- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ditekuk Freeport, akankah pemerintah juga menyerah pada Newmont?


TS
boeladiegh
Ditekuk Freeport, akankah pemerintah juga menyerah pada Newmont?
Spoiler for Repost:
Quote:
September tahun lalu, tim renegosiasi kontrak karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang dikomandoi Menko Perekonomian Hatta Rajasa dan Menteri ESDM Jero Wacik resmi bekerja. Tim ini dibentuk melalui Keputusan Presiden (Kepres) No. 3/2012.
Persoalannya, hingga saat ini tim tersebut belum menunjukkan tajinya. Banyak kelompok yang mengkritik tim tersebut. Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) menuding tim tersebut dibentuk hanya untuk mengulangi kesalahan pada masa Orde Baru (Orba). Kritik juga datang dari kalangan pengusaha yang meragukan kemampuan tim itu.
"Harus (berhasil). Kalau tidak mampu mereka seharusnya tahu diri, malu, mundur. Itu hak rakyat. Ingat kekayaan alam kita bukan milik kelompok, tapi ini milik negara, bangsa kita," tegas Ketua Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) Poltak O. P Sitanggang di Jakarta.
Pada Februari lalu, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengklaim sedikitnya ada 9 Kontrak Karya (KK) dan 60 Perjanjian Kontrak Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang sudah bersedia bernegosiasi.
Namun, untuk kontrak karya Freeport, Newmont dan Vale nampaknya masih belum menyepakati butir-butir renegosiasi. Ketidaksepakatan antara pemerintah dan perusahaan tambang meruncing pada poin besaran royalti dan kewajiban hilirisasi.
Freeport belum lama ini dengan tegas menolak pembangunan smelter pada 2014. Padahal, pemerintah sudah mengeluarkan peraturan tentang hal itu di Undang Undang Mineral dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009.
Sementara terkait royalti, permintaan kenaikan dari 1 persen menjadi 3,75 persen dari pemerintah masih belum tampak kejelasannya. Besaran kewajiban ini terbilang sangat rendah dibanding keuntungan yang dikantongi Freeport sejak 1991 dari tanah Indonesia.
Medio Mei kemarin, saat terjadi kecelakaan di Freeport, pemerintah terpaksa memanggil petinggi Freeport ke Jakarta lantaran ditolak ketika hendak meninjau langsung lokasi longsor ke Jayapura. Pertemuan tertutup berlangsung lebih kurang satu jam. Namun, tidak sedikit pun bicara soal renegosiasi royalti dan kontrak karya Freeport.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik yang bertemu langsung dengan bos Freeport tak berdaya ketika menyinggung soal royalti dengan Freeport. Belum diketahui apa penghambat dari kesepakatan ini.
Padahal, jika ingin dibandingkan, PT Aneka Tambang Tbk atau badan usaha milik negara di sektor pertambangan ini saja sudah membayar kewajibannya pada negara sebesar 3,75 persen.
Saat ini, proses renegosiasi terancam kembali gigit jari. Kali ini datang dari PT Newmont Nusa Tenggara (NTT).
Pihak Newmont mengaku proses renegosiasi Kontrak Karya (KK) dengan pemerintah masih buntu. Alasannya, kedua pihak punya pendirian masing-masing.
Anak perusahaan Newmont Mining Corp, yang datang juga dari Amerika Serikat ini, secara eksplisit mengatakan jika permintaan pembangunan smelter oleh pemerintah tidak masuk akal. Pasalnya, industri smelter bukanlah bidang keahliannya sebagai pengelola tambang.
Presiden Direktur PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) Martiono Hadianto menegaskan, jika dipaksakan membangun smelter sendiri, ongkos pengolahan justru merugikan perusahaan itu.
"Untuk smelter, PT NNT perusahaan tambang, smelter itu industri. Jadi kita sebagai perusahaan tambang tidak punya kompetensi dalam menjalankan industri. Asumsinya orang tidak ahli jahit, bikin rok yang sama dengan yang pinter jahit, ongkos lebih banyak bagi yang tidak pandai jahit, kita bukan ahlinya," ujarnya.
Newmont berkukuh menjalankan pengolahan dengan memasok ke pihak ke tiga, seperti dilakukan pula oleh Freeport. Tambang emas dan tembaga ini sudah menggandeng PT Nusantara, PT Indosmelt, dan PT Indovasi sebagai rekanan smelter.
Pun pada isu renegosiasi besaran royalti tambang emas dan tembaga itu. Kontrak karya Newmont di tambang Batu Hijau dan Elang NTT, berlaku hingga 2030.
Mardiono menilai, akan lebih baik jika isu seperti besaran royalti, perluasan lahan, dan lain-lain, dipertahankan sesuai kontrak di zaman Orde Baru dulu. Saat ini, Newmont hanya perlu menyetor 1 persen dari total pendapatan setahun kepada pemerintah.
"Pemerintah RI zamannya Pak Harto, dengan Pak SBY beda enggak? Sama kok, presidennya saja yang beda. Dari sudut pandang kita, kontrak karya yang sudah ditandatangani 1986 biar saja sampai selesai, nanti kalau sudah selesai, baru kita ngikuti UU yang baru," cetusnya.
Jika pada kasus Freeport, pemerintah memilih tiarap. Apakah hal yang sama akan terjadi pada Newmont?
"Renegosiasi itu sulit, diucapkan saja sulit, apalagi mengerjakan. Tapi kita berjalan terus dengan Freeport, Newmont, Vale, dan tambang-tambang lain," kata Jero Wacik.
Tidak ada yang bisa memastikan kapan pemerintah berhasil memaksa perusahaan tambang khususnya milik asing untuk ikut aturan main di Indonesia. Padahal, idealnya negara tidak boleh kalah dari kepentingan asing yang telah menguras kekayaan alam Indonesia.
Perkataan pemerintah bahwa diperlukan penataan ulang terhadap tata kelola sumber daya alam agar sesuai dengan UUD 1945 seperti utopia belaka. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, dalam UUD 1945 Pasal 33, terdapat dua acuan utama bagi negara yaitu perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial masyarakat.
"Kata kunci di sana adalah dikuasai negara dan sebesar-besar kemakmuran rakyat," ujar calon presiden dari partai PAN ini. TKP
Persoalannya, hingga saat ini tim tersebut belum menunjukkan tajinya. Banyak kelompok yang mengkritik tim tersebut. Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) menuding tim tersebut dibentuk hanya untuk mengulangi kesalahan pada masa Orde Baru (Orba). Kritik juga datang dari kalangan pengusaha yang meragukan kemampuan tim itu.
"Harus (berhasil). Kalau tidak mampu mereka seharusnya tahu diri, malu, mundur. Itu hak rakyat. Ingat kekayaan alam kita bukan milik kelompok, tapi ini milik negara, bangsa kita," tegas Ketua Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) Poltak O. P Sitanggang di Jakarta.
Pada Februari lalu, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengklaim sedikitnya ada 9 Kontrak Karya (KK) dan 60 Perjanjian Kontrak Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang sudah bersedia bernegosiasi.
Namun, untuk kontrak karya Freeport, Newmont dan Vale nampaknya masih belum menyepakati butir-butir renegosiasi. Ketidaksepakatan antara pemerintah dan perusahaan tambang meruncing pada poin besaran royalti dan kewajiban hilirisasi.
Freeport belum lama ini dengan tegas menolak pembangunan smelter pada 2014. Padahal, pemerintah sudah mengeluarkan peraturan tentang hal itu di Undang Undang Mineral dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009.
Sementara terkait royalti, permintaan kenaikan dari 1 persen menjadi 3,75 persen dari pemerintah masih belum tampak kejelasannya. Besaran kewajiban ini terbilang sangat rendah dibanding keuntungan yang dikantongi Freeport sejak 1991 dari tanah Indonesia.
Medio Mei kemarin, saat terjadi kecelakaan di Freeport, pemerintah terpaksa memanggil petinggi Freeport ke Jakarta lantaran ditolak ketika hendak meninjau langsung lokasi longsor ke Jayapura. Pertemuan tertutup berlangsung lebih kurang satu jam. Namun, tidak sedikit pun bicara soal renegosiasi royalti dan kontrak karya Freeport.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik yang bertemu langsung dengan bos Freeport tak berdaya ketika menyinggung soal royalti dengan Freeport. Belum diketahui apa penghambat dari kesepakatan ini.
Padahal, jika ingin dibandingkan, PT Aneka Tambang Tbk atau badan usaha milik negara di sektor pertambangan ini saja sudah membayar kewajibannya pada negara sebesar 3,75 persen.
Saat ini, proses renegosiasi terancam kembali gigit jari. Kali ini datang dari PT Newmont Nusa Tenggara (NTT).
Pihak Newmont mengaku proses renegosiasi Kontrak Karya (KK) dengan pemerintah masih buntu. Alasannya, kedua pihak punya pendirian masing-masing.
Anak perusahaan Newmont Mining Corp, yang datang juga dari Amerika Serikat ini, secara eksplisit mengatakan jika permintaan pembangunan smelter oleh pemerintah tidak masuk akal. Pasalnya, industri smelter bukanlah bidang keahliannya sebagai pengelola tambang.
Presiden Direktur PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) Martiono Hadianto menegaskan, jika dipaksakan membangun smelter sendiri, ongkos pengolahan justru merugikan perusahaan itu.
"Untuk smelter, PT NNT perusahaan tambang, smelter itu industri. Jadi kita sebagai perusahaan tambang tidak punya kompetensi dalam menjalankan industri. Asumsinya orang tidak ahli jahit, bikin rok yang sama dengan yang pinter jahit, ongkos lebih banyak bagi yang tidak pandai jahit, kita bukan ahlinya," ujarnya.
Newmont berkukuh menjalankan pengolahan dengan memasok ke pihak ke tiga, seperti dilakukan pula oleh Freeport. Tambang emas dan tembaga ini sudah menggandeng PT Nusantara, PT Indosmelt, dan PT Indovasi sebagai rekanan smelter.
Pun pada isu renegosiasi besaran royalti tambang emas dan tembaga itu. Kontrak karya Newmont di tambang Batu Hijau dan Elang NTT, berlaku hingga 2030.
Mardiono menilai, akan lebih baik jika isu seperti besaran royalti, perluasan lahan, dan lain-lain, dipertahankan sesuai kontrak di zaman Orde Baru dulu. Saat ini, Newmont hanya perlu menyetor 1 persen dari total pendapatan setahun kepada pemerintah.
"Pemerintah RI zamannya Pak Harto, dengan Pak SBY beda enggak? Sama kok, presidennya saja yang beda. Dari sudut pandang kita, kontrak karya yang sudah ditandatangani 1986 biar saja sampai selesai, nanti kalau sudah selesai, baru kita ngikuti UU yang baru," cetusnya.
Jika pada kasus Freeport, pemerintah memilih tiarap. Apakah hal yang sama akan terjadi pada Newmont?
"Renegosiasi itu sulit, diucapkan saja sulit, apalagi mengerjakan. Tapi kita berjalan terus dengan Freeport, Newmont, Vale, dan tambang-tambang lain," kata Jero Wacik.
Tidak ada yang bisa memastikan kapan pemerintah berhasil memaksa perusahaan tambang khususnya milik asing untuk ikut aturan main di Indonesia. Padahal, idealnya negara tidak boleh kalah dari kepentingan asing yang telah menguras kekayaan alam Indonesia.
Perkataan pemerintah bahwa diperlukan penataan ulang terhadap tata kelola sumber daya alam agar sesuai dengan UUD 1945 seperti utopia belaka. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, dalam UUD 1945 Pasal 33, terdapat dua acuan utama bagi negara yaitu perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial masyarakat.
"Kata kunci di sana adalah dikuasai negara dan sebesar-besar kemakmuran rakyat," ujar calon presiden dari partai PAN ini. TKP
Merdeka tapi masih di jajah, kapan Indonesia bener2 bisa merdeka secara keseluruhan


Spoiler for Tambang Freeport Indonesia:


Diubah oleh boeladiegh 28-08-2013 04:54
0
3.1K
Kutip
18
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan