Kaskus

News

bung007akbarAvatar border
TS
bung007akbar
TNI Bertekad Redam Guncangan Politik
Pada era masa lalu, stabilitas terkawal dengan baik, karena negara memiliki instrumen yang kuat untuk mengendalikannya melalui UU No II/PNPS Tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi yang telah di cabut. Konsekuensinya, keterbukaan menjadi barang mahal bagi rakyat Indonesia. Sebaliknya dalam era reformasi seperti saat ini, keterbukaan telah dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia secara luas dan bahkan tanpa batas. Dalam bahasa sehari-hari kita juga sering mendengar bahwa keterbukaan tersebut sudah dianggap “kebablasan”.
Meski begitu, masih juga ada yang belum puas atas kondisi ini. Pada sisi lain, sungguh tidak mudah untuk ditegakkan karena instrumen yang digunakan sebagai alat kendali tidak lagi sekuat seperti masa lalu. Pada era demokrasi yang diwarnai oleh kebebasan yang sangat longgar, justru sering memunculkan tindakan-tindakan anarkis, karena batas antara demokrasi dan anarkis menjadi tipis. Sekelompok masa yang merasa lebih kuat, misalnya, melalui dalih demokrasi, menjadi gampang melakukan penekanan dengan kekerasan kepada kelompok lainnya.
Keterbukaan politik yang melahirkan desentralisasi dan otonomi seluas-luasnya, pada prakteknya juga melahirkan persoalan baru yang tidak mudah diatasi, yaitu melemahnya kontrol pusat dan daerah. Fenomena dan realitas politik seperti yang tergambarkan tersebut mengakibatkan negara bisa menjadi lemah. Keterbukaan, menurut Ian Bremmer, penulis buku The J Curve , sejatinya dapat diukur melalui sejauh mana sebuah negara selaras dengan arus-arus globalisasi yang saling sengkarut. terutama yang menyangkut sebuah proses ketika orang, gagasan, informasi, barang-barang, dan jasa melintasi batas-batas antar negara dengan kecepatan yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Di negara kita saat ini, gagasan-gagasan yang dulu terlarang, karena faktor ideologi, dengan mudah dapat dijumpai di toko-toko buku. Merujuk dalam keterbukaan aliran informasi, dengan mudah pula sesama warganegara saling berkomunikasi untuk meyalurkan gagasan-gagasannya, melalui berbagai media, terutama media sosial, baik yang bernilai positif atau negatif, masyarakat dengan gampang menyalurkan naluri keingintahuannya karena keterbukaan juga menuntut tersedianya alat kontrol yang disebut tranparansi. Rakyat saat ini sangat mudah mengontrol kebijakan pemerintah, sebaliknya pemerintah pun juga dengan cepat bisa bereaksi untuk memenuhi keinginan rakyatnya. Sulit rasanya di era keterbukaan ini untuk menyimpan kebohongan.
Keterbukaan juga mengandung konsekuensi menimbulkan guncangan, dan guncangan ini bisa berakibat melahirkan ketidakstabilan bila sebuah negara tak mampu meredamnya. Sebuah negara tanpa kestabilan adalah sebuah negara yang gagal, karena negara tersebut tidak mampu menerapkan atau menegakkan kebijakan pemerintahan. Negera seperti ini, menurut Ian Bremmer, dapat terpecah belah, dapat direbut dan dikuasai oleh kekuatan dari luar, atau terjerumus ke dalam situasi serba kacau (chaos).
Melihat studi kasus disintegrasi Uni Soviet tahun 1985-1995, dan membandingkannya dengan kasus unifikasi Italia tahun 1860-1970, Tarrow , menyampaikan bahwa pada disinetgrasi dan integrasi terjadi mengikuti sebuah mekanisme, yang melibatkan empat tahapan.Pertama, tahap spiral of opportunity adalah ketika struktur negara yang lama kolaps, ketersediaan sumber daya baru, dan kekhawatiran bahwa pihak lain akan menguasai sumber daya tersebut. Pada kasus Uni Soviet, spirals tersebut berupa kolapsnya struktur dan kontrol pusat negara Uni Soviet yang diikuti oleh gerakan mencari dukungan eksternal berupa rent-seeking dan profit-taking. Selain itu, muncul tuntutan-tuntutan dari penguasa regional untuk memperoleh otonomi.Akhirnya, sumber daya yang tersedia digunakan oleh pihak manapun yang dapat memanfaatkannya.
Kedua, tahap competition between claimants Uni Soviet, dimana terjadi kompetisi untuk memperoleh dukungan ekonomi dan politik eksternal dan kompetisi untuk menguasai asset dan organisasi yang sebelumnya berada di bawah kendali pemerintah. Ketiga, tahap identity shift adalah tahapan dimana aktor-aktor sosial mengadopsi identitas yang bertransfromasi atau sama sekali baru dan menemukan afiliasi baru di tengah kemunculan kesempatan (spirals of opportunity) dan kompetisi (competition between claimants). Pada kasus Uni Soviet, perubahan identitas terjadi pada kelompok yang selama ini mengidentifikasi diri sebagai bagian dari Partai Komunis yang memiliki kontrol luas, menjadi identitas etnik.Keempat, tahap brokerage terjadi ketika sekelompok orang menjadi penghubung antara dua kelompok yang terpisah selama proses disintegrasi, yaitu kelompok yang ingin mempertahankan status quo dan mereka yang ingin mengubah status quo.
Kasus Yugoslavia, menurut pandangan konvensional yang didirikan pada awal abad kesepuluh, terbentuk dengan perencanaan yang buruk, sehingga membenci hidup bersama dalam keselarasan yang dipaksakan.Bangsa-bangsa Yugoslavia kawasan selatan sudah saling berperang sejak abad pertengahan,hanya penguasa Josip Broz Tito, berhasil mengendalikan kelompok-kelompok etnis dan religius dan memaksa mereka mengikuti aturan. Ketika Tito wafat tahun 1980, maka terbuktilah pandangan tersebut, sehingga tanpa dapat dihindari negara ini terjerumus kedalam kekacauan yang disertai kekerasan. Negara inipun akhirnya terpecah belah menjadi Serbia, Kroasia, Bosnia Herzegovina, Solvenia, Macedonia, dan Montenegro.
Menurut James J Coleman dan Carl G Rosberg, Rupert Emerson dan KH Silvert, integrasi politik dilihat sebagai suatu bagian dari integrasi nasional dengan dua dimensi yaitu vertikal dan horisontal. Integrasi politik bersifat vertikal dan bertujuan untuk menjembatani perbedaan yang ada antara elit dan massa, dalam rangka pengembangan suatu proses politik dan masyarakat politik yang berpasrtisipasi.Sementara integrasi territorial adalah integrasi horizontal untuk mengurangi diskontinuitas dan ketegangan kultur kedaerahan dalam rangka proses penciptaan suatu masyarakat politik yang homogen.
Pengertian integrasi politik dan integrasi territorial terlalu banyak memusatkan diri pada arah dan tujuan integrasi. Dalam hal ini integrasi politik yang di integrasikan adalah unsur elit dan massa, yakni menghilangkan perbedaan yang ada pada kelompok yang berpengaruh dan yang dipengaruhi, sementara dalam integrasi teritorial, wilayahnya yang dipersatukan. Jika melihat pada proses integrasi yang sedang berlangsung, banyak unsure lain yang mempengaruhi dan menentukan adanya celah elit massa dan perbedaan territorial, yaitu unsur politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Integrasi adalah suatu proses, sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi proses integrasi menentukan proses integrasi itu sendiri. Kita dapat membedakan proses integrasi politik, integrasi ekonomi, integrasi sosial, dan integrasi budaya. Integrasi politik,menurut Conny Rahakundini, melibatkan dua hal. Pertama, bagaimana membuat rakyat tunduk dan patuh pada tuntutan negara. Kedua, bagaimana meningkatkan consensus yang mengatur tingkah laku politik anggota masyarakat.
Sementara William Liddle mengidentifikasikan dua jenis halangan integrasi yang dihadapi Indonesia. Pertama, secara horizontal, dalam arti konfigurasi etnis, agama, dan geografi, Indonesia memang bukan suatu negeri yang terpadu dengan ketat atau heterogen etnis dan bahasa yang berbeda., dimana diantara suku-suku memiliki rasa kesukuan dan identitas politik yang sangat kuat.Kedua, meskipun Islam adalah agama yang paling banyak penganutnya, intensitas yang tidak merata dalam penyebarannya meninggalkan pembelahan dalam masyarakat Islam itu sendiri.
Selain itu, terdapat celah yang besar antara kaum elit dan massa.Adanya latar belakang sosial kultural ini menumbuhkan jurang komunikasi antara kedua strata, baik dalam arti perbedaan kepentingan maupun perbedaan pola pikir. Ideologi ataupun ikatan primordial menghubungkan elit dengan massa dan menjembatani sebagian perbedaan yang ada.
Tetapi gejala integratif ini pun masih mengandung bobot disintegrative dikarenakan para pemimpin cenderung untuk memanfaatkan hubungan vertical ketika perpecahan berkembang menjadi konflik.Sehingga membuahkan output yang disiintegratif. Bagi Indonesia yang telah mampu mengelola stabilitas dan keterbukaan, akan mengalami konsekuensi-konsekuensi baru, bila stabilitas keterbukaan tidak dikelola dengan baik, karena kedua hal tersebut bersifat sangat dinamis.Tidak ada negara, stabil atau tidak stabil, yang memiliki kemampuan untuk mencegah terjadinya guncangan.Namun, sampai saat ini kita sama-sama telah melewati guncangan-guncangan itu dengan baik.
“Retak-retak yang pernah dialami bangsa kita dimasa lalu, terutama yang mengarah ke disintegrasi, telah direkat dengan baik melalui pondasi sejarah Sumpah Pemuda saat mempersatukan semua organisasi kedaerahan kedalam gerakan pemuda Indonesia,” ujar Moeldoko dalam orasi ilmiahnya yang berjudul “Penguatan peran TNI dalam menjaga keseimbangan baru di antara stabilitas dan keterbukaan”, dihadapan Civitas Academica UNHAN (Universitas Pertahanan) pada acara Wisuda Pascasarjana Fakultas Strategi Pertahanan dan Fakultas Manajemen Pertahanan Tahun Akademik 2012-2013, di Kemhan, Jakarta.
Perpecahan-perpecahan horizontal dan vertical sudah ditinggalkan, ikatan-ikatan kedaerahan dan etnis sirna dan semua disalurkan kedalam penguatan pemimpin revolusi nasional untuk menentang kekuasaan kolonial. Jika ada kebutuhan untuk memahami setiap fenomena yang menyangkut nasionalisme secara unik, maka pemahaman terhadap sumber-sumber politik, ideology dan kebijakan yang bervariasi dan menyatu dalam bentuk nasionalisme merupakan sebuah keharusan.
Dengan kata lain, nasionalisme hendaknya dipahami sebagai sebuah contentious politics yang memaknai nasionalisme sebagai sebuah perjuangan politik kolektif.Hadirnya banyak partai sebagai intepretasi demokrasi telah membawa suasana tarik-menarik kepentingan politik tak terhindarkan.Bahkan dengan hadirnya banyak partai ini, sangat dimungkinkan memberi kontribusi munculnya guncangan bagi negara kita.
“Namun Tentara Nasional Indonesia (TNI) terus bertekad untuk meredam jika muncul guncangan politik dengan tetap mempertahankan netralitasnya,” ujar Jenderal Moeldoko. Netralitas TNI tersebut sesuai dengan pasal 381 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, yang menyatakan bahwa anggota TNI dan Polri tidak menggunakan haknya untuk memilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu).
Selain itu, kondisi perekonomian global yang saat ini dirasa kurang menggembirakan, juga telah membawa dampak kepada negara kita. Meski saat ini pertumbuhan ekonomi nasional 6,3 persen telah melebihi atau diatas sejumlah negara lain, namun TNI ingin terus berperan menjaga pertumbuhan ini dengan menjamin rasa aman terhadap investor di negara kita.
Sejarah, geografi, budaya dan faktor-faktor lain yang dimiliki bangsa Indonesia, selain memberi kekuatan juga menyimpan kerentanan. Untuk mengatasi hal ini secara komprehensif, nampaknya TNI masih memerlukan penguatan peran dalam menjaga keseimbangan baru diantara stabilitas dan keterbukaan.
Pelaksanaan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang dirinci dalam 14 butir tugas, semestinya tidak lagi menjadi multi tafsir dan masih menjadi wilayah abu-abu. Disamping itu peran TNI yang harus dijalankan secara optimal dan tanpa keraguan adalah pemberdayaan wilayah pertahanan. Pelaksanaan OMSP dan perberdayaan wilayah pertahanan tidak berarti TNI akan memasuki peran Dwifungsi ABRI seperti masa lalu.
Usai orasi ilmiah Panglima TNI tersebut, pada hari itu, Selasa, 10 September, ketika itu Universitas Pertahanan (UNHAN) menggelar acara Wisuda Pascasarjana Fakultas Strategi Pertahanan dan Fakultas Manajemen Pertahanan Tahun Akademik 2012-2013, di Gedung Pierre Tendean, Kementerian Pertahanan, Jakarta.
Acara wisuda dihadiri Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro, Rektor Universitas Pertahanan Letjen TNI Subekti, Wakil Rektor Bidang Kerjasama Mayjen TNI I Wayan Midhio dan para Dekan serta para pejabat Kemhan dan Mabes TNI. UNHAN kali ini mewisuda 34 mahasiswa dari program studi Strategi Perang Semesta (SPS) 29 orang, Manajemen Pertahanan satu orang, Ekonomi Pertahanan dua orang dan Manajemen Penanggulangan Bencana untuk Keamanan Nasional dua orang.
Menteri Pertahanan Prof Dr Purnomo Yusgiantoro, menekankan perlunya strategi dan manajemen yang tepat serta adaptif dalam mengatasi perkembangan bentuk ancaman pertahanan. Pada konteks ini pendidikan akan semakin penting karena SDM Indonesia merupakan Human Capital untuk mengatasi dan mengantisipasi berbagai bentuk ancaman. Indonesia membutuhkan SDM pertahanan yang profesional dan baik serta dibarengi dengan perbaikan kualitas melalui kebijakan investasi pendidikan secara komprehensif. Para wisudawan serta alumni UNHAN adalah bagian dari investasi negara dalam mendukung pertahanan negara di masa mendatang.
Ancaman pertahanan yang semakin kompleks, penuh ketidakpastian dan beresiko tinggi. Terjadi perkembangan baru tidak saja berupa ancaman militer tetapi juga berupa ancaman non fisik atau yang dikenal dengan ancaman nirmiliter. Di sisi lain, tugas mengawal NKRI yang berdimensi kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa tetap menjadi prioritas penyelenggaraan pertahanan negara yang sangat bergantung kepada kualitas SDM nya.


0
1.1K
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan