang dimiliki bangsa ini di waktu itu.
Quote:
Analisa III
G30S adalah Rekayasa Sukarno
Analisis/teori yang ketiga adalah, bahwa Gerakan 30 September merupakan rekayasa Bung Karno untuk menyingkirkan pimpinan TNI/Angkatan Darat (Achmad Yani dkk) dengan menggunakan Letkol Untung, Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa, pasukan pengawal pribadi Presiden. Digambarkan, apa yang dilakukan Letkol Untung adalah perintah Bung Karno.
Teori ini dilandasi oleh asumsi, bahwa TNI/Angkata Darat belum sepenuhnya mendukung kebijakan Bung Karno, baik dalam konfrontasi dengan Malaysia, maupun dengan berbagai isu politik yang dilontarkan Bung Karno, misalnya, Nasakomisasi di segala bidang, pembentukan Angkatan Kelima dan lain sebagainya.
Tujuannya, untuk menyingkirkan pimpinan TNI/Angkatan Darat. Suatu hal, yang sebenarnya sangat naif. Sebab, Bung Karno mengetahui, meskipun Jenderal Achmad Yani sering “membandel” dengan gagasan yang dilontarkan Bung Karno, Jenderal Achmad Yani adalah sangat loyal kepadanya. Bung Karno, bahkan membiarkan Achmad Yani bersikap seperti itu, dalam rangka menjaga keseimbangan politik yang diperankannya.
Dalam teori ini, dikesankan Bung Karno telah mengetahui terlebih dahulu rencana G30S, namun bukan maksud Bung Karno untuk membunuh para jenderal itu. Terbunuhnya para jenderal, sebenarnya di luar analisi/teori ini. Hal ini berarti, bahwa di luar pasukan yang bertugas menculik para jenderal, ada elemen lain yang bertindak sendiri di luar rencana. Bung Karno dikabarkan telah diberitahu adanya G30S, disaat Bung Karno berpidato di Istora Senayan pada Munas Teknik, 30 September malam oleh seorang utusan Letkol. Untung.
1. Bung Karno sangat berhati-hati dengan berbagai isu yang memicu terjadinya G30S, antara lain isu tentang Dewan Jenderal dan isu tentang Dokumen Gilchrist. Bung Karno melakukan pengecekan terhadap keberadaan kedua dokumen itu kepada Jenderal Achmad Yani, Bung Karno telah memperoleh penjelasan mengenai “our local army friends” sebagaimana dikatakan dalam Dokumen Gilchrist dari Jenderal Achmad Yani.
2. Pada tanggal 1 Oktober 1965, Bung Karno diagendakan menerima Jenderal Achmad Yani. Namun, pertemuan itu gagal, karena terjadi G30S. Di tengah isu Dewan Jenderal, sebagaimana dilaporkan juga oleh Brigjen Soegandhi setelah bertemu dengan D.N. Aidit dan Sudisman (27 september), pertemuan itu tidak mustahil juga untuk mengecek isu “Dewan Jenderal”. Bagi Jenderal Achmad Yani, kesempatan itu juga untuk melaporkan persiapan hari Angkatan Bersenjata RI, yang akan berlangsung pada tanggal 5 Oktober 1965, yang dikabarkan akan diselenggarakan dengan agak istimewa.
3. Apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober, sangat mengejutkan Bung Karno (complete overrompeling), Ketika sudah berada di air mancur Monas hendak ke Istana pada pagi hari tanggal 1 Oktober, Bung Karno tidak tahu persis apa yang sedang terjadi. Dan ketika tiba di rumah ibu Haryati memperoleh laporan dari Maulwi Saelan, Presiden terkejut dan menyimpulkan tidak boleh berlama-lama di kediaman ibu Haryati. Ada kebingungan hendak menyingkir ke mana, sehingga (semula) Bung Karno direncanakan menyingkir ke sebuah rumah di Jalan Wijaya Kebayoran Baru, sebelum akhirnya, atas prakarsa Bung Karno sendiri menentukan untuk ke Halim.
4. Ketika di Halim, Bung Karno menerima laporan Brigjen Supardjo, Bung Karno ternyata menolak untuk memberi dukungan pada G30S. Sikap Bung Karno inilah (antara lain) yang justru menjadi faktor gagalnya G30S.
5. Dekrit I Dewan Resolusi sangat jelas menggambarkan sebagai kudeta, sebab, Kabinet Dwikora di demisionerkan, dan nama Bung Karno tidak ada dalam susunan Dewan Revolusi, sementara Dewan Revolusi merupakan segala sumber segala kekuasaan.
6. Tidak benar, bahwa Bung Karno menerima laporan dari Letkol. Untung melalui seorang utusan, ketika sedang berada di Istora Senayan. Hal itu tidak mungkin dilakukan oleh siapapun, baik dari aspek protokoler maupun keamanan. Kesimpulan Bung Karno sudah mengetahui G30S adalah tidak benar.
7. Dari aspek sifat dan kepribadiannya, Bung Karno adalah seorang humanis, yang tidak mungkin menyetujui tindak kekerasan untuk mencapai ambisi pribadinya. Apalagi, hanya untuk menyingkirkan Jenderal Achmad Yani dkk. Sebab, posisi Bung Karno di saat itu, dapat dikatakan sangat kuat. Baik PKI maupun TNI/Angkatan Darat, sangat bergantung kepada Bung Karno.
Dengan kenyataan sebagaimana dikemukakan di atas, teori G30S merupakan rekayasa Bung Karno tidak mempunyai dasar yang kuat.
G30S adalah Rekayasa Sukarno
Analisis/teori yang ketiga adalah, bahwa Gerakan 30 September merupakan rekayasa Bung Karno untuk menyingkirkan pimpinan TNI/Angkatan Darat (Achmad Yani dkk) dengan menggunakan Letkol Untung, Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa, pasukan pengawal pribadi Presiden. Digambarkan, apa yang dilakukan Letkol Untung adalah perintah Bung Karno.
Teori ini dilandasi oleh asumsi, bahwa TNI/Angkata Darat belum sepenuhnya mendukung kebijakan Bung Karno, baik dalam konfrontasi dengan Malaysia, maupun dengan berbagai isu politik yang dilontarkan Bung Karno, misalnya, Nasakomisasi di segala bidang, pembentukan Angkatan Kelima dan lain sebagainya.
Tujuannya, untuk menyingkirkan pimpinan TNI/Angkatan Darat. Suatu hal, yang sebenarnya sangat naif. Sebab, Bung Karno mengetahui, meskipun Jenderal Achmad Yani sering “membandel” dengan gagasan yang dilontarkan Bung Karno, Jenderal Achmad Yani adalah sangat loyal kepadanya. Bung Karno, bahkan membiarkan Achmad Yani bersikap seperti itu, dalam rangka menjaga keseimbangan politik yang diperankannya.
Dalam teori ini, dikesankan Bung Karno telah mengetahui terlebih dahulu rencana G30S, namun bukan maksud Bung Karno untuk membunuh para jenderal itu. Terbunuhnya para jenderal, sebenarnya di luar analisi/teori ini. Hal ini berarti, bahwa di luar pasukan yang bertugas menculik para jenderal, ada elemen lain yang bertindak sendiri di luar rencana. Bung Karno dikabarkan telah diberitahu adanya G30S, disaat Bung Karno berpidato di Istora Senayan pada Munas Teknik, 30 September malam oleh seorang utusan Letkol. Untung.
1. Bung Karno sangat berhati-hati dengan berbagai isu yang memicu terjadinya G30S, antara lain isu tentang Dewan Jenderal dan isu tentang Dokumen Gilchrist. Bung Karno melakukan pengecekan terhadap keberadaan kedua dokumen itu kepada Jenderal Achmad Yani, Bung Karno telah memperoleh penjelasan mengenai “our local army friends” sebagaimana dikatakan dalam Dokumen Gilchrist dari Jenderal Achmad Yani.
2. Pada tanggal 1 Oktober 1965, Bung Karno diagendakan menerima Jenderal Achmad Yani. Namun, pertemuan itu gagal, karena terjadi G30S. Di tengah isu Dewan Jenderal, sebagaimana dilaporkan juga oleh Brigjen Soegandhi setelah bertemu dengan D.N. Aidit dan Sudisman (27 september), pertemuan itu tidak mustahil juga untuk mengecek isu “Dewan Jenderal”. Bagi Jenderal Achmad Yani, kesempatan itu juga untuk melaporkan persiapan hari Angkatan Bersenjata RI, yang akan berlangsung pada tanggal 5 Oktober 1965, yang dikabarkan akan diselenggarakan dengan agak istimewa.
3. Apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober, sangat mengejutkan Bung Karno (complete overrompeling), Ketika sudah berada di air mancur Monas hendak ke Istana pada pagi hari tanggal 1 Oktober, Bung Karno tidak tahu persis apa yang sedang terjadi. Dan ketika tiba di rumah ibu Haryati memperoleh laporan dari Maulwi Saelan, Presiden terkejut dan menyimpulkan tidak boleh berlama-lama di kediaman ibu Haryati. Ada kebingungan hendak menyingkir ke mana, sehingga (semula) Bung Karno direncanakan menyingkir ke sebuah rumah di Jalan Wijaya Kebayoran Baru, sebelum akhirnya, atas prakarsa Bung Karno sendiri menentukan untuk ke Halim.
4. Ketika di Halim, Bung Karno menerima laporan Brigjen Supardjo, Bung Karno ternyata menolak untuk memberi dukungan pada G30S. Sikap Bung Karno inilah (antara lain) yang justru menjadi faktor gagalnya G30S.
5. Dekrit I Dewan Resolusi sangat jelas menggambarkan sebagai kudeta, sebab, Kabinet Dwikora di demisionerkan, dan nama Bung Karno tidak ada dalam susunan Dewan Revolusi, sementara Dewan Revolusi merupakan segala sumber segala kekuasaan.
6. Tidak benar, bahwa Bung Karno menerima laporan dari Letkol. Untung melalui seorang utusan, ketika sedang berada di Istora Senayan. Hal itu tidak mungkin dilakukan oleh siapapun, baik dari aspek protokoler maupun keamanan. Kesimpulan Bung Karno sudah mengetahui G30S adalah tidak benar.
7. Dari aspek sifat dan kepribadiannya, Bung Karno adalah seorang humanis, yang tidak mungkin menyetujui tindak kekerasan untuk mencapai ambisi pribadinya. Apalagi, hanya untuk menyingkirkan Jenderal Achmad Yani dkk. Sebab, posisi Bung Karno di saat itu, dapat dikatakan sangat kuat. Baik PKI maupun TNI/Angkatan Darat, sangat bergantung kepada Bung Karno.
Dengan kenyataan sebagaimana dikemukakan di atas, teori G30S merupakan rekayasa Bung Karno tidak mempunyai dasar yang kuat.
0
10.2K
Kutip
25
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan