Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

novriplaymateAvatar border
TS
novriplaymate
Harga elektronik lebih dikhawatirkan dari lauk pauk
Prapancha Research (PR) dalam pantaun terkini mencoba memetakan dinamika persepsi masyarakat perihal penurunan nilai rupiah, khususnya di antara pengguna jejaring sosial Twitter. Ditemukan, dari perbincangan tentang rupiah sebanyak 1,5 juta celoteh selama setahun belakangan (30 Agustus 2012-29 Agustus 2013), 227 ribu atau sekitar 15 persennya berlangsung hanya dalam sembilan hari terakhir.



“Perbincangan rupiah saat ini jauh meninggalkan berbagai isu hangat lainnya,” ujar Adi Ahdiat, analis PR.

Dalam sembilan hari terakhir, perbincangan tentang Demokrat yang sedang hangat-hangatnya menjelang konvensi hanya mencapai 123 ribu kicauan, SKK Migas 36 ribu, dan penembakan polisi telah menurun hingga 15 ribu.

Menurut Adi, tingginya perbincangan tentang rupiah dibandingkan isu-isu lain karena dampak penurunan mata uang secara langsung mengusik kehidupan sebagian besar warga.

“Semarak apapun isu konvensi Demokrat, rata-rata dari kita hanya menjadi penonton dan tak merasa berkepentingan. Berbeda dengan kenaikan rupiah yang spontan mengakibatkan harga-harga melonjak,” tambah Adi.

Terbukti, dari seluruh pembicaraan tentang rupiah, sebanyak 2 persen atau 5 ribu kicauan dengan eksplisit menyinggung kenaikan harga tahu dan tempe. Salah satunya adalah dari akun Iwan Fals (@iwanfals) yang dikicaukan ulang 410 kali, “Rupiah melemah, eh tempe tahu ikut2an, bukan maiiiin.”

Namun, pada saat yang sama, tampak juga fakta bahwa kekhawatiran akan kenaikan harga komoditas tersier lebih mengemuka di media sosial. Bahkan, kecemasan ini tampak lebih ramai ditampilkan dibanding keresahan akan naiknya harga lauk-pauk pokok.

Hal ini terlihat dari lebih maraknya perbincangan tentang rupiah yang dikaitkan dengan dampaknya terhadap harga laptop, ponsel, mobil, dan berbagai peranti elektronik.

“Jumlahnya mencapai 7 ribu kicauan, lebih tinggi dari perbincangan tentang dampak pelemahan rupiah ke bahan makanan,” imbuh Adi.

Jika diperbandingkan, fenomena ini tak dijumpai pada jejaring sosial warga India, yang saat ini juga sedang dihadapkan pada kemerosotan nilai mata uangnya, rupee.

Dari 137 ribu pembicaraan tentang rupee pada sembilan hari terakhir, tak terlalu nampak celoteh-celoteh yang mencemaskan kenaikan harga barang-barang tersier sebagaimana di Indonesia. Kalaupun ada, jumlahnya tak lebih dari puluhan atau terbilang tak signifikan.

“Perbandingan kontras ini memperlihatkan kultur gandrung belanja kelas menengah kita. Bahkan, salah satu kicauan yang banyak ditanggapi di jejaring sosial kita adalah ajakan sebuah perusahaan mobil untuk buru-buru membeli produk barunya sebelum harganya benar-benar naik,” ujar Adi.

Dengan potensinya menggoyang stabilitas, pelemahan mata uang adalah momok menakutkan bagi pemerintahan suatu negara. Dalam sejarahnya, rezim sekuat Orde Baru sekalipun tumbang bermula dari melemahnya mata uang yang tak lama mengakibatkan kepanikan dan huru-hara.

Dengan kondisi seperti ini, di tengah-tengah kebutuhan menekan belanja impor, menurut Adi, menahan laju kenaikan rupiah dengan sendirinya menjadi tantangan yang lebih besar. “Kita harus belajar,” katanya.


SUMBER
0
1.2K
12
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan