- Beranda
- Komunitas
- Surat Pembaca
Diskriminasi yang sistematis, ketika jurusan menjadi sebuah barometer


TS
algibor
Diskriminasi yang sistematis, ketika jurusan menjadi sebuah barometer
ini posting kedua ane di kaskus gan, tp yg pertama di surat pembaca gan... masih blm banyak ngerti soal kaskus... kalo ane salah room dll mohon mimbingan buat ane semuanya....
Ketika saya masih SD, kakak saya mengatakan kepada saya “kamu harus mulai menyukai pelajran IPA mulai sekarang, biar nanti kamu bisa masuk jurusan IPA”, saat itu saya tidak mengerti apa yang kakak saya maksud dan apa artinya itu dan saya mengatakan bahwa saya tidak berminat dengan pelajran IPA terus terang entah mengapa saya sangat cocok dengan pelajaran IPS. Sejak mulai beranjak dewasa saya masuk sekolah menengah atas, saat beberapa bulan berlalu. Saya akui saya tergolong murid yang nakal saat itu hingga seorang guru mengatakan pada saya “kamu tidak layak masuk IPA”, dalam hati saya mengatakan bahwa saya memang tidak pernah bermiat masuk IPA. Menjelang kenaikan kelas, wali kelas saya mengatakan bahwa nilai saya tidak memungkinkan untuk masuk IPA dan terpaksa masuk IPS, seandainya saya rajin mungkin wali kelas saya bisa mengusahakan, sebaliknya saya justru senang mengingat dari SD saya memang menyukai pelajaran IPS dan merasa sangat cocok dengan pelajaran tersebut.
Pertanyaan yang muncul dalam benak saya, mengapa harus IPA? Mengapa yang masuk IPS harus dikatakan “terpaksa” ? saya membayangkan bagaimana sebuah sistem pendidikan membuat ruang untuk suatu diskriminasi yang mempengaruhi mental siswa, tidak sedikit siswa yang berlomba mengusahakan diri agar bisa masuk IPA baik melalui jalur yang wajar hingga “tidak wajar”. Satu yang saya rasakan waktu itu, bagaimana rasanya menjadi orang buangan atau bisa disebut “msnusia kelas dua”. Sebaliknya, saya melihat bagaimana teman-teman saya yang bisa masuk jurusan IPA begitu senang dan bangga bisa masuk jurusan yang menjadi mimpi anak-anak di SMA, bisa dibayangkan IPA adalah sang pemenang dan menjadi jurusan selain IPA adalah pecundang. Jurusan yang mestinya jadi pilihan malah menjadi sebuah barometer untuk mengukur kualitas intelegensi siswa. Mungkin benar bahwa lulusan IPA lebih memiliki banyak peluang untuk memasuki jurusan apapun di perguruan tinggi, tapi apakah untuk mengukur sebuah inteligensi harus melalui jurusan? Atau jurusan menentukan value seseorang?
Tujuan adanya sebuah jurusan untuk mengklasifikasikan murid dalam beberapa bagian yang sesuai dengan kemampuan dan minat, tapi faktanya jurusan IPA bisa memilih bangku kuliah jurusan apa saja karena dianggap “pintar”. Karena itu wajar jika orang tua wali murid memaksa anaknya untuk masuk IPA, lah kalau begitu untuk apa ada suatu pembagian jurusan IPA, IPS, Bahasa, dll kenapa bukan pembagian menurut pembagian kelas “A Pintar”, “B sedang”, “C bodoh” dan seterusnya. Maksud saya, seharusnya ada suatu synergy antara guru, siswa, orang tua, maupun wali siswa untuk mengubah asumsi yang sangat salah bahwa “IPA is the best” dan sisanya IPS maupun jurusan lain. Jurusan adalah sebuah pilihan tergantung dari minat kita masing-masing, bukan sesuatu yang harus direbutkan sehingga memunculkan diskriminasi.
Ketika saya masih SD, kakak saya mengatakan kepada saya “kamu harus mulai menyukai pelajran IPA mulai sekarang, biar nanti kamu bisa masuk jurusan IPA”, saat itu saya tidak mengerti apa yang kakak saya maksud dan apa artinya itu dan saya mengatakan bahwa saya tidak berminat dengan pelajran IPA terus terang entah mengapa saya sangat cocok dengan pelajaran IPS. Sejak mulai beranjak dewasa saya masuk sekolah menengah atas, saat beberapa bulan berlalu. Saya akui saya tergolong murid yang nakal saat itu hingga seorang guru mengatakan pada saya “kamu tidak layak masuk IPA”, dalam hati saya mengatakan bahwa saya memang tidak pernah bermiat masuk IPA. Menjelang kenaikan kelas, wali kelas saya mengatakan bahwa nilai saya tidak memungkinkan untuk masuk IPA dan terpaksa masuk IPS, seandainya saya rajin mungkin wali kelas saya bisa mengusahakan, sebaliknya saya justru senang mengingat dari SD saya memang menyukai pelajaran IPS dan merasa sangat cocok dengan pelajaran tersebut.
Pertanyaan yang muncul dalam benak saya, mengapa harus IPA? Mengapa yang masuk IPS harus dikatakan “terpaksa” ? saya membayangkan bagaimana sebuah sistem pendidikan membuat ruang untuk suatu diskriminasi yang mempengaruhi mental siswa, tidak sedikit siswa yang berlomba mengusahakan diri agar bisa masuk IPA baik melalui jalur yang wajar hingga “tidak wajar”. Satu yang saya rasakan waktu itu, bagaimana rasanya menjadi orang buangan atau bisa disebut “msnusia kelas dua”. Sebaliknya, saya melihat bagaimana teman-teman saya yang bisa masuk jurusan IPA begitu senang dan bangga bisa masuk jurusan yang menjadi mimpi anak-anak di SMA, bisa dibayangkan IPA adalah sang pemenang dan menjadi jurusan selain IPA adalah pecundang. Jurusan yang mestinya jadi pilihan malah menjadi sebuah barometer untuk mengukur kualitas intelegensi siswa. Mungkin benar bahwa lulusan IPA lebih memiliki banyak peluang untuk memasuki jurusan apapun di perguruan tinggi, tapi apakah untuk mengukur sebuah inteligensi harus melalui jurusan? Atau jurusan menentukan value seseorang?
Tujuan adanya sebuah jurusan untuk mengklasifikasikan murid dalam beberapa bagian yang sesuai dengan kemampuan dan minat, tapi faktanya jurusan IPA bisa memilih bangku kuliah jurusan apa saja karena dianggap “pintar”. Karena itu wajar jika orang tua wali murid memaksa anaknya untuk masuk IPA, lah kalau begitu untuk apa ada suatu pembagian jurusan IPA, IPS, Bahasa, dll kenapa bukan pembagian menurut pembagian kelas “A Pintar”, “B sedang”, “C bodoh” dan seterusnya. Maksud saya, seharusnya ada suatu synergy antara guru, siswa, orang tua, maupun wali siswa untuk mengubah asumsi yang sangat salah bahwa “IPA is the best” dan sisanya IPS maupun jurusan lain. Jurusan adalah sebuah pilihan tergantung dari minat kita masing-masing, bukan sesuatu yang harus direbutkan sehingga memunculkan diskriminasi.
0
2.5K
0
Thread Digembok
Thread Digembok
Komunitas Pilihan