Kaskus

Entertainment

retrohimmuraAvatar border
TS
retrohimmura
Tidak Ada Kata Terlambat, SMA di Usia 25 Tahun
Saat masih berusia sekolah, orang-orang ini punya banyak kendala. Sekarang, saat ada kesempatan, peluang meraih pendidikan itu mereka ambil.

Tidak Ada Kata Terlambat, SMA di Usia 25 Tahun
Seorang siswa SMA YPK Bintuni Papua Barat, Titus Masakoda, 25 tahun, yang usianya sudah dewasa tekun menyalin pelajaran di kelasnya. Di Papua banyak murid berusia dewasa mengejar ketinggalannya, karena sewaktu di usia sekolah mereka tidak didaftarkan orang tuanya. Faktor kekurangan jumlah sekolah atau sekolah yang ada jauh letaknya dan sulit dijangkau menjadi salah satu alasannya. (Feri Latief)


Pemandangan ini tidak biasa, seorang lelaki dewasa mengenakan seragam SMA nampak tekun mencatat pelajaran yang diberikan gurunya di kelas. Wajahnya sangat serius saat gurunya menerangkan tugas sekolah yang diberikan.

Dibanding teman-teman sekelasnya ia nampak jauh lebih dewasa. Nama pria itu Titus Masakoda, usianya memang di atas rata-rata usia teman sekelasnya yang baru belasan tahun. Ia berusia 25 tahun.

Fenomena usia dewasa yang bersekolah di SD, SMP, atau SMA memang ada di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Darsono, dari British Council, yang menjadi konsultan pendidikan bagi pemerintah daerah Kabupaten Teluk Bintuni, pernah menemukan di salah satu distrik ada seorang bapak yang menjadi murid kelas empat sekolah dasar.

“Yang lebih mengejutkan anaknya bapak itu menuntut ilmu di sekolah yang sama tapi anaknya duduk di kelas lima”, kata Darsono.

Banyak hal yang menyebabkan hal seperti di atas bisa terjadi. Contohnya Titus Masakoda, ia sempat jeda sekolah selepas kelulusan kelas tiga SMP Santa Monika tahun 2009. “Setelah ujian SMP saya pulang kampung ke distrik Masyeta untuk berlibur," Titus menjelaskan.

Waktu tempuh perjalanannya ke kampungnya memerlukan waktu dua hari. Setelah berkendara seharian lalu dilanjutkan jalan kaki satu hari lagi. Di kampungnya ia ternyata berlibur panjang sekali: dua tahun! “Saya menganggur dua tahun. Baru tahun 2011 saya mulai sekolah lagi," cerita Titus.

Hal seperti ini sering kali terjadi saat siswa liburan pulang kampung lalu tak pernah kembali ke sekolah. Sekarang Titus sudah duduk di kelas tiga SMA, dan usianya sudah 25 tahun. Bisa dipastikan waktu awal ia masuk sekolah umurnya sudah di atas anak rata-rata usianya.

Apalagi menurut pengakuannya ia suka berpindah-pindah sekolah. Maklum, sekolah sulit dijangkau dan jumlahnya terbatas. Masalah topografi yang ekstrem dan akses ke sekolah memang kendala bagi dunia pendidikan di Papua. Pengadaan infrastrukturnya sulit dan sangat mahal. Saat sekolah baru dibuka, anak-anak yang usianya di atas rata-rata usia sekolah pun mendaftar.

Halangan bersekolah ini ditambah dengan kultur masyarakat pedalaman yang masih menjalankan tradisi berburu, mencari ikan, atau mencari bahan makan di hutan. Kalau sudah musimnya, orang tua biasa mengajak anak yang bersekolah untuk ikut mereka ke laut atau ke hutan.

Tidak Ada Kata Terlambat, SMA di Usia 25 Tahun
Sering dijumpai perbedaan usia murid yang mencolok di bangku sekolah di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. (Feri Latief)


Bisa dipastikan banyak anak yang akan meninggalkan bangku sekolahnya. Dan itu bukan hanya satu dua hari, bisa berbulan-bulan. Sekolah anak pun terlantar. Sering kali setelah itu siswa-siswa tak kembali ke sekolah lagi.

Kalau si anak melanjutkan sekolah lagi berarti ia akan mengalami kesulitan untuk mengejar ketinggalan pendidikannya. Risikonya, murid yang bersangkutan tak akan naik kelas. Namun jika tidak naik kelas, akan ada masalah besar.

“Sekolah akan diserbu orangtua murid yang protes karena anaknya tidak naik kelas”, kata salah seorang guru di Kampung Onar.

Sering kali protes ini disertai tindakan kekerasan kepada sang guru. Manalah ada orang mau kerja dengan baik jika keselamatannya terancam? Mau tak mau, oleh sang guru menaikan kelas murid yang bersangkutan. Kenaikan kelas yang dipaksakan ini akhirnya membuat sang murid pun keteteran ketika menghadapi kelas baru.

Menurut Wiesje Ketzia Sengka, yang mengajar di SMA YPK menceritakan masalahnya “Sangat sulit untuk kami menyesuaikan diri dengan mereka. Ada yang sudah kelas satu SMA tapi kemampuan bacanya rendah sekali. Tapi dengan usaha terus menerus kami akhirnya bisa.”

Tingkat partisipasi siswa dan orangtua rendah dalam proses ajar mengajar. Sekolah hanya ramai pada tahun ajaran baru, setelah itu perlahan sepi. Masalah lain adalah ketersedian tenaga pengajar. Perlu orang-orang tangguh yang mau mengajar di daerah terpencil. Tapi sayangnya sangat sedikit guru yang tersedia. Kelas sering kosong karena ketidakhadiran guru, lalu berimbas ke murid yang jadi malas-malasan ke sekolah.

Tapi perlahan kini mulai berubah. Sejak tujuh tahun lalu, menurut data dari Dinas Pendidikan, ada peningkatan yang signifikan. Apa lagi saat pemerintah daerah membebaskan uang sekolah dari TK sampai SMA.

“Tingkat kehadiran siswa di kelas meningkat. Dari tahun 2007 untuk SD tingkat kehadirannya 84 persen sekarang mencapai 99 persen. Untuk SMP hanya 71 persen, sekarang 86 persen. SMA yang ngeri, tahun 2007 cuma 20,6 persen, sekarang sudah 74 persen. Luar biasa," penjelasan Darsono.

Tidak Ada Kata Terlambat, SMA di Usia 25 Tahun
Anak-anak Nebes dari kampung Uda Gaga sekarang bersekolah. Orangtua mereka terkenal sebagai suku pengembara, kini menetap dan menyekolahkan anaknya di distrik Aranday, Teluk Bintuni – Papua Barat. (Feri Latief)


Kualitas guru dan sistem pengajaran pun dibenahi. Guru-guru yang berintegritas pun direkrut. Mereka mendapat insentif khusus dari pemerintah daerah agar bersemangat mengajar.

Guru-guru yang dinilai berkualitas di tempatkan di pedalaman. Semua kebutuhan guru berusaha dipenuhi. Jumlah sekolah pun bertambah. Perlahan gairah untuk pergi ke sekolah meningkat.

Jadi jangan heran banyak anak yang kembali lagi ke sekolah. Lihat saja Titus Masakoda yang berusaha sendiri untuk menyelesaikan sekolahnya. Ia kerja keras untuk mengejar keteringgalannya. Sampai harus kerja serabutan untuk membiayai hidupnya. Untung adiknya yang sudah menjadi kepala kampung ikut membiayai sekolahnya.

Pace, kita ini ingin melanjutkan kuliah di Manokwari. “Saya punya cita-cita ingin menjadi kepala distrik!”, ujarnya sesaat sebelum kembali ke kelas. Ayo pace, tidak ada kata terlambat!

Spoiler for sumber:
0
6K
64
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan