brianusoAvatar border
TS
brianuso
Ketuhanan Yang Maha Esa: Jalan Tengah yang Mendamaikan
Salam kenal agan dan aganwati ini postingan pertama ane,lebih kurang maafin ya..ane pingin agan dan aganwati mengingat lagi sejarah terbentuknya pancasila khususnya sila pertama tentang ketuhanan..semoga berkenan

Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan kesepakatan yang mampu mendamaikan masyarakat Indonesia yang multikultur dan multi agama itu. Sila ini bagi saya adalah sebuah konsensus cerdas. Memang jika kita melihat sejarah sebelum sampai pada kesepakatan Sila Pertama itu, ada perdebatan yang sengit antra golongan Islam dan golongan Nasionalis tentang konsep “Ketuhanan” yang dikemukakan Sukarno pada 1 Juni 1945. Perdebatan itu berkisar pada apakah negara yang hendak dibentuk itu “adalah negara agama atau negara sekuler”. Golongan Islam tentu menginginkan negara ini didasarkan atas Islam (yang memang mayoritas), sedangkan golongan nasionalis berkeinginan mendirikan negara baru itu dengan prinsip “semua buat semua.”


Tulisan ini hendak menguraikan tentang nuansa kebatinan yang melatarbelakangi Sukarno ketika berbisaca tentang “Ketuhanan yang berkebudayaan” sebagai prinsip kelima yang mendasari negara Indonesia merdeka; apa pertimbangan Panitia Sembilan ketika merumuskan sila pertama dalam Piagam Jakarta (22 Juni) sebagai “Ketuhanan YME, dengan kewajiban menjalankan Syariah Islam bagi pemeluk2nya”, yang kemudian dimentahkan juga setelah disahkan oleh BPUPKI 16 Juli 1945; dan bagaimana Sila Pertama yang bagi saya merupakan konsensus cerdas itu diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat yang plural pasca 18 Agustus 1945.
Pertanyaan menggelitik yang patut diajukan adalah mengapa Sukarno (yang beragama Islam) tidak mengusulkan Islam sebagai prinsip kelima dalam pidatonya 1 Juni 1945, mengingat agama Islam adalah yang mayoritas? atau mengapa ia memilih Ketuhanan?”Sukarno tentu memiliki alasan dan pertimbangan sendiri. Salah satu alasannya adalah ketika ia mengutip kata-kata Gandhi “My nasionalism is humanity” (Bahar, 1998: 97). Walaupun demikian, pertanyaan lain yang juga patut diajukan “mengapa Sukarno menjadi begitu nasionalis?” Semangat nasionalisme Sukarno memang telah tertanam sejak masa kanak-kanan dan tumbuh subur dalam sanubarinya. Karena itu, menurut saya setidaknya ada tiga fase yang perlu diuraikan untuk memetakan bagaimana pengaruh pemikiran-pemikiran yang berkembang saat itu terhadap diri Sukarno.

Ketiga fase itu dapat diringkas sebagai berukut: pertama,masa kanak-kanak Sukarno. Pada fase ini transfer (sosialisasi) nilai budaya Jawa (kisah pewayangan) dari keluarga, lebih khusus kakeknya di Tulungagung (Kediri) memberi dasar pijak bagi si Karno kecil. Dia mengadopsi dan menginternalisasikan cerita-cerita, nilai-nilai, dan karakter pewayangan ke dalam dirinya sehingga mempengaruhi kepribadian serta karakternya. Kisah heroik perang Mahabrata dan cerita mistis Ratu Adil merupakan kisah atau cerita yang paling ia gemari. Kisah perang Mahabarata mengambarkan suatu cerita perjuangan kepahlawanan (heroik) antara yang jahat dan baik. Perang ini juga merupakan penggambaran perang saudara antara kaum Pandawa dengan kaum Kurawa. Di dalam kisah ini, Sukarno sangat mengagumi tokoh pewayangan Bima (Werkudara) yang merupakan salah satu dari kaum Pandawa (Yudistira, Arjuna, Nakula dan Sadewa). Bima atau Werkudara digambarkan sebagai tokoh pejuang Pandawa yang sangat berani, keras pada prinsip, egois, rendah hati, tulus, pembela yang lemah, dan tidak kenal kompromi atau ampun dengan musuh-musuhnya. Namun, ia juga siap untuk bermufakat dengan orang-orang yang segolongan atau memiliki pandangan dan pemikiran yang sama dengannya (Suhelmi, 2003:15-16). Karena itu, Bernard Dahm (1969) meyakini bahwa cerita pewayangan itu telah membentuk dua karakater dalam diri Sukarno, yakni; pemersatu ulung (wujud dari pengaruh cerita wayang Mahabarata dan karakter Bima sebagai idolanya) dan anti imperialisme yang (dipengaruhi oleh konsep mistis Ratu Adil).

Fase kedua, adalah ketika Sukarno yang melanjutkan pendidikannya baik di HBS (Hoogore Burger School) maupun di Technische Hooge School (sekarang ITB). Di HBS ia tinggal (kost) di rumah dari H.O.S. Tjokroaminoto yang adalah pendiri dan ketua Sarekat Islam (Azis dkk, 1995). Pemikiran tentang Nasionalisme, Islam, maupun Sosialisme (Marxisme) mulai dikenalnya kala itu, baik dari Tjokroaminoto, Alimin, Muso, Semaun, Darsono serta tokoh-tokoh Sosialis Eropa misalnya Hendrik Sneevliet (orang Belanda yang dikenal dengan sebutan Maring dan ia merupakan wakil komintern di Cina), Adolp Baars, Reeser juga Hartogh.[1] Sedangkan di THS, ia setidaknya dipengaruhi oleh tokoh Indische Partij, khususnya Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker.[2]

Akumulasi dari pengaruh paham-paham itu kemudian dituangkannya dalam sebuah tulisan: “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxsisme” yang diterbitkan Suluh Indonesia Muda (1926). Tentang nasionalisme, Sukarno mengatakan:

“…nasionalisme di dalam kelebaran dan keluasannya mengasih tempat cinta pada lain bangsa, sebagai lebar dan luasnya udara, yang mengasih tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup … nasionalisme yang membuat kita menjadi ‘perkakasnya Tuhan’ dan membuat kita menjadi ‘hidup dalam roh’ …” Deliar Noer (1964:104).

Fase ketiga ketika masa pembuangan. Khususnya ketika Sukarno diasingkan ke Ende tahun 1934. Di pulau Ende inilah ia mulai memperdalam pemahamannya tentang Islam. Saat itu Sukarno saling berkirim surat dengan Ahmad Hassan[3]. Dalam surat-menyurat itulah Sukarno mempertanyakan berbagai hal tentang hadis-hadis sahih Bukhari-Muslim sebagai dasar hukum Islam. Di dalam suratnya kepada Hassan, ia berpendapat bahwa:

“Saya ingin sekali membaca lain-lain buah pena saudara… Saya perlu kepada Bukhari dan Muslim itu, karena di situlah dihimpunkan hadis-hadis yang dinamakan sahih. Padahal saya membaca keterangan dari salah seorang pengenal Islam bangsa Inggris, bahwa Bukharipun masih terselip hadis-hadis yang lemah. Diapun, menerangkan bahwa kemunduran Islam, kekunoan Islam, ketakhayulan orang Islam, banyaklah karena hadis-hadis lemah itu, yang lebih sering ”laku” daripada ayat-ayat Al-Quran . . .” (Suhelmi, 2003:27).

Puncak dari “diskusinya” dengan Hassan, adalah ketika dia membuat sebuah tulisan tahun 1940 tentang ”Apa sebab Turki memisah Agama dari Negara.” Sukarno dalam tulisannya menekankan pemisahan agama dari negara (berkaitan dengan permasalahan keputusan Kemal Attaturk melakukan hal itu di Turki) karena Sukarno berpandangan bahwa agama adalah aturan-aturan spiritual, sedangkan negara merupakan urusan duniawi. Ia berpendapat dan memformulasikan ulang pandangan Halide Edib Hanoum, bahwa:

“. . . Agama itu perlu dimerdekakan dari asuhannya supaya menjadi subur. Kalau Islam terncam bahaya pengaruhnya di atas rakyat Turki, maka itu bukanlah karena tidak diurus pemerintah tetapi justru diurus oleh pemerintah. Umat Islam terikat kaki-tangannya dengan rantai kepada politiknya pemerintahan. Hal ini adalah suatu halangan besar sekali buat kesuburan Islam di Turki dan bukan saja di Turki, tetapi di mana-mana saja, karena pemerintah campur tangan di dalam urusan agama, di situ menjadikan ia satu halangan besar yang tak dapat dienyahkan.” (Sukarno, 2005: 404-405).

Dengan pemahamannya yang begitu dalam tentang Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisime itulah, maka ketika berpidato pada tanggal 1 Juni 1945 dalam Sidang BPUPKI, Sukarno lebih memilih “Ketuhanan yang berkebudayaan” sebagai prinsip kelima yang menutup semua rangkaian pidatonya. Dengan mempelajari dan mendalam “alam pikir” dari setiap paham itu, Sukarno berkata: “Saya bukan seorang nasionalis. Saya bukan seorang religius. Saya bukan seorang sosialis. Saya adalah saripati dari ketiganya.” (Situngkir, 2008:1)
Sukarno memang tidak pernah menyebut atau menyinggung Emile Durhkeim (1858-1917) dalam pidatonya tanggal 1 Juni itu. Namun jika kita mencermati bagaimana Pancasila itu “dilahirkan” dan menjadi konsensus bersama yang melampaui sekat-sekat keagamaan, maka menurut saya ada kemiripan pandangan dengan Durkheim dalam memandang agama. Bagi Durkheim, agama merupakan “sesuatu yang sesungguhnya berwatak sosial. Gambaran keagamaan adalah gambaran kolektif yang mengekspresikan kenyataan kolektif” (Durkheim, 1915:22). Gambaran kolektif ini merupakan hasil kerjasama luar biasa yang tersebar pada suatu waktu dan tempat tertentu. Karena itu menurut Durkheim, masyarakat adalah sui generis, sesuatu yang unik, yang tidak bisa dijumpai sama di tempat lainnya (1915:29). [4] Bagi Durkheim, agama (keagamaan) lahir dari tengah situasi mental yang luar biasa (effervescent) dari lingkungan sosial. Karenanya kekuatan agama adalah kekuatan moral, yang lahir dari gagasan-gagasan dan perasaan-perasaan yang timbul dari dalam diri kita karena pengamatan (spectacle) masyarakat. Jadi agama adalah suatu kenyataan unik dari suatu masyarakat tertentu. Karena itu, dalam kedudukan seperti inilah agama dapat fungsional secara positif bagi masyarakatnya (Titaley, 1989).

Sukarno, sosok yang berkharisma ini dengan tegas mengatakan prinsip kelima bagi Negara Indonesia merdekan adalah “k e t u h a n a n!… Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa!” (Bahar, dkk, 1998:101).

Sebelum sampai pada usulan Sila ini, Sukarno dengan bahasa retorika yang penuh karisma menyatakan “bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri…Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara berkebudayaan yakni, dengan tiada ‘egoisme agama’.” Pernyataan ini setidaknya mengindikasikan 2 makna, yakni: 1). Negara Indonesia sebagai satu bentuk kehidupan bersama, diharapkan dapat memberikan kebebasan dan keleluasaan tiap-tiap warganya untuk melaksanakan kehidupan keagamaannya; 2). Harapan yang ditujukan kepada penganut agama yang diberi keleluasaan itu agar mau menjalankan agamanya secara berkebudayaan. Dalam perspektif seperti inilah saya mengatakan bahwa Sukarno memiliki kemiripan dengan Durkheim ketika ia berbicara tentang Pancasila yang di dalamnya terdapat ide “Kebangsaan” dan “ke-Tuhanan” dari sebuah masyarakat (bangsa) baru yang hendak dibentuk itu.

Memang kata “berkebudayaan” itu memiliki makna yang cukup luas. Karena itu, orang dapat memperdebatkannya. Sukarno sendiri tidak memberikan batasan yang tegas tentang hal itu, kecuali ungkapan lain seperti “tiada egoisme-agama” atau Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur; Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Namun jika kita dengan cermat membaca keseluruhan pidato itu, termasuk dinamika dalam sidang BPUPKI 29 Mei – 1 Juni itu, maka akan tersingkap tabir gagasan-gagasan dibalik pernyataan tersebut. Tentu ide tentang ke-Tuhanan yang berkebudayaan tidak bisa dilepaspisahkan dari ide kebangsaan. Karenanya kerangka kehidupan beragama perlu “disusun” agar tidak memporak-porandakan kesatuan bangsa. Ini berarti di dalam beragama, seharunya orang tidak mengamini dan melakukan sesuatu secara membabi buta tanpa penalaran.
_________
Sumber : http://ellykudubun.wordpress.com
Tulisan diatas sangat tepat untuk kita renungan di tengah derasnya kekerasan atas nama agama yang tidak bisa diselesaikan dengan baik oleh pemerintah kita..Sukarno adalah manusia biasa yang tidak luput dari salah namun gagasan yang brilian untuk indonesia di masa depan sudah terbukti sekarang ini jika negara ini dilandaskan oleh satu agama tertentu mungkin nasib bangsa ini tidak akan jauh berbeda dengan situasi di timur tengah sekarang.
0
1.8K
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan