- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
“Karier Politik Jokowi Bakal Lebih Panjang Jika Maju di 2019”


TS
InRealLife
“Karier Politik Jokowi Bakal Lebih Panjang Jika Maju di 2019”
Wawancara Djayadi Hanan, pakar politik & hubungan internasional univ paramadina:
[url]http://www.indonesia-2014.com/read/2013/09/21/“karier-politik-jokowi-bakal-lebih-panjang-jika-maju-di-2019”#.UkLondw-Zkg[/url]

Beresin Jakarta dulu ya Pak. Jangan mau dikomporin!
Semoga Pak Jokowi mendengar saran orang ini.
[url]http://www.indonesia-2014.com/read/2013/09/21/“karier-politik-jokowi-bakal-lebih-panjang-jika-maju-di-2019”#.UkLondw-Zkg[/url]

Beresin Jakarta dulu ya Pak. Jangan mau dikomporin!
Quote:
Djayadi Hanan
“Karier Politik Jokowi Bakal Lebih Panjang Jika Maju di 2019”
21 September 2013
INDONESIA2014 - INA.2014: Banyak partai politik ingin gandeng Jokowi untuk dipasangkan dengan ketua umum mereka. Dengan harapan bisa tingkatkan elektabilitas partai dan pasangan itu. Komentar Anda?
DH: Saya kira, partai-partai di luar PDIP mungkin bisa berharap begitu. Tapi saya belum lihat Jokowi berani lompat partai. Selama ini kita lihat Jokowi orang yang tidak ambisius. Dia tidak pernah melakukan sesuatu untuk kepentingan politik jangka pendek. Ini yang membuat rakyat suka sama dia.
Dalam benak publik dia dikenal sebagai orang yang konsisten dan otentik. Tidak menclok sana-menclok sini. Nah, kalau dia terbujuk rayuan partai lain dengan meninggalkan PDIP, baik sebagai capres atau cawapres, saya khawatir dia akan dicap sama dengan politisi lain. Orientasinya politik sesaat. Hanya mengutamakan kekuasaan.
Saya kira, pihak Jokowi berhitung itu. Di sisi lain, saya masih lihat loyalitas Jokowi pada PDIP, terutama pada keluarga Soekarno atau Megawati. Dalam konteks itu akan sangat sulit mengharapkan Jokowi digandeng partai lain, kecuali atas izin Mega.
Pada titik tertentu, PDIP juga sangat membutuhkan Jokowi. Kalau PDIP main sendiri tanpa Jokowi itu akan sulit buat PDIP. Kalau PDIP nanti maju dalam Pilpres, bisa jadi cawapresnya Mega itu Jokowi. Kalau PDIP ingin menang. Jadi, PDIP takkan rela melepas Jokowi untuk digandeng partai lain.
Boleh saja partai lain seperti Golkar menyandingkan Jokowi dengan Aburizal Bakrie. Efeknya memang jelas di sebuah survei. Tapi PDIP akan tetap menjaga Jokowi. Karena dia aset PDIP.
INA.2014: Jadi, keberadaan Jokowi sangat menguntungkan PDIP?
DH: Sebelum Pilkada Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, itu tidak terlalu dikenal. Ketika mesin partai bergerak dan Jokowi menjadi juru kampanyenya, popularitas Ganjar lalu meningkat. Ia menang cukup drastis sebagai gubernur Jateng. Jokowi sendiri kan kebanggaan Jateng. Kalau orang se-Indonesia saja ikut Jokowi, apalagi masyarakat di daerahnya.
Jokowi itu aset bagi PDIP. Paling tidak sampai setahun ke depan. Tapi kita lihatlah sampai sejauh mana efek Jokowi ini berlaku dalam Pilpres nanti. Selain ada efek Jokowi, ada juga euforia Jokowi di kalangan media.
INA.2014: Itu artinya Jokowi akan tetap bawa berkah elektabilitas bagi siapapun pasangannya dan apapun partai yang mencalonkannya?
DH: Ya, siapapun yang dipasangkan dengan Jokowi minimal dia dapat berkah kenaikan elektabilitas. Sebelumnya, yang elektabilitasnya tinggi adalah Prabowo. Dia dianggap antitesis SBY. Masyarakat sudah bosan dengan gaya kepemimpinan yang tidak tegas model SBY. Tapi sebenarnya masyarakat bukan menginginkan sosok yang dianggap tegas itu.
Yang diinginkan masyarakat adalah pemimpin yang peduli dengan masyarakat. Pemimpin yang jujur dan tulus. Bisa dipercaya. Merakyat. Sama dengan masyarakat kebanyakan. Itu semua ada di Jokowi. Nah, karakter ini yang kurang pada Prabowo. Maka ramai-ramai masyarakat pindah ke Jokowi. Bukan ke Prabowo lagi.
Jadi, narasi besarnya, pemilih kita ingin presiden alternatif. Alternatif sebagai antitesa dari pemimpin saat ini. Jokowi itu profil yang lebih lengkap sebagai presiden alternatif.
INA.2014: Karena itulah ramai-ramai partai merapat ke Jokowi?
DH: Kita masih menunggu kepastian apakah Jokowi jadi maju atau tidak. Jika PDIP mengusung Mega, partai-partai itu tidak akan merapat ke PDIP. Tapi bila ada sinyal jelas bahwa Jokowi akan dicalonkan, partai-partai merapat ke sana demi berkah sebagai penguasa di masa depan.
INA.2014: Adakah calon lain yang bisa menandingi Jokowi?
DH: Enggak ada. Jangan lupa, kalau mau menang itu bahan bakunya ada dua. Pertama, program atau visi-misinya. Kedua, the messager atau orangnya. Nah, di partai lain tidak ada figur seperti Jokowi.
INA.2014: Luar biasa sekali Jokowi, ya…
DH: Ya, kalau pesan kan bisa dibikin. Misalnya, pro-perubahan, ekonomi rakyat, Kartu Indonesia Sehat, dan sebagainya. Yang seperti itu bisa dibuat. Tapi yang bisa melaksanakannya harus orang yang tepat. Orang yang tepat itu yang model Jokowi.
Kita belum punya model Jokowi di partai lain. Memang ada beberapa sosok yang bisa membuat masyarakat tertarik padanya. Yang mungkin ada potensinya itu Mahfud MD, Dahlan Iskan, atau Gita Wirjawan. Mungkin, ya. Tapi kan mereka tidak sepopuler Jokowi. Kita belum bisa mengatakan mereka bisa bersaing dengan Jokowi. Dalam arti, punya hubungan emosional dengan para pemilih atau masyarakat.
INA.2014: Jokowi, kita tahu, sosok unik. Apakah dia dikader dari bawah atau muncul begitu saja?
DH: Di PDIP kemunculan Jokowi itu bukan by design. Kalau Jokowi itu by design, saya pikir, tidak hanya lahir satu Jokowi di PDIP. Saya lihat Jokowi itu lahir begitu saja. Dia memang orang yang begitu dari sononya. Kebetulan masyarakat kita lagi muak dengan pola kepemimpinan yang penuh pencitraan, pragmatis, elit. Tampak dipintar-pintarkan, digagah-gagahkan. Jokowi itu antitesa semua itu. Masyarakat cocok dengan pola Jokowi itu.
Dengan munculnya fenomena Jokowi ini tidak serta-merta PDIP menjadi partai yang lebih baik dalam hal rekrutmen dan kaderisasi. Kalau baik dalam hal rekrutmen dan kaderisasi, sekali lagi, mestinya ada Jokowi lain.
INA.2014: Tapi bukankah ada kader PDIP lain yang dinilai baik juga seperti Rustriningsih…
DH: Iya, ada. Tapi dia tidak sefenomenal Jokowi. Berapa banyak sih? Munculnya sosok seperti Jokowi dan Rustriningsih tidak berarti PDIP lebih baik dari partai lain. PDIP saat ini juga krisis kader.
INA.2014: Apa keunggulan Jokowi selain dari sisi personalitasnya? Ada yang mengatakan bahwa salah satunya ia mafhum big picture kelola pemerintahan. Komentar Anda?
DH: Belum tentu juga Jokowi itu tahu big picture. Dia fenomenal karena kebetulan cocok dengan mood masyarakat. Jokowi itu sangat bagus dalam kampanye. Harus kita akui itu. Tapi kampanye dan mengelola pemerintahan itu dua hal yang berbeda. Kampanye tujuannya untuk persuasi. Untuk merayu masyarakat. Biasanya lebih bersifat hal-hal yang artifisial dan emosional.
Mengelola pemerintahan itu persoalan analisis dan menyelesaikan masalah-masalah riil. Menyelesaikan masalah-masalah riil itu tidak bisa dengan mood, perasaan, dan pencitraan saja. Tapi memerlukan kapasitas teknis, kepemimpinan, dan kapasitas manajerial.
Mungkin Jokowi punya kapasitas operasional, seperti blusukan dan segala macam. Tapi apakah dia mengangkatnya menjadi sebuah program yang berada dalam satu big picture? Satu blueprint? Saya masih ragu. Karena itu, seharusnya Jokowi dites di Jakarta. Apakah dia memang punya kemampuan memimpin seperti itu.
INA.2014: Dalam setahun ini memang belum terlihat kemampuan Jokowi?
DH: Belum ada.
INA.2014: Tapi kenapa elektabilitas Jokowi masih tetap tinggi?
DH: Ya itu tadi karena mood masyarakat. Dia menjadi media darling. Ditambah belum ada figur lain yang muncul.
INA.2014: Kalau mood yang lebih dominan, itu berarti mood masyarakat bisa saja berubah sewaktu-waktu?
DH: Iya. Ini pasti akan berubah. Cuma masalahnya akan berapa lama. Mood itu ada masanya. Dan momentum itu ada yang singkat, dan ada yang lama. Kalau media darling, di mana-mana itu biasanya paling lama hanya enam bulan. Nah, Jokowi ini kan sudah lewat dari enam bulan dan hampir setahun. Ya, tergantung media juga.
Kalau media masih terus menyukai Jokowi, dan tim Jokowi bekerja cukup massif dan taktis untuk membuat momentum ini terus bergulir itu akan bisa bertahan lama. Apalagi jika isunya soal kepemimpinan masa depan, bukan bagaimana menyelesaikan persoalan rill Jakarta. Kalau itu caranya momentum ini bisa dijaga.
Timnya Jokowi, termasuk PDIP, saya kira, akan menjaga terus momentum ini. Kita bisa lihat seberapa lama momentum itu akan bertahan. Itu juga tergantung lawan-lawan politik Jokowi untuk mengeksploitasi aspek-aspek yang lebih rasional dari kepemimpinan Jokowi. Misalnya, prestasi riil Jokowi apa? Seperti Kartu Jakarta Sehat, dsb.
INA.2014: Kini orang yang mengkritik Jokowi akan berhadapan dengan rakyat. DPRD DKI, misalnya, yang gunakan hak interpelasinya itu malah diserang balik...
DH: Sebenarnya interpelasi DPRD DKI terhadap Jokowi itu biasa saja, kan? Itu persoalan rutin saja. DPRD bertanya atau menjalankan hak penyelidikannya pada satu fenomena, yang menurut mereka, ada masalah. Kebijakan Pemda memang harus diawasi DPRD.
Itu kan salah satu tugas, pokok, dan fungsi DPRD. Tapi coba lihat reaksi media, reaksi masyarakat. Semuanya ‘gebukin’ DPRD. Itu berarti mood dan perasaan masyarakat masih memihak Jokowi.
INA.2014: Sejauh ini, menurut Anda, mood masyarakat terhadap Jokowi masih sehat atau sudah berlebihan?
DH: Dua tahun ini kan tahun politik. Tahun kampanye. Di tahun kampanye, mood orang bukan pada mood memerintah. Bukan pada soal-soal riil. Tapi soal-soal slogan dan janji-janji. Suasana kita saat ini suasana kampanye. Ini juga yang membantu Jokowi terus punya momentum. Karena dia bagus untuk kampanye.
Nanti ketika kampanye dan Pilpres sudah selesai, mood masyarakat akan kembali ke bagaimana menyelesaikan persoalan riil. Mood memerintah (governing mood), bukan lagi campaigning mood. Saya kira, sampai Pilpres kita masih berada dalam suasana ini. Dan bisa saja kita ketemu dengan orang yang tampak tidak rasional. Pokoknya, yang penting membela Jokowi. Apakah itu tidak sehat? Sepanjang tidak diekspresikan dengan kekerasan, saya kira, masih sehat.
INA.2014: Tapi kalau ekspresinya mengarah pada hate speech bagaimana?
DH: Kalau sudah mengarah ke sana, menurut saya, sudah tidak sehat. Karena itu bagian dari penyebaran kekerasan. Kekerasan simbolik. Ya, itu tidak sehat. Dan kita bakal ketemu dengan hal-hal ini. Tapi kalau masih satu-dua di antara seratus kejadian masih dapat ditoleransi.
INA.2014: Melihat mood masyarakat kini, sejauh pengamatan Anda, apakah Jokowi akan mengambil momen 2014 atau menunggu sampai 2019?
DH: Saya sendiri tidak kenal dengan Jokowi. Dugaan saya, kalau dilihat dari track record-nya, Jokowi lebih suka menyelesaikan masalah di Jakarta. Karena orang ini dianggap figur yang masih punya ketulusan ketimbang pencintraannya. Figur seperti ini lebih suka menyelesaikan persoalan-persoalan riil dulu. Bukan mengejar momentum untuk menjadi presiden. Mungkin juga Jokowi sadar kalau dia jadi presiden, cara berpikirnya harus lebih makro. Dan dia tidak punya kemampuan itu.
Masalahnya, PDIP merasa saat ini adalah momentum mereka. Bisa saja kalau Mega rasional, tidak memaksakan diri lagi menjadi presiden, PDIP akan ambil Jokowi sebagai capres. Sekali lagi, tergantung Mega. Kalau Mega jadi capres, Jokowi tidak akan maju. Tapi kalau Mega mundur, kemungkinan Jokowi jadi capres.
INA.2014: Menurut Anda, Jokowi tidak takut kehilangan momen?
DH: Kalau Jokowi itu politisi yang ambisius, ia pasti akan ambil momen ini. Tapi lagi-lagi ini bertolak belakang dengan citra yang berkembang tentang dia. Bahwa dia bukan politisi yang ambisius. Yang orientasinya cuma kekuasaan.
Apakah momentum buat Jokowi akan hilang? Belum tentu. Karena Jokowi itu kan belum 50 tahun usianya. Dia bisa berhitung lebih rasional dan sabar untuk maju di 2019. Tapi syaratnya, dia harus membuktikan diri di Jakarta.
INA.2014: Amien Rais pada 1998-1999 sangat dielu-elukan publik. Tapi pada pilpres 2014 dia hanya menempati urutan ketiga. Ini diperkuat dengan hipotesa yang mengatakan bahwa ingatan pemilih kita pendek. Apakah ini akan jadi pertimbangan Jokowi?
DH: Beda. Amien Rais itu punya track record menjatuhkan Gus Dur. Itu faktor cukup besar yang membuat dia ‘dijauhi’ publik, selain faktor dalam diri dia sendiri. Dia dianggap plin-plan. Semula orang percaya bahwa dia tegas, lurus, dan amanah. Seperti Jokowi saat ini. Tapi kemudian, dia bolak-balik. Satu waktu ia dukung Mega, tapi di kesempatan lain ia tidak dukung Mega. Ia juga dukung Gus Dur kemudian tidak lagi dukung Gus Dur.
Jokowi jika tidak maju sebagai capres pada 2014 ini justru untuk menjaga bahwa dia bukan orang yang plin-plan. Bukan orang yang syahwat kekuasaannya terlalu tinggi. Dia bisa bilang, ‘Saya sebenarnya bisa saja maju kalau saya mau. Tapi saya harus mengutamakan tugas-tugas saya di Jakarta lebih dahulu. Saya harus membantu warga Jakarta dulu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan riil.’ Kalau itu yang dilakukan Jokowi itu justru menjadi modal politik sangat besar buat Jokowi di 2019.
INA.2014: Jadi, lebih baik Jokowi ikut bursa Pilpres di 2019?
DH: Jika Jokowi rasional lebih baik dia memilih seperti itu. Kalau sekarang dia seperti gambling,kan?
INA.2014: Maksudnya?
DH: Kalau Jokowi maju sebagai presiden, lawan politiknya akan bermain. ‘Tuh lihat Jokowi. Sama saja dengan politisi lain. Jakarta dia tinggalin untuk sesuatu yang lebih besar.’ Nanti orang akan menilai Jokowi sebagai petualang politik saja. Nanti itu bisa beresonansi dengan masyarakat. ‘Oh iya, Jokowi sama saja dengan politisi yang lain.’
INA.2014: Kalau itu yang terjadi berarti Jokowi melakukan bunuh diri politik?
DH: Iya, dan belum tentu menang juga. Sudah tidak menang, citra juga hancur. Saran saya, lebih baik tunggu 2019.
INA.2014: Itu jalan yang paling aman buat karier politik Jokowi?
DH: Sementara ini, iya. Kalau dia ingin karier politiknya lebih panjang maju di 2019 saja. Kita kan berharap orang seperti dia karier politiknya lebih panjang.
INA.2014: Belakangan Mega melalui Puan menyatakan bahwa PDIP akan mendorong regenerasi. Menurut Anda, apakah ini sinyal bahwa Jokowi akan maju?
DH: PDIP itu sekarang ingin menjaga momentum Jokowi supaya kesukaan orang terhadap PDIP terus terjaga. Karena ia yang menyumbang tingginya kesukaan orang pada PDIP saat ini. Jadi, pernyataan itu belum bisa dibaca sebagai dukungan resmi dari Mega untuk Jokowi.
Pernyataan itu adalah penyataan politis untuk menjaga momentum agar masyarakat tetap bersama Jokowi dan tetap memilih PDIP yang saat ini cukup tinggi animonya. Bahkan paling tinggi di antara partai lain. Keputusan resminya, saya kira, baru disampaikan nanti setelah Pemilihan Legislatif.
“Karier Politik Jokowi Bakal Lebih Panjang Jika Maju di 2019”
21 September 2013
INDONESIA2014 - INA.2014: Banyak partai politik ingin gandeng Jokowi untuk dipasangkan dengan ketua umum mereka. Dengan harapan bisa tingkatkan elektabilitas partai dan pasangan itu. Komentar Anda?
DH: Saya kira, partai-partai di luar PDIP mungkin bisa berharap begitu. Tapi saya belum lihat Jokowi berani lompat partai. Selama ini kita lihat Jokowi orang yang tidak ambisius. Dia tidak pernah melakukan sesuatu untuk kepentingan politik jangka pendek. Ini yang membuat rakyat suka sama dia.
Dalam benak publik dia dikenal sebagai orang yang konsisten dan otentik. Tidak menclok sana-menclok sini. Nah, kalau dia terbujuk rayuan partai lain dengan meninggalkan PDIP, baik sebagai capres atau cawapres, saya khawatir dia akan dicap sama dengan politisi lain. Orientasinya politik sesaat. Hanya mengutamakan kekuasaan.
Saya kira, pihak Jokowi berhitung itu. Di sisi lain, saya masih lihat loyalitas Jokowi pada PDIP, terutama pada keluarga Soekarno atau Megawati. Dalam konteks itu akan sangat sulit mengharapkan Jokowi digandeng partai lain, kecuali atas izin Mega.
Pada titik tertentu, PDIP juga sangat membutuhkan Jokowi. Kalau PDIP main sendiri tanpa Jokowi itu akan sulit buat PDIP. Kalau PDIP nanti maju dalam Pilpres, bisa jadi cawapresnya Mega itu Jokowi. Kalau PDIP ingin menang. Jadi, PDIP takkan rela melepas Jokowi untuk digandeng partai lain.
Boleh saja partai lain seperti Golkar menyandingkan Jokowi dengan Aburizal Bakrie. Efeknya memang jelas di sebuah survei. Tapi PDIP akan tetap menjaga Jokowi. Karena dia aset PDIP.
INA.2014: Jadi, keberadaan Jokowi sangat menguntungkan PDIP?
DH: Sebelum Pilkada Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, itu tidak terlalu dikenal. Ketika mesin partai bergerak dan Jokowi menjadi juru kampanyenya, popularitas Ganjar lalu meningkat. Ia menang cukup drastis sebagai gubernur Jateng. Jokowi sendiri kan kebanggaan Jateng. Kalau orang se-Indonesia saja ikut Jokowi, apalagi masyarakat di daerahnya.
Jokowi itu aset bagi PDIP. Paling tidak sampai setahun ke depan. Tapi kita lihatlah sampai sejauh mana efek Jokowi ini berlaku dalam Pilpres nanti. Selain ada efek Jokowi, ada juga euforia Jokowi di kalangan media.
INA.2014: Itu artinya Jokowi akan tetap bawa berkah elektabilitas bagi siapapun pasangannya dan apapun partai yang mencalonkannya?
DH: Ya, siapapun yang dipasangkan dengan Jokowi minimal dia dapat berkah kenaikan elektabilitas. Sebelumnya, yang elektabilitasnya tinggi adalah Prabowo. Dia dianggap antitesis SBY. Masyarakat sudah bosan dengan gaya kepemimpinan yang tidak tegas model SBY. Tapi sebenarnya masyarakat bukan menginginkan sosok yang dianggap tegas itu.
Yang diinginkan masyarakat adalah pemimpin yang peduli dengan masyarakat. Pemimpin yang jujur dan tulus. Bisa dipercaya. Merakyat. Sama dengan masyarakat kebanyakan. Itu semua ada di Jokowi. Nah, karakter ini yang kurang pada Prabowo. Maka ramai-ramai masyarakat pindah ke Jokowi. Bukan ke Prabowo lagi.
Jadi, narasi besarnya, pemilih kita ingin presiden alternatif. Alternatif sebagai antitesa dari pemimpin saat ini. Jokowi itu profil yang lebih lengkap sebagai presiden alternatif.
INA.2014: Karena itulah ramai-ramai partai merapat ke Jokowi?
DH: Kita masih menunggu kepastian apakah Jokowi jadi maju atau tidak. Jika PDIP mengusung Mega, partai-partai itu tidak akan merapat ke PDIP. Tapi bila ada sinyal jelas bahwa Jokowi akan dicalonkan, partai-partai merapat ke sana demi berkah sebagai penguasa di masa depan.
INA.2014: Adakah calon lain yang bisa menandingi Jokowi?
DH: Enggak ada. Jangan lupa, kalau mau menang itu bahan bakunya ada dua. Pertama, program atau visi-misinya. Kedua, the messager atau orangnya. Nah, di partai lain tidak ada figur seperti Jokowi.
INA.2014: Luar biasa sekali Jokowi, ya…
DH: Ya, kalau pesan kan bisa dibikin. Misalnya, pro-perubahan, ekonomi rakyat, Kartu Indonesia Sehat, dan sebagainya. Yang seperti itu bisa dibuat. Tapi yang bisa melaksanakannya harus orang yang tepat. Orang yang tepat itu yang model Jokowi.
Kita belum punya model Jokowi di partai lain. Memang ada beberapa sosok yang bisa membuat masyarakat tertarik padanya. Yang mungkin ada potensinya itu Mahfud MD, Dahlan Iskan, atau Gita Wirjawan. Mungkin, ya. Tapi kan mereka tidak sepopuler Jokowi. Kita belum bisa mengatakan mereka bisa bersaing dengan Jokowi. Dalam arti, punya hubungan emosional dengan para pemilih atau masyarakat.
INA.2014: Jokowi, kita tahu, sosok unik. Apakah dia dikader dari bawah atau muncul begitu saja?
DH: Di PDIP kemunculan Jokowi itu bukan by design. Kalau Jokowi itu by design, saya pikir, tidak hanya lahir satu Jokowi di PDIP. Saya lihat Jokowi itu lahir begitu saja. Dia memang orang yang begitu dari sononya. Kebetulan masyarakat kita lagi muak dengan pola kepemimpinan yang penuh pencitraan, pragmatis, elit. Tampak dipintar-pintarkan, digagah-gagahkan. Jokowi itu antitesa semua itu. Masyarakat cocok dengan pola Jokowi itu.
Dengan munculnya fenomena Jokowi ini tidak serta-merta PDIP menjadi partai yang lebih baik dalam hal rekrutmen dan kaderisasi. Kalau baik dalam hal rekrutmen dan kaderisasi, sekali lagi, mestinya ada Jokowi lain.
INA.2014: Tapi bukankah ada kader PDIP lain yang dinilai baik juga seperti Rustriningsih…
DH: Iya, ada. Tapi dia tidak sefenomenal Jokowi. Berapa banyak sih? Munculnya sosok seperti Jokowi dan Rustriningsih tidak berarti PDIP lebih baik dari partai lain. PDIP saat ini juga krisis kader.
INA.2014: Apa keunggulan Jokowi selain dari sisi personalitasnya? Ada yang mengatakan bahwa salah satunya ia mafhum big picture kelola pemerintahan. Komentar Anda?
DH: Belum tentu juga Jokowi itu tahu big picture. Dia fenomenal karena kebetulan cocok dengan mood masyarakat. Jokowi itu sangat bagus dalam kampanye. Harus kita akui itu. Tapi kampanye dan mengelola pemerintahan itu dua hal yang berbeda. Kampanye tujuannya untuk persuasi. Untuk merayu masyarakat. Biasanya lebih bersifat hal-hal yang artifisial dan emosional.
Mengelola pemerintahan itu persoalan analisis dan menyelesaikan masalah-masalah riil. Menyelesaikan masalah-masalah riil itu tidak bisa dengan mood, perasaan, dan pencitraan saja. Tapi memerlukan kapasitas teknis, kepemimpinan, dan kapasitas manajerial.
Mungkin Jokowi punya kapasitas operasional, seperti blusukan dan segala macam. Tapi apakah dia mengangkatnya menjadi sebuah program yang berada dalam satu big picture? Satu blueprint? Saya masih ragu. Karena itu, seharusnya Jokowi dites di Jakarta. Apakah dia memang punya kemampuan memimpin seperti itu.
INA.2014: Dalam setahun ini memang belum terlihat kemampuan Jokowi?
DH: Belum ada.
INA.2014: Tapi kenapa elektabilitas Jokowi masih tetap tinggi?
DH: Ya itu tadi karena mood masyarakat. Dia menjadi media darling. Ditambah belum ada figur lain yang muncul.
INA.2014: Kalau mood yang lebih dominan, itu berarti mood masyarakat bisa saja berubah sewaktu-waktu?
DH: Iya. Ini pasti akan berubah. Cuma masalahnya akan berapa lama. Mood itu ada masanya. Dan momentum itu ada yang singkat, dan ada yang lama. Kalau media darling, di mana-mana itu biasanya paling lama hanya enam bulan. Nah, Jokowi ini kan sudah lewat dari enam bulan dan hampir setahun. Ya, tergantung media juga.
Kalau media masih terus menyukai Jokowi, dan tim Jokowi bekerja cukup massif dan taktis untuk membuat momentum ini terus bergulir itu akan bisa bertahan lama. Apalagi jika isunya soal kepemimpinan masa depan, bukan bagaimana menyelesaikan persoalan rill Jakarta. Kalau itu caranya momentum ini bisa dijaga.
Timnya Jokowi, termasuk PDIP, saya kira, akan menjaga terus momentum ini. Kita bisa lihat seberapa lama momentum itu akan bertahan. Itu juga tergantung lawan-lawan politik Jokowi untuk mengeksploitasi aspek-aspek yang lebih rasional dari kepemimpinan Jokowi. Misalnya, prestasi riil Jokowi apa? Seperti Kartu Jakarta Sehat, dsb.
INA.2014: Kini orang yang mengkritik Jokowi akan berhadapan dengan rakyat. DPRD DKI, misalnya, yang gunakan hak interpelasinya itu malah diserang balik...
DH: Sebenarnya interpelasi DPRD DKI terhadap Jokowi itu biasa saja, kan? Itu persoalan rutin saja. DPRD bertanya atau menjalankan hak penyelidikannya pada satu fenomena, yang menurut mereka, ada masalah. Kebijakan Pemda memang harus diawasi DPRD.
Itu kan salah satu tugas, pokok, dan fungsi DPRD. Tapi coba lihat reaksi media, reaksi masyarakat. Semuanya ‘gebukin’ DPRD. Itu berarti mood dan perasaan masyarakat masih memihak Jokowi.
INA.2014: Sejauh ini, menurut Anda, mood masyarakat terhadap Jokowi masih sehat atau sudah berlebihan?
DH: Dua tahun ini kan tahun politik. Tahun kampanye. Di tahun kampanye, mood orang bukan pada mood memerintah. Bukan pada soal-soal riil. Tapi soal-soal slogan dan janji-janji. Suasana kita saat ini suasana kampanye. Ini juga yang membantu Jokowi terus punya momentum. Karena dia bagus untuk kampanye.
Nanti ketika kampanye dan Pilpres sudah selesai, mood masyarakat akan kembali ke bagaimana menyelesaikan persoalan riil. Mood memerintah (governing mood), bukan lagi campaigning mood. Saya kira, sampai Pilpres kita masih berada dalam suasana ini. Dan bisa saja kita ketemu dengan orang yang tampak tidak rasional. Pokoknya, yang penting membela Jokowi. Apakah itu tidak sehat? Sepanjang tidak diekspresikan dengan kekerasan, saya kira, masih sehat.
INA.2014: Tapi kalau ekspresinya mengarah pada hate speech bagaimana?
DH: Kalau sudah mengarah ke sana, menurut saya, sudah tidak sehat. Karena itu bagian dari penyebaran kekerasan. Kekerasan simbolik. Ya, itu tidak sehat. Dan kita bakal ketemu dengan hal-hal ini. Tapi kalau masih satu-dua di antara seratus kejadian masih dapat ditoleransi.
INA.2014: Melihat mood masyarakat kini, sejauh pengamatan Anda, apakah Jokowi akan mengambil momen 2014 atau menunggu sampai 2019?
DH: Saya sendiri tidak kenal dengan Jokowi. Dugaan saya, kalau dilihat dari track record-nya, Jokowi lebih suka menyelesaikan masalah di Jakarta. Karena orang ini dianggap figur yang masih punya ketulusan ketimbang pencintraannya. Figur seperti ini lebih suka menyelesaikan persoalan-persoalan riil dulu. Bukan mengejar momentum untuk menjadi presiden. Mungkin juga Jokowi sadar kalau dia jadi presiden, cara berpikirnya harus lebih makro. Dan dia tidak punya kemampuan itu.
Masalahnya, PDIP merasa saat ini adalah momentum mereka. Bisa saja kalau Mega rasional, tidak memaksakan diri lagi menjadi presiden, PDIP akan ambil Jokowi sebagai capres. Sekali lagi, tergantung Mega. Kalau Mega jadi capres, Jokowi tidak akan maju. Tapi kalau Mega mundur, kemungkinan Jokowi jadi capres.
INA.2014: Menurut Anda, Jokowi tidak takut kehilangan momen?
DH: Kalau Jokowi itu politisi yang ambisius, ia pasti akan ambil momen ini. Tapi lagi-lagi ini bertolak belakang dengan citra yang berkembang tentang dia. Bahwa dia bukan politisi yang ambisius. Yang orientasinya cuma kekuasaan.
Apakah momentum buat Jokowi akan hilang? Belum tentu. Karena Jokowi itu kan belum 50 tahun usianya. Dia bisa berhitung lebih rasional dan sabar untuk maju di 2019. Tapi syaratnya, dia harus membuktikan diri di Jakarta.
INA.2014: Amien Rais pada 1998-1999 sangat dielu-elukan publik. Tapi pada pilpres 2014 dia hanya menempati urutan ketiga. Ini diperkuat dengan hipotesa yang mengatakan bahwa ingatan pemilih kita pendek. Apakah ini akan jadi pertimbangan Jokowi?
DH: Beda. Amien Rais itu punya track record menjatuhkan Gus Dur. Itu faktor cukup besar yang membuat dia ‘dijauhi’ publik, selain faktor dalam diri dia sendiri. Dia dianggap plin-plan. Semula orang percaya bahwa dia tegas, lurus, dan amanah. Seperti Jokowi saat ini. Tapi kemudian, dia bolak-balik. Satu waktu ia dukung Mega, tapi di kesempatan lain ia tidak dukung Mega. Ia juga dukung Gus Dur kemudian tidak lagi dukung Gus Dur.
Jokowi jika tidak maju sebagai capres pada 2014 ini justru untuk menjaga bahwa dia bukan orang yang plin-plan. Bukan orang yang syahwat kekuasaannya terlalu tinggi. Dia bisa bilang, ‘Saya sebenarnya bisa saja maju kalau saya mau. Tapi saya harus mengutamakan tugas-tugas saya di Jakarta lebih dahulu. Saya harus membantu warga Jakarta dulu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan riil.’ Kalau itu yang dilakukan Jokowi itu justru menjadi modal politik sangat besar buat Jokowi di 2019.
INA.2014: Jadi, lebih baik Jokowi ikut bursa Pilpres di 2019?
DH: Jika Jokowi rasional lebih baik dia memilih seperti itu. Kalau sekarang dia seperti gambling,kan?
INA.2014: Maksudnya?
DH: Kalau Jokowi maju sebagai presiden, lawan politiknya akan bermain. ‘Tuh lihat Jokowi. Sama saja dengan politisi lain. Jakarta dia tinggalin untuk sesuatu yang lebih besar.’ Nanti orang akan menilai Jokowi sebagai petualang politik saja. Nanti itu bisa beresonansi dengan masyarakat. ‘Oh iya, Jokowi sama saja dengan politisi yang lain.’
INA.2014: Kalau itu yang terjadi berarti Jokowi melakukan bunuh diri politik?
DH: Iya, dan belum tentu menang juga. Sudah tidak menang, citra juga hancur. Saran saya, lebih baik tunggu 2019.
INA.2014: Itu jalan yang paling aman buat karier politik Jokowi?
DH: Sementara ini, iya. Kalau dia ingin karier politiknya lebih panjang maju di 2019 saja. Kita kan berharap orang seperti dia karier politiknya lebih panjang.
INA.2014: Belakangan Mega melalui Puan menyatakan bahwa PDIP akan mendorong regenerasi. Menurut Anda, apakah ini sinyal bahwa Jokowi akan maju?
DH: PDIP itu sekarang ingin menjaga momentum Jokowi supaya kesukaan orang terhadap PDIP terus terjaga. Karena ia yang menyumbang tingginya kesukaan orang pada PDIP saat ini. Jadi, pernyataan itu belum bisa dibaca sebagai dukungan resmi dari Mega untuk Jokowi.
Pernyataan itu adalah penyataan politis untuk menjaga momentum agar masyarakat tetap bersama Jokowi dan tetap memilih PDIP yang saat ini cukup tinggi animonya. Bahkan paling tinggi di antara partai lain. Keputusan resminya, saya kira, baru disampaikan nanti setelah Pemilihan Legislatif.
Semoga Pak Jokowi mendengar saran orang ini.
0
4.7K
Kutip
74
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan