- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Jokowi for President: Semakin Jelas, ada "Konspirasi Media" Tertentu Dibaliknya!


TS
AkuCintaNanea
Jokowi for President: Semakin Jelas, ada "Konspirasi Media" Tertentu Dibaliknya!

Jokowi
Jokowi Paling Banyak Dibicarakan di Media Sosial
Yesterday 20:42
JAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi menjadi tokoh yang paling banyak diberitakan di media online. Politisi PDI Perjuangan itu juga paling banyak dibicarakan di sosial media. Hal itu merupakan hasil analisis media sosial calon presiden yang dilakukan PoliticaWave.com. Hasil survei itu dipaparkan oleh Direktur PoliticaWave Jose Rizal di Jakarta, Selasa (24/9/2013). Jose menjelaskan, pihaknya melakukan pemantauan pemberitaan di 330 situs media online dalam periode 1 Maret-31 Agustus 2013. Pemantauan itu dilakukan dengan Our Crawler System buatan lokal.
Hasilnya, jumlah berita tentang Jokowi mencapai 15.360 berita. Tiga media online yang paling banyak memberitakan, yakni Tribunnews.com (3.072 berita), Kompas.com (1.514 berita), dan Tempo.co (1.499 berita). "Jadi benar Jokowi itu media darling," kata Jose. Tokoh lain yang paling banyak diberitakan, yakni Menteri BUMN Dahlan Iskan dengan 3.482 berita, Hatta Rajasa dengan 2.839 berita. Jumlah pemberitaan tokoh lain relatif merata. Anies Baswedan menjadi tokoh paling sedikit diberitakan. Selain itu, tambah Jose, hasil pemantauan percakapan di seluruh media sosial seperti Twitter, Facebook, total percakapan tentang Jokowi mencapai 2.522.643 atau sekitar 60 persen dari 3.994.528 total percakapan. Berbagai isu dibicarakan dalam sosial media itu.
Tokoh lain yang dibicarakan, yakni Dahlan Iskan (7 persen), Megawati Soekarnoputri (5 persen), Hatta Rajasa (5 persen), Gita Wirjawan (4 persen), Mahfud MD (4 persen), Aburizal Bakrie (3 persen), Wiranto (3 persen), Prabowo Subianto (2 persen), Yusril Ihza Mahendra (2 persen), Anies Baswedan (2 persen), Jusuf Kalla (2 persen), dan Pramono Edhie Wibowo (1 persen). Jose menambahkan, isu yang paling banyak dibicarakan dalam media sosial tentang Jokowi adalah isu politik.
http://nasional.kompas.com/read/2013...i.Media.Sosial
Jokowi Dalam Potret Media
Jumat, 02 Agustus 2013, 14:01 WIB

Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo
Sepanjang enam bulan terakhir, sebanyak delapan lembaga survei merilis hasil temuan mengenai calon paling popular menjadi presiden saat ini. Temuan itu seolah bermuara pada satu nama: Jokowi. Andai dilakukan pilihan presiden saat ini, maka ia akan menang. Begitu kira-kira inti dari hasil survei. Pandangan ini tentunya tak berlebihan apabila pilihan presiden itu akan diselenggarakan sekarang. Sayangnya, masih ada waktu sekitar 9 bulan ke depan. Itu bukan waktu yang singkat. Dalam perjalanan, segalanya bisa saja terjadi. Tulisan ini akan mengurai fenomena Jokowi dalam sudut pandang media. Seluruh data diambil dari mesin pengumpul Indonesia Indicator. Monitoring media dilakukan secara real time, 24 x 7 x 365, dengan cakupan 337 media online nasional dan daerah dalam waktu 19 bulan (Januari 2012-Juli 2013), dengan total lebih dari 2,6 juta pemberitaan. Metode pengumpulan dilakukan oleh perangkat lunak crawler (robot) secara otomatis dengan analisis berbasis AI, semantik, serta text mining.
Kegemilangan Jokowi tak bisa dilepaskan dari pengaruh media. Media-lah yang memberitakan segala hal tentangnya. Media-lah yang “mengarahkan” opini publik pada Jokowi yang seolah menjadi antitesa pemimpin yang ada saat ini. Kebetulan Jokowi memiliki karakter yang menarik yang pantas, punya news value, dan selalu membawa kebaruan cerita yang dibawanya. Bukan hal basi. Bukan tentang basa-basi. Spontan. Bicara tentang fenomena Jokowi sebenarnya sudah bisa diprediksikan sejak pertengahan tahun lalu. Kemunculan awalnya melalui program mobil Esemka telah melambungkan namanya dari tokoh lokal, walikota Solo, menjadi tokoh nasional. Ia pandai membungkus peristiwa itu dalam sebuah waktu yang tepat, 2 Januari 2012, 2-1-12. Tentunya sebelum itu, ia sudah mencuri perhatian dengan berbagai upaya pembenahan kota Solo meski belum menjadi isu nasional.
Entah apa yang dilakukan ini sebuah pencitraan atau tidak namun yang jelas Jokowi mulai melenggang melalui program mobil Esemka. Meski project ini dibiayai oleh menteri Pendidikan M Nuh, toh nama yang muncul adalah nama Jokowi. Keberpihakan Jokowi pada produk nasional (yang digarap oleh siswa SMK) di tengah serbuan industri otomotif global dan asing membuat publik terpikat padanya. Ini adalah sebuah sikap dan sikap itu memiliki unsur keberanian. Apa yang dilakukan Jokowi lantas mendapat sambutan masyarakat – setidaknya terpotret melalui berbagai pemberitaan.
Kesuksesan membuat kebaruan ini membuat banyak tokoh nasional lantas ikut melirik mobil Esemka, entah sebagai kepedulian atau hanya sekadar mencari popularitas. Pada bulan Januari 2012, topik pembicaraan mobil Esemka dan Jokowi mencapai 700 pemberitaan dan meninggalkan serpihan-serpihan cerita Esemka pada bulan-bulan berikutnya, yakni maksimal 100 berita per bulan hingga bulan September 2012. Namun demikian, popularitas Jokowi terus melambung, meninggalkan “mobil” Esemka-nya. Hingga kini terdapat 56473 pemberitaan mengenai Jokowi sepanjang satu tahun terakhir, namun demikian, hanya 990 berita tentang Esemka. Bersamaan dengan itu perjalanan pemberitaan Jokowi terus melaju saat mencalonkan diri dan akhirnya terpilih menjadi Gubernur DKI. Ada lompatan jumlah yang dilampaui Jokowi dari pemberitaan lokal sekitar 500 perbulan pada bulan Maret dan menjadi 1000 pada bulan Mei Juni 2012, melompat hingga 3000 berita pada bulan Juli Agustus 2012 dan mencapai puncaknya pada bulan September dengan 6.526 pemberitaan tentang Jokowi!
Ini artinya, sehari ada sekitar 217 pemberitaan! Pada saat inilah pemberitaan Jokowi mengalahkan Presiden SBY yang berjumlah 4.094, sebuah kejadian yang relative langka. Jumlah pemberitaan Jokowi pun konsisten sejak itu. Ia selalu menempati urutan pemberitaan terbanyak di Indonesia setelah Presiden SBY, dengan rata-rata terpaut 50% pemberitaan. Posisi kedua ini pernah ditempati dahlan Iskan pada November 2012. Popularitas Jokowi terus melambung melampaui tokoh nasional dan kandidat calon presiden, seperti Hatta Rajasa, Dahlan Iskan, Aburizal Bakrie, Megawati, dan Prabowo. Hingga kini belum ada sejarahnya seorang gubernur yang pemberitaannya melampaui pemberitaan Jokowi. Sebagai contoh, Gubernur Jawa Timur Soekarwo atau Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan sekitar 500 pemberitaan/bulan. Padahal popularitas di media itu semakin mendekatkan Jokowi pada publik. Sepanjang Juli-Desember 2012, pemberitaan Jokowi menempati hampir 4 kali lipat jumlah pemberitaan dibanding Hatta Rajasa (ia hampir selalu menempati di bawah Jokowi), Aburizal Bakrie, Prabowo, maupun Megawati.
Jokowi memang seperti bintang baru di jagad politik Indonesia. Media begitu senang memberitakan apa pun yang dilakukan gubernur DKI baru itu. Bahkan untuk hal sepele sekalipun. Setiap kali ada berita Jokowi seolah magnet, dan masyarakat menikmatinya. Yang menarik, pemberitaan Jokowi justru berasal dari Kompas.com, yang dalam setahun memberitakan hingga mencapai 4000 berita, dan ini artinya 9 berita per hari tentang Jokowi. Uniknya, tak ada nama lain yang begitu banyak disebut sebanyak ini oleh Kompas.com, kecuali tentu saja Presiden SBY. Sebegitu luar biasakah Jokowi sehingga setiap hal tentangnya adalah sebuah pemberitaan yang seksi? Apa yang membuat Jokowi tetap begitu banyak dibicarakan banyak media? Segalanya. Mulai dari perilaku Jokowi, program kerja Jokowi, hingga percaturan calon presiden, di mana setiap bulan, isu itu terus berubah dan berkembang sehingga menyebabkan pemberitaan mengenainya tak pernah basi. Spontanitas Jokowi sepertinya menjadi perhatian public. Bahasanya yang bukan dari bahasa formal dan kaku, menjadi salah satu daya tariknya. Lihat saja bagaimana ia menggaet perhatian dengan kata-katanya,’ Enggak mikir. Enggak mikir. Enggak mikir.” Spontan dan membumi.
Apa saja yang dibicarakan pada Jokowi? Apakah popularitas itu karena aktivitas Jokowi seperti Kartu Jakarta Sehat, Kartu Jakarta Pintar, Normalisasi Pluit, Trans Jakarta, Monorel, masalah Pedagang Kaki Lima? Dalam clustering issue yang dilakukan oleh mesin Indonesia Indicator, media terus memberitakan berbagai program kerja Jokowi yang setiap bulan, dan senantiasa ada penekanan yang berbeda dari bulan ke bulan. Misalnya, Kartu Jakarta Sehat mencapai pembicaraan tertinggi pada bulan maret (1200 berita) dan menurun signifikan pada bulan Juni dan Juli (200 berita/ bulan). Kepeduliannya pada Trans Jakarta hampir rata-rata dibicarakan tiap bulan antara 200-400 pemberitaan. Namun dalam sebulah terakhir, isu yang beredar di Jokowi adalah mengenai survei popularitas. Sementara isu terbesar dalam setahun terakhir melingkupi pernyataan Mega yang menyebutkan Jokowi kurus, pelantikan walikota di tempat kumuh, langkah kongkrit Jokowi dalam menangani banjir, serta isu capres 2014 menempati perhatian publik. Sepertinya isu ini akan terus bergulir. Apakah karakter Jokowi yang membumi dan spontan, dianggap bergerak cepat, dianggap menjadi sosok yang dibutuhkan saat ini sehingga media terus memberitakannya?
Pun pada media social, yang banyak didominasi anak muda, Jokowi juga menampakkan dayanya. Dengan jumlah follower 638.940, dan tidak mem-follow siapapun, Jokowi seperti menjadi tempat untuk bicara. Mention yang ditujukan padanya mulai dari 12.888 hingga 83.945 per bulan. Sentimen yang dipotret oleh Indonesia Indicator menunjukkan resume yang netral dan positif. Sentimen negative hanya menunjukkan angka 9%. Sementara dibanding dengan ratusan ribu mention yang ditujukan padanya Jokowi hanya menulis 854 tweet. Kembali ke kisah kegemilangan, ada hal yang perlu diingatkan. Cerita kegemilangan ini terjadi di sepanjang 2012, namun menurun signifikan di tahun 2013. Secara jumlah, pemberitaan Jokowi menurun hampir separuhnya. Apabila di tahun 2012 pemberitaan Jokowi, terutama pada bulan Juli – Desember 2012 antara 4300-7000 rata-rata tiap bulannya, maka pada Januari - Juli 2013 berkisar 2000-4935. Penurunan ini jumlahnya hampir separuh dari tahun lalu. Apakah secara teknis hanya untuk menutup gap pemberitaan, euphoria itu kini sudah kembali normal, atau, sebuah kesengajaan?
Dari pengalaman Indonesia Indicator dalam menganalisa 8 pilkada di Indonesia, popularitas di media berkorelasi positif terhadap aksetabilitas. Dari pengalaman tim Obama dalam pemilu sebelumnya menunjukkan bahwa untuk meraih kemenangan Obama harus memiliki jumlah popularitas di media dan media social sebanyak empat kali lipat dibanding dengan kandidat lainnya.
Apabila Jokowi masih bisa menaikkan popularitasnya empat kali lipat dibanding kandidat lain – seperti yang terjadi di Juli-Agustus 2012 - hingga 9 bulan ke depan, tentu jalan itu membentang. Tapi, 9 bulan juga waktu yang panjang. Hanya publik yang bisa menentukan. Akankah Jokowi yang kita inginkan?
http://www.republika.co.id/berita/ju...m-potret-media
Asing dan Lembaga Survei Dorong Jokowi Jadi RI-1?
Minggu, 21 Juli 2013 | 18:54 WIB

Paparan figur Jokowi di media kelas dunia, The Wall Street Journal
source: http://realtime.wsj.com/indonesia/tag/jokowi/
Popularitas Joko Widodo (Jokowi) sebagai figur yang dianggap pantas menjadi RI-1 melalui Pemilu Presiden 2014, sepertinya belum akan habis. Bahkan bukan hal mustahil yang bakal terjadi , makin dekat momen penentuan capres dan cawapres, nama Jokowi akan terus menjadi sosok terpopuler. Padahal makna paling terpopuler bukanlah dalam konotasi terbaik. Sayangya, di tengah hiruk pikuk dan maraknya pencitraan positif tentang Jokowi, tak ada lagi yang bisa membedakan antara terpopuler dan terbaik. Atau seolah-olah kalau sudah terpopuler sudah sama maknanya dengan terbaik. Masyarakat kita dibuat rancu. Yang patut dicermati, kalaupun Jokowi masuk dalam kategori terbaik, namun seharusnya masih perlu ada embel-embelnya. Yaitu Jokowi merupakan figur terbaik di antara yang terburuk (the best amongst the worst). Popularitas Jokowi terus melejit antara lain dipicu hasil berbagai lembaga survei. Lembaga survei mengaku independen dan seakan melakukan survei tanpa hitung-hitungan bisnis.
Mereka terus merilis hasil yang menyebutkan elektabilitas Jokowi paling tinggi. Rilis itu disebar melalui pertemuan pers dan pada kesempatan yang bersamaan, penyelenggara survei memberi pembobotan secara verbal di sana sini. Bahwa Jokowi memiliki keunggulan yang tidak dimiliki para figur politik lainnya yang juga berpotensi menjadi RI-1. Masyarakat dibius untuk percaya. Sebab para penyelenggara survei dan yang berbicara sebagai pengamat, diberi embel-embel pakar dalam bidang politik, dsb. Atribut kepakaran itu digunakan awak media untuk memberi pembobotan pada penyiaran berita hasil survei tersebut. Dalam waktu singkat serta secara serempak sosok Jokowi menjadi figur paling populer di panggung politik. Popularitas Jokowi kemudian diperkuat dengan berbagai analisa tambahan dari para pakar melalui talk show. Perbincangan di media itu pun seakan orisional, tanpa pesanan dan rekayasa.
Hampir semuanya menyebut popularitas gubernur Ibukota itu merupakan sebuah fenomena baru dalam dunia politik di Indonesia. Pemilihan kata 'fenomena' pun melalui pemikiran yang dalam. Hasilnya para awak media tidak berpikir lain lagi kecuali semakin bersemangat mengutip pernyataan tentang 'fenomena' tersebut. Dampak dari pemberitaan secara terus menerus tentang Jokowi merembet kemana-mana. Pemberitaan dan pencitraan itu mempengaruhi sistem pengambilan keputusan di berbagai lembaga termasuk lembaga politik. Sejumlah partai politik, terutama yang bukan 'pemilik' Jokowi, terpengaruh oleh pemberitaan media massa. Mereka ikut-ikutan merebut simpatinya. Mereka ingin merekut Jokowi sebagai kader sekaligus pemimpin masa depan. Maka fenomena baru dalam perekrutan calon pemimpin nasional pun mengalami perubahan secara instan. Perekrutan melalui mekanisme yang menghormati azas-azas kepatutan dan kapabilitalas, terpinggirkan. Perekrutan secara instan, mengalahkan hal-hal fundamental. Alhasil dalam waktu singkat, Jokowi tidak hanya menjadi "media darling" tetapi sekaligus menjadi pejabat publik paling populer - dalam konotasi bersih dan kapabel. Namun yang menimbulkan pertanyaan, sebegitu akuratkah hasil survei tentang Jokowi tersebut?
Pertanyaan lain, benarkah para pengelola lembaga survei itu bekerja secara independen? Betulkah mereka tidak disponsori oleh kekuatan lain - khususnya yang berkepentingan menokohkan Jokowi? Tidak gampang menjawab sejumlah pertanyaan di atas. Demikian pula, terlalu prematur menuding bahwa para pengelola lembaga survei di Indonesia saat ini, tidak lagi bekerja atas azas profesionalisme dan bobot intelektual kuat. Namun jika 'fenomena' yang menggunakan metode instan seperti sekarang tidak dikritisi bahayanya sangat besar. Jika 'fenomena' ini dibiarkan, ke depan atau dalam jangka panjang, 'fenomena' ini mampu menghancurkan demokrasi di Indonesia. Kepada lembaga survei dan media sering berpartner, rasa percaya itu harus tetap kita tancapkan. Tetapi seperti pepatah tua, percaya wajib, tetapi curiga wajar jalan terus. Kita perlu curiga sebab baru dalam Fenomena Jokowi saat ini, sejumlah lembaga survei seakan menafikan unsur komersil dan transasksional. Padahal pekerjaan melakukan survei kepada ratusan atau ribuan responden itu memerlukan biaya tidak kecil.
[url]http://web.inilah..com/read/detail/2012584/asing-dan-lembaga-survei-dorong-jokowi-jadi-ri-1#.UjogDNLfC0k[/url]
Konspirasi Media untuk Menutupi Korupsi Jokowi Ahok
Selasa, 03 September 2013 - 13:51:49 WIB
ASATUNEWS - Terkait dugaan korupsi ratusan milyar yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo pada Program Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang saat ini sedang ramai dibicarakan masyarakat luas, dinilai sulit untuk diusut oleh aparat hukum seperti halnya KPK, Kejaksaan Agung atau POLRI. Disinyalir bahwa adanya tindak penyuapan terhadap mayoritas media massa oleh tim sukses dari Jokowi-Ahok yang bertugas khusus untuk menjaga pencitraan mereka termasuk usaha menutupi semua informasi dan berita negatif seperti pelanggaran terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), maupun penyimpangan-penyimpangan lainnya yang dilakukan oleh Jokowi ataupun Ahok. "Saya baru yakin tim sukses Jokowi Ahok membayar sejumlah media untuk kepentingan pencitraan ketika seorang wartawan yang juga merupakan teman saya memberikan bukti bahwa apa yang ditulis oleh teman saya tersebut dirubah oleh redakturnya yang bahkan kemudian berbalik menyerang saya", ujar seorang anggota DPRD DKI Jakarta yang enggan disebut namanya.
Pengalaman pahit serupa dialami banyak politisi lain yang pernah melakukan kritik atau koreksi terbuka terhadap Jokowi-Ahok. Bahkan, rencana interpelasi (Hak Meminta Penjelasan Kepada Pemerintah) DPRD DKI Jakarta pada bulan Mei 2013 lalu, layu sebelum berkembang atau dibatalkan DPRD DKI Jakarta karena sangat kuatnya opini media massa yang merupakan mitra dari tim sukses Jokowi-Ahok yang menyerang rencana interpelasi tersebut. Berdasarkan realitas keberpihakan mayoritas media massa tersebut, desakan DPRD DKI Jakarta kepada aparat penegak hukum (KPK, Kejaksaan dan POLRI) sudah barang tentu akan ditanggapi pesimis.
http://www.asatunews.com/berita-6986...kowi-ahok.html
Jokowi, Capres Paling Jujur Versi Wartawan
Minggu, 8 September 2013 | 12:45 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com – Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) merilis hasil survei yang menyebukan bahwa Joko Widodo atau Jokowi dinilai sebagai calon presiden yang paling jujur dibandingkan capres lainnya. Hal itu diperoleh dari survei yang dilakukan terhadap wartawan politik nasional. Dalam survei yang dirilis Minggu (8/9/2013) tersebut, Jokowi mendapatkan skor tertinggi (8,6) dari 27 capres dan cawapres lainnya. Menurut LPI, survei ini merupakan kajian kualitatif dalam rangka memberdayakan pemilih sebagai penentu kepemimpinan politik dalam pemilihan umum 2014 mendatang. LPI juga menyampaikan, pendekatan kuantitatif tidak diabaikan, tetapi dipandang sebagai upaya menyederhanakan realitas yang kualitatif dan kompleks.
http://nasional.kompas.com/read/2013...Versi.Wartawan
---------------------------------

Banyak yang terguncyang kalo Pakde Jokowi serius mau nyapres tahun depan. Bahkan tokoh sekaliber Amien Rais saja, terang-terangan meminta Jokowi jangan nyapres dulu untuk kali ini. Juga hal sama dilakukan oleh orang-orang Golkar yang menghendaki persaingan Pilpres tahun depan itu, kalau bisa jangan ada Jokowi didalamnya dulu. Bahkan tak terkecuali tokoh sebesar Prabowo sekalipun, keder maju Pilpres melihat hasil survei yang senantiasa menempatkan dirinya dibawah Jokowi kalau ada survei popularitas Pilpres. Kenapa sih mereka pada cemas dan khawatir? Soalnya, bandar bisa bangkrut, sudah habis duit triliunan, masa kalah sama Jokowi yang 'ndeso itu?

Diubah oleh AkuCintaNanea 24-09-2013 23:49
0
6.7K
42


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan