- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
SEJARAH YANG TERLUPAKAN ATAU SENGAJA DI LUPAKAN (PERANJANG LAMBANG GARUDA)


TS
baboi
SEJARAH YANG TERLUPAKAN ATAU SENGAJA DI LUPAKAN (PERANJANG LAMBANG GARUDA)
Spoiler for GARUDA:

Spoiler for PERANCANG LAMABANG GARUDA:
Quote:

SULYAN HAMID II
Sultan Hamid II yang terlahir dengan nama ‘Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak, Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Beliau lahir di Pontianak, Kalimantan Barat, 12 Juli 1913 – meninggal di Jakarta, 30 Maret 1978 pada umur 64 tahun dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang. Sultan Hamid II adalah Perancang Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila. Dalam tubuhnya mengalir darah Arab-Indonesia — walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak yang keduanya sekarang di Negeri Belanda.
Syarif menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.
Spoiler for SEJARAH:
Quote:
Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ia ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara.Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ngabehi Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.
Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.

Pada tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali – Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri.
AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Departemen Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “’tidak berjambul”’ seperti bentuk sekarang ini.
Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes, Jakarta pada 15 Februari 1950.

Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk akhir rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.

Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah, Pontianak. Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan berkas dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.

Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.

Pada tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali – Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri.
AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Departemen Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “’tidak berjambul”’ seperti bentuk sekarang ini.
Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes, Jakarta pada 15 Februari 1950.

Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk akhir rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.

Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah, Pontianak. Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan berkas dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.

Spoiler for FAKTANYA:
Quote:
Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia berbentuk Garuda Pancasila yang kepalanya menoleh lurus ke sebelah kanan, perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda".
Paragraf diatas merupakan isi dari Pasal 46 Undang-Undang No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Ada 12 pasal di dalam bab khusus tentang Lambang Negara di UU itu. Namun, tak satupun yang mencantumkan mengenai siapa perancang dari lambang yang wajib digunakan di berbagai tempat, lembar negara, uang, dokumen resmi, hingga materai, sebagai wujud adanya negara Indonesia. Kalau dipasang di ruangan, posisinya berada lebih tinggi di tengah antara potret Presiden dan Wakil Presiden RI.
Dibandingkan dengan lagu kebangsaan "Indonesia Raya", secara jelas dicantumkan nama Wage Rudolf Supratman sebagai penggubahnya. Hal itu tercantum di Pasal 58 ayat (1) dari UU yang sama.
Nama Sultan Hamid II, atau lengkapnya Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie, tak akan pernah lepas dari sejarah lambang negara Indonesia. Penelitian ilmiah menunjukkan Sultan ketujuh dari Kesultanan Pontianak itu, sebagai perancangnya.
Adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, Turiman Fachturachman Nur M Hum, yang mengangkat tentang validitas perancang lambang negara saat mengambil gelas magister di Universitas Indonesia pada 1999.
Menurut dia, ada dua tahap perancangan lambang negara yang dibuat oleh Sultan Hamid II. Rancangan tahap pertama, pada 8 Februari 1950, mengambil figur burung garuda yang digali dalam mitologi bangsa Indonesia berdasarkan bahan dasar yang dikirim Ki Hajar Dewantoro dari sketsa garuda di berbagai candi di Jawa.
Gambar lambang negara dimaksud itu, sudah dikritisi oleh Panitia Lambang Negara. Kemudian, rancangan tahap kedua, pada 10 Februari 1950, mengambil figur burung elang rajawali setelah Sultan Hamid II melakukan penyempurnaan dan perbandingan dengan negara lain yang menggunakan figur yang sama.
Figur burung elang rajawali itu kemudian ditetapkan menjadi Lambang Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) 11 Februari 1950 dan masuk berita negara Parlemen RIS 17 Februari 1950 Nomor 2 dan menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan Pasal 6.
Sultan Hamid II dalam transkrip 15 April 1967 secara semiotika hukum lambang menamakan lambang negara RIS itu Rajawali - Garuda Pancasila. Soekarno menamakan Elang Rajawali - Garuda, PP No 66 Tahun 1951 menyebut berdekatan dengan burung Elang Rajawali.
Masyarakat Kalimantan Barat (Kalbar) telah mengusulkan di amandemen UUD Tahun 1945 terhadap pasal 36 menjadi pasal 36 A pada tahun 2000 kepada MPR RI. Namun ketika UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan, pada pasal 48 tidak disebutkan siapa perancang lambang negara tersebut.
Terpidana politik
Sultan Hamid II lahir pada 12 Juli 1913 dari ayahnya, Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie (Sultan Keenam/VI) dan ibunya, Syecha Jamilah Syarwani.
Dari laman Wikipedia, disebutkan bahwa Sultan Hamid II menempuh pendidikan ELS (sekolah dasar) di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS (sekolah lanjutan tingkat pertama) di Bandung satu tahun, THS (sekolah tinggi teknik) di Bandung tidak tamat. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di di Breda, Belanda, hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.
Di era federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalimantan Barat. Sultan Hamid II pernah memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan menjadi orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.
Ia pernah menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio di masa Presiden Soekarno (Republik Indonesia Serikat), dan Ketua BFO atau Permusyawaratan Negara-negara Federal dalam Konferensi Meja Bundar.
Namun, namanya pun dianggap tersangkut dalam Peristiwa Westerling (Angkatan Perang Ratu Adil), meski berdasarkan putusan Mahkamah Agung Tahun 1953, meski di kemudian hari, tuduhan itu tidak terbukti. Tanggal 5 April 1950, ia ditangkap. Kemudian dijatuhi hukuman penjara 10 tahun, potong masa tahanan tiga tahun. Tahun 1962, ia kembali ditahan setelah dibebaskan pada tahun 1958. Bersama sejumlah tokoh lain, ia dituduh terlibat konspirasi untuk melakukan tindakan subversif terhadap negara.
Anshari Dimyati, mengambil tesis berjudul "Delik Terhadap Keamanan Negara (Makar) di Indonesia; (Suatu Analisis Yuridis Normatif pada Studi Kasus Sultan Hamid II)". Ia mempertahankan tesisnya pada tanggal 24 Januari 2012 di Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta. Dewan penguji, Prof Dr jur Andi Hamzah SH, Prof Mardjono Reksodiputro SH MA, dan Dr Surastini Fitriasih SH MH.
Anshari Dimyati secara tegas menyatakan, Sultan Hamid II tidak bersalah secara hukum. Hasil tesisnya itu, secara analisis yuridis normatif, sudah dipertahankan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Biografi Politik
Jumat (12/7) sore, tepat satu abad peringatan kelahiran Sultan Hamid II, diluncurkan sebuah buku tentang biografi politik sang sultan. Judulnya, "Sang Perancang Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila".
Buku setebal 600 halaman itu digarap bertiga oleh Turiman Fachturachman Nur, Nur Iskandar dan Dimyati Anshari.
Tokoh nasional asal Kalbar, Oesman Sapta mengatakan, Sultan Hamid II merupakan tokoh yang besar dengan rakyat.
Ia punya pengalaman dengan Sultan Hamid II saat bertamu di Jakarta 45 tahun silam.
"Saya pernah disuruh membangunkan beliau, padahal ada tamu, tapi sang sekretaris beliau, tidak berani membangunkan," ujar Oesman Sapta.
Turiman menegaskan, hingga kini belum ada pengakuan secara hukum kepada Sultan Hamid II selaku perancang lambang negara Indonesia.
"Siapa pencipta lagu Indonesia Raya, penjahit bendera Pusaka Sangsaka Merah Putih, pencipta lagu Garuda Pancasila, semua bisa menjawab. Tetapi, siapa perancang lambang negara, tidak ada yang bisa menjawab,"
Ia berharap, buku tersebut dapat menggugah kesadaran berbangsa mengenai Sultan Hamid II yang hingga kini karyanya masih menjadi salah satu alat pemersatu bangsa.
Selain itu, meluruskan alur sejarah selama ini mengenai kiprah politik sang sultan.
Ada catatan singkat Sultan Hamid II di atas kertas berlogo Ronde Tafel Conferentie atau Konferensi Meja Bundar ketika menyerahkan arsip Rancangan Lambang Negara kepada Mas Agung (Ketua Yayasan Idayu - Jakarta), pada 18 Juli 1974.
Isinya, "mungkin ini adalah yang dapat saya sumbangkan kepada bangsa saya, dan mudah-mudahan sumbangan pertama saya (Lambang Negara) ini bermanfaat bagi negara yang dicintai oleh kita".
Sultan Hamid II wafat di Jakarta pada tanggal 30 Maret 1978. Ia dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batu Layang, Pontianak Utara. Dan kini sejarah pun berulang, mencari tahu setelah kebenaran dikubur bertahun silam.
Paragraf diatas merupakan isi dari Pasal 46 Undang-Undang No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Ada 12 pasal di dalam bab khusus tentang Lambang Negara di UU itu. Namun, tak satupun yang mencantumkan mengenai siapa perancang dari lambang yang wajib digunakan di berbagai tempat, lembar negara, uang, dokumen resmi, hingga materai, sebagai wujud adanya negara Indonesia. Kalau dipasang di ruangan, posisinya berada lebih tinggi di tengah antara potret Presiden dan Wakil Presiden RI.
Dibandingkan dengan lagu kebangsaan "Indonesia Raya", secara jelas dicantumkan nama Wage Rudolf Supratman sebagai penggubahnya. Hal itu tercantum di Pasal 58 ayat (1) dari UU yang sama.
Nama Sultan Hamid II, atau lengkapnya Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie, tak akan pernah lepas dari sejarah lambang negara Indonesia. Penelitian ilmiah menunjukkan Sultan ketujuh dari Kesultanan Pontianak itu, sebagai perancangnya.
Adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, Turiman Fachturachman Nur M Hum, yang mengangkat tentang validitas perancang lambang negara saat mengambil gelas magister di Universitas Indonesia pada 1999.
Menurut dia, ada dua tahap perancangan lambang negara yang dibuat oleh Sultan Hamid II. Rancangan tahap pertama, pada 8 Februari 1950, mengambil figur burung garuda yang digali dalam mitologi bangsa Indonesia berdasarkan bahan dasar yang dikirim Ki Hajar Dewantoro dari sketsa garuda di berbagai candi di Jawa.
Gambar lambang negara dimaksud itu, sudah dikritisi oleh Panitia Lambang Negara. Kemudian, rancangan tahap kedua, pada 10 Februari 1950, mengambil figur burung elang rajawali setelah Sultan Hamid II melakukan penyempurnaan dan perbandingan dengan negara lain yang menggunakan figur yang sama.
Figur burung elang rajawali itu kemudian ditetapkan menjadi Lambang Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) 11 Februari 1950 dan masuk berita negara Parlemen RIS 17 Februari 1950 Nomor 2 dan menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan Pasal 6.
Sultan Hamid II dalam transkrip 15 April 1967 secara semiotika hukum lambang menamakan lambang negara RIS itu Rajawali - Garuda Pancasila. Soekarno menamakan Elang Rajawali - Garuda, PP No 66 Tahun 1951 menyebut berdekatan dengan burung Elang Rajawali.
Masyarakat Kalimantan Barat (Kalbar) telah mengusulkan di amandemen UUD Tahun 1945 terhadap pasal 36 menjadi pasal 36 A pada tahun 2000 kepada MPR RI. Namun ketika UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan, pada pasal 48 tidak disebutkan siapa perancang lambang negara tersebut.
Terpidana politik
Sultan Hamid II lahir pada 12 Juli 1913 dari ayahnya, Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie (Sultan Keenam/VI) dan ibunya, Syecha Jamilah Syarwani.
Dari laman Wikipedia, disebutkan bahwa Sultan Hamid II menempuh pendidikan ELS (sekolah dasar) di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS (sekolah lanjutan tingkat pertama) di Bandung satu tahun, THS (sekolah tinggi teknik) di Bandung tidak tamat. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di di Breda, Belanda, hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.
Di era federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalimantan Barat. Sultan Hamid II pernah memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan menjadi orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.
Ia pernah menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio di masa Presiden Soekarno (Republik Indonesia Serikat), dan Ketua BFO atau Permusyawaratan Negara-negara Federal dalam Konferensi Meja Bundar.
Namun, namanya pun dianggap tersangkut dalam Peristiwa Westerling (Angkatan Perang Ratu Adil), meski berdasarkan putusan Mahkamah Agung Tahun 1953, meski di kemudian hari, tuduhan itu tidak terbukti. Tanggal 5 April 1950, ia ditangkap. Kemudian dijatuhi hukuman penjara 10 tahun, potong masa tahanan tiga tahun. Tahun 1962, ia kembali ditahan setelah dibebaskan pada tahun 1958. Bersama sejumlah tokoh lain, ia dituduh terlibat konspirasi untuk melakukan tindakan subversif terhadap negara.
Anshari Dimyati, mengambil tesis berjudul "Delik Terhadap Keamanan Negara (Makar) di Indonesia; (Suatu Analisis Yuridis Normatif pada Studi Kasus Sultan Hamid II)". Ia mempertahankan tesisnya pada tanggal 24 Januari 2012 di Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta. Dewan penguji, Prof Dr jur Andi Hamzah SH, Prof Mardjono Reksodiputro SH MA, dan Dr Surastini Fitriasih SH MH.
Anshari Dimyati secara tegas menyatakan, Sultan Hamid II tidak bersalah secara hukum. Hasil tesisnya itu, secara analisis yuridis normatif, sudah dipertahankan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Biografi Politik
Jumat (12/7) sore, tepat satu abad peringatan kelahiran Sultan Hamid II, diluncurkan sebuah buku tentang biografi politik sang sultan. Judulnya, "Sang Perancang Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila".
Buku setebal 600 halaman itu digarap bertiga oleh Turiman Fachturachman Nur, Nur Iskandar dan Dimyati Anshari.
Tokoh nasional asal Kalbar, Oesman Sapta mengatakan, Sultan Hamid II merupakan tokoh yang besar dengan rakyat.
Ia punya pengalaman dengan Sultan Hamid II saat bertamu di Jakarta 45 tahun silam.
"Saya pernah disuruh membangunkan beliau, padahal ada tamu, tapi sang sekretaris beliau, tidak berani membangunkan," ujar Oesman Sapta.
Turiman menegaskan, hingga kini belum ada pengakuan secara hukum kepada Sultan Hamid II selaku perancang lambang negara Indonesia.
"Siapa pencipta lagu Indonesia Raya, penjahit bendera Pusaka Sangsaka Merah Putih, pencipta lagu Garuda Pancasila, semua bisa menjawab. Tetapi, siapa perancang lambang negara, tidak ada yang bisa menjawab,"
Ia berharap, buku tersebut dapat menggugah kesadaran berbangsa mengenai Sultan Hamid II yang hingga kini karyanya masih menjadi salah satu alat pemersatu bangsa.
Selain itu, meluruskan alur sejarah selama ini mengenai kiprah politik sang sultan.
Ada catatan singkat Sultan Hamid II di atas kertas berlogo Ronde Tafel Conferentie atau Konferensi Meja Bundar ketika menyerahkan arsip Rancangan Lambang Negara kepada Mas Agung (Ketua Yayasan Idayu - Jakarta), pada 18 Juli 1974.
Isinya, "mungkin ini adalah yang dapat saya sumbangkan kepada bangsa saya, dan mudah-mudahan sumbangan pertama saya (Lambang Negara) ini bermanfaat bagi negara yang dicintai oleh kita".
Sultan Hamid II wafat di Jakarta pada tanggal 30 Maret 1978. Ia dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batu Layang, Pontianak Utara. Dan kini sejarah pun berulang, mencari tahu setelah kebenaran dikubur bertahun silam.
Spoiler for TAHAP PEMBUATAN :

Quote:
“Sealama 68 tahun indonesia merdeka, sudah cukup banyak riset akademik yang dilakukan terhadap sultan Hamid II diantaranya tesis Turiman Fachturrahman Nur dan Ashari Dimyati serta investigative reporting yang dilakukan oleh Jurnalis Kalbar yaitu Nur Iskandar. Hasil riset ketiganya membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah pencipta lambang negaraBurung Garuda Pancasila dan terbukti tidak terlibat dalam Gerakan Westerling (APRA) di Bandung. Kementerian Dalam Negerinjuga telah memperoduksi buku sekaligus film dokumenter tentang lambang negaraq yang menceritakan mengenai proses perancangan lambang negara dimana lebih diakui bahwa Sultan Hamid II adalah Perancang Elang Rajawali Garuda Pancasila”
Spoiler for SUMBER:
THANKS UDAH SUDI MAMPIR DI TRIT ANE GAN BOLEH LAH CENDOL YG IJO-IJO


Diubah oleh baboi 26-08-2013 04:08
0
5.7K
Kutip
44
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan