- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Menyelisik Penuntasan Kasus Pidana
TS
faktapajak
Menyelisik Penuntasan Kasus Pidana
Iklan layanan masyarakat berjudul Penyelesaian Kasus Tindak Pidana di Bidang Perpajakan di harian Kompas, 13 Mei 2013, cukup menarik. Terutama ketika bagian dari iklan tersebut menyajikan kasus Asian Agri yang telah diputus Mahkamah Agung (MA) pada 18 Desember 2012. Undang-Undang (UU) Perpajakan memang menyatakan wajib pajak (WP) yang mengisi surat pemberitahuan (SPT) tidak benar akan dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 39 UU No 6 Tahun 1983 yang diubah dengan UU No 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Menjadi lebih menarik jika iklan tersebut dimaksudkan memberi informasi kepada publik sekaligus memberi peringatan akan bahaya jika WP tidak mengisi SPT dengan benar. Ancaman pidana akan selalu mengintip WP yang mengisi SPT tidak benar. Persoalan administrasi pajak yang ditarik ke ranah pidana patut dikaji dan didalami sesuai dengan filosofi pungutan pajak itu sendiri.
Dalam kasus Asian Agri, misalnya, putusan MA menggunakan doktrin vicarious liability yang menekankan adanya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi atas perbuatan atau perilaku terdakwa (Suwir Laut) sebagai personifikasi dari korporasi yang diwakilinya. Doktrin yang diterapkan MAseakan menjadi terobosan hukum memutus persoalan pungutan pajak. Namun, MA sendiri meragukan doktrin itu. Dalam putusan MA juga dinyatakan MA menyadari gagasan menuntut pertanggungjawaban pidana korporasi belum diterima seutuhnya karena korporasi dalam perkara tersebut tidak didakwakan.
Atas dasar doktrin itu, MA memutuskan Asian Agri bersalah telah melakukan tindak pidana menyampaikan SPT yang isinya tidak benar dan wajib membayar denda dua kali pajak terutang sebesar Rp2,S19 triliun, atau 2 x Rpl,259 triliun
Yang menjadi persoalan apakah pandangan hukum MA sudah mencerminkan rasa keadilan dalam proses pungutan pajak? Apakah putusan MA telah mempertimbangkan pada pemahaman filosofi pungutan pajak yang sejak semula tidak dimaksudkan memidana wajib pajak?
Pertanyaan menarik lainnya, bagaimana cara menagih denda sebesar Rp2,519 triliun itu agar bisa dilakukan pemerintah? Apakah untuk menegaskan besarnya pajak terutang bisa dilakukan atas dasar putusan MA dan bukan atas dasar surat ketetapan pajak? Apakah UU Pajak memungkin kan fungsi MA-membuat perhitungan besaran pajak terutang yang harus dilunasi WP?
Sebelum terbit putusan MA, penuntasan pungutan pajak selama ini diselesaikan melalui jalur (hukum) administrasi. Dalam amatan penulis, kasus pajak Asian Agri yang dituntaskan melalui jalur (hukum) pidana sekaligus administrasi menjadi yang pertama dalam konteks membayar utang pajak. Padahal untuk kasus serupa seperti kasus pajak Paulus Tumewu beberapa waktu lalu, penyelesaian dituntaskan melalui jalur administrasi.
Sifat memaksa
Ketika pemerintah hendak menagih utang pajak, persoalan hukum yang timbul ialah apakah persoalan menagih utang pajak merupakan persoalan administrasi atau persoalan pidana? Harus dipahami bahwa pajak merupakan pungutan yangmerupakan hak negara. Karena itu, dalam pajak terdapat sifat memaksa. Sifat memaksa pajak sejak awal terlihat dengan ancaman akan disitanya harta benda yang dimiliki WP untuk melunasi utang pajaknya.
Sejarah mencatat harta benda (ternak, atau hasil panen padi, dan harta benda lain) yang dimiliki seseorang yang tidak membayar pajak akan diambil untuk kepentingan pemerintah/negara. Jadi, sejarah pemungutan pajak sedari awal tidak dimaksudkan memenjarakan orang.<br /><br />Urgensi sejarah pungutan pajak tidak pernah menjelaskan adanya cara pidana (penjara) ketika seseorang tidak membayar pajak. Oleh karena itu, putusan MA menuntaskan kasus pidana pajak menjadi kerancuan yang sulit dipahami.
Berbagai literatur menyebutkan pajak merupakan bagian dari hukum administrasi yang merupakan segenap peraturan yang mengatur segala cara kerja dan pelaksanaan serta wewenang dari lembaga- lembaga negara serta aparaturnya dalam melaksanakan tugas administrasi negara.
Menarik ranah pidana ke dalam hukum administrasi pajak menjadi kerancuan hukum. Jika kita berpikir jernih, terlihat jelas kepentingan pidana dikaitkan dengan pajak jauh berbeda dengan kepentingan administrasi.
Kepentingan pidana ialah memberikan derita fisik. Sebaliknya, administrasi pajak hanya menuntut pembayaran pajak dari harta benda yang dimiliki seseorang. Kalau sebagian kalangan berpendapat bahwa sanksi administrasi lebih ringan daripada pidana, sangat keliru. Sebaliknya, penerapan sanksi administrasi jauh lebih berat daripada pidana. Mochtar Kusumaatmadja (Pengantar Ilmu Hukum, 2000) pun memiliki pan-dangan sama bahwa penerapan pidana sebagai satu-satunya bentuk sanksi hukum yang mengidentikkan penegakan hukum dengan penindakan kurang tepat. Hal ini disebabkan pengertian yang terlalu sempit yang menekankan sifat hukum yang memaksa. Padahal ada segi hukum lain yang tidak kalah penting yang bersifat mengatur, yaitu berbentuk sanksi perdata dan sanksi administratif.
Dalam UU Pajak ditegaskan pungutan pajak dilakukan berlandaskan sistem pemungutan yang diberi nama self-assessment system, yang memberikan kepercayaan penuh kepada WP memenuhi kewajibannya dengan menghitung, memperhitungkan, membayar, dtrn melapor-kan sendiri besarnya pajak terutang ke kantor pajak. Dengan kata lain, setiap orang harus bayar pajak yang menjadi kewajiban masing-masing menurut perhitungan masing-masing sendiri Lalu, bagaimana kalau bayar pajak, tetapi tidak benar? UU sudah memberikan jawabannya, yaitu bisa dilakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan Pasal 29 UUKUP.
Jika WP melakukan rekayasa keuangan untuk mengecilkan pajak, terhadap WP bukan dilakukan penyidikan, melainkan dilakukan pemeriksaan untuk menghitung utang pajak yang sebenarnya lalu diterbitkan surat ketetapan pajak sebagai dasar untuk menagih. Sebaliknya, jika tidak ada SKPKB, tidak ada dasar bagi WP membayar pajak.
Dengan begitu, pemerintah tidak bisa menagih utang pajak berdasarkan putusan MA. Putusan MA hanya merupakan putusan yang menegaskan adanya unsur pidana dalam proses penghitungan pajak. Pasal 12 PP 74/2011 menegaskan dalam hal pemeriksaan ditindaklanjuti dengan pemeriksaan bukti permulaan, pemeriksaan ditangguhkan sampai putusan pengadilan telah punya kekuatan hukum tetap dan salinan putusan telah diterima Dirjen Pajak.
Pemerintah harus melakukan pemeriksaan untuk menghitung utang pajak Asian Agri. Dari analisis tersebut tergambar bahwa penuntasan kasus pajak menginginkan penyelesaian dengan cara administrasi, bukan pidana. Bila WP tetap tidak mau bayar pajak, akan dipaksa menggunakan instrumen UU Penagihan 19/2000. Atas dasar UU itu. WP bisa dipenjarakan dalam konteks hukum administrasi. Karena itu, lebih baik jika pemerintah memperhatikan filosofi pungutan pajak yang sejak semula tidak dimaksudkan memidana WP. Pidana yang dilakukan WP harus dilihat dari pengertian pidana umum dan bukan dikaitkan dengan persoalan pembayaran pajak.
Menjadi lebih menarik jika iklan tersebut dimaksudkan memberi informasi kepada publik sekaligus memberi peringatan akan bahaya jika WP tidak mengisi SPT dengan benar. Ancaman pidana akan selalu mengintip WP yang mengisi SPT tidak benar. Persoalan administrasi pajak yang ditarik ke ranah pidana patut dikaji dan didalami sesuai dengan filosofi pungutan pajak itu sendiri.
Dalam kasus Asian Agri, misalnya, putusan MA menggunakan doktrin vicarious liability yang menekankan adanya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi atas perbuatan atau perilaku terdakwa (Suwir Laut) sebagai personifikasi dari korporasi yang diwakilinya. Doktrin yang diterapkan MAseakan menjadi terobosan hukum memutus persoalan pungutan pajak. Namun, MA sendiri meragukan doktrin itu. Dalam putusan MA juga dinyatakan MA menyadari gagasan menuntut pertanggungjawaban pidana korporasi belum diterima seutuhnya karena korporasi dalam perkara tersebut tidak didakwakan.
Atas dasar doktrin itu, MA memutuskan Asian Agri bersalah telah melakukan tindak pidana menyampaikan SPT yang isinya tidak benar dan wajib membayar denda dua kali pajak terutang sebesar Rp2,S19 triliun, atau 2 x Rpl,259 triliun
Yang menjadi persoalan apakah pandangan hukum MA sudah mencerminkan rasa keadilan dalam proses pungutan pajak? Apakah putusan MA telah mempertimbangkan pada pemahaman filosofi pungutan pajak yang sejak semula tidak dimaksudkan memidana wajib pajak?
Pertanyaan menarik lainnya, bagaimana cara menagih denda sebesar Rp2,519 triliun itu agar bisa dilakukan pemerintah? Apakah untuk menegaskan besarnya pajak terutang bisa dilakukan atas dasar putusan MA dan bukan atas dasar surat ketetapan pajak? Apakah UU Pajak memungkin kan fungsi MA-membuat perhitungan besaran pajak terutang yang harus dilunasi WP?
Sebelum terbit putusan MA, penuntasan pungutan pajak selama ini diselesaikan melalui jalur (hukum) administrasi. Dalam amatan penulis, kasus pajak Asian Agri yang dituntaskan melalui jalur (hukum) pidana sekaligus administrasi menjadi yang pertama dalam konteks membayar utang pajak. Padahal untuk kasus serupa seperti kasus pajak Paulus Tumewu beberapa waktu lalu, penyelesaian dituntaskan melalui jalur administrasi.
Sifat memaksa
Ketika pemerintah hendak menagih utang pajak, persoalan hukum yang timbul ialah apakah persoalan menagih utang pajak merupakan persoalan administrasi atau persoalan pidana? Harus dipahami bahwa pajak merupakan pungutan yangmerupakan hak negara. Karena itu, dalam pajak terdapat sifat memaksa. Sifat memaksa pajak sejak awal terlihat dengan ancaman akan disitanya harta benda yang dimiliki WP untuk melunasi utang pajaknya.
Sejarah mencatat harta benda (ternak, atau hasil panen padi, dan harta benda lain) yang dimiliki seseorang yang tidak membayar pajak akan diambil untuk kepentingan pemerintah/negara. Jadi, sejarah pemungutan pajak sedari awal tidak dimaksudkan memenjarakan orang.<br /><br />Urgensi sejarah pungutan pajak tidak pernah menjelaskan adanya cara pidana (penjara) ketika seseorang tidak membayar pajak. Oleh karena itu, putusan MA menuntaskan kasus pidana pajak menjadi kerancuan yang sulit dipahami.
Berbagai literatur menyebutkan pajak merupakan bagian dari hukum administrasi yang merupakan segenap peraturan yang mengatur segala cara kerja dan pelaksanaan serta wewenang dari lembaga- lembaga negara serta aparaturnya dalam melaksanakan tugas administrasi negara.
Menarik ranah pidana ke dalam hukum administrasi pajak menjadi kerancuan hukum. Jika kita berpikir jernih, terlihat jelas kepentingan pidana dikaitkan dengan pajak jauh berbeda dengan kepentingan administrasi.
Kepentingan pidana ialah memberikan derita fisik. Sebaliknya, administrasi pajak hanya menuntut pembayaran pajak dari harta benda yang dimiliki seseorang. Kalau sebagian kalangan berpendapat bahwa sanksi administrasi lebih ringan daripada pidana, sangat keliru. Sebaliknya, penerapan sanksi administrasi jauh lebih berat daripada pidana. Mochtar Kusumaatmadja (Pengantar Ilmu Hukum, 2000) pun memiliki pan-dangan sama bahwa penerapan pidana sebagai satu-satunya bentuk sanksi hukum yang mengidentikkan penegakan hukum dengan penindakan kurang tepat. Hal ini disebabkan pengertian yang terlalu sempit yang menekankan sifat hukum yang memaksa. Padahal ada segi hukum lain yang tidak kalah penting yang bersifat mengatur, yaitu berbentuk sanksi perdata dan sanksi administratif.
Dalam UU Pajak ditegaskan pungutan pajak dilakukan berlandaskan sistem pemungutan yang diberi nama self-assessment system, yang memberikan kepercayaan penuh kepada WP memenuhi kewajibannya dengan menghitung, memperhitungkan, membayar, dtrn melapor-kan sendiri besarnya pajak terutang ke kantor pajak. Dengan kata lain, setiap orang harus bayar pajak yang menjadi kewajiban masing-masing menurut perhitungan masing-masing sendiri Lalu, bagaimana kalau bayar pajak, tetapi tidak benar? UU sudah memberikan jawabannya, yaitu bisa dilakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan Pasal 29 UUKUP.
Jika WP melakukan rekayasa keuangan untuk mengecilkan pajak, terhadap WP bukan dilakukan penyidikan, melainkan dilakukan pemeriksaan untuk menghitung utang pajak yang sebenarnya lalu diterbitkan surat ketetapan pajak sebagai dasar untuk menagih. Sebaliknya, jika tidak ada SKPKB, tidak ada dasar bagi WP membayar pajak.
Dengan begitu, pemerintah tidak bisa menagih utang pajak berdasarkan putusan MA. Putusan MA hanya merupakan putusan yang menegaskan adanya unsur pidana dalam proses penghitungan pajak. Pasal 12 PP 74/2011 menegaskan dalam hal pemeriksaan ditindaklanjuti dengan pemeriksaan bukti permulaan, pemeriksaan ditangguhkan sampai putusan pengadilan telah punya kekuatan hukum tetap dan salinan putusan telah diterima Dirjen Pajak.
Pemerintah harus melakukan pemeriksaan untuk menghitung utang pajak Asian Agri. Dari analisis tersebut tergambar bahwa penuntasan kasus pajak menginginkan penyelesaian dengan cara administrasi, bukan pidana. Bila WP tetap tidak mau bayar pajak, akan dipaksa menggunakan instrumen UU Penagihan 19/2000. Atas dasar UU itu. WP bisa dipenjarakan dalam konteks hukum administrasi. Karena itu, lebih baik jika pemerintah memperhatikan filosofi pungutan pajak yang sejak semula tidak dimaksudkan memidana WP. Pidana yang dilakukan WP harus dilihat dari pengertian pidana umum dan bukan dikaitkan dengan persoalan pembayaran pajak.
0
1.2K
3
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan