- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Kepuasaan Atlet Bukan Sekadar Demi Rupiah


TS
fadhlierlanda
Kepuasaan Atlet Bukan Sekadar Demi Rupiah
Rabu, 21/08/2013 13:24 WIB
Jakarta - Menerabas terik mentari sejak pagi hingga tengah hari, dan berlanjut bada zuhur sampai petang, menjadi kebiasaan yang mengasyikkan bagi Ika Yuliana. Berbekal topi lebar, busur dan anak panah, perempuan 24 tahun itu berlatih enam hari dalam sepekan.
Jauh ke belakang, rutinitas itu bermula dari lapangan tak terkenal di Bojonegoro, Jawa Timur kota kelahirannya, sejak 13 tahun lalu. Ibundanya, Nanik Suhartati, mengajaknya ke lapangan itu setiap akhir pekan.
Tak butuh waktu lama, predikat juara daerah direbutnya. Sukses itu membuat Ika bisa berkumpul bersama pepanah terbaik pulau di ujung timur Jawa itu pada pemusatan latihan provinsi di Surabaya.
Akurasinya pada tiga jarak berbeda di nomor recurve tak tertandingi pemanah lain senusantara. Ika jadi juara nasional. Langkah ke berbagai turnamen internasional pun diperolehanya.
Puncaknya Ika menjadi wakil Indonesia saat tampil di Olimpiade 2008 Beijing, China. Empat tahun kemudian dominasinya tak terkalahkan. Ika kembali membela "Merah Putih" pada Olimpiade 2012 di London.
Kendati tak membawa pulang medali sebijipun, Ika merasakan jadi selebritas dadakan saat tampil di babak 16 besar. Kala itu ia berhasil mengalahkan pemanah tuan rumah Amy Oliver.
"Setelah menyelesaikan lomba banyak sekali yang minta tanda tangan dan foto bareng. Saat di stasiun kereta dan toko oleh-oleh publik juga mengenali saya," kenangnya.
Kenangan itu rapi disimpan Ika sampai kini, setahun setelah Olimpiade lewat. Setidaknya menjadi selebritas dadakan itu jadi obat kekecewaan gagal menyumbangkan medali untuk negara.
Sedikit obat itu punya level yang hampir sama dengan suka cita saat pertama kali Ika merasakan nikmatnya menjadi juara nasional. Waktu itu dia masih SMP dan tampil pada kejuaraan se-Jawa Timur.
"Saya tak pernah memikirkan berapa nominal hadiahnya saat itu. Naik podium dan dikalungi medali untuk pertama kalinya benar-benar menyenangkan," kata putri pasangan Sugeng dan Nanik Suhartati itu.
Padahal, tak pernah sekalipun Ika bermimpi jadi atlet nasional. Seperti jamaknya anak-anak, dia bercita-cita jadi guru, dokter atau presiden.
"Semua yang saya dapatkan saat ini karena saya memutuskan untuk menjadi atlet. Belum tentu dengan profesi lain saya bisa mendapatkan kepuasan serupa," kata alumni IKIP Budi Utomo Malang itu.
Berada di level paling atas atlet elite nasional, Ika mendapatkan Rp 5 juta perbulan. Uang bernilai besar pertama didapatkan pada 2007 lampau. Dia diganjar Rp 200 juta setelah sebagai apresiasi medali emas SEA Games di Thailand. Penampilan cemerlangnya di multievent berikutnya menambah pundi-pundi tabungan.
Sementara itu, pelari gawang putri Indonesia, Dedeh Erawati, juga tak pernah menyangka hidupnya habis di lintasan atletik.
"Aku mengenal atletik saat SMP. Baru mulai latihan lari gawang tahun 1997, eh langsung cinta deh sama gawang," kata Dedeh.
Namun bukan berarti cita-citanya menjadi guru terlupakan begitu saja. "Mungkin sekarang tidak jadi guru ya, tapi mungkin nanti jadi dosen karena aku mau lanjutin S2," kata ibu Diva Renata Amelia itu.
Untuk saat ini dia memilih fokus mengejar prestasi dari lintasan lari gawang. "Menjadi atlet itu luar biasa banget, sangat membanggakan. Selain pola pikir kita sehat, pikiran positif, beda banget dengan yang tidak melakukan apa-apa. Lebih semangat, aura positif terus ya," kata Dedeh.
[url]http://sport.detik..com/read/2013/08/21/131737/2336193/82/kepuasaan-atlet-bukan-sekadar-demi-rupiah[/url]
dalam bekerja, termasuk jadi atlet, bukan cuma uang yang membuat kepuasan, prestasi juga termasuk
Jakarta - Menerabas terik mentari sejak pagi hingga tengah hari, dan berlanjut bada zuhur sampai petang, menjadi kebiasaan yang mengasyikkan bagi Ika Yuliana. Berbekal topi lebar, busur dan anak panah, perempuan 24 tahun itu berlatih enam hari dalam sepekan.
Jauh ke belakang, rutinitas itu bermula dari lapangan tak terkenal di Bojonegoro, Jawa Timur kota kelahirannya, sejak 13 tahun lalu. Ibundanya, Nanik Suhartati, mengajaknya ke lapangan itu setiap akhir pekan.
Tak butuh waktu lama, predikat juara daerah direbutnya. Sukses itu membuat Ika bisa berkumpul bersama pepanah terbaik pulau di ujung timur Jawa itu pada pemusatan latihan provinsi di Surabaya.
Akurasinya pada tiga jarak berbeda di nomor recurve tak tertandingi pemanah lain senusantara. Ika jadi juara nasional. Langkah ke berbagai turnamen internasional pun diperolehanya.
Puncaknya Ika menjadi wakil Indonesia saat tampil di Olimpiade 2008 Beijing, China. Empat tahun kemudian dominasinya tak terkalahkan. Ika kembali membela "Merah Putih" pada Olimpiade 2012 di London.
Kendati tak membawa pulang medali sebijipun, Ika merasakan jadi selebritas dadakan saat tampil di babak 16 besar. Kala itu ia berhasil mengalahkan pemanah tuan rumah Amy Oliver.
"Setelah menyelesaikan lomba banyak sekali yang minta tanda tangan dan foto bareng. Saat di stasiun kereta dan toko oleh-oleh publik juga mengenali saya," kenangnya.
Kenangan itu rapi disimpan Ika sampai kini, setahun setelah Olimpiade lewat. Setidaknya menjadi selebritas dadakan itu jadi obat kekecewaan gagal menyumbangkan medali untuk negara.
Sedikit obat itu punya level yang hampir sama dengan suka cita saat pertama kali Ika merasakan nikmatnya menjadi juara nasional. Waktu itu dia masih SMP dan tampil pada kejuaraan se-Jawa Timur.
"Saya tak pernah memikirkan berapa nominal hadiahnya saat itu. Naik podium dan dikalungi medali untuk pertama kalinya benar-benar menyenangkan," kata putri pasangan Sugeng dan Nanik Suhartati itu.
Padahal, tak pernah sekalipun Ika bermimpi jadi atlet nasional. Seperti jamaknya anak-anak, dia bercita-cita jadi guru, dokter atau presiden.
"Semua yang saya dapatkan saat ini karena saya memutuskan untuk menjadi atlet. Belum tentu dengan profesi lain saya bisa mendapatkan kepuasan serupa," kata alumni IKIP Budi Utomo Malang itu.
Berada di level paling atas atlet elite nasional, Ika mendapatkan Rp 5 juta perbulan. Uang bernilai besar pertama didapatkan pada 2007 lampau. Dia diganjar Rp 200 juta setelah sebagai apresiasi medali emas SEA Games di Thailand. Penampilan cemerlangnya di multievent berikutnya menambah pundi-pundi tabungan.
Sementara itu, pelari gawang putri Indonesia, Dedeh Erawati, juga tak pernah menyangka hidupnya habis di lintasan atletik.
"Aku mengenal atletik saat SMP. Baru mulai latihan lari gawang tahun 1997, eh langsung cinta deh sama gawang," kata Dedeh.
Namun bukan berarti cita-citanya menjadi guru terlupakan begitu saja. "Mungkin sekarang tidak jadi guru ya, tapi mungkin nanti jadi dosen karena aku mau lanjutin S2," kata ibu Diva Renata Amelia itu.
Untuk saat ini dia memilih fokus mengejar prestasi dari lintasan lari gawang. "Menjadi atlet itu luar biasa banget, sangat membanggakan. Selain pola pikir kita sehat, pikiran positif, beda banget dengan yang tidak melakukan apa-apa. Lebih semangat, aura positif terus ya," kata Dedeh.
[url]http://sport.detik..com/read/2013/08/21/131737/2336193/82/kepuasaan-atlet-bukan-sekadar-demi-rupiah[/url]
dalam bekerja, termasuk jadi atlet, bukan cuma uang yang membuat kepuasan, prestasi juga termasuk
0
778
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan