Selama berlangsungnya Festival Danau Toba (FDT), 8 sampai 14 September 2013 mendatang, salah satu mata acara menarik adalah digelarnya pertandingan Marumpasa. Ini adalah kontes yang mempertandingkan kemampuan peserta untuk menyampaikan umpasa-umpasa atau pantun dalam bahasa Batak.

Umpasa hanyalah salah satu jenis sastra yang dikenal dalam suku Batak. Sejak lama, sukubangsa itu telah mengenal kemampuan tulis-menulis dan sekaligus kemampuan berbicara di depan khalayak, atau public speaking. Tak heran bila ada ungkapan dalam Batak Toba, "Ansit do na halion (so dapotan) jambar juhut, alai hansitan dope na so dapotan jambar hata". Bila diterjemahkan secara singkat, sangat menyakitkan jika seseorang tidak mendapat bagian dalam pembagian daging, tetapi lebih sakit lagi jika seseorang tidak mendapat kesempatan untuk berbicara dalam pesta adat. Ungkapan ini hendak menunjukkan betapa penting dan tingginya nilai berbicara dalam budaya Batak Toba.

Saat berbicara pun, disampaikan lewat ungkapan-ungkapan penuh makna, seperti umpasa. Ungkapan-ungkapan itu merupakan gambaran dari pengalaman hidup suku bangsa tersebut, sejak dulu sampai sekarang. Jadi tak heran bila sastra yang ada juga mengandung falsafah dari pengalaman hidup itu. Misalnya ada yang mengandung filosofi tentang pengetahuan (habisuhon), kesusilaan (hahormaton), tata aturan hidup (adat dohotuhum) dan kemasyarakatan (parngoluon siganup ari). Jadi bisa dikatakan, sastra merupakan pencerminan hidup dan kehidupan suku bangsa itu.

Sesungguhnya, melalui penyelenggaraan FDT diharapkan sastra Batak, baik lewat tulisan maupun secara lisan, dapat terus dikembangkan. Bahkan bukan tidak mungkin bila nantinya dapat dikembangkan suatu acara khusus yang menggelar sastra Batak termasuk terjemahannya, sehingga bisa menarik perhatian lebih banyak orang terhadap kekayaan budaya Batak tersebut.