Kaskus

News

vanelskiAvatar border
TS
vanelski
Penerapan Data dan Penargetan BLSM
Banyak media memberitakan penyaluran Bantuan Langsung Sementara untuk Masyarakat (BLSM) ‘kisruh’. Banyak warga miskin yang namanya tidak terdaftar. Sebaliknya banyak cerita tentang warga yang mampu tapi masuk dalam daftar penerima. Untuk mendramatisasi, liputan media dibumbui cerita soal pengantre BLSM yang membawa telepon genggam atau mengenakan kalung emas.

Tidak ada data yang sempurna. Itu adalah keniscayaan. Tapi kita juga perlu bijak dalam membedakan mana fakta yang sifatnya anekdotal, mana yang bukan. Tentu dari sekian juta penerima BLSM, pasti kita temukan kasus pemilik kalung emas atau pegawai negeri sipil ikut mengantre. Pertanyaannya bukan ada atau tidak, tapi apakah temuan-temuan itu sifatnya kasuistik atau sistematis. Anekdot tidak bisa menjawab itu.

Saat ini kita belum bisa menilai seberapa besar kesalahan penargetan dalam BLSM. Beberapa bulan lagi setelah data Survey Sosial Ekonomi Nasional keluar mungkin kita bisa mengatakan hal itu. Tapi ada beberapa hal yang perlu diketahui tentang bagaimana data sasaran BLSM ditentukan, dan karakteristik data yang bisa mempengaruhi penentuan sasaran.



Sumber Data Dan Metode Penetapan Sasaran BLSM

Penargetan BLSM menggunakan metode Proxy Means Testing (PMT). Dalam metode PMT, rumah tangga diprediksi pendapatannya dan posisi relatifnya dalam distribusi pendapatan menggunakan sejumlah variable seperti kondisi fisik rumah, pendidikan dan pekerjaan kepala rumah tangga, gender kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, sumber air, sumber penerangan, dan beberapa proxy atas asset

Daftar penerima BLSM berasal dari Basis Data Terpadu (BDT) yang memuat informasi empatpuluh persen penduduk Indonesia berpendapatan terbawah. BDT adalah sebuah sensus parsial yang dilakukan tahun 2011 untuk lebih dari 96 juta rumah tangga Indonesia. Data ini memuat informasi tentang kondisi rumah (jenis atap, lantai, dinding), pekerjaan dan pendidikan kepala rumah tangga, sumber penerangan, jumlah anggota rumah tangga



BLSM ‘Hanya’ Dibagikan pada 25 Persen Penduduk

Angka 25 persen adalah angka nasional. Bukan berarti di setiap propinsi, kabupaten, kecamatan atau desa, akan ada 25 persen warga yang menerima BLSM. Di wilayah yang tingkat kemiskinannya tinggi seperti Papua, penerima BLSM bisa mencapai 40 persen penduduk. Sebaliknya di DKI Jakarta, hanya sekitar tiga persen yang menerima BLSM.

Konsekuensinya, di satu wilayah pasti kita akan menemui warga yang dapat dan yang tidak. Persepsi mengenai ketidaktepatan sasaran akan makin besar di wilayah yang semakin kecil luasnya tapi kepadatan penduduk semakin tinggi seperti di kota besar. Ini tentu bukan berarti BLSM salah sasaran. Tapi masyarakat akan mempersepsikan demikian karena dalam satu wilayah ada yang menerima dan ada yang tidak.

Mengapa 25 persen? Mengapa bukan 11,66 persen sesuai angka kemiskinan? Jawaban pendeknya: itu adalah kesepakatan politik antara pemerintah dan DPR, karena kita punya cukup anggaran untuk menargetkan 25 persen penduduk termiskin.

Jawaban yang agak panjang adalah karena situasi kemiskinan di Indonesia cukup dinamis.



Kesalahan Pencacahan

Tidak ada data yang sempurna, sekali lagi. Meski kontrol kualitas sudah dimaksimalkan, pasti ada error dalam proses pengumpulan data. Bahkan satu persen error saja ekuivalen dengan hampir sepuluh juta penduduk atau dua setengah juta rumah tangga.

Di sisi lain, melakukan pemutakhiran data untuk 96 juta penduduk tidak realistis untuk dilakukan setiap tahun. PPLS dilakukan setiap tiga tahun. Jadi kita perlu mekanisme lain untuk memutakhirkan data di antara dua pencacahan data. Mekanisme yang ditawarkan adalah musyawarah desa dan kelurahan.



sumber : http://ariperdana.blogspot.com/
0
775
2
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan