- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
10 Tahun untuk Djoko Susilo


TS
kemalmahendra
10 Tahun untuk Djoko Susilo
Tidak ada hukuman yang mengejutkan seperti diperkirakan Komisi Pemberantasan Korupsi, yang dijatuhkan kepada mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Majelis hakim hanya menjatuhkan hukuman penjara 10 tahun dan denda Rp500 juta kepada jenderal polisi yang melakukan korupsi pada pengadaan simulator untuk pengujian surat izin mengemudi.
Satu hukuman yang keras dijatuhkan majelis hakim adalah penyitaan harta kekayaan yang didapatkan Djoko Susilo pada periode 2003 hingga 2010. Majelis menyita harta kekayaan senilai Rp54,6 miliar dan 60 ribu dollar AS. Dengan alasan telah menyita harta milik Djoko Susilo, majelis hakim menilai tidak perlu lagi untuk menjatuhkan hukuman uang pengganti sebesar Rp32 miliar.
Padahal KPK merasa yakin bahwa hakim akan menjatuhkan hukuman maksimal kepada Djoko Susilo. Pasalnya, dalam persidangan terbukti bahwa mantan Kakorlantas itu memperkaya diri sendiri sebesar Rp32 miliar dari proyek pengadaan simulator. Selain itu Djoko Susilo terbukti memperkaya orang lain sehingga negara dirugikan lebih dari Rp121 miliar.
Atas dasar kesalahan itu, Jaksa Penuntut Umum menuntut tersangka hukuman 18 tahun penjara. Selain itu jaksa menuntut agar tersangka dicabut hak politiknya untuk tidak memilih dan dipilih sesudah menjalani hukuman kelak.
Namun seperti biasa, tidak pernah ada hukuman yang menjerakan pada pelaku korupsi di Indonesia. Hukuman paling berat dalam kasus korupsi diterima Jaksa Urip Tri Gunawan yang diganjar hukuman 20 tahun penjara karena tertangkap tangan menerima uang 600 ribu dollar AS dari pengusaha Artalyta Suryani.
Djoko Susilo sendiri langsung menyatakan banding atas hukuman 10 tahun yang dijatuhkan kepadanya. Ia merasa tidak pernah melakukan tindak korupsi dan bahkan ia menilai tuduhan yang dikenakan kepadanya telah menyakiti perasaan keluarganya.
Padahal sebagai penegak hukum seharusnya Djoko Susilo menyadari bahwa tindakannya telah menyakiti hati rakyat. Ia telah merugikan keuangan negara dan akibat penggelembungan harga yang dilakukan dirinya bersama para pengusaha rekanannya, masyarakat harus membayar investasi yang jauh lebih mahal.
Berulangkali kita mengharapkan adanya hukuman yang lebih menjerakan kepada para koruptor. Kita tidak pernah boleh berkompromi dengan korupsi karena itu adalah kejahatan yang luar biasa dan termasuk ke dalam kejahatan kemanusiaan. Akibat korupsi yang dilakukan para pejabat, maka hak rakyat untuk mendapatkan anggaran negara yang lebih menyejahterakan tidak pernah bisa didapatkan.
Oleh karena hukuman minimal yang dijatuhkan kepada para koruptor, maka praktik korupsi justru semakin menjadi-jadi. Para pejabat tidak pernah takut untuk mengambil uang rakyat, karena tahu ia hanya akan dikenakan hukuman yang diterimanya pasti ringan.
Apalagi hukuman itu juga tidak pernah memiskinkan para koruptor. Akibatnya, mereka masih bisa menikmati hasil korupsi setelah keluar dari penjara. Mereka bisa tetap hidup bergelimangan harta, padahal begitu banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan.
Kita membutuhkan langkah yang lebih radikal apabila ingin menghapuskan korupsi dari Bumi Indonesia. Harus ada kemauan politik yang lebih keras apabila menginginkan negeri ini tidak terus dirampok para koruptor. Tidak mungkin kita akan bisa memberantas korupsi kalau hukuman yang diberikan tidak pernah menjerakan.
Dalam kolom ini sebelumnya, kita sudah mengingatkan bahwa rakyat sebenarnya sudah muak dengan pemberantasan korupsi yang kita lakukan. Hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor sangat jauh dari rasa keadilan masyarakat.
Kemuakan masyarakat ini tidak bisa dianggap enteng. Akumulasi kekesalan masyarakat akan bisa memuncak. Apalagi korupsi yang terjadi sudah melibatkan semua elemen negara mulai dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Terutama yang terakhir ini sangatlah berbahaya bagi kehidupan berbangsa. Apabila penegak hukum tidak bisa lagi bisa diharapkan, maka hukum tidak akan bisa menjadi pilar untuk menciptakan masyarakat yang tertib dan taat terhadap hukum.
Mulai dari hakim, jaksa, polisi, dan bahkan pengacara menjadikan hukum sebagai komoditas. Mereka memainkan hukum hanya untuk kepentingan mereka. Panggung pengadilan hanya sekadar menjadi asesoris bahwa kita sedang menegakkan hukum, padahal yang sebenarnya sedang dilakukan kita sedang mempermainkan hukum.
Inilah yang membuat kita benar-benar prihatin. Bagaimana orang yang seharusnya paling depan untuk menegakkan hukum, justru merusak hukum. Sekarang kita sedang melihat seorang jenderal polisi yang terbukti melakukan perbuatan melawan hukum. Seorang penegak hukum yang melanggar hukum seharusnya mendapat hukuman yang jauh lebih berat dari orang biasa yang melanggar hukum, karena ia tahu apa yang seharusnya tidak boleh ia lakukan.
Satu hukuman yang keras dijatuhkan majelis hakim adalah penyitaan harta kekayaan yang didapatkan Djoko Susilo pada periode 2003 hingga 2010. Majelis menyita harta kekayaan senilai Rp54,6 miliar dan 60 ribu dollar AS. Dengan alasan telah menyita harta milik Djoko Susilo, majelis hakim menilai tidak perlu lagi untuk menjatuhkan hukuman uang pengganti sebesar Rp32 miliar.
Padahal KPK merasa yakin bahwa hakim akan menjatuhkan hukuman maksimal kepada Djoko Susilo. Pasalnya, dalam persidangan terbukti bahwa mantan Kakorlantas itu memperkaya diri sendiri sebesar Rp32 miliar dari proyek pengadaan simulator. Selain itu Djoko Susilo terbukti memperkaya orang lain sehingga negara dirugikan lebih dari Rp121 miliar.
Atas dasar kesalahan itu, Jaksa Penuntut Umum menuntut tersangka hukuman 18 tahun penjara. Selain itu jaksa menuntut agar tersangka dicabut hak politiknya untuk tidak memilih dan dipilih sesudah menjalani hukuman kelak.
Namun seperti biasa, tidak pernah ada hukuman yang menjerakan pada pelaku korupsi di Indonesia. Hukuman paling berat dalam kasus korupsi diterima Jaksa Urip Tri Gunawan yang diganjar hukuman 20 tahun penjara karena tertangkap tangan menerima uang 600 ribu dollar AS dari pengusaha Artalyta Suryani.
Djoko Susilo sendiri langsung menyatakan banding atas hukuman 10 tahun yang dijatuhkan kepadanya. Ia merasa tidak pernah melakukan tindak korupsi dan bahkan ia menilai tuduhan yang dikenakan kepadanya telah menyakiti perasaan keluarganya.
Padahal sebagai penegak hukum seharusnya Djoko Susilo menyadari bahwa tindakannya telah menyakiti hati rakyat. Ia telah merugikan keuangan negara dan akibat penggelembungan harga yang dilakukan dirinya bersama para pengusaha rekanannya, masyarakat harus membayar investasi yang jauh lebih mahal.
Berulangkali kita mengharapkan adanya hukuman yang lebih menjerakan kepada para koruptor. Kita tidak pernah boleh berkompromi dengan korupsi karena itu adalah kejahatan yang luar biasa dan termasuk ke dalam kejahatan kemanusiaan. Akibat korupsi yang dilakukan para pejabat, maka hak rakyat untuk mendapatkan anggaran negara yang lebih menyejahterakan tidak pernah bisa didapatkan.
Oleh karena hukuman minimal yang dijatuhkan kepada para koruptor, maka praktik korupsi justru semakin menjadi-jadi. Para pejabat tidak pernah takut untuk mengambil uang rakyat, karena tahu ia hanya akan dikenakan hukuman yang diterimanya pasti ringan.
Apalagi hukuman itu juga tidak pernah memiskinkan para koruptor. Akibatnya, mereka masih bisa menikmati hasil korupsi setelah keluar dari penjara. Mereka bisa tetap hidup bergelimangan harta, padahal begitu banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan.
Kita membutuhkan langkah yang lebih radikal apabila ingin menghapuskan korupsi dari Bumi Indonesia. Harus ada kemauan politik yang lebih keras apabila menginginkan negeri ini tidak terus dirampok para koruptor. Tidak mungkin kita akan bisa memberantas korupsi kalau hukuman yang diberikan tidak pernah menjerakan.
Dalam kolom ini sebelumnya, kita sudah mengingatkan bahwa rakyat sebenarnya sudah muak dengan pemberantasan korupsi yang kita lakukan. Hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor sangat jauh dari rasa keadilan masyarakat.
Kemuakan masyarakat ini tidak bisa dianggap enteng. Akumulasi kekesalan masyarakat akan bisa memuncak. Apalagi korupsi yang terjadi sudah melibatkan semua elemen negara mulai dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Terutama yang terakhir ini sangatlah berbahaya bagi kehidupan berbangsa. Apabila penegak hukum tidak bisa lagi bisa diharapkan, maka hukum tidak akan bisa menjadi pilar untuk menciptakan masyarakat yang tertib dan taat terhadap hukum.
Mulai dari hakim, jaksa, polisi, dan bahkan pengacara menjadikan hukum sebagai komoditas. Mereka memainkan hukum hanya untuk kepentingan mereka. Panggung pengadilan hanya sekadar menjadi asesoris bahwa kita sedang menegakkan hukum, padahal yang sebenarnya sedang dilakukan kita sedang mempermainkan hukum.
Inilah yang membuat kita benar-benar prihatin. Bagaimana orang yang seharusnya paling depan untuk menegakkan hukum, justru merusak hukum. Sekarang kita sedang melihat seorang jenderal polisi yang terbukti melakukan perbuatan melawan hukum. Seorang penegak hukum yang melanggar hukum seharusnya mendapat hukuman yang jauh lebih berat dari orang biasa yang melanggar hukum, karena ia tahu apa yang seharusnya tidak boleh ia lakukan.
0
802
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan