Kaskus

Entertainment

playboyhtcAvatar border
TS
playboyhtc
Suharto vs Mahathir, di Balik Panas-Dinginnya Hubungan RI-Malaysia
Spoiler for indo:


Saya tidak pernah kasar terhadap beliau (Suharto), tapi saya punya cara tersendiri. SAYA TIDAK SUDI DIPERLAKUKAN SEPERTI SEORANG ADIK (Mahathir Mohamad, 2007)

Secara alamiah, dua negara yang memiliki budaya dan bahasa yang sama akan memilih untuk bersahabat ketimbang bermusuhan. Hanya sebab-sebab politik yang membuat mereka terpisah.

Contohnya rakyat Korea Utara dan Selatan yang secara emosional masih memiliki ikatan walaupun perseteruan politik memisahkan kedua negara. Juga rakyat Berlin Timur dan Barat yang sering diam-diam menerobos perbatasan atau berkirim surat walaupun terpisah tembok tebal.

Rakyat Malaysia dan Indonesia memiliki bahasa yang sama, budaya yang mirip, dan warna kulit yang susah dibedakan. Rakyat kita dan Malaysia terikat secara emosional sejak ratusan tahun lalu. Pedagangnya saling berniaga, pemuda-pemudinya saling menyukai dan dilanjutkan dengan pernikahan, juga rakyatnya saling berkunjung dan ada yang menetap selama-lamanya.

Secara kultural kita dan Malaysia tidak ada masalah. Lantas kenapa hubungan kedua negara ini selalu panas-dingin? Gara-garanya adalah politik.

Nuansa hubungan Jakarta-Kuala Lumpur saat ini banyak dipengaruhi oleh hubungan pribadi antara dua negarawan besar: Suharto dan Mahathir Mohamad. Keduanya berada di pucuk kekuasaan dalam kurun waktu yang sama dan tercatat sebagai pemimpin terlama (serta terkuat) di kedua negara.

Jauh sebelum Suharto dan Mahathir masuk ke arena politik, hubungan Indonesia-Malaysia bisa dikatakan tidak bermasalah. Bahkan dahulu pernah ada cita-cita untuk menggabungkan Malaysia dan Indonesia di bawah panji Melayu Raya. Ide ini sudah bersemi sejak tahun 1938 dan didukung oleh pejuang-pejuang politik Malaysia di bawah organisasi Kesatuan Melayu Muda (KMM). Tokoh-tokoh KMM seperti Ibrahim bin Haji Yaakob dan Burhanuddin Helmi menjalin komunikasi intensif dengan Sukarno, Hatta, dan Muhammad Yamin untuk mewujudkan gagasan Melayu Raya. Atas saran Muhammad Yamin, istilah “Indonesia Raya” dipilih untuk meggantikan Melayu Raya.


Spoiler for indo:


Gagasan Indonesia Raya gagal karena tiba-tiba Jepang menyerah kalah. Sukarno memutuskan ide Indonesia Raya susah untuk diwujudkan karena harus berhadapan dengan Inggris yang menguasai Semenanjung Malaya dan Belanda yang menguasai Indonesia. Walaupun ide itu kandas, cita-cita menyatukan Tanah Melayu masih tetap berada di benak Sukarno. Tak heran Sukarno marah besar ketika Malaysia dimerdekakan oleh Inggris pada tahun 1957 dan memilih menjadi negara berdaulat. Maka dikobarkanlah kampanye “Ganyang Malaysia” pada tahun 1963.

Kampanye Konfrontasi tak berumur panjang karena secara emosional Indonesia tidak bermusuhan dengan Malaysia. Konfrontasi meletus hanya karena ambisi politik Sukarno yang berbenturan dengan ambisi politik PM Malaysia Tunku Abdul Rahman. Tak heran ketika Sukarno jatuh dan digantikan Suharto, normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia berjalan sangat cepat didukung oleh operasi intelijen Jakarta-Kuala Lumpur yang dikomandoi oleh Benny Moerdani dari Indonesia dan Ghazali Shafei (”King Ghaz”) dari Malaysia.

Hubungan Indonesia-Malaysia memasuki bulan madu ketika Suharto naik ke kursi kepresidenan dan Tunku Abdul Rahman digantikan oleh Tun Abdul Razak (ayah Dato Seri Najib Razak, PM Malaysia sekarang). Pada era inilah posisi “abang-adik” disepakati oleh kedua negara; Indonesia sebagai abang dan Malaysia sebagai adik.

Tun Razak benar-benar patuh dengan peran tersebut; beliau menganggap Suharto sebagai seniornya dan Indonesia sebagai abang yang harus dihormati. Indonesia pun sebagai abang yang baik membantu adiknya yang baru merdeka dengan mengirimkan guru-guru dan dosen ke Malaysia di era 70-an. Salah satu hasil kerjasama abang-adik itu adalah pengembangan Majlis Amanah Rakyat (MARA) di Malaysia buah pikir Prof. Sumitro Djojohadikusumo.

Spoiler for indo:


Secara pribadi Tun Razak dan Suharto juga sangat akrab dan keduanya kerap bermain golf bersama. Di lapangan golf Brastagi tahun 1975, Suharto melihat tanda-tanda ketidakberesan ketika Tun Razak terengah-engah di lubang ke-6 dan sempat bertanya apakah beliau masih sanggup melanjutkan. Rupanya inilah permainan golf terakhir antara kedua sahabat karib itu. Tun Razak wafat ketiba berobat di London pada tahun 1976.

Suasana hubungan Jakarta-Kuala Lumpur berubah ketika Mahathir Mohammad menjadi PM Malaysia di tahun 1981. Mahathir adalah seorang yang keras kepala, sama seperti Suharto yang dijuluki koppig (kepala batu) oleh Sukarno. Mahathir menolak patuh pada konsep “abang-adik” yang dijalankan oleh para pendahulunya. Sikap Mahathir ini jelas tidak disukai oleh Suharto. Tapi Mahathir tetap kukuh dengan pendiriannya. Ketika diwawancarai oleh Barry Wain di tahun 2007, dia berucap, “Saya tidak pernah kasar terhadap beliau (Suharto), tapi saya punya cara tersendiri. SAYA TIDAK SUDI DIPERLAKUKAN SEPERTI SEORANG ADIK.”

Spoiler for indo:


Sikap agresif Mahathir ini berdampak pada keharmonisan hubungan Indonesia-Malaysia. Indonesia yang masih menganggap dirinya abang merasa dikentuti, sebaliknya Malaysia merasa tidak sudi dianggap adik dan mulai memberontak. Didukung oleh kemajuan pesat ekonomi Malaysia selama 20 tahun di bawah kendalinya, Mahathir merasa punya hak untuk bersikap agresif dan berdiri sejajar dengan Suharto.

Dalam kasus sengketa Sipadan-Ligitan misalnya, Mahathir menolak usul Suharto yang ingin masalah itu diselesaikan secara kekeluargaan di ASEAN, dengan harapan Indonesia bisa menang karena faktor “saudara tua”. Mahathir sebaliknya ingin membawa masalah itu ke pengadilan internasional, yang kemudian memenangkan Malaysia.

Bukan hanya sekali Mahathir “melawan” Suharto. Dalam pembentukan APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation), Indonesia dan seluruh negara ASEAN (kecuali Malaysia) mendukung kerjasama ekonomi ASEAN dengan mengajak Australia. Mahathir yang memang sejak lama membenci Australia menolaknya, dan lebih suka membentuk EAEC (East Asian Economic Caucus) dengan mengajak Jepang yang sudah lama menjadi negara panutan Mahathir. Sempat memboikot sidang puncak APEC yang pertama di Seattle, Mahathir melunak ketika Suharto dengan nada halus ala Jawa menyuruhnya untuk datang ke sidang APEC kedua di Bogor. “Saya akan mengundang dia (Mahathir), dan saya harap dia datang,” tegas Suharto.

Mahathir bukan sengaja ingin merendahkan Suharto atau Indonesia. Sikap keras yang dia tunjukkan hanya ingin menegaskan posisi Malaysia yang sederajat dengan negara manapun, sikap yang secara konsisten ditunjukkan oleh Mahathir sejak aktif di pergerakan politik di bangku kuliah. Beda dengan Sukarno yang pandai beretorika tetapi payah mengurusi ekonomi, Mahathir menguasai keduanya. Fasih berbahasa Inggris, ia memukau pendengar dengan pidatonya pada sidang Negara Non-Blok di Jakarta pada tahun 1992 yang secara tegas menyuruh Amerika berhenti berperan sebagai Tuhan, satu momen yang dianggap merendahkan Suharto sekaligus melekatkan gelar “Sukarno Kecil” di dada Mahathir.

Persaingan antara kedua orang kuat Asia itu walau bagaimanapun berhasil diredam di tingkat yang lebih bawah. Orang-orang dekat Suharto kebanyakan merupakan aktor-aktor yang mengarsiteki normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia pasca Konfrontasi seperti Adam Malik, Ali Murtopo, dan Benny Moerdani. Jika ada ketegangan antara Jakarta-KL, biasanya para menteri ini tinggal angkat telepon, bicara sebentar dengan sahabatnya di Malaysia sana, dan masalah selesai. Tak heran orang awam melihat hubungan Indonesia-Malaysia saat itu sepertinya adem-ayem saja.

Walaupun secara politik hubungan Suharto dan Mahathir terbilang panas, secara pribadi keduanya berteman baik. Mahathir memang terkenal pandai memisahkan urusan politik dan pribadi. Ketika ia berseteru hebat dengan Tun Musa Hitam dalam perebutan pucuk pimpinan UMNO, dengan santainya ia hadir ke acara pernikahan anak Musa Hitam. “Itu politik, ini persahabatan”, komentar Mahathir ketika itu.

Juga dengan Suharto, Mahathir tetap menjalin persahabatan pribadi yang makin kukuh ketika keduanya sudah tidak menjabat. Beberapa kali Mahathir, yang akrab disapa “Pak Mahathir” oleh Mbak Tutut, mengunjungi Suharto di Cendana sekedar bertanya kabar dan bertukar kisah lama. Dan ketika Mahathir menjenguk Suharto yang terbaring sakit menjelang ajal, keduanya menangis. Mahathir pula tak lupa menziarahi makam Suharto setelah wafatnya.

Spoiler for indo:


Inilah yang saya katakan hubungan Jakarta-KL saat ini mewarisi suasana batin hubungan pribadi antara Suharto dan Mahathir. Keduanya berseteru ketika bicara politik, tapi tetap menjalin keakraban dari sisi pribadi. Pun hubungan Indonesia-Malaysia yang memanas ketika politik diseret-seret, tetapi rakyat kedua negara tetap saling mengunjungi bahkan ada yang saling menikahi.

Yang saya lihat saat ini hubungan Indonesia-Malaysia masih diwarnai nuansa persaingan seperti dulu. Di Malaysia pejabat-pejabatnya masih diisi orang-orang dari era Mahathir yang masih melihat Indonesia sebagai pesaing. Sebaliknya di Indonesia tokoh-tokoh yang dulu terlibat dalam normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia sudah pensiun atau wafat, digantikan diplomat-diplomat bau kencur. Jarang sudah telpon-telponan antar pejabat tinggi ketika KL dan Jakarta bermasalah, tapi malah saling mengecam di media massa alias loudspeaker diplomacy. Malaysia arogan, Indonesia pun terlalu sensitif merasa dizalimi.

Era Suharto dan Mahathir sudah berlalu. Situasi di Indonesia dan Malaysia sudah lain dari 15-20 tahun lalu. Kini saatnya membuka babak baru diplomasi. Bukan lagi dengan Konfrontasi gaya Sukarno, atau permainan abang-adik a la Suharto-Tun Razak, atau persaingan a la Suharto-Mahathir, tapi didasarkan pada prinsip kerja sama antara dua negara berdaulat yang sejajar.


semoga bermanfaat gan' menambah ilmu kita

emoticon-Blue Guy Cendol (L)emoticon-Blue Guy Cendol (L)emoticon-Blue Guy Cendol (L)emoticon-Blue Guy Cendol (L)

emoticon-Rate 5 Staremoticon-Rate 5 Staremoticon-Rate 5 Staremoticon-Rate 5 Star
0
5K
7
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan