Bayangkanlah, rumah anda di Bekasi Timur kantor anda
di kawasan Jakarta Barat. Jam 12:30 tepat datang
orang mengantar makan siang. Sajian khas dari rumah
anda. Ada sayur lodeh, nasi, dendeng dan tempe goreng
yang semuanya masih panas. Antaran tidak pernah
nyasar, dan tepat waktu. Untuk jasa itu, anda dikenai
pembayaran tidak lebih dari Rp 60.000 per bulan.

Usaha semacam itu hanya ada di Mumbai. Namanya
“dabbawala” (dabba = lunch box; wala = orang).

Lebih kurang tiga juta pegawai tinggal jauh dari
tempat kerja. Mereka dari rumah naik kendaraan umum,
sambung kereta api (listrik) sambung lagi bus kota.
Untuk membeli atau menyewa apartemen dalam kota tidak
terjangkau. Untung kereta api jurusannya banyak dan
berjalur dua dan lewat tiap dua menit. Banyak yang
terpaksa berangkat kerja subuh. Mereka tidak membawa
bekal dari rumah dan merasa lebih praktis berlangganan
“dabbawala”.


Tiap jam 11:00 keatas makanan dijemput dari rumah dan
sampai dikantor sebelum jam 1:00 siang. Sekitar jam
3:00 sore lunch box yang sudah kosong diambil lagi.
Di stasiun terdekat lunch box ditaruh di gerbong
khusus dabbawala. Lalu di stasiun lain lunch box
diturunkan atau dinaikkan menuju kantor atau kembali
kerumah selanjutnya estafet diangkut oleh petugas
dabbawala memakai gerobak dorong.

Konon dabbawala sudah ada pada abad ke-19. Pada waktu
itu bermunculan pemukiman baru yang jauh dari pusat
bisnis yang menyulitkan pegawai untuk pulang kerumah
waktu makan siang.

Seorang bankir suku Parsi (dari Persia beragama
Zoroaster) mendapat ide. Ia menggaji orang untuk
menjemput lunch box dari rumah. Gagasan ini menular
ke orang lain yang ikut dia dan lama-lama membuka
peluang kerja bagi para penganggur yang umumnya buta
huruf. Lama-lama terbentuklah “Mumbai Dabbawala
Association” pada tahun 1968.

Asosiasi itu tidak pernah membuat iklan. Promosi
cukup dari mulut ke mulut saja. Kini langganannya
sudah 200,000 orang.