- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Bupati Kholiq Perekat Syiah, Ahmadiyah, Minoritas


TS
plushkid
Bupati Kholiq Perekat Syiah, Ahmadiyah, Minoritas

Bupati Wonosobo Kholiq Arif (kiri) di Wonosobo, Jawa Tengah. TEMPO/Budi Purwanto

Bupati Wonosobo, Kholiq Arief. TEMPO/Budi Purwanto

Bupati Wonosobo Kholiq Arif. TEMPO/Budi Purwanto
Quote:
TEMPO.CO, Jakarta— Pengusiran terhadap penganut Syiah seperti terjadi di Sampang, Jawa Timur, atau terhadap pengikut Ahmadiyah yang terjadi di berbagai daerah tampaknya tidak bakal terjadi di Wonosobo, Jawa Tengah. Padahal, di wilayah kaki Pegunungan Sindoro dan Sumbing itu, ada 6.000 jiwa anggota jemaah Ahmadiyah, 200 anggota jemaah Alif Rebo Wage (Aboge), dan sekitar 250 penganut Syiah--yang biasanya jadi bulan-bulanan. “Warga Ahmadiyah berhak hidup di Indonesia karena mereka juga membayar pajak,” kata Bupati Wonosobo Kholiq Arif.
Mantan wartawan Jawa Pos yang menjadi bupati sejak 2005 itu terus menyerukan persamaan hak bagi seluruh warga. Itu sebabnya, warga Ahmadiyah yang tersebar di sembilan dari 15 kecamatan bisa hidup tenang. Begitu juga kelompok minoritas lainnya.
Kholiq mengklaim, selama kepemimpinannya, kaum minoritas aman di Wonosobo. Bahkan, berdasarkan riset Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPOD), posisi keamanan Wonosobo melompat ke posisi 2 pada 2009 dibanding posisi 400 pada tahun-tahun sebelumnya.
Dia membandingkan, pada 2005 kelompok minoritas memiliki aktivitas sangat terbatas di Wonosobo dan tidak banyak terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan. Namun, kini mereka dilibatkan dalam banyak kegiatan, termasuk melalui Forum Komunikasi Umat Beragama Kabupaten Wonosobo.
Forum ini melibatkan pemuka agama dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Ahmadiyah, Syiah, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, Tao, dan kelompok penghayat kepercayaan Aboge. Forum ini menjadi ruang dialog yang mempertemukan warga berbeda kepercayaan.
Penasihat Pengurus Syiah Wilayah Jawa Tengah, Mohammad Arman Djauhari, mengakui bahwa Kholiq memberi ruang bagi warga Syiah untuk berdialog dengan kelompok lain lewat berbagai forum diskusi keagamaan.
Mubalig Ahmadiyah untuk wilayah Banjarnegara dan Wonosobo, Nurhadi, merasa nyaman dengan kepemimpinan Kholiq sebagai bupati. “Pak Kholiq lebih perhatian kepada kami dibanding bupati-bupati sebelumnya,” kata Nurhadi.
Mantan wartawan Jawa Pos yang menjadi bupati sejak 2005 itu terus menyerukan persamaan hak bagi seluruh warga. Itu sebabnya, warga Ahmadiyah yang tersebar di sembilan dari 15 kecamatan bisa hidup tenang. Begitu juga kelompok minoritas lainnya.
Kholiq mengklaim, selama kepemimpinannya, kaum minoritas aman di Wonosobo. Bahkan, berdasarkan riset Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPOD), posisi keamanan Wonosobo melompat ke posisi 2 pada 2009 dibanding posisi 400 pada tahun-tahun sebelumnya.
Dia membandingkan, pada 2005 kelompok minoritas memiliki aktivitas sangat terbatas di Wonosobo dan tidak banyak terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan. Namun, kini mereka dilibatkan dalam banyak kegiatan, termasuk melalui Forum Komunikasi Umat Beragama Kabupaten Wonosobo.
Forum ini melibatkan pemuka agama dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Ahmadiyah, Syiah, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, Tao, dan kelompok penghayat kepercayaan Aboge. Forum ini menjadi ruang dialog yang mempertemukan warga berbeda kepercayaan.
Penasihat Pengurus Syiah Wilayah Jawa Tengah, Mohammad Arman Djauhari, mengakui bahwa Kholiq memberi ruang bagi warga Syiah untuk berdialog dengan kelompok lain lewat berbagai forum diskusi keagamaan.
Mubalig Ahmadiyah untuk wilayah Banjarnegara dan Wonosobo, Nurhadi, merasa nyaman dengan kepemimpinan Kholiq sebagai bupati. “Pak Kholiq lebih perhatian kepada kami dibanding bupati-bupati sebelumnya,” kata Nurhadi.
Quote:
Syiah, Ahmadiyah, dan NU Hidup Damai di Wonosobo
TEMPO.CO, Jakarta— Belasan anggota jemaah Ahmadiyah berkumpul di Masjid Baitul Islam, 29 Juli lalu, ketika azan asar berkumandang. Masjid berkusen jendela warna hijau dan berukuran 6 x 10 meter itu berada di gigir Gunung Pakuwojo, Wonosobo, Jawa Tengah.
Para anggota jemaah adalah penduduk Dusun Wonosari, Desa Wonokampir, Kecamatan Watumalang, Wonosobo. Rumah mereka bergerombol di lereng gunung pada ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut. Sebanyak 30 keluarga penganut Ahmadiyah berdampingan dengan 47 keluarga lain.
Hanya 100 meter dari Masjid Baitul Islam, berdiri Masjid Baitul Huda milik warga Nahdlatul Ulama. Takmir Masjid Baitul Huda, Martoyo, mengatakan mereka hidup damai berdampingan dengan warga Ahmadiyah. Sebuah pemandangan yang semakin langka dijumpai di Tanah Air.
Banyak kegiatan yang mereka kerjakan bersama, misalnya kerja bakti, dan tahlilan saat ada warga yang meninggal. Sebagai tokoh NU, Martoyo kerap berbagi peran dengan tokoh Ahmadiyah kampung Wonosari, Suyarno. Dalam acara perkimpoian, Martoyo biasanya menjadi tukang seserahan, dan yang menerima seserahan adalah Suyarno, atau sebaliknya.
Sejumlah mubalig Ahmadiyah bahkan ikut menyusun kurikulum untuk pengajaran di Kabupaten Wonosobo. Dalam pertemuan tahunan, Ahmadiyah juga mengundang Ketua NU dan Ketua Ansor Wonosobo.
Ahmadiyah di Wonosobo sudah ada jejaknya pada 1924. Tokoh yang pertama kali menyebarkan ajaran ini adalah Sabitun. Dia merupakan mubalig pertama di Tanjungsari.
Syiah juga berkembang di Wonosobo. Jumlah penganutnya memang tidak sebanyak Ahmadiyah. Di sana ada sekitar 250 orang penganut Syiah, tersebar di Kecamatan Wonosobo, Garung, dan Kretek. Penasihat Pengurus Syiah Jawa Tengah, Mohammad Arman Djauhari, 62 tahun, adalah penganut Syiah pertama di Wonosobo.
Di lereng Gunung Sindoro, pada ketinggian 800 meter di atas permukaan laut, bersembunyi Dusun Binangun, Desa Mudal, Kecamatan Mojo Tengah. Di kampung sejuk ini tinggal penganut penanggalan Aboge (Alif Rebo Wage) Wonosobo.
Di sana ada 70 orang dari 628 penduduk yang menjadi penganut aliran kepercayaan itu. Hampir semua penganut penanggalan Aboge berhimpun pada penghayat kepercayaan Tunggul Sabdo Jati. Ini semacam perkumpulan penganut Kejawen.
Aboge Wonosobo punya tetua bernama Sarno Kusnandar. Pria 60 tahun ini mewarisi kepercayaan Aboge secara turun-temurun dari nenek moyangnya. “Saya tidak tahu kapan Aboge mulai ada di sini. Yang jelas, saya sejak lahir sudah menganut Aboge,” kata dia.
Penganut penanggalan Aboge hidup rukun dengan warga NU di kampung itu. Rumah Sarno persis di samping Masjid Al-Huda. Tadarus dan suara azan dari pengeras suara tidak mengganggu Sarno, yang merupakan Kepala Dusun Binangun.
TEMPO.CO, Jakarta— Belasan anggota jemaah Ahmadiyah berkumpul di Masjid Baitul Islam, 29 Juli lalu, ketika azan asar berkumandang. Masjid berkusen jendela warna hijau dan berukuran 6 x 10 meter itu berada di gigir Gunung Pakuwojo, Wonosobo, Jawa Tengah.
Para anggota jemaah adalah penduduk Dusun Wonosari, Desa Wonokampir, Kecamatan Watumalang, Wonosobo. Rumah mereka bergerombol di lereng gunung pada ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut. Sebanyak 30 keluarga penganut Ahmadiyah berdampingan dengan 47 keluarga lain.
Hanya 100 meter dari Masjid Baitul Islam, berdiri Masjid Baitul Huda milik warga Nahdlatul Ulama. Takmir Masjid Baitul Huda, Martoyo, mengatakan mereka hidup damai berdampingan dengan warga Ahmadiyah. Sebuah pemandangan yang semakin langka dijumpai di Tanah Air.
Banyak kegiatan yang mereka kerjakan bersama, misalnya kerja bakti, dan tahlilan saat ada warga yang meninggal. Sebagai tokoh NU, Martoyo kerap berbagi peran dengan tokoh Ahmadiyah kampung Wonosari, Suyarno. Dalam acara perkimpoian, Martoyo biasanya menjadi tukang seserahan, dan yang menerima seserahan adalah Suyarno, atau sebaliknya.
Sejumlah mubalig Ahmadiyah bahkan ikut menyusun kurikulum untuk pengajaran di Kabupaten Wonosobo. Dalam pertemuan tahunan, Ahmadiyah juga mengundang Ketua NU dan Ketua Ansor Wonosobo.
Ahmadiyah di Wonosobo sudah ada jejaknya pada 1924. Tokoh yang pertama kali menyebarkan ajaran ini adalah Sabitun. Dia merupakan mubalig pertama di Tanjungsari.
Syiah juga berkembang di Wonosobo. Jumlah penganutnya memang tidak sebanyak Ahmadiyah. Di sana ada sekitar 250 orang penganut Syiah, tersebar di Kecamatan Wonosobo, Garung, dan Kretek. Penasihat Pengurus Syiah Jawa Tengah, Mohammad Arman Djauhari, 62 tahun, adalah penganut Syiah pertama di Wonosobo.
Di lereng Gunung Sindoro, pada ketinggian 800 meter di atas permukaan laut, bersembunyi Dusun Binangun, Desa Mudal, Kecamatan Mojo Tengah. Di kampung sejuk ini tinggal penganut penanggalan Aboge (Alif Rebo Wage) Wonosobo.
Di sana ada 70 orang dari 628 penduduk yang menjadi penganut aliran kepercayaan itu. Hampir semua penganut penanggalan Aboge berhimpun pada penghayat kepercayaan Tunggul Sabdo Jati. Ini semacam perkumpulan penganut Kejawen.
Aboge Wonosobo punya tetua bernama Sarno Kusnandar. Pria 60 tahun ini mewarisi kepercayaan Aboge secara turun-temurun dari nenek moyangnya. “Saya tidak tahu kapan Aboge mulai ada di sini. Yang jelas, saya sejak lahir sudah menganut Aboge,” kata dia.
Penganut penanggalan Aboge hidup rukun dengan warga NU di kampung itu. Rumah Sarno persis di samping Masjid Al-Huda. Tadarus dan suara azan dari pengeras suara tidak mengganggu Sarno, yang merupakan Kepala Dusun Binangun.
Quote:
Cara Bupati Wonosobo Kholiq Redam Konflik Agama
TEMPO.CO, Jakarta— Pengusiran terhadap penganut Syiah seperti terjadi di Sampang, Jawa Timur, atau terhadap pengikut Ahmadiyah yang terjadi di berbagai daerah tampaknya tidak bakal terjadi di Wonosobo, Jawa Tengah. Padahal di wilayah kaki pegunungan Sindoro dan Sumbing itu, ada 6.000 jiwa anggota jemaah Ahmadiyah, 200 anggota jemaah Alif Rebo Wage (Aboge), dan sekitar 250 penganut Syiah, yang biasanya jadi bulan-bulanan. “Warga Ahmadiyah berhak hidup di Indonesia karena mereka juga membayar pajak,” kata Bupati Wonosobo Kholiq Arif.
Bupati Kholiq melibatkan seluruh warganya dalam banyak kegiatan, termasuk melalui Forum Komunikasi Umat Beragama Kabupaten Wonosobo. Forum ini melibatkan pemuka agama dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Ahmadiyah, Syiah, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, Tao, dan kelompok penghayat kepercayaan Aboge. Forum ini menjadi ruang dialog yang mempertemukan warga berbeda kepercayaan.
Kholiq juga melibatkan mantan preman dalam menjaga keamanan, kegiatan keagamaan, juga tradisi macapatan—tembang tradisional Jawa. Ia pun menggandeng Komando Distrik Militer untuk memberi pelatihan kepada para preman insyaf itu. “Cara mendekatinya alamiah saja. Yang paling penting mengeluarkan stigma-stigma buruk pada mereka,” ujarnya.
Kholiq mengaku sedang menyiapkan peraturan daerah yang mengatur kehidupan beragama di kabupaten berpenduduk 771 ribu jiwa itu. Perda ini mengatur setidaknya 18 bidang yang mendukung kerukunan umat beragama. Rancangan perda itu akan dibahas bersama kelompok dan pemangku kepentingan. Jika nantinya perda bertentangan dengan SKB Tiga Menteri, Kholiq berharap ada aturan hukum yang lebih tinggi, misalnya dalam bentuk undang-undang yang akan mengaturnya.
Penasihat Pengurus Syiah Wilayah Jawa Tengah, Mohammad Arman Djauhari, mengakui bahwa Kholiq memberi ruang bagi warga Syiah untuk berdialog dengan kelompok lain lewat berbagai forum diskusi keagamaan.
Mubalig Ahmadiyah untuk wilayah Banjarnegara dan Wonosobo, Nurhadi, merasa nyaman dengan kepemimpinan Kholiq sebagai bupati. “Pak Kholiq lebih perhatian kepada kami dibanding bupati-bupati sebelumnya,” kata Nurhadi.
Ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia atau Lesbumi, Haqqi El-Anshary, mengatakan anak-anak Nahdlatul Ulama tidak hanya dekat dengan kalangan minoritas, tapi juga bersahabat dengan korban tragedi 1965. Mereka tergabung dalam Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba). Selain itu, pemuda NU juga merangkul kelompok waria.
TEMPO.CO, Jakarta— Pengusiran terhadap penganut Syiah seperti terjadi di Sampang, Jawa Timur, atau terhadap pengikut Ahmadiyah yang terjadi di berbagai daerah tampaknya tidak bakal terjadi di Wonosobo, Jawa Tengah. Padahal di wilayah kaki pegunungan Sindoro dan Sumbing itu, ada 6.000 jiwa anggota jemaah Ahmadiyah, 200 anggota jemaah Alif Rebo Wage (Aboge), dan sekitar 250 penganut Syiah, yang biasanya jadi bulan-bulanan. “Warga Ahmadiyah berhak hidup di Indonesia karena mereka juga membayar pajak,” kata Bupati Wonosobo Kholiq Arif.
Bupati Kholiq melibatkan seluruh warganya dalam banyak kegiatan, termasuk melalui Forum Komunikasi Umat Beragama Kabupaten Wonosobo. Forum ini melibatkan pemuka agama dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Ahmadiyah, Syiah, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, Tao, dan kelompok penghayat kepercayaan Aboge. Forum ini menjadi ruang dialog yang mempertemukan warga berbeda kepercayaan.
Kholiq juga melibatkan mantan preman dalam menjaga keamanan, kegiatan keagamaan, juga tradisi macapatan—tembang tradisional Jawa. Ia pun menggandeng Komando Distrik Militer untuk memberi pelatihan kepada para preman insyaf itu. “Cara mendekatinya alamiah saja. Yang paling penting mengeluarkan stigma-stigma buruk pada mereka,” ujarnya.
Kholiq mengaku sedang menyiapkan peraturan daerah yang mengatur kehidupan beragama di kabupaten berpenduduk 771 ribu jiwa itu. Perda ini mengatur setidaknya 18 bidang yang mendukung kerukunan umat beragama. Rancangan perda itu akan dibahas bersama kelompok dan pemangku kepentingan. Jika nantinya perda bertentangan dengan SKB Tiga Menteri, Kholiq berharap ada aturan hukum yang lebih tinggi, misalnya dalam bentuk undang-undang yang akan mengaturnya.
Penasihat Pengurus Syiah Wilayah Jawa Tengah, Mohammad Arman Djauhari, mengakui bahwa Kholiq memberi ruang bagi warga Syiah untuk berdialog dengan kelompok lain lewat berbagai forum diskusi keagamaan.
Mubalig Ahmadiyah untuk wilayah Banjarnegara dan Wonosobo, Nurhadi, merasa nyaman dengan kepemimpinan Kholiq sebagai bupati. “Pak Kholiq lebih perhatian kepada kami dibanding bupati-bupati sebelumnya,” kata Nurhadi.
Ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia atau Lesbumi, Haqqi El-Anshary, mengatakan anak-anak Nahdlatul Ulama tidak hanya dekat dengan kalangan minoritas, tapi juga bersahabat dengan korban tragedi 1965. Mereka tergabung dalam Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba). Selain itu, pemuda NU juga merangkul kelompok waria.
Indonesia membutuhkan banyak pengayom seperti Bupati Wonosobo Kholiq Arif.

Quote:
Original Posted By itilmencelat►
SYIAH, AKHMADIYAH, NU, MUHAMADIYAH, KRISTEN, KATOLIK, HINDU, BUDHA. KONGHUCHU, ALIRAN KEPERCAYAAN.....mereka dulu bersama berjuang untuk membuat Indonesia merdeka.
Maka... bagi Indonesia Raya, perjuangan Akhmadiyah dan Syiah lebih nyata daripada gerombolan Pemuja Budaya Arab.
Andil Gerombolan Pemuja Budaya Arab bagi sebuah negara dan kemanusiaan adalah :
1. Membuat negara MAKMUR jadi HANCUR.
2. Membuat orang BAIK menjadi MUNAFIK.
3. Membuat orang SABAR menjadi BARBAR.
4. Membuat orang PANDAI menjadi BODOH kayak KELEDAI.
SYIAH, AKHMADIYAH, NU, MUHAMADIYAH, KRISTEN, KATOLIK, HINDU, BUDHA. KONGHUCHU, ALIRAN KEPERCAYAAN.....mereka dulu bersama berjuang untuk membuat Indonesia merdeka.
Maka... bagi Indonesia Raya, perjuangan Akhmadiyah dan Syiah lebih nyata daripada gerombolan Pemuja Budaya Arab.
Andil Gerombolan Pemuja Budaya Arab bagi sebuah negara dan kemanusiaan adalah :
1. Membuat negara MAKMUR jadi HANCUR.
2. Membuat orang BAIK menjadi MUNAFIK.
3. Membuat orang SABAR menjadi BARBAR.
4. Membuat orang PANDAI menjadi BODOH kayak KELEDAI.
Quote:
Original Posted By Quadpixel►
Mentri agama , gubenur jawa timur dan bupati sampang madura harusnya malu dan belajar dari bupati wonosobo ini ....
Jangan jadi pemimpin daerah tapi cuman mau mengurus orang yang sealiran .... , sementara orang yang ga sealiran, apalagi beda agama ga diperhatikan sama sekali
Mentri agama , gubenur jawa timur dan bupati sampang madura harusnya malu dan belajar dari bupati wonosobo ini ....
Jangan jadi pemimpin daerah tapi cuman mau mengurus orang yang sealiran .... , sementara orang yang ga sealiran, apalagi beda agama ga diperhatikan sama sekali
Diubah oleh plushkid 25-08-2013 00:10
0
5.7K
Kutip
61
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan