- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Disaat IDEALIME Anda Dipertanyakan
TS
rahmatfredy
Disaat IDEALIME Anda Dipertanyakan
Artikel ini dikutip dari:
Disaat IDEALISME Anda Dipertanyakan
Banyak orang di negeri ini yang memiliki idealisme tinggi. Mereka tak hanya datang dari kalangan politik saja, namun juga kalangan selebritis hingga rakyat jelata.
Lalu, kenapa idealisme sering dipertanyakan oleh banyak orang? Mengapa pula idealisme dianggap sesuatu yang remeh bhkan cenderung tidak penting bagi sebagian orang?
Menurut Rahmat Fredy Sinaga, idealisme adalah sebuah cara berpikir atau paham dimana seseorang menganggap apa yang dipikirkan dan dilakukannya adalah ideal atau tepat. Berdasarkan tujuannya, idealisme dibagi menjadi dua, yaitu Idealisme Introvert dan Idealisme Extrovert. Idealisme Introvert adalah idealisme yang bertujuan untuk pencapaian diri sendiri. Sedangkan Idealisme Extrovert adalah idealisme yang bertujuan untuk pencapaian orang lain.
Setiap orang pasti memiliki rasa keingintahuan dan keinginan. Rasa keingintahuan itu menyebabkan timbulnya keinginan sehingga terjadi proses pembelajaran. Pembelajaran ini secara terus-menerus akan menimbulkan suatu tindakan (action) untuk memilikinya. Inilah yang disebut dengan cita-cita. Beda individu beda cita-cita. Ini dikarenakan proses pengalaman (experience) yang terjadi dalam hidup orang berbeda-beda sehingga menimbulkan keinginan yang berbeda. Saya masih ingat betapa di zaman tahun 80-an (angkatan karir ibu saya) betapa bangganya orang tua jika memiliki anak yang bergelar insinyur. Disaat itu, belum banyak orang yang mampu menjadi insinyur, sehingga perusahaan membutuhkan begitu banyak tenaga insinyur. Di era tahun 90-an, tren cita-cita berganti menjadi dokter. Orang tua berlomba-lomba menyekolahkan anaknya ke fakultas kedokteran demi sebuah rasa prestisius. Entah itu benar atau tidak. Tren ini masih berlanjut hingga awal tahun 2000. Di tahun 2001, tren berputar lagi. Kebutuhan perusahaan akan ahli IT (Information Technology) membuat sekolah-sekolah dan kursus komputer menjamur dimana-mana. Mulai dari kursus ecek-ecek hingga universitas swasta ternama. Tapi tren ini tak bertahan hingga 10 tahun karena dengan cepat berganti menjadi tren sekolah bisnis. Ya, inilah tren cita-cita yang masih booming hingga sekarang. Orang tua yang bisa menyekolahkan anaknya di sekolah bisnis ternama dianggap hebat. Tak ayal fakultas ekonomi peminatnya meningkat drastis dari tahun ke tahun. Selain berbiaya murah, lulusannya juga banyak dibutuhkan di perusahaan. Animo yang begitu tinggi akhirnya menyebabkan beberapa kampus menaikkan tarif uang kuliah di fakultas ekonomi. Selain itu, ada beberapa kampus yang khusus mendirikan unit sekolah bisnis (seperti di negara maju). Mereka mengklaim bahwa ini dilakukan agar kualitas lulusannya bertaraf internasional, menjadi enterpreneur, dan lain sebagainya.
Diluar dunia akademik, ada dunia hiburan. Sekolah-sekolah seni juga sempat menjadi tren meskipun tidak bertahan lama. Ini dikarenakan untuk menjadi seniman di Indonesia tidak membutuhkan pendidikan yang formal. Berbeda dengan di luar negeri, seperti di Amerika Serikat atau Inggris. Di negara-negra Eropa dan Amerika, definisi pintar berbeda dengan di Asia. Mereka mengangap bahwa pintar adalah suatu kemampuan lebih yang kamu punya dan orang lain tidak punya, apapun bidangnya. Sementara di Asia, orang pintar itu didefinisikan sebagai ahli matematika, jago fisika, pintar biologi, dan sebagainya. Sementara orang yang jago melukis dianggap tidak pintar. Orang yang ahli merakit benda ruang (design) dianggap tidak pintar. Orang yang mampu bermain alat musik, menyanyi, menciptakan lagu dianggap tidak pintar. orang yang bisa memasak dan membuat kue dianggap tidak pintar. Orang yang kreatif dalam membuat tulisan juga dianggap tidak pintar. Orang-orang Asia masih kaku dalam mendefinisikan arti kepintaran, kecuali beberapa negara seperti Jepang, Korea, Singapore, Malaysia, dan India.
Seperti yang kita ketahui, negara India memiliki industri perfilman yang besar, yaitu Bollywood. Industri ini mampu menyumbangkan devisa yang besar bagi negara untuk mensejahterakan rakyatnya, untuk membangun infrastruktur sekolah, instansi pemerintahan, subsidi, dan lain sebagainya. Hal ini juga yang akhirnya diterapkan di Korea Selatan dengan budaya K-Pop. Lihat pula Malaysia. Kita begitu jauh tertinggal darinya. Padahal di zaman sekolah ayah saya ditahun 70-an, warga Malaysia banyak yang bersekolah ke Indonesia. Tapi sekarang? warga Indonesia yang bersekolah ke Malaysia. Kenapa ini bisa terjadi? Karena indeks peningkatan sumber daya manusia kita rendah. Negara kita adalah yang penuh uji coba. Segala sesuatu kebijakan harus ada uji coba yang begitu lama namun ujung-ujungnya tidak ada implementasi yang nyata. Bedakan dengan Malaysia, meskipun mereka adalah kerajaan namun segala kebijakan mereka sangat ketat dan langsung diimplementasikan tanpa basa basi. Lihat pula sumber daya manusia Malaysia yang makin lama makin baik. Prestasi atlit badminton Malaysia kini diatas atlit badminton Indonesia. Lihat juga betapa banyak penyanyi Malaysia yang berhasil Go International, Zee Avi, Yuna, Shila Amzah, Che’Nelle, dan lain-lain. Lihat sistem lalu lintas dan sarana transportasi publik di Malaysia. Dan, lihat pula sarana pendidikan di Malaysia. Malaysia hanya memiliki 1/4 dari total jumlah universitas yang ada di Indonesia. Namun beberapa kampus mereka (Universiti Kebangsaan Malaysia dan Universiti Malaya) masuk dalam 200 Top World Universities mengalahkan kampus jaket kuning dan kampus gajah duduk. Lantas, apa yang membedakan pendidikan di Malaysia dengan di Indonesia. Jawabannya ada di kurikulum. Di Malaysia kurikulum selalu berubah mengikuti perubahan zaman, sehingga lebih fleksibel. Sementara di Indonesia mahasiswa didik untuk menjadi anak manja dan ketergantungan. Mahasiswa belajar untuk nilai agar IPK tinggi sehingga bisa masuk perusahaan bonafit. Sementara di negara-negara maju, mahasiswa dididik untuk bisa menciptakaan lapangan kerja sendiri. Alhasil, dinegara kita tumbuh perusahaan-perusahaan lokal dan asing yang begitu menggiurkan bagi para sarjana. Namun mereka semua tidak sadar bahwa mereka tidak sendiri. Beratus-ribu sarjana bahkan sudah jutaan sarjana yang tercipta di Indonesia, apakah perusahaan mau menampung mereka semua? Jawabannya tidak. Kemudian ada yang bersikeras mengatakan bahwa “saya kan pintar, IPK >3,5, pernah menjadi asisten dosen, berkelakuan baik, pasti saya bisa masuk perusahaan bonafit tersebut…”. Jawabannya belum tentu. Apakah yang memiliki IPK diatas 3,5 hanya satu orang? Lima orang? Sepuluh orang? Tidak, tapi ribuan orang di Jakarta, bahkan di seluruh Indonesia. Apakah ribuan orang IPK >3,5 ini harus masuk semuanya menjadi karyawan di perusahaan? Tidak mungkin. Apakah ribuan orang pintar yang lolos psikotes dan wawancara di perusahaan semuanya bisa bekerja serentak dalam satu perusahaan? Tidak mungkin. Itulah sebabnya dalam melamar kerja, 70% adalah unexplained (faktor rezeki), dan 30% adalah faktor intelligent (kecerdasan, komunikasi, dan penampilan).
Namun, dibalik semua kerumitan ini, ada orang-orang yang berpikir kritis, tidak mau terbawa arus, dan cepat tanggap terhadap kondisi dirinya sendiri. Disaat mereka mengerti bahwa mereka tidak dapat masuk ke dalam perusahaan idaman, mereka memutuskan untuk membuka usaha kecil. Yang mereka lakukan adalah upaya bertahan hidup dan berusaha tidak menyusahkan finansial orang tua. Disaat mereka mendapat peluang kerja di kantor, mereka akan bekerja sambil berbisnis. Kemudian saat bisnis mereka sudah besar dan mampu memenuhi kebutuhan, mereka memutuskan keluar dari kantor. Begitu juga dengan kebanyakan pegawai-pegawai kantoran lain yang setelah puluhan tahun bekerja ujung-ujungnya mereka mendirikan bisnis pribadi. Ini menandakan bahwa semua orang memiliki tujuan yang sama, yaitu mendirikan bisnis pribadi (enterpreneur). Mengapa mereka melakukan itu semua? Mengapa mereka tidak bertahan di kantor? Karena mereka adalah survivor, manusia yang cepat tanggap, tidak mau terbawa arus, dan kritis. Mereka-mereka inilah manusia-manusia yang memiliki idealisme tinggi. Wirausaha tidak melulu dilakukan oleh kalangan berumur, anak muda juga banyak yang telah melakukannya. Bahkan, ada banyak anak muda yang memutuskan untuk berhenti kuliah demi membesarkan bisnisnya. Apakah mereka salah? Tidak. Mereka hanya mempertahakan idelisme yang mereka miliki. Meskipun orang tua mereka menyebutkan sumpah serapah dan kutukan terhadap anaknya sendiri, mereka tetap bertahan, karena mereka punya semangat untuk mempertahankan hasil kerja keras mereka. Lihatlah, betapa banyak musisi yang masa lalunya dikecam dan dibuang oleh keluarga nya sendiri. Mereka dianggap tidak ada. Mereka dianggap memalukan nama baik keluarga. Dunia artis dianggap dunia yang penuh nista, narkoba, dan pergaulan bebas. Namun kenyataannya, mereka akhirnya bisa buktikan kesuksesan tanpa restu orang tua, hingga akhirnya orang tua mereka yang meminta maaf kepada anaknya.
Mengapa orang tua dan anak selalu berbeda pendapat? Karena perbedaan zaman. Jika dahulu 1 US$ = Rp 4,600, namun sekarang 1 US$ = Rp 10,000. Jika dahulu guru menjewer anak sekolah dianggap lumrah, namun sekarang dilarang dilakukan karena membahayakan kesehatan saraf telinga dan psikologis. Orang tua akan mendidik anak sesuai dengan pengalamannya yang terdahulu. Apa yang dianggap baik pada masa lampau akan diterapkan kepada anak. Ada anak yang menurut apa saja kata orang tuanya, dan ada juga anak yang memberontak ketika orang tuanya mentapkan suatu hal pada dirinya. Semua bergantung pada kepribadian anak masing-masing. Beda anak beda kepribadian. Beda kepribadian beda cara mendidiknya. Orang tua yang baik bukanlah orang tua yang selalu mengabulkan permintaan anaknya. Orang tua yang baik bukanlah orang tua yang menyekolahkan anaknya dari TK hingga universitas di luar negeri. Orang tua yang baik adalah orang tua yang mengerti kepribadian anaknya, kebutuhan anaknya, bakat dan kemampuan anaknya. Disaat orang tua telah memahami 3 faktor ini, maka mereka akan lebih mudah untuk mendidik anaknya, mengatasi konflik anak dan orang tua, juga memberikan edukasi dan masa depan yang terbaik untuk anaknya. Namun apabila orang tua gagal mengidentifikasi 3 hal tersebut, maka bisa dipastikan anak akan sulit berkomunikasi dengan orang tua, orang tua sulit memecahkan masalah yang terjadi pada anak, sulit melihat potensi yang menonjol, dan yang pasti si anak akan menjadi pemberontak dan pembangkak. Ini bukan kebetulan terjadi pada banyak anak-anak di Indonesia, tapi ini sudah turun temurun. Anak melawan orang tua, kabur dari rumah, married by accident (MBA). Semua itu bukan kesalahan anak, tapi kesalahan orang tua dalam memahami kepribadian sang anak. Terlebih jika si anak sudah beranjak dewasa. Tentu ia ingin menentukan arah hidupnya sendiri. Tapi acapkali orang tua selalu mengambil alih urusan anak, sehingga sang anak merasa tidak leluasa dalam mengambil keputusan. Demikian juga dengan pernikahan. Orang tua selalu menuntut anak menikah dengan satu suku, satu agama, satu kasta. Padahal, kita tidak bisa menebak masa depan siapa jodoh kita, apakah dia satu suku, satu agama, atau satu kasta? Disinilah idealisme kita sebagai manusia dewasa diuji. Apakah kita menjadi manusia yang mengikuti semua kemauan orang tua kita, mengikuti tren yang ada di masyarakat, atau kita manusia yang mampu menentukan masa depan yang sesuai kebutuhan kita sebagai individu yang berbeda? Semua jawaban ada di dalam diri kita sendiri. Kita sudah dewasa, kita seharusnya mampu membedakan mana yang cocok untuk diri kita, dan mana yang tidak.
Korespondensi:
Email : raffredsnorthman@gmail.com
Youtube : Raffreds Northman
Facebook : Raffreds Northman
Twitter : @raffnot
Disaat IDEALISME Anda Dipertanyakan
Banyak orang di negeri ini yang memiliki idealisme tinggi. Mereka tak hanya datang dari kalangan politik saja, namun juga kalangan selebritis hingga rakyat jelata.
Lalu, kenapa idealisme sering dipertanyakan oleh banyak orang? Mengapa pula idealisme dianggap sesuatu yang remeh bhkan cenderung tidak penting bagi sebagian orang?
Menurut Rahmat Fredy Sinaga, idealisme adalah sebuah cara berpikir atau paham dimana seseorang menganggap apa yang dipikirkan dan dilakukannya adalah ideal atau tepat. Berdasarkan tujuannya, idealisme dibagi menjadi dua, yaitu Idealisme Introvert dan Idealisme Extrovert. Idealisme Introvert adalah idealisme yang bertujuan untuk pencapaian diri sendiri. Sedangkan Idealisme Extrovert adalah idealisme yang bertujuan untuk pencapaian orang lain.
Setiap orang pasti memiliki rasa keingintahuan dan keinginan. Rasa keingintahuan itu menyebabkan timbulnya keinginan sehingga terjadi proses pembelajaran. Pembelajaran ini secara terus-menerus akan menimbulkan suatu tindakan (action) untuk memilikinya. Inilah yang disebut dengan cita-cita. Beda individu beda cita-cita. Ini dikarenakan proses pengalaman (experience) yang terjadi dalam hidup orang berbeda-beda sehingga menimbulkan keinginan yang berbeda. Saya masih ingat betapa di zaman tahun 80-an (angkatan karir ibu saya) betapa bangganya orang tua jika memiliki anak yang bergelar insinyur. Disaat itu, belum banyak orang yang mampu menjadi insinyur, sehingga perusahaan membutuhkan begitu banyak tenaga insinyur. Di era tahun 90-an, tren cita-cita berganti menjadi dokter. Orang tua berlomba-lomba menyekolahkan anaknya ke fakultas kedokteran demi sebuah rasa prestisius. Entah itu benar atau tidak. Tren ini masih berlanjut hingga awal tahun 2000. Di tahun 2001, tren berputar lagi. Kebutuhan perusahaan akan ahli IT (Information Technology) membuat sekolah-sekolah dan kursus komputer menjamur dimana-mana. Mulai dari kursus ecek-ecek hingga universitas swasta ternama. Tapi tren ini tak bertahan hingga 10 tahun karena dengan cepat berganti menjadi tren sekolah bisnis. Ya, inilah tren cita-cita yang masih booming hingga sekarang. Orang tua yang bisa menyekolahkan anaknya di sekolah bisnis ternama dianggap hebat. Tak ayal fakultas ekonomi peminatnya meningkat drastis dari tahun ke tahun. Selain berbiaya murah, lulusannya juga banyak dibutuhkan di perusahaan. Animo yang begitu tinggi akhirnya menyebabkan beberapa kampus menaikkan tarif uang kuliah di fakultas ekonomi. Selain itu, ada beberapa kampus yang khusus mendirikan unit sekolah bisnis (seperti di negara maju). Mereka mengklaim bahwa ini dilakukan agar kualitas lulusannya bertaraf internasional, menjadi enterpreneur, dan lain sebagainya.
Diluar dunia akademik, ada dunia hiburan. Sekolah-sekolah seni juga sempat menjadi tren meskipun tidak bertahan lama. Ini dikarenakan untuk menjadi seniman di Indonesia tidak membutuhkan pendidikan yang formal. Berbeda dengan di luar negeri, seperti di Amerika Serikat atau Inggris. Di negara-negra Eropa dan Amerika, definisi pintar berbeda dengan di Asia. Mereka mengangap bahwa pintar adalah suatu kemampuan lebih yang kamu punya dan orang lain tidak punya, apapun bidangnya. Sementara di Asia, orang pintar itu didefinisikan sebagai ahli matematika, jago fisika, pintar biologi, dan sebagainya. Sementara orang yang jago melukis dianggap tidak pintar. Orang yang ahli merakit benda ruang (design) dianggap tidak pintar. Orang yang mampu bermain alat musik, menyanyi, menciptakan lagu dianggap tidak pintar. orang yang bisa memasak dan membuat kue dianggap tidak pintar. Orang yang kreatif dalam membuat tulisan juga dianggap tidak pintar. Orang-orang Asia masih kaku dalam mendefinisikan arti kepintaran, kecuali beberapa negara seperti Jepang, Korea, Singapore, Malaysia, dan India.
Seperti yang kita ketahui, negara India memiliki industri perfilman yang besar, yaitu Bollywood. Industri ini mampu menyumbangkan devisa yang besar bagi negara untuk mensejahterakan rakyatnya, untuk membangun infrastruktur sekolah, instansi pemerintahan, subsidi, dan lain sebagainya. Hal ini juga yang akhirnya diterapkan di Korea Selatan dengan budaya K-Pop. Lihat pula Malaysia. Kita begitu jauh tertinggal darinya. Padahal di zaman sekolah ayah saya ditahun 70-an, warga Malaysia banyak yang bersekolah ke Indonesia. Tapi sekarang? warga Indonesia yang bersekolah ke Malaysia. Kenapa ini bisa terjadi? Karena indeks peningkatan sumber daya manusia kita rendah. Negara kita adalah yang penuh uji coba. Segala sesuatu kebijakan harus ada uji coba yang begitu lama namun ujung-ujungnya tidak ada implementasi yang nyata. Bedakan dengan Malaysia, meskipun mereka adalah kerajaan namun segala kebijakan mereka sangat ketat dan langsung diimplementasikan tanpa basa basi. Lihat pula sumber daya manusia Malaysia yang makin lama makin baik. Prestasi atlit badminton Malaysia kini diatas atlit badminton Indonesia. Lihat juga betapa banyak penyanyi Malaysia yang berhasil Go International, Zee Avi, Yuna, Shila Amzah, Che’Nelle, dan lain-lain. Lihat sistem lalu lintas dan sarana transportasi publik di Malaysia. Dan, lihat pula sarana pendidikan di Malaysia. Malaysia hanya memiliki 1/4 dari total jumlah universitas yang ada di Indonesia. Namun beberapa kampus mereka (Universiti Kebangsaan Malaysia dan Universiti Malaya) masuk dalam 200 Top World Universities mengalahkan kampus jaket kuning dan kampus gajah duduk. Lantas, apa yang membedakan pendidikan di Malaysia dengan di Indonesia. Jawabannya ada di kurikulum. Di Malaysia kurikulum selalu berubah mengikuti perubahan zaman, sehingga lebih fleksibel. Sementara di Indonesia mahasiswa didik untuk menjadi anak manja dan ketergantungan. Mahasiswa belajar untuk nilai agar IPK tinggi sehingga bisa masuk perusahaan bonafit. Sementara di negara-negara maju, mahasiswa dididik untuk bisa menciptakaan lapangan kerja sendiri. Alhasil, dinegara kita tumbuh perusahaan-perusahaan lokal dan asing yang begitu menggiurkan bagi para sarjana. Namun mereka semua tidak sadar bahwa mereka tidak sendiri. Beratus-ribu sarjana bahkan sudah jutaan sarjana yang tercipta di Indonesia, apakah perusahaan mau menampung mereka semua? Jawabannya tidak. Kemudian ada yang bersikeras mengatakan bahwa “saya kan pintar, IPK >3,5, pernah menjadi asisten dosen, berkelakuan baik, pasti saya bisa masuk perusahaan bonafit tersebut…”. Jawabannya belum tentu. Apakah yang memiliki IPK diatas 3,5 hanya satu orang? Lima orang? Sepuluh orang? Tidak, tapi ribuan orang di Jakarta, bahkan di seluruh Indonesia. Apakah ribuan orang IPK >3,5 ini harus masuk semuanya menjadi karyawan di perusahaan? Tidak mungkin. Apakah ribuan orang pintar yang lolos psikotes dan wawancara di perusahaan semuanya bisa bekerja serentak dalam satu perusahaan? Tidak mungkin. Itulah sebabnya dalam melamar kerja, 70% adalah unexplained (faktor rezeki), dan 30% adalah faktor intelligent (kecerdasan, komunikasi, dan penampilan).
Namun, dibalik semua kerumitan ini, ada orang-orang yang berpikir kritis, tidak mau terbawa arus, dan cepat tanggap terhadap kondisi dirinya sendiri. Disaat mereka mengerti bahwa mereka tidak dapat masuk ke dalam perusahaan idaman, mereka memutuskan untuk membuka usaha kecil. Yang mereka lakukan adalah upaya bertahan hidup dan berusaha tidak menyusahkan finansial orang tua. Disaat mereka mendapat peluang kerja di kantor, mereka akan bekerja sambil berbisnis. Kemudian saat bisnis mereka sudah besar dan mampu memenuhi kebutuhan, mereka memutuskan keluar dari kantor. Begitu juga dengan kebanyakan pegawai-pegawai kantoran lain yang setelah puluhan tahun bekerja ujung-ujungnya mereka mendirikan bisnis pribadi. Ini menandakan bahwa semua orang memiliki tujuan yang sama, yaitu mendirikan bisnis pribadi (enterpreneur). Mengapa mereka melakukan itu semua? Mengapa mereka tidak bertahan di kantor? Karena mereka adalah survivor, manusia yang cepat tanggap, tidak mau terbawa arus, dan kritis. Mereka-mereka inilah manusia-manusia yang memiliki idealisme tinggi. Wirausaha tidak melulu dilakukan oleh kalangan berumur, anak muda juga banyak yang telah melakukannya. Bahkan, ada banyak anak muda yang memutuskan untuk berhenti kuliah demi membesarkan bisnisnya. Apakah mereka salah? Tidak. Mereka hanya mempertahakan idelisme yang mereka miliki. Meskipun orang tua mereka menyebutkan sumpah serapah dan kutukan terhadap anaknya sendiri, mereka tetap bertahan, karena mereka punya semangat untuk mempertahankan hasil kerja keras mereka. Lihatlah, betapa banyak musisi yang masa lalunya dikecam dan dibuang oleh keluarga nya sendiri. Mereka dianggap tidak ada. Mereka dianggap memalukan nama baik keluarga. Dunia artis dianggap dunia yang penuh nista, narkoba, dan pergaulan bebas. Namun kenyataannya, mereka akhirnya bisa buktikan kesuksesan tanpa restu orang tua, hingga akhirnya orang tua mereka yang meminta maaf kepada anaknya.
Mengapa orang tua dan anak selalu berbeda pendapat? Karena perbedaan zaman. Jika dahulu 1 US$ = Rp 4,600, namun sekarang 1 US$ = Rp 10,000. Jika dahulu guru menjewer anak sekolah dianggap lumrah, namun sekarang dilarang dilakukan karena membahayakan kesehatan saraf telinga dan psikologis. Orang tua akan mendidik anak sesuai dengan pengalamannya yang terdahulu. Apa yang dianggap baik pada masa lampau akan diterapkan kepada anak. Ada anak yang menurut apa saja kata orang tuanya, dan ada juga anak yang memberontak ketika orang tuanya mentapkan suatu hal pada dirinya. Semua bergantung pada kepribadian anak masing-masing. Beda anak beda kepribadian. Beda kepribadian beda cara mendidiknya. Orang tua yang baik bukanlah orang tua yang selalu mengabulkan permintaan anaknya. Orang tua yang baik bukanlah orang tua yang menyekolahkan anaknya dari TK hingga universitas di luar negeri. Orang tua yang baik adalah orang tua yang mengerti kepribadian anaknya, kebutuhan anaknya, bakat dan kemampuan anaknya. Disaat orang tua telah memahami 3 faktor ini, maka mereka akan lebih mudah untuk mendidik anaknya, mengatasi konflik anak dan orang tua, juga memberikan edukasi dan masa depan yang terbaik untuk anaknya. Namun apabila orang tua gagal mengidentifikasi 3 hal tersebut, maka bisa dipastikan anak akan sulit berkomunikasi dengan orang tua, orang tua sulit memecahkan masalah yang terjadi pada anak, sulit melihat potensi yang menonjol, dan yang pasti si anak akan menjadi pemberontak dan pembangkak. Ini bukan kebetulan terjadi pada banyak anak-anak di Indonesia, tapi ini sudah turun temurun. Anak melawan orang tua, kabur dari rumah, married by accident (MBA). Semua itu bukan kesalahan anak, tapi kesalahan orang tua dalam memahami kepribadian sang anak. Terlebih jika si anak sudah beranjak dewasa. Tentu ia ingin menentukan arah hidupnya sendiri. Tapi acapkali orang tua selalu mengambil alih urusan anak, sehingga sang anak merasa tidak leluasa dalam mengambil keputusan. Demikian juga dengan pernikahan. Orang tua selalu menuntut anak menikah dengan satu suku, satu agama, satu kasta. Padahal, kita tidak bisa menebak masa depan siapa jodoh kita, apakah dia satu suku, satu agama, atau satu kasta? Disinilah idealisme kita sebagai manusia dewasa diuji. Apakah kita menjadi manusia yang mengikuti semua kemauan orang tua kita, mengikuti tren yang ada di masyarakat, atau kita manusia yang mampu menentukan masa depan yang sesuai kebutuhan kita sebagai individu yang berbeda? Semua jawaban ada di dalam diri kita sendiri. Kita sudah dewasa, kita seharusnya mampu membedakan mana yang cocok untuk diri kita, dan mana yang tidak.
Korespondensi:
Email : raffredsnorthman@gmail.com
Youtube : Raffreds Northman
Facebook : Raffreds Northman
Twitter : @raffnot
0
1.3K
3
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan