- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita Luar Negeri
Perlukah Mendukung Ikhwanul Muslimin?
TS
vichaksana
Perlukah Mendukung Ikhwanul Muslimin?
Quote:
Oleh: Ahmad Sadzali
Penulis adalah mahasiswa Universitas al-Azhar, Kairo, asal Martapura
Berbicara soal kudeta di Mesir mungkin tidak akan ada habisnya. Banyak sekali fenomena dan pelajaran yang dapat kita ambil. Salah satu fenomena dan pelajaran yang paling penting dari krisis Mesir ini adalah terbuktinya ukhuwah Islamiah yang sangat kuat di antara sesama umat Islam.
Melihat presiden Mesir Dr Muhammad Mursi dari kelompok Islamis Ikhwanul Muslimin dikudeta militer Mesir, hampir serentak umat Islam di berbagai penjuru dunia mengecam kudeta tersebut.
Terlebih lagi ketika melihat kedzaliman yang dilakukan oleh militer Mesir dengan menembaki pendukung Mursi hingga ratusan korban jiwa telah berjatuhan, umat Islam semakin geram dengan ulah militer tersebut. Sebagai sesama Muslim, kita tentu pasti membela saudara kita yang tengah didzalimi.
Namun ada hal yang sangat disayangkan di sini yaitu ketika ukhuwah Islamiah yang begitu kuat itu dipolitisi untuk ambisi politik. Kisruh di Mesir yang aslinya adalah murni krisis politik, lantas dihubungkan dengan agama Islam, dengan alasan ukhuwah, solidaritas, jihad, dan lain sebagainya.
Perkembangan pola pikir seperti ini tentunya tidak baik dan tidak sehat bagi ukhuwah umat Islam itu sendiri. Genderang solidaritas, apalagi jihad yang ditujukan kepada sesama Muslim hanya akan memperburuk kondisi umat Islam saja. Hasilnya, umat Islam akan semakin terpecah-belah.
Sangat riskan jika selanjutnya terdapat tuduhan bahwa yang mengkudeta Mursi itu adalah musuh umat Islam. Apa kita lupa bawah rakyat Mesir yang mendukung kudeta itu juga beragama Islam? Bahkan di belakangnya juga ada kelompok Islamis seperti Salafi dan institusi keagamaan terbesar, al-Azhar. Lantas apakah kita sudah menganggap sesama Muslim sendiri sebagai musuh?
Oleh karena itulah, ulama-ulama al-Azhar lantas dengan tegas menyatakan bahwa kisruh politik Mesir saat ini tidak ada sangkut-pautnya dengan agama Islam. Jadi jangan sampai membawa simbol-simbol Islam dalam perkara itu, hanya untuk mencari simpati dari kekuatan ukhuwah Islamiah. Itu murni urusan politik dan perebutan kekuasaan.
Namun pernyataan ulama-ulama al-Azhar itu lantas banyak yang diselewengkan dan tidak dipahami secara benar. Untuk itulah penting sekali pernyataan seperti itu dijelaskan secara baik, sehingga tidak terjadi salah paham.
Sikap ulama-ulama Al-Azhar sebenarnya bukan pro-militer, tapi mengedepankan maslahat dan benar-benar berpegang teguh pada prisip syariat Islam. Pernyataan bahwa urusan Ikhwanul Muslimin dan krisis di Mesir sekarang memang benar tidak ada sangkut pautnya dengan agama Islam. Itu adalah masalah politik dan perebutan kekuasaan, tidak ada sangkut pautnya dengan agama.
Namun sayangnya, terkadang di poin ini tidak sedikit orang-orang yang salah memahaminya. Mendengar bahwa politik tidak ada hubungannya dengan agama, lantas pernyataan itu dinilai sekular atau liberal. Padahal yang dimaksud bukan demikian.
Politik dan agama Islam itu sangat erat hubungannya. Bahkan tidak bisa dipisahkan. Konsep politik Islam selalu berlandaskan nilai-nilai dan ajaran agama Islam. Bukan hanya politik saja, melainkan seluruh aspek kehidupan manusia telah diatur oleh Islam. Jadi, sangat tidak mungkin jika konsep politik dalam Islam justru terlepas dari Islam.
Akan tetapi, yang dimaksud para ulama al-Azhar dengan pernyataan tersebut adalah, kasus yang terjadi sekarang di Mesir, bukan perjuangan agama apalagi perang agama, melainkan perjuangan perebutan kekuasaan.
Dr Muhammad Imarah pernah mengatakan soal hubungan negara dan agama Islam. Hubungan antara agama dan negara biasanya antara dua bentuk: 1) penggabungan agama dan negara, yaitu menjadi negara teokrasi, seperti era Kegelapan Eropa dulu ketika negara dikuasai institusi gereja; 2) sekuler, dimana agama dipisahkan dari negara. Sedangkan dalam Islam, sebenarnya tidak mengenal keduanya secara mutlak.
Untuk yang sekuler, dalam Bahasa Arab biasanya disebut fashlu din ‘an daulah (pemisahan agama dari negara). Yang benar dalam Islam itu, menurut Dr Imarah, adalah tamyiz din ‘an daulah. Istilah tamyiz seperti ini memang susah jika dicari terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia. Namun intinya yang dimaksud dengan tamyiz adalah filter atau memilah-milih mana yang termasuk urusan agama dan sekaligus urusan negara atau politik, dan mana yang murni urusan politik saja tanpa ada sangkut-pautnya dengan agama, atau sebaliknya.
Jadi, pendapat ulama al-Azhar tentang kasus politik di Mesir adalah bagian dari tamyiz din ‘an daulah. Jadi tidak semua urusan politik lantas dikaitkan dengan Islam. Apalagi masalah kepentingan perebutan kekuasaan seperti ini yang lantas mengatasnamakan agama untuk mendapat dukungan dan simpati politik, jelas keliru.
Jadi intinya, harus dibedakan antara kasus dan konsep. Secara konsep, jelas Islam tidak terpisah dari negara dan politik. Tapi ini adalah kasus, yaitu kasus perebutan kekuasaan.
Salah satu contoh turunan dari perkara ini adalah, isu syariat Islam dibawa-bawa sebagai alasan untuk mendukung Ikhwanul Muslimin. Stigma yang muncul selanjutnya adalah, Ikhwanul Muslimin perlu dibantu karena mereka memperjuangkan Syariat Islam.
Memang benar Ikhwanum Muslimin memperjuangkan Syariat Islam. Tapi yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apa benar hanya Ikhwanul Muslimin yang memperjuangkan Syariat Islam di Mesir?
Stigma seperti ini artinya pengerucutan isu bahwa perjuangan Syariat Islam hanyalah milik Ikhwanul Muslimin. Stigma tersebut tentu tidak berdasar dan menimbulkan logical fallacy dalam pemikiran umat Islam. Sebab stigma ini setidaknya sudah menafikan dan tidak menganggap peranan al-Azhar dan ulamanya serta peranan kelompok Salafi dalam penerapan Syariat Islam di Mesir.
Selama ini, urusan Syariat Islam di Mesir sangat dikawal ketat oleh al-Azhar dan kelompok Salafi juga turut menyetujui konstitusi berlandaskan Syariat Islam yang sudah direferendum pada masa kepresidenan Mursi.
Namun faktanya, ketika Presiden Mursi dikudeta, al-Azhar dan kelompok Salafi yang juga memperjuangkan Syariat Islam juga turut menyetujui kudeta tersebut. Logikanya, seandainya Ikhwanul Muslimin digulingkan karena Syariat Islam yang mereka perjuangkan, tentu al-Azhar dan kelompok Salafi tidak akan merestui kudeta tersebut.
Lantas perlukan kita mendukung Ikhwanul Muslimin di Mesir?
Selama mereka menjadi korban kedzaliman dan keganasan militer Mesir, maka sebagai sesama Muslim harus menolong dan mendukung mereka. Walau bagaimanapun kita tidak dapat membiarkan kedzaliman. Jika militer bersikap biadab.
Namun jika terkait urusan politik Ikhwanul Muslimin yang ingin merebut kembali kekuasaan mereka, maka kita tidak perlu turut campur dalam urusan politik dalam negeri Mesir tersebut. Itu adalah murni urusan politik mereka.
Sikap seperti inilah yang diperankan oleh al-Azhar. Ketika pendukung Mursi didzalimi, al-Azhar mengecam keras tindakan militer. Al-Azhar bahkan berkali-kali mengimbau petinggi Ikhwanul Muslimin dibebaskan sebagai bentuk persamaan hak politik. Namun soal perebutan kekuasaan, al-Azhar sama sekali tidak mau ikut campur. (*)
Penulis adalah mahasiswa Universitas al-Azhar, Kairo, asal Martapura
Berbicara soal kudeta di Mesir mungkin tidak akan ada habisnya. Banyak sekali fenomena dan pelajaran yang dapat kita ambil. Salah satu fenomena dan pelajaran yang paling penting dari krisis Mesir ini adalah terbuktinya ukhuwah Islamiah yang sangat kuat di antara sesama umat Islam.
Melihat presiden Mesir Dr Muhammad Mursi dari kelompok Islamis Ikhwanul Muslimin dikudeta militer Mesir, hampir serentak umat Islam di berbagai penjuru dunia mengecam kudeta tersebut.
Terlebih lagi ketika melihat kedzaliman yang dilakukan oleh militer Mesir dengan menembaki pendukung Mursi hingga ratusan korban jiwa telah berjatuhan, umat Islam semakin geram dengan ulah militer tersebut. Sebagai sesama Muslim, kita tentu pasti membela saudara kita yang tengah didzalimi.
Namun ada hal yang sangat disayangkan di sini yaitu ketika ukhuwah Islamiah yang begitu kuat itu dipolitisi untuk ambisi politik. Kisruh di Mesir yang aslinya adalah murni krisis politik, lantas dihubungkan dengan agama Islam, dengan alasan ukhuwah, solidaritas, jihad, dan lain sebagainya.
Perkembangan pola pikir seperti ini tentunya tidak baik dan tidak sehat bagi ukhuwah umat Islam itu sendiri. Genderang solidaritas, apalagi jihad yang ditujukan kepada sesama Muslim hanya akan memperburuk kondisi umat Islam saja. Hasilnya, umat Islam akan semakin terpecah-belah.
Sangat riskan jika selanjutnya terdapat tuduhan bahwa yang mengkudeta Mursi itu adalah musuh umat Islam. Apa kita lupa bawah rakyat Mesir yang mendukung kudeta itu juga beragama Islam? Bahkan di belakangnya juga ada kelompok Islamis seperti Salafi dan institusi keagamaan terbesar, al-Azhar. Lantas apakah kita sudah menganggap sesama Muslim sendiri sebagai musuh?
Oleh karena itulah, ulama-ulama al-Azhar lantas dengan tegas menyatakan bahwa kisruh politik Mesir saat ini tidak ada sangkut-pautnya dengan agama Islam. Jadi jangan sampai membawa simbol-simbol Islam dalam perkara itu, hanya untuk mencari simpati dari kekuatan ukhuwah Islamiah. Itu murni urusan politik dan perebutan kekuasaan.
Namun pernyataan ulama-ulama al-Azhar itu lantas banyak yang diselewengkan dan tidak dipahami secara benar. Untuk itulah penting sekali pernyataan seperti itu dijelaskan secara baik, sehingga tidak terjadi salah paham.
Sikap ulama-ulama Al-Azhar sebenarnya bukan pro-militer, tapi mengedepankan maslahat dan benar-benar berpegang teguh pada prisip syariat Islam. Pernyataan bahwa urusan Ikhwanul Muslimin dan krisis di Mesir sekarang memang benar tidak ada sangkut pautnya dengan agama Islam. Itu adalah masalah politik dan perebutan kekuasaan, tidak ada sangkut pautnya dengan agama.
Namun sayangnya, terkadang di poin ini tidak sedikit orang-orang yang salah memahaminya. Mendengar bahwa politik tidak ada hubungannya dengan agama, lantas pernyataan itu dinilai sekular atau liberal. Padahal yang dimaksud bukan demikian.
Politik dan agama Islam itu sangat erat hubungannya. Bahkan tidak bisa dipisahkan. Konsep politik Islam selalu berlandaskan nilai-nilai dan ajaran agama Islam. Bukan hanya politik saja, melainkan seluruh aspek kehidupan manusia telah diatur oleh Islam. Jadi, sangat tidak mungkin jika konsep politik dalam Islam justru terlepas dari Islam.
Akan tetapi, yang dimaksud para ulama al-Azhar dengan pernyataan tersebut adalah, kasus yang terjadi sekarang di Mesir, bukan perjuangan agama apalagi perang agama, melainkan perjuangan perebutan kekuasaan.
Dr Muhammad Imarah pernah mengatakan soal hubungan negara dan agama Islam. Hubungan antara agama dan negara biasanya antara dua bentuk: 1) penggabungan agama dan negara, yaitu menjadi negara teokrasi, seperti era Kegelapan Eropa dulu ketika negara dikuasai institusi gereja; 2) sekuler, dimana agama dipisahkan dari negara. Sedangkan dalam Islam, sebenarnya tidak mengenal keduanya secara mutlak.
Untuk yang sekuler, dalam Bahasa Arab biasanya disebut fashlu din ‘an daulah (pemisahan agama dari negara). Yang benar dalam Islam itu, menurut Dr Imarah, adalah tamyiz din ‘an daulah. Istilah tamyiz seperti ini memang susah jika dicari terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia. Namun intinya yang dimaksud dengan tamyiz adalah filter atau memilah-milih mana yang termasuk urusan agama dan sekaligus urusan negara atau politik, dan mana yang murni urusan politik saja tanpa ada sangkut-pautnya dengan agama, atau sebaliknya.
Jadi, pendapat ulama al-Azhar tentang kasus politik di Mesir adalah bagian dari tamyiz din ‘an daulah. Jadi tidak semua urusan politik lantas dikaitkan dengan Islam. Apalagi masalah kepentingan perebutan kekuasaan seperti ini yang lantas mengatasnamakan agama untuk mendapat dukungan dan simpati politik, jelas keliru.
Jadi intinya, harus dibedakan antara kasus dan konsep. Secara konsep, jelas Islam tidak terpisah dari negara dan politik. Tapi ini adalah kasus, yaitu kasus perebutan kekuasaan.
Salah satu contoh turunan dari perkara ini adalah, isu syariat Islam dibawa-bawa sebagai alasan untuk mendukung Ikhwanul Muslimin. Stigma yang muncul selanjutnya adalah, Ikhwanul Muslimin perlu dibantu karena mereka memperjuangkan Syariat Islam.
Memang benar Ikhwanum Muslimin memperjuangkan Syariat Islam. Tapi yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apa benar hanya Ikhwanul Muslimin yang memperjuangkan Syariat Islam di Mesir?
Stigma seperti ini artinya pengerucutan isu bahwa perjuangan Syariat Islam hanyalah milik Ikhwanul Muslimin. Stigma tersebut tentu tidak berdasar dan menimbulkan logical fallacy dalam pemikiran umat Islam. Sebab stigma ini setidaknya sudah menafikan dan tidak menganggap peranan al-Azhar dan ulamanya serta peranan kelompok Salafi dalam penerapan Syariat Islam di Mesir.
Selama ini, urusan Syariat Islam di Mesir sangat dikawal ketat oleh al-Azhar dan kelompok Salafi juga turut menyetujui konstitusi berlandaskan Syariat Islam yang sudah direferendum pada masa kepresidenan Mursi.
Namun faktanya, ketika Presiden Mursi dikudeta, al-Azhar dan kelompok Salafi yang juga memperjuangkan Syariat Islam juga turut menyetujui kudeta tersebut. Logikanya, seandainya Ikhwanul Muslimin digulingkan karena Syariat Islam yang mereka perjuangkan, tentu al-Azhar dan kelompok Salafi tidak akan merestui kudeta tersebut.
Lantas perlukan kita mendukung Ikhwanul Muslimin di Mesir?
Selama mereka menjadi korban kedzaliman dan keganasan militer Mesir, maka sebagai sesama Muslim harus menolong dan mendukung mereka. Walau bagaimanapun kita tidak dapat membiarkan kedzaliman. Jika militer bersikap biadab.
Namun jika terkait urusan politik Ikhwanul Muslimin yang ingin merebut kembali kekuasaan mereka, maka kita tidak perlu turut campur dalam urusan politik dalam negeri Mesir tersebut. Itu adalah murni urusan politik mereka.
Sikap seperti inilah yang diperankan oleh al-Azhar. Ketika pendukung Mursi didzalimi, al-Azhar mengecam keras tindakan militer. Al-Azhar bahkan berkali-kali mengimbau petinggi Ikhwanul Muslimin dibebaskan sebagai bentuk persamaan hak politik. Namun soal perebutan kekuasaan, al-Azhar sama sekali tidak mau ikut campur. (*)
Terlalu naif jika begitu mudahnya membawa justifikasi keagamaan hanya untuk merealisasikan sebuah ambisi politik! Mengumbar fatwa untuk menumpahkan darah sesama anak adam! Mengobral ayat-ayat kitab suci untuk menebus pailit politik....!
Sebagai bahan perbandingan tentang bagaimana pandangan kubu non-IM, ada baiknya tulisan berikut jadi bahan analisa:
kritik anak qardhawi pada sang ayah membongkar sisi gelap im dan mursi
0
10K
Kutip
132
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan