Kaskus

Entertainment

kampaloAvatar border
TS
kampalo
SUKU KAJANG TANA TOA
"Hitam adalah kesederhanaan dan kejujuran. Dengan memakai warna hitam tidak ada rasa iri diantara kami. Karena kami lahir dan mati dari kegelapan (hitam)", Puto Tangai Jawatang Galapang Tama - Pemangku Adat Suku Kajang."

SUKU KAJANG TANA TOA


Kajang bukan sekedar wilayah di daerah Bulukumba, Sulawesi Selatan. Kajang identik dengan sebuah kehidupan suku pedalamannya. Sebuah suku yang masih hidup dengan sangat sederhana dengan memegang teguh adat istiadat warisan leluhur. Mereka membentengi diri dari segala modernisasi. Disanalah tinggal sebuah suku yaitu suku Kajang.

Suku Kajang terletak di kecamatan Kajang kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan atau sekitar 250 KM dari kota Makasar. Hingga saat ini suku Kajang hidup dan tinggal diatas tanah yang mereka anggap sebagai tanah warisan leluhur. Dan mereka menyebutnya Tana Toa.

Di Tana Toa ini suku Kajang tinggal di kawasan hutan dan terbagi menjadi dua kelompok, suku Kajang luar dan suku Kajang dalam. Suku Kajang luar hidup dan menetap di tujuh desa di Bulukumba. Sedangkan suku Kajang dalam tinggal di dusun Benteng. Hingga saat ini kehidupan suku Kajang luar lebih modern dari suku Kajang dalam.

Dulu suku Kajang memeluk agama Panuntung atau tuntutan. Tapi belakangan ini tidak sedikit dari mereka yang memeluk agama Islam. Pada prinsipnya Panuntung mengkiblatkan diri pada pesan-pesan dari suku Kajang yaitu hidup sederhana dan apa adanya.

Sesampainya di pintu gerbang utama suku Kajang kita bisa istirahat sejenak sambil menyiapkan pakaian berwarna hitam sebelum memasuki kawasan suku Kajang dalam. Hindari pakaian yang memiliki sablon tulisan atau gambar berwarna merah. Karena warna selain hitam apalagi merah "diharamkan" di Tana Toa.

Siapapun pendatang yang ingin berkunjung ke Tana Toa tetap harus mematuhi semua peraturan adat yang berlaku. Perjalanan dari gerbang utama menuju dusun Benteng tidak boleh menggunakan transportasi modern. Selama berada di kawasan Tana Toa harus jalan kaki. Hanya ada satu alternatif transportasi untuk mengelilingi Tana Toa yaitu kuda.

Meski kendaraan tidak diperbolehkan memasuki kawasan Tana Toa ternyata jalan-jalan di kawasan ini sudah tertata dengan baik. Di sepanjang jalan terdapat rumah-rumah adat dengan halaman berpagar batu dan bambu. Sejuk, sepi dan alami begitulah kesan memasuki kawasan Tana Toa.

Ammatoa
Sekitar 15 menit jalan kakidari pintu gerbang utama akhirnya sampai di dusun Benteng. Dusun Benteng menjadi pusat kegiatan komunitas suku Kajang karena terdapat rumah Ammatoa atau pemimpin adat suku Kajang.

Bagi suku Kajang, Ammatoa memiliki peranan yang sangat penting untuk semua kehidupan. Ammatoa merupakan pemimpin agama, pemimpin adat, hakim dan dokter bagi warga yang memiliki masalah.

Warga suku Kajang percaya, Ammatoa merupakan orang yang dipilih sebagai pembimbing dan pengarah kehidupan sehingga masyarakat suku Kajang benar-benar menjaga kesucian tokoh itu. Dan tidak seorang pun diperkenankan memiliki rekaman wajahnya.

Rumah Suku Kajang
Suku Kajang dalam benar-benar hidup sederhana. Kesederhanaan tersebut dapat dilihat dari arsitektur rumah Kajang. Semua rumah di Tana Toa dibangun dan terbuat dari bahan yang sama. Bentuk rumah panggung terbuat dari kayu dengan atap dari jerami. Sampai arah rumah pun semua sama yaitu menghadap ke barat. Semua letak kamar mandi berada di depan rumah dan tanpa pintu. Aktifitas cuci-cuci dan buang air kecil jadi satu disini. Tapi jika ingin buang air besar segeralah lari ke hutan.

Suku Kajang dalam benar-benar menjauhkan diri dari segala modernisasi. Kawasan ini bebas listrik. Di dalam rumah mereka tidak ada televisi, radio dan peralatan elektronik lainnya. Tidak ada kasur, meja, kursi, buku, majalah atau koran. Mereka meniadakan itu semua demi untuk menjaga dan menjain kelestarian lingkungan dengan alam, para leluhur dan yang terpenting Tuhan.

Selain kesederhanaan, mereka juga menganggapnya sebagai simbol keseragaman. Mereka percaya jika ada keseragaman tidak akan ada rasa iri diantara masyarakat suku Kajang.

Keseharian Suku Kajang
Sumber utama kehidupan suku Kajang adalah pertanian dan perkebunan. Dimana untuk memenuhi kebutuhan tersebut sebagian besar kaum laki-laki suku Kajang bekerja di ladang atau sawah pada siang hari. Ketika musim tanam tiba mereka berbondong-bondong ke sawah yang jaraknya beberapa kilometer dari rumah. Mereka mamanfaatkan kuda sebagai kendaraan ke sawah atau ladang dan kerbau sebagai pembajak. Namun bagi warga suku Kajang yang tidak memiliki sawah atau ladang, biasanya mereka bekerja pada pemilik sawah atau ladang.

Sedangkan kaum perempuan bekerja menenun kain di rumah. Mereka menenun kain untuk dijadikan sarung hitam khas suku Kajang atau sering disebut "Tope Le'leng". Kain hasil tenunan mereka jual ke para pendatang sebagai penghasilan tambahan. Untuk satu kain mereka jual dengan harga 400 hingga 500 ribu perak.

Pohon Kutang
Setelah cukup lama mengelilingi kawasan "hitam" Tana Toa, sayapun dikejutkan dengan benda yang menempel pada batang pohon milik salah satu warga suku Kajang. Kutang !!! Yup, empat buah kutang dengan berbagai macam corak, warna dan ukuran menempel melingkar kuat pada batang pohon berdiameter 1.5 meter.

Sepintas dalam pikiran saya hanyalah orang iseng yang menmpelkan kutang pada batang pohon tersebut. Ternayata kutang tersebut bukanlah kutang biasa. Kutang yang menempel pada pohon tersebut telah diberi mantra supaya daun dan buahnya tidak rontok atau jatuh ke tanah. Ehmm boleh juga tuh dicoba.

Suku Kajang identik dengan pakaian serba hitam. Namun belakangan ini hanya Ammatoa dan pemuka adat yang tetap berpakaian hitam. Sementara warga suku Kajang lain hanya mengenakan pakaian hitam saat upacara adat atau menghadap Ammatoa.

Sedikit dari mereka yang bisa berbahasa Indonesia. Dalam sehari-hari mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah setempat yaitu bahasa Konjo.

Diluar keyakinan adat yang hingga saat ini masih terus dipelihara, suku Kajang pun memiliki peradaban kuno yang mengagumkan. Adalah makam dengan nisan batu berukuran besar merupakan bukti kuno peninggalan sejarah yang kuat. Adanya jejak-jejak arkeologis di Tana Toa membuat warga suku Kajang percaya bahwa mereka bukan hanya memiliki sejarah peradaban yang panjang. Namun suku Kajang merupakan leluhur raja-raja di Sulawesi Selatan.
0
2.1K
7
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan