- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Danau Toba Terkikis, Peraih Kalpataru Kembalikan Piala ke SBY


TS
elhubby
Danau Toba Terkikis, Peraih Kalpataru Kembalikan Piala ke SBY
UPDATE BERITA GAN:
Liputan6.com, Jakarta: Tiga pegiat lingkungan Danau Toba asal Sumatera Utara yang meraih Kalpataru dan Wana Lestari Berencana akan mengembalikan penghargaan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Ketiga pegiat itu yaitu Marandus Sirait, Wilmar Eliaser Simanjorang dan Hasoloan Manik.
Ketiganya akan mengembalikan penghargaan itu karena pemerintah di berbagai tingkatan tidak memberikan dukungan lebih lanjut untuk pelestarian alam, salah satunya hutan yang berada di wilayah Samosir dan Toba Samosir yang telah berkurang, menyusul beroprasinya kembali perusahaan bubur kertas yang membutuhkan kayu dari alam di wilayah Danau Toba tersebut.
"Penghargaan-penghargaan yang kami terima tidak sebanding dengan kerusakan yang terjadi akibat kebijak keliru pemerintah. Atas dasar itulah kami akan kembalikan pada hari Selasa 3 September 2013 ke Istana," kata Hasoloan Manik di Kantor Walhi, Jakarta, Minggu (1/9/2013).
Sementara mantan Bupati Samosir Wilmar Simanjorang mengaku, sejak 7 tahun silam berbagai perusahaan mengajukan permohonan Izin Pemanpaatan Kayu (IPK) kepadanya, namun ditolak, lantaran dirinya mengerti manfaat kelestarian lingkungan.
"Saya tahu bahwa hutan semakin menipis. Kondisi ekosistem Danau Toba mengalami kerusakan dalam taraf cukup serius. Itu terlihat dari luas tutupan hutan yang terus berkurang dan kualitas air danau yang telah tercemar," ujar Wilmar.
Dia mengaku permaslahan itu pun sudah disampaikannya kepada pejabat setempat dari Bupati hingga Presiden, bahkan para lembaga penegak hukum Kejaksaan Agung dan Mabes Polri.
"Kami sudah adukan maslah ini ke Bupati, Presiden SBY, Kementerian LH, Kemenhut, Gubernur Sumut, Kejagung, Mabes Polri, Kapolres Samosir. Menteri LH bilang hentikan itu (penebangan hutan) tapi cuma omong doang," ujar peraih Kalpataru dan Wanalestari itu.
Dia menjelaskan seharusnya dengan Danau Toba telah ditetapkan sebagai kawasan tujuan wisata dan kawasan strategi nasional harus dijaga fungsu kelestariannya. "Kegiatan yang bersifat merusak seperti penebangan hutan harus dihentikan, termasuk pemberian ijin kepada perusahaan-perusahaan yang melakukan pengerusakan lingkungan," terang dia.
Sementara Marandus Sirait mengungkapkan hutan Telle yang berada di pinggiran Danau Toba, sudah tersisa 800 hektar, padahal hutan itu sangat berharga bagi masyarakat setempat. "Jangan dibandingkan hutan di wilayah Toba dengan Kalimantan. Kami sangat menyesalkan pemberian IPK kepada perusahaan oleh Dinas Kehutanan dan Bupati setempat. Kami harapkan Bupati segera mencabut ijin tersebut," ungkap Marandus.
Menanggapi aduan itu, perwakilan Walhi, Mukri Friatna mengatakan pihaknya mendukung langkah masyarakat dalam menyelamatkan ekosistem Danau Toba dan penyelamatan lingkungan lainnya diberbagai tempat di Indonesia. "Segala bentuk kegiatan yang bersifat merusak harus dihentikan," tegas Mukri. (Eks)
Cara yg elegan buat protes
Bahkan klo mereka (pemerintah) merasa, itu (mengembalikan Kalpataru) sebenarnya adl tamparan yg sangat keras
Tapi sayang, pemerintah sdh mati rasa di segala lini
Danau Toba, ane sdh kenal sejak SD. Tp ane blm pernah kesana
Semoga tetap lestari
Quote:
Original Posted By elhubby►
Jakarta (ANTARA News)- "Tuhan saya sudah tidak mampu lagi, terserah kau Tuhan. Saya sudah angkat tangan
," ucap Marandus Sirait dengan suara bergetar.
Marandus putus asa, pupus sudah semangatnya yang selama ini begitu menggebu melestarikan lingkungan di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara.
Keputusasaan itu karena Marandus merasa tidak sanggup lagi melihat kerusakan yang terus terjadi di kawasan danau terbesar di Indonesia itu.
Berbagai upaya yang dilakukannya baik lewat adat, budaya dan pemerintah tidak mampu lagi mencegah pohon-pohon di Danau Toba dari jarahan tangan-tangan jahil sebab tidak ada lagi yang mendengar.
Luapan kekecewaannya ia tunjukkan dengan mengembalikan penghargaan Wana Lestari, penghargaan yang diberikan kepada kelompok atau individu yang dianggap berjasa bagi pelestarian lingkungan.
Marandus mendapat penghargaan Wana Lestari dan Kalpataru pada 2005 karena telah melestarikan kawasan hutan seluas 40 hektare di sekitar Danau Toba dengan memanfaatkan sebagai kawasan ekowisata.
Marandus, bersama Wilmar Simanjorang serta Hasoloan Manik mengembalikan penghargaan Kalpataru dan Wana Lestari kepada pemerintah.
Pengembalian penghargaan tertinggi bidang lingkungan itu mereka lakukan di depan Istana Presiden pada Selasa (3/9), minggu lalu.
"Saya tidak tahu dari mana itu Kalpataru yang saya tahu dari Istana Presiden maka saya kembalikan ke istana," kata Hasoloan Manik.
Hasoloan Manik mengembalikan Kalpataru yang diperolehnya bersama LSM Pilihi Dairi pada 2010 setelah melakukan berbagai penguatan kapasitas kader lingkungan dan berhasil melakukan gugatan terhadap pelaku perusakan hutan ekosistem Leuser.
Banyak laporan kegiatan perusakan hutan yang dilengkapi dengan temuan-temuan tidak direspon pihak terkait. LSM Pilihi sebelumnya telah menyurati Kementerian Kehutanan, Presiden, Kapolri bahkan KPK.
Preseden Buruk
Deputi bidang Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup Ilyas Asaad mengatakan, pengembalian penghargaan bidang lingkungan itu bisa menjadi preseden buruk.
"Kita akan tindak lanjuti sebab ini menjadi preseden buruk. Jadi bagaimana kita ajak kawan-kawan kita untuk berjuang bersama, dengan mengembalikan Kalpataru bukan jalan baik untuk lingkungan," kata Ilyas.
Dalam sejarah penghargaan Kalpataru yang sudah berlangsung sejak 1980, baru kali ini penerima mengembalikan penghargaan.
Selama 33 tahun, Kalpataru telah diberikan kepada 313 aktivis lingkungan yang terbagi dalam empat kategori yaitu perintis lingkungan, pengabdi lingkungan, penyelamat lingkungan dan pembina lingkungan.
Namun sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup pernah mencabut Kalpataru yang diberikan kepada kelompok Ninik Mamak Buluh Cina pada 31 Agustus 2009 karena terbukti merusak hutan adat Buluh Cina Kabupaten Kampar Riau.
Ilyas mengatakan, karena pengembalian penghargaan tersebut bukan karena Kalpataru yang bermasalah tapi disebabkan hal di luar itu maka tindak lanjutnya masih akan dibicarakan dengan Dewan Pertimbangan Kalpataru dimana mekanismenya ada di dewan tersebut.
Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Keluarga Penerima Kalpataru Lestari (FOKKAL) Tarsoen Waryono menilai ketiga aktivis lingkungan itu kurang sabar dalam melestarikan lingkungan, sehingga mengambil langkah mengembalikan Kalpataru dan Wana Lestari.
"Seharusnya mereka mengkomunikasikan dulu permasalahan yang dihadapi, saya pikir dengan komunikasi yang intens akan lebih baik," kata Tarsoen.
"Tapi tidak salah juga, mereka sudah berjuang menyurati pihak-pihak terkait tapi tidak direspon," tambahnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, pemerintah dan aparat berwenang harus tegas dalam menindak pelaku perusakan lingkungan, sehingga upaya-upaya yang dilakukan para aktivis lingkungan tidak sia-sia.
Tetap Berjuang
Kalpataru menjadi kebanggaan para aktivis lingkungan, karena upaya mereka melestarikan lingkungan diakui dan dihargai pemerintah, meski bukan tujuan akhir.
Sebagai penerima penghargaan, mereka mempunyai beban moral untuk terus memperjuangkan kelestarian lingkungan.
"Meski tanpa Kalpataru, kami akan tetap membela dan memperjuangkan lingkungan. Saya janji akan melakukan dua kali lipat usaha saya untuk membela lingkungan, saya tidak akan surut," kata Hasoloan Manik.
Hasoloan mengawali kisahnya sebagai aktivis lingkungan karena kesadaran bahwa dalam agama juga diajarkan melindungi lingkungan hidup bagian dari iman.
"Maka saya berani tinggalkan anak istri setiap saat ke hutan apabila saya dengar suara gergaji, bukan dengan cara arogan tapi saya ingatkan mereka yang menebang pohon itu," katanya.
Begitu juga dengan Marandus Sirait, kesadarannya melindungi lingkungan turun dari orang tua yang sudah menanam pohon di tanah keluarga jauh sebelum ia melakukan penyelamatan lingkungan.
"Sampai sekarang bapak saya tidak membolehkan kayu-kayu yang ditanamnya ditebang, demi Danau Toba. Masyarakat menjaganya tapi yang menebang orang lain dan tidak masuk ke kas negara," katanya.
Pesta Danau Toba yang kerap digelar setiap tahun menghabiskan biaya miliaran rupiah agar danau vulkanik itu tetap menjadi sorotan mata dunia dinilai Marandus tidak ada artinya jika lingkungan sekitarnya rusak.
"Lingkungan rusak, Danau Toba menangis siapa yang mau menghibur, saya sudah angkat tangan....," ucap Marandus.
Kita punya pemerintah gak sih?
Ketika Marandus mengembalikan Kalpataru
Selasa, 10 September 2013 09:48 WIB

Beberapa penerima penghargaan lingkungan hidup yang tergabung dalam LSM Peduli Lingkungan Hidup Indonesia (Pilihi) Sumut membawa Piala Kalpataru yang akan dikembalikan ke presiden di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (3/9). Pengembalian Piala Kalpataru kepada Presiden RI tersebut sebagai protes tidak adanya upaya pemerintah mengatasi kerusakan lingkungan di Sumut khususnya hutan alami di sekitar Danau Toba. (ANTARA FOTO/Andika Wahyu)
Selasa, 10 September 2013 09:48 WIB

Beberapa penerima penghargaan lingkungan hidup yang tergabung dalam LSM Peduli Lingkungan Hidup Indonesia (Pilihi) Sumut membawa Piala Kalpataru yang akan dikembalikan ke presiden di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (3/9). Pengembalian Piala Kalpataru kepada Presiden RI tersebut sebagai protes tidak adanya upaya pemerintah mengatasi kerusakan lingkungan di Sumut khususnya hutan alami di sekitar Danau Toba. (ANTARA FOTO/Andika Wahyu)
Jakarta (ANTARA News)- "Tuhan saya sudah tidak mampu lagi, terserah kau Tuhan. Saya sudah angkat tangan

Marandus putus asa, pupus sudah semangatnya yang selama ini begitu menggebu melestarikan lingkungan di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara.
Keputusasaan itu karena Marandus merasa tidak sanggup lagi melihat kerusakan yang terus terjadi di kawasan danau terbesar di Indonesia itu.
Berbagai upaya yang dilakukannya baik lewat adat, budaya dan pemerintah tidak mampu lagi mencegah pohon-pohon di Danau Toba dari jarahan tangan-tangan jahil sebab tidak ada lagi yang mendengar.
Luapan kekecewaannya ia tunjukkan dengan mengembalikan penghargaan Wana Lestari, penghargaan yang diberikan kepada kelompok atau individu yang dianggap berjasa bagi pelestarian lingkungan.
Marandus mendapat penghargaan Wana Lestari dan Kalpataru pada 2005 karena telah melestarikan kawasan hutan seluas 40 hektare di sekitar Danau Toba dengan memanfaatkan sebagai kawasan ekowisata.
Marandus, bersama Wilmar Simanjorang serta Hasoloan Manik mengembalikan penghargaan Kalpataru dan Wana Lestari kepada pemerintah.
Pengembalian penghargaan tertinggi bidang lingkungan itu mereka lakukan di depan Istana Presiden pada Selasa (3/9), minggu lalu.
"Saya tidak tahu dari mana itu Kalpataru yang saya tahu dari Istana Presiden maka saya kembalikan ke istana," kata Hasoloan Manik.
Hasoloan Manik mengembalikan Kalpataru yang diperolehnya bersama LSM Pilihi Dairi pada 2010 setelah melakukan berbagai penguatan kapasitas kader lingkungan dan berhasil melakukan gugatan terhadap pelaku perusakan hutan ekosistem Leuser.
Banyak laporan kegiatan perusakan hutan yang dilengkapi dengan temuan-temuan tidak direspon pihak terkait. LSM Pilihi sebelumnya telah menyurati Kementerian Kehutanan, Presiden, Kapolri bahkan KPK.
Preseden Buruk
Deputi bidang Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup Ilyas Asaad mengatakan, pengembalian penghargaan bidang lingkungan itu bisa menjadi preseden buruk.
"Kita akan tindak lanjuti sebab ini menjadi preseden buruk. Jadi bagaimana kita ajak kawan-kawan kita untuk berjuang bersama, dengan mengembalikan Kalpataru bukan jalan baik untuk lingkungan," kata Ilyas.
Dalam sejarah penghargaan Kalpataru yang sudah berlangsung sejak 1980, baru kali ini penerima mengembalikan penghargaan.
Selama 33 tahun, Kalpataru telah diberikan kepada 313 aktivis lingkungan yang terbagi dalam empat kategori yaitu perintis lingkungan, pengabdi lingkungan, penyelamat lingkungan dan pembina lingkungan.
Namun sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup pernah mencabut Kalpataru yang diberikan kepada kelompok Ninik Mamak Buluh Cina pada 31 Agustus 2009 karena terbukti merusak hutan adat Buluh Cina Kabupaten Kampar Riau.
Ilyas mengatakan, karena pengembalian penghargaan tersebut bukan karena Kalpataru yang bermasalah tapi disebabkan hal di luar itu maka tindak lanjutnya masih akan dibicarakan dengan Dewan Pertimbangan Kalpataru dimana mekanismenya ada di dewan tersebut.
Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Keluarga Penerima Kalpataru Lestari (FOKKAL) Tarsoen Waryono menilai ketiga aktivis lingkungan itu kurang sabar dalam melestarikan lingkungan, sehingga mengambil langkah mengembalikan Kalpataru dan Wana Lestari.
"Seharusnya mereka mengkomunikasikan dulu permasalahan yang dihadapi, saya pikir dengan komunikasi yang intens akan lebih baik," kata Tarsoen.
"Tapi tidak salah juga, mereka sudah berjuang menyurati pihak-pihak terkait tapi tidak direspon," tambahnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, pemerintah dan aparat berwenang harus tegas dalam menindak pelaku perusakan lingkungan, sehingga upaya-upaya yang dilakukan para aktivis lingkungan tidak sia-sia.
Tetap Berjuang
Kalpataru menjadi kebanggaan para aktivis lingkungan, karena upaya mereka melestarikan lingkungan diakui dan dihargai pemerintah, meski bukan tujuan akhir.
Sebagai penerima penghargaan, mereka mempunyai beban moral untuk terus memperjuangkan kelestarian lingkungan.
"Meski tanpa Kalpataru, kami akan tetap membela dan memperjuangkan lingkungan. Saya janji akan melakukan dua kali lipat usaha saya untuk membela lingkungan, saya tidak akan surut," kata Hasoloan Manik.
Hasoloan mengawali kisahnya sebagai aktivis lingkungan karena kesadaran bahwa dalam agama juga diajarkan melindungi lingkungan hidup bagian dari iman.
"Maka saya berani tinggalkan anak istri setiap saat ke hutan apabila saya dengar suara gergaji, bukan dengan cara arogan tapi saya ingatkan mereka yang menebang pohon itu," katanya.
Begitu juga dengan Marandus Sirait, kesadarannya melindungi lingkungan turun dari orang tua yang sudah menanam pohon di tanah keluarga jauh sebelum ia melakukan penyelamatan lingkungan.
"Sampai sekarang bapak saya tidak membolehkan kayu-kayu yang ditanamnya ditebang, demi Danau Toba. Masyarakat menjaganya tapi yang menebang orang lain dan tidak masuk ke kas negara," katanya.
Pesta Danau Toba yang kerap digelar setiap tahun menghabiskan biaya miliaran rupiah agar danau vulkanik itu tetap menjadi sorotan mata dunia dinilai Marandus tidak ada artinya jika lingkungan sekitarnya rusak.
"Lingkungan rusak, Danau Toba menangis siapa yang mau menghibur, saya sudah angkat tangan....," ucap Marandus.
Kita punya pemerintah gak sih?

02/09/2013 04:00


Quote:
Liputan6.com, Jakarta: Tiga pegiat lingkungan Danau Toba asal Sumatera Utara yang meraih Kalpataru dan Wana Lestari Berencana akan mengembalikan penghargaan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Ketiga pegiat itu yaitu Marandus Sirait, Wilmar Eliaser Simanjorang dan Hasoloan Manik.
Ketiganya akan mengembalikan penghargaan itu karena pemerintah di berbagai tingkatan tidak memberikan dukungan lebih lanjut untuk pelestarian alam, salah satunya hutan yang berada di wilayah Samosir dan Toba Samosir yang telah berkurang, menyusul beroprasinya kembali perusahaan bubur kertas yang membutuhkan kayu dari alam di wilayah Danau Toba tersebut.
"Penghargaan-penghargaan yang kami terima tidak sebanding dengan kerusakan yang terjadi akibat kebijak keliru pemerintah. Atas dasar itulah kami akan kembalikan pada hari Selasa 3 September 2013 ke Istana," kata Hasoloan Manik di Kantor Walhi, Jakarta, Minggu (1/9/2013).
Sementara mantan Bupati Samosir Wilmar Simanjorang mengaku, sejak 7 tahun silam berbagai perusahaan mengajukan permohonan Izin Pemanpaatan Kayu (IPK) kepadanya, namun ditolak, lantaran dirinya mengerti manfaat kelestarian lingkungan.
"Saya tahu bahwa hutan semakin menipis. Kondisi ekosistem Danau Toba mengalami kerusakan dalam taraf cukup serius. Itu terlihat dari luas tutupan hutan yang terus berkurang dan kualitas air danau yang telah tercemar," ujar Wilmar.
Dia mengaku permaslahan itu pun sudah disampaikannya kepada pejabat setempat dari Bupati hingga Presiden, bahkan para lembaga penegak hukum Kejaksaan Agung dan Mabes Polri.
"Kami sudah adukan maslah ini ke Bupati, Presiden SBY, Kementerian LH, Kemenhut, Gubernur Sumut, Kejagung, Mabes Polri, Kapolres Samosir. Menteri LH bilang hentikan itu (penebangan hutan) tapi cuma omong doang," ujar peraih Kalpataru dan Wanalestari itu.
Dia menjelaskan seharusnya dengan Danau Toba telah ditetapkan sebagai kawasan tujuan wisata dan kawasan strategi nasional harus dijaga fungsu kelestariannya. "Kegiatan yang bersifat merusak seperti penebangan hutan harus dihentikan, termasuk pemberian ijin kepada perusahaan-perusahaan yang melakukan pengerusakan lingkungan," terang dia.
Sementara Marandus Sirait mengungkapkan hutan Telle yang berada di pinggiran Danau Toba, sudah tersisa 800 hektar, padahal hutan itu sangat berharga bagi masyarakat setempat. "Jangan dibandingkan hutan di wilayah Toba dengan Kalimantan. Kami sangat menyesalkan pemberian IPK kepada perusahaan oleh Dinas Kehutanan dan Bupati setempat. Kami harapkan Bupati segera mencabut ijin tersebut," ungkap Marandus.
Menanggapi aduan itu, perwakilan Walhi, Mukri Friatna mengatakan pihaknya mendukung langkah masyarakat dalam menyelamatkan ekosistem Danau Toba dan penyelamatan lingkungan lainnya diberbagai tempat di Indonesia. "Segala bentuk kegiatan yang bersifat merusak harus dihentikan," tegas Mukri. (Eks)
Cara yg elegan buat protes

Bahkan klo mereka (pemerintah) merasa, itu (mengembalikan Kalpataru) sebenarnya adl tamparan yg sangat keras

Tapi sayang, pemerintah sdh mati rasa di segala lini

Danau Toba, ane sdh kenal sejak SD. Tp ane blm pernah kesana

Semoga tetap lestari

Diubah oleh elhubby 10-09-2013 16:23
0
6.5K
Kutip
64
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan