Kaskus

News

dragonroarAvatar border
TS
dragonroar
Permusuhan China-Jepang
Tidak banyak ekonomi dan masyarakat di dunia yang lebih saling mengisi dibandingkan antara China dan Jepang. Masyarakat China relatif muda, miskin, dan gelisah, dan sangat berkomitmen dengan pertumbuhan ekonomi. Masyarakat Jepang relatif tua dan mapan, tetapi maju secara teknologi dan berjuang untuk memelihara standar hidup mereka yang tinggi. Kedekatan tampaknya akan membuat kedua bangsa secara ideal hidup dengan saling menguntungkan.

Namun Jepang takut dengan kebangkitan China, karena ekonomi China jauh lebih dinamis dibandingkan Jepang. Dan China terganggu oleh Jepang, karena pulau miliknya tampak seperti kapal induk Amerika yang tidak dapat ditenggelamkan tak jauh dari pantainya.

Tahun lalu, kaum nasionalis dari kedua negara terlibat perang mulut terkait kepulauan yang dipersengketakan yang oleh Jepang disebut Senkaku dan Diaoyu oleh China. Perdana menteri baru Jepang beraliran kanan, Shinzo Abe, telah memperingatkan para pemimpin China dengan seruannya untuk meninjau ulang komitmen negaranya kepada pasifisme, yang diberlakukan berdasarkan konstitusi pasca Perang Dunia oleh Amerika, dan untuk membuat kurikulum di sekolah-sekolah lebih mengekspos nasionalisme.

Bayangan sejarah yang panjang terus menghantui hubungan kedua negara. Di Asia, Perang Dunia II dimulai tahun 1937 ketika muncul perang China-Jepang, jutaan orang China tewas sebagai hasil ekspansi Jepang. Tetapi hal itu tidak menjelaskan mengapa kaum muda di China dan Jepang hari-hari ini lebih bersikap saling bermusuhan antara satu dengan yang lain dibandingkan leluhur mereka -bahkan tak lama sesudah perang selesai- waktu itu.

Penjelasan Sesungguhnya

Penjelasan sesungguhnya dapat diketahui jauh ke belakang. Kebangkitan Jepang di akhir abad ke-19 terlihat sebagai sebuah penghinaan oleh China, yang selalu memposisikan diri sebagai payung kepemimpinan regional. Mao Zedong dan Partai Komunis China mengadopsi pandangan-pandangan ini dan mewariskannya kepada penerus-penerus mereka.

Maka dari itu kebanyakan orang China hari ini memandang kemakmuran Jepang, dan posisinya sebagai sekutu utama Amerika Serikat di Asia, sebagai kekalahan mereka. Bahkan ketika negeri China dalam keadaan terlemah, di akhir abad 19 dan awal abad 20, elit-elit negeri merasa bahwa Konfusianisme yang telah diekspor China ke negara-negara kunci yang bertetangga -Korea,Jepang dan Vietnam- merupakan akar dari sebuah kesamaan budaya. Negara-negara lain di "zona Konfusius" seharusnya mau menerima kepemimpinan natural China.

Kebijakan-kebijakan Beijing di Laut China Selatan masa kini menggambarkan kebijakan dinasti Qing, dinasti terakhir yang memerintah China, di akhir abad 18. Kaisar saat itu, Qianlong, senang memberi titah kepada "negeri-negeri satelit" di selatan seakan-akan seperti seorang ayah memerintah anak-anaknya. Pemimpin China saat ini, yang memaksakan pengaruh mereka di negara-negara seperti Vietnam dan Laos, merefleksikan sikap sang kaisar.

Tampaknya tetangga-tetangga China tidak akan senang dengan hal ini seperti yang sudah-sudah. Qianlong terlibat dalam perang di Vietnam tahun 1780-an yang benar-benar membuat kekaisarannya terpuruk. Sejak itu, negara-negara di kawasan mengalami gelombang nasionalisme menurut gaya mereka sendiri, seringkali sebagai respon terhadap kolonialisme Barat.

Indonesia, negeri berpenduduk 248 juta, pun tidak memandang dirinya sebagai "negara kecil", bahkan dibandingkan dengan raksasa seperti China. Negara tersebut berupaya untuk melawan pengaruh China kecuali China mengubah sikap dan kebijakannya.

Jepang sendiri bimbang antara mengakomodasi China dan bersaing dengannya. Meskipun imperialisme Jepang sudah berlalu, sebagian dari pendirian yang mencetuskan imperialisme tersebut masih terus hidup.

Abe, cucu seorang mantan perdana menteri yang dipandang oleh banyak orang China sebagai penjahat perang, tampaknya menjelmakan pendirian tersebut. Meskipun kebanyakan orang Jepang menyadari pentingnya perdagangan dan investasi di China, keamanan nasional pada saat ini terlihat lebih penting.

Dosa-dosa Jepang yakni kelalaiannya dalam menyelesaikan persoalan masa lalu telah merintangi kebijakan luar negerinya saat ini, tetapi kesalahan-kesalahan itu sangat tidak berarti dibandingkan klaim historis China atas hegemoni regional dan bentuk baru nasionalisme anti-Jepang yang mematikan serta disponsori oleh negara. Sedihnya, sikap chauvinis ini tampaknya tidak akan berubah di bawah kepemimpinan Komunis baru yang telah dilantik bulan November.

Bahkan bahasa diplomatik China sendiri mempertegas sikap partai yang condong pada sejarah dibandingkan dengan kepentingan-kepentingan masa kini yang kritis, dan bahasa tersebut mengasumsikan bahwa hanya ada satu suara dalam hubungan internasional - biasanya milik China - yang benar.

China saat ini akan lebih memperoleh banyak manfaat dari kerjasama dengan Jepang dibandingkan dari konflik. Mengungkit-ungkit kesalahan-kesalahan masa lalu dan memanas-manasi sengketa atas kepulauan tersebut hanya memberi sedikit keuntungan. Jika China menjadi kekuatan yang paling berkuasa di kawasan, Ia hanya dapat melakukannya bersama Jepang, dan tidak dengan melawannya.

Sebagaimana telah didemonstrasikan oleh Perancis dan Jerman, persepsi dapat berubah ketika hal itu disinergikan dengan kepentingan nasional. Tetapi mengubah cara berpikir Beijing dari sistem kelas menjadi kerjasama akan membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan sebuah pemahaman bijak tentang kepentingan-kepentingan nasional. Para pemimpin China saat ini belum menunjukkan harapan yang signifikan bagi kedua hal tersebut.

sumber
0
16.3K
34
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan