- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
BUMN Produsen "si Unyil" Perum Produksi Film Negara (PFN)


TS
h4ns_85
BUMN Produsen "si Unyil" Perum Produksi Film Negara (PFN)
Pagii..agan2 smua...lgi iseng baca2 eh ktemu berita tentang produsen si Unyil, jd inget jaman dulu...langsung aja dech...
Pareh (1935) dikenal sebagai Java Pacifc Film
Terang Boelan (1937) dikenal sebagai ANIF
Antara Bumi dan Langit (1950)
Inspektur Rachman (1950) dikenal sebagai Perusahaan Film Negara (PFN)
Untuk Sang Merah-Putih (1950) dikenal sebagai Perusahaan Film Negara (PFN)
Djiwa Pemuda (1951)
Rakjat Memilih (1951)
Si Pintjang (1951) dikenal sebagai Perusahaan Film Negara
Penjelundup (1952) dikenal sebagai Perusahaan Film Negara
Sekuntum Bunga Ditepi Danau (1952)
Mardi dan Keranya (1952) dikenal sebagai Perusahaan Film Negara
Sajap Memanggil (1952)
Meratjun Sukma (1953)
Belenggu Masjarakat (1953)
Kopral Djono (1954)
Kembali ke Masjarakat (1954)
Si Melati (1954)
Antara Tugas dan Tjinta (1954)
Merapi (1954)
Peristiwa Didanau Toba (1955)
Djajaprana (1955)
Rajuan Alam (1956)
Tiga-Nol (1958)
Ni Gowok (1958)
Lajang-Lajangku Putus (1958)
Kantjil Mentjuri Mentimun (1959)
Daun Emas (1963) dikenal sebagai Perusahaan Film Negara
Kelabang Hitam (1977) dikenal sebagai PPFN
Warok (1978) dikenal sebagai PPFN
Si Pincang (1979) dikenal sebagai PPFN
Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa (1979) dikenal sebagai PPFN
Harmonikaku (1979) dikenal sebagai PPFN
Sinila (Peristiwa Gunung Dieng) (1979) dikenal sebagai PPFN
Cita Pertiwi (1980) dikenal sebagai PPFN
Si Gura-gura (1980) dikenal sebagai PPFN
Laki-laki dari Nusakambangan (1980) dikenal sebagai PPFN
Orang-Orang Laut (1980) dikenal sebagai PPFN
Juara Cilik (1980) dikenal sebagai PPFN
Hadiah Buat Si Koko (1980) dikenal sebagai PPFN
Serangan Fajar (1981) dikenal sebagai PPFN
Kereta Api Terakhir (1981) dikenal sebagai PPFN
Dia yang Kembali (1982) dikenal sebagai PPFN
Senja Masih Cerah (1982) dikenal sebagai PPFN
Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI (1982) dikenal sebagai PPFN
Djakarta 1966 (1982) dikenal sebagai PPFN
Film dan Peristiwa (1985) dikenal sebagai PPFN
Penumpasan Sisa-sisa PKI Blitar Selatan (Operasi Trisula) (1986) dikenal sebagai PPFN
Surat untuk Bidadari (1992) dikenal sebagai PPFN
Pelangi di Nusa Laut (1992) dikenal sebagai PPFN
[URL="http://finance.detik..com/read/2013/09/10/070354/2353940/4/mengintip-sisa-kejayaan-markas-bumn-produsen-si-unyil-dan-g30s-pki?991101mainnews"]Sumber[/URL]
[URL="http://finance.detik..com/read/2013/09/10/075728/2353963/4/pegawai-bumn-si-unyil-tersisa-88-orang-dari-600-paling-muda-umur-45?f9911013"]Sumber lagi[/URL]
Sumber lain
Semoga bermanfaat
dan mudah2an ga

Spoiler for Foto gedungnya:

Spoiler for Sisa-sisa:

Spoiler for Berita:
Jakarta - Ada 143 perusahaan pelat merah Indonesia yang memiliki berbagai lini bisnis berbeda. Salah satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memproduksi film layar lebar, film dokumenter dan animasi.
Perusahaan pelat merah ini bernama Perum Produksi Film Negara (PFN). Berkantor di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur, PFN yang telah ada sejak zaman Belanda atau berdiri tahun 1935 ini sekarang hanyalah sebuah BUMN memiliki neraca keuangan negatif dengan utang mencapai Rp 11 miliar.
PFN yang masuk katagori BUMN dhuafa ini sudah sejak tahun 2000-an tidak memproduksi berbagai jenis film. Namun pada masa keemasannya di tahun 1980-an, PFN memiliki beberapa studio, bioskop hingga laboratorium perfilman super modern.
Di lokasi seluas 2,3 hektar ini film layar lebar seperti 'Pengkhianatan G 30 S PKI', film dokumenter 'Gelora Indonesia' hingga film audio visual anak-anak 'Si Unyil' diproduksi dan diluncurkan.
detikFinance pun memperoleh kesempatan berkeliling pusat produksi PFN didampingi Direktur Utama PFN Shelvy Arifin dan seorang stafnya. Shelvy mengajak berkeliling gedung milik PFN.
Terlihat beberapa bagian gedung yang dulunya sangat sibuk dengan hiruk pikuk produksi, kini terlihat tidak terawat dengan cet mengkelupas dan banyak bagian bangunan ada yang rusak. Bahkan ada
beberapa bangunan dalam kondisi tidak layak pakai.
Seperti pusat laboratorium perfilman yang sempat menjadi ikon PFN karena diklaim terbesar se-Asia Tenggara. Shelvy menjelaskan untuk menekan biaya perawatan, beberapa gedung pun disewakan.
“Revenue saat ini dari sewa lahan sewa ruang sama sewa studio ada 3. Kita punya 4 studio tapi yang paling besar dan sering dipakai itu studio 1 yang sedang dipakai MNC. Terus beberapa ruangan, bekas ruang edit, ruang animasi itu kita sewakan untuk beberapa kantor dan ada 2 sekolah juga. Ada sekolah tinggi teknologi sama sekolah tinggi manajemen,” ucap Shelvy saat berbincang kepada detikFinance di kantor pusat PFN, Jalan Otto Iskandar Dinata Jakarta Timur, Jumat (6/9/2013).
Saat ditunjuk Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan memimpin PFN, ibu muda ini mengaku tidak tahu banyak soal aktivitas PFN karena minimnya sumber informasi. Bahkan salah satu pejabat Kementerian BUMN sempat menayakan kembali kesiapannya memimpin dan membangkitkan PFN.
“Ketika saya menginjakkan kaki disini tanggal 16 Juli. Saya nggak tahu apa-apa. Jadi saya sempat cari tahu sana-sini. Lewat Google dan lewat teman-teman. Kalau di Google beritanya mau dilikuidasi, dikubur, Pak Raden. Beritanya kayak gitu. Mau cari website BUMN pun nggak ada apa-apa,” kata Shelvy.
(feb/ang)
Perusahaan pelat merah ini bernama Perum Produksi Film Negara (PFN). Berkantor di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur, PFN yang telah ada sejak zaman Belanda atau berdiri tahun 1935 ini sekarang hanyalah sebuah BUMN memiliki neraca keuangan negatif dengan utang mencapai Rp 11 miliar.
PFN yang masuk katagori BUMN dhuafa ini sudah sejak tahun 2000-an tidak memproduksi berbagai jenis film. Namun pada masa keemasannya di tahun 1980-an, PFN memiliki beberapa studio, bioskop hingga laboratorium perfilman super modern.
Di lokasi seluas 2,3 hektar ini film layar lebar seperti 'Pengkhianatan G 30 S PKI', film dokumenter 'Gelora Indonesia' hingga film audio visual anak-anak 'Si Unyil' diproduksi dan diluncurkan.
detikFinance pun memperoleh kesempatan berkeliling pusat produksi PFN didampingi Direktur Utama PFN Shelvy Arifin dan seorang stafnya. Shelvy mengajak berkeliling gedung milik PFN.
Terlihat beberapa bagian gedung yang dulunya sangat sibuk dengan hiruk pikuk produksi, kini terlihat tidak terawat dengan cet mengkelupas dan banyak bagian bangunan ada yang rusak. Bahkan ada
beberapa bangunan dalam kondisi tidak layak pakai.
Seperti pusat laboratorium perfilman yang sempat menjadi ikon PFN karena diklaim terbesar se-Asia Tenggara. Shelvy menjelaskan untuk menekan biaya perawatan, beberapa gedung pun disewakan.
“Revenue saat ini dari sewa lahan sewa ruang sama sewa studio ada 3. Kita punya 4 studio tapi yang paling besar dan sering dipakai itu studio 1 yang sedang dipakai MNC. Terus beberapa ruangan, bekas ruang edit, ruang animasi itu kita sewakan untuk beberapa kantor dan ada 2 sekolah juga. Ada sekolah tinggi teknologi sama sekolah tinggi manajemen,” ucap Shelvy saat berbincang kepada detikFinance di kantor pusat PFN, Jalan Otto Iskandar Dinata Jakarta Timur, Jumat (6/9/2013).
Saat ditunjuk Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan memimpin PFN, ibu muda ini mengaku tidak tahu banyak soal aktivitas PFN karena minimnya sumber informasi. Bahkan salah satu pejabat Kementerian BUMN sempat menayakan kembali kesiapannya memimpin dan membangkitkan PFN.
“Ketika saya menginjakkan kaki disini tanggal 16 Juli. Saya nggak tahu apa-apa. Jadi saya sempat cari tahu sana-sini. Lewat Google dan lewat teman-teman. Kalau di Google beritanya mau dilikuidasi, dikubur, Pak Raden. Beritanya kayak gitu. Mau cari website BUMN pun nggak ada apa-apa,” kata Shelvy.
(feb/ang)
Spoiler for Jumlah Pegawainya:
Jakarta - Perum Produksi Film Negara (PFN) pernah punya pegawai hingga 600 orang pada masa kejayaannya di 1980-an hingga 1990-an. Seiring dinamika industri perfilman hingga penghentian suntikan modal dari negara pada tahun 1996, PFN kemudian mengalami guncangan.
Hal ini diakui oleh Direktur Utama PFN Shelvy Arifin saat berbincang dengan detikFinance di kantor pusat PFN, Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur, Jumat (6/9/2013).
“Dulu PFN ketika terpuruk, pegawai PFN itu dipecah dua. Ada yang istilahnya direktur lama pernah mengelurkan SK menunggu pekerjaan. Jadi SK ini membagi dua kelompok karyawan. Sebagian kerja di sini tapi menangani administrasi kepegawaian jadi mereka itu PNS Kominfo yang ditugaskan ke PFN. Jadi urusannnya sama Kominfo. Sisanya mereka dirumahkan untuk menunggu pekerjaan lah tapi mereka tetap digaji,” jelasnya.
Sering berjalannya waktu, kondisi BUMN yang pernah terkenal dengan karya Si Unyil ini semakin memburuk. Tepatnya tahun 2006, BUMN film ini mengalami audit keuangan yang terakhir.
“Kita terakhir diaudit tahun 2006. Dilaporan audit kita ruginya sudah sangat luar biasa jadi mereka ada target tahunan tapi pokoknya biaya produksi lebih besar daripada harga jual,” tambahnya.
Saat ini, jumlah pegawai PFN yang tersisa tinggal 88 dan berstatus PNS. Shelvy mengatakan usia termuda pegawainya berumur 45 tahun. Hal ini terjadi karena sekitar 20 tahun lebih tidak adanya proses regenerasi pegawai.
“Ada 88 orang tapi akhir tahun ini yang mau pensiun 20 orang jadi tinggal 66 orang. Usia yang paling muda itu 45 tahun,” sebutnya.
Menurutnya, pegawai PFN memiliki kemampuan yang cukup mumpuni. Karena saking lamanya menganggur, keahlian pegawainya tidak bisa mengikuti perkembangan industri film saat ini.
“Di sini yang saya liat adalah mereka memang punya kemampuan tapi tidak diperbaharui keahliannya. Jadi referensinya masih yang dulu padahal referensi sekarang sudah berbeda,” jelasnya.
(feb/ang)
Hal ini diakui oleh Direktur Utama PFN Shelvy Arifin saat berbincang dengan detikFinance di kantor pusat PFN, Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur, Jumat (6/9/2013).
“Dulu PFN ketika terpuruk, pegawai PFN itu dipecah dua. Ada yang istilahnya direktur lama pernah mengelurkan SK menunggu pekerjaan. Jadi SK ini membagi dua kelompok karyawan. Sebagian kerja di sini tapi menangani administrasi kepegawaian jadi mereka itu PNS Kominfo yang ditugaskan ke PFN. Jadi urusannnya sama Kominfo. Sisanya mereka dirumahkan untuk menunggu pekerjaan lah tapi mereka tetap digaji,” jelasnya.
Sering berjalannya waktu, kondisi BUMN yang pernah terkenal dengan karya Si Unyil ini semakin memburuk. Tepatnya tahun 2006, BUMN film ini mengalami audit keuangan yang terakhir.
“Kita terakhir diaudit tahun 2006. Dilaporan audit kita ruginya sudah sangat luar biasa jadi mereka ada target tahunan tapi pokoknya biaya produksi lebih besar daripada harga jual,” tambahnya.
Saat ini, jumlah pegawai PFN yang tersisa tinggal 88 dan berstatus PNS. Shelvy mengatakan usia termuda pegawainya berumur 45 tahun. Hal ini terjadi karena sekitar 20 tahun lebih tidak adanya proses regenerasi pegawai.
“Ada 88 orang tapi akhir tahun ini yang mau pensiun 20 orang jadi tinggal 66 orang. Usia yang paling muda itu 45 tahun,” sebutnya.
Menurutnya, pegawai PFN memiliki kemampuan yang cukup mumpuni. Karena saking lamanya menganggur, keahlian pegawainya tidak bisa mengikuti perkembangan industri film saat ini.
“Di sini yang saya liat adalah mereka memang punya kemampuan tapi tidak diperbaharui keahliannya. Jadi referensinya masih yang dulu padahal referensi sekarang sudah berbeda,” jelasnya.
(feb/ang)
Spoiler for Film yang pernah diproduksi:
Pareh (1935) dikenal sebagai Java Pacifc Film
Terang Boelan (1937) dikenal sebagai ANIF
Antara Bumi dan Langit (1950)
Inspektur Rachman (1950) dikenal sebagai Perusahaan Film Negara (PFN)
Untuk Sang Merah-Putih (1950) dikenal sebagai Perusahaan Film Negara (PFN)
Djiwa Pemuda (1951)
Rakjat Memilih (1951)
Si Pintjang (1951) dikenal sebagai Perusahaan Film Negara
Penjelundup (1952) dikenal sebagai Perusahaan Film Negara
Sekuntum Bunga Ditepi Danau (1952)
Mardi dan Keranya (1952) dikenal sebagai Perusahaan Film Negara
Sajap Memanggil (1952)
Meratjun Sukma (1953)
Belenggu Masjarakat (1953)
Kopral Djono (1954)
Kembali ke Masjarakat (1954)
Si Melati (1954)
Antara Tugas dan Tjinta (1954)
Merapi (1954)
Peristiwa Didanau Toba (1955)
Djajaprana (1955)
Rajuan Alam (1956)
Tiga-Nol (1958)
Ni Gowok (1958)
Lajang-Lajangku Putus (1958)
Kantjil Mentjuri Mentimun (1959)
Daun Emas (1963) dikenal sebagai Perusahaan Film Negara
Kelabang Hitam (1977) dikenal sebagai PPFN
Warok (1978) dikenal sebagai PPFN
Si Pincang (1979) dikenal sebagai PPFN
Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa (1979) dikenal sebagai PPFN
Harmonikaku (1979) dikenal sebagai PPFN
Sinila (Peristiwa Gunung Dieng) (1979) dikenal sebagai PPFN
Cita Pertiwi (1980) dikenal sebagai PPFN
Si Gura-gura (1980) dikenal sebagai PPFN
Laki-laki dari Nusakambangan (1980) dikenal sebagai PPFN
Orang-Orang Laut (1980) dikenal sebagai PPFN
Juara Cilik (1980) dikenal sebagai PPFN
Hadiah Buat Si Koko (1980) dikenal sebagai PPFN
Serangan Fajar (1981) dikenal sebagai PPFN
Kereta Api Terakhir (1981) dikenal sebagai PPFN
Dia yang Kembali (1982) dikenal sebagai PPFN
Senja Masih Cerah (1982) dikenal sebagai PPFN
Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI (1982) dikenal sebagai PPFN
Djakarta 1966 (1982) dikenal sebagai PPFN
Film dan Peristiwa (1985) dikenal sebagai PPFN
Penumpasan Sisa-sisa PKI Blitar Selatan (Operasi Trisula) (1986) dikenal sebagai PPFN
Surat untuk Bidadari (1992) dikenal sebagai PPFN
Pelangi di Nusa Laut (1992) dikenal sebagai PPFN
[URL="http://finance.detik..com/read/2013/09/10/070354/2353940/4/mengintip-sisa-kejayaan-markas-bumn-produsen-si-unyil-dan-g30s-pki?991101mainnews"]Sumber[/URL]
[URL="http://finance.detik..com/read/2013/09/10/075728/2353963/4/pegawai-bumn-si-unyil-tersisa-88-orang-dari-600-paling-muda-umur-45?f9911013"]Sumber lagi[/URL]
Sumber lain
Semoga bermanfaat





Diubah oleh h4ns_85 10-09-2013 01:35
0
3.3K
Kutip
7
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan