- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Mengungkap Misteri Petrus [Penembak Misterius]
TS
boeladiegh
Mengungkap Misteri Petrus [Penembak Misterius]
Quote:
Sebelum bercerita tentunya agan-sista udah pada tau soal ceirta sipenembak misterius alias PETRUS, dari hasil penelusuran mbah google
Quote:
Penembakan misterius atau yang lumrah kita sebut ‘Petrus’ kini masih menyisakan tanda tanya besar di benak masyarakat Indonesia. Catatan hitam tersebut menjadi misteri yang tidak pernah terungkap. Pasalnya, pembunuhan tidak manusiawi yang terjadi di era Soeharto itu hingga detik ini belum menemukan titik terang. ‘Hidup segan mati tak hendak’ adalah ungkapan yang tepat untuk mendeskripsikan ketidakberdayaan Komnas HAM dalam kasus ini. Gaung aksi pemerintah dalam kasus Petrus tidak pernah terdengar sedikitpun. Padahal, salah satu pembantaian manusia terbesar pada abad 20 itu secara tidak langsung telah mencoreng UUD 1945. Indonesia adalah negara penyembah konstitusi namun tidak berani unjuk gigi.
Kita bertanya-tanya tentang ‘dalang’ di balik semua rentetan pembunuhan keji tersebut. Pandangan masyarakat baik di era 80-an atau era reformasi ini masih melayang tajam pada Soeharto. Bagaimana tidak, Soeharto yang pada saat itu masih berstatus sebagai presiden Indonesia justru’ memberi lampu hijau’ pada kasus Petrus. Dia menyebut pembantaian tersebut sebagai shock therapy. Terapi goncangan untuk mengkonkretkan keberadaan pengendali kejahatan. Namun, apakah harus dengan pembunuhan keji dan sembunyi-sembunyi seperti itu ? Sayangnya, pikiran-pikiran kritis masih tersandung keabstrakan bukti. Belum ada bukti kuat yang menggiring kasus ini ke muara. Sekali lagi, keragu-raguan bisa muncul dan membiaskan jawaban yang sudah mengerucut.
Petrus sebenarnya adalah langkah kontinyu dari Operasi Celurit. Operasi ini diimplementasikan oleh Polda Metro Jaya, Jakarta untuk mereduksi angka kriminalitas yang dinilai berada di ambang kritis. Namun karena hasilnya cukup efektif, operasi ini diadopsi oleh daerah-daerah lain seperti Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Beberapa waktu kemudian Operasi Celurit menjadi semakin liar namun terkesan misterius. Hasilnya, pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Para korban Petrus saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan, dan kebun. Pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan.
Pemandangan mengenaskan ini seolah-olah tidak mampu menggubris hati Soeharto. Ketidakempatiannya yang samar-samar tersurat dalam Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989), yang ditulis Ramadhan K.H., khususnya pada bab 69. Dalam biografinya ini Soeharto menguraikan argumen bahwa kekerasan harus dihadapi dengan kekerasan. “Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi, kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan.. dor.. dor.. begitu saja. Bukan! Yang melawan, mau tidak mau, harus ditembak. Karena melawan, mereka ditembak.” Paragraf ini segera disambung paragraf lima baris: “Lalu, ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Ini supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan itu.” Lantas, Soeharto memaparkan lagi: “Maka, kemudian meredalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu.” Ironis!
Sekali lagi, Petrus memang benar-benar kasus misterius. Siapapun dalangnya, dia sangat terampil mengunci lembaran hitam ini. Tidak ada seorang pun yang bisa menuntaskan kemajemukan persepsi ini. Padahal, zaman sekarang demokrasi sudah digembar-gemborkan keberadaannya. Kita tidak lagi menjadi ‘burung dalam sangkar’ seperti pada era otoriter Soeharto. Pada akhirnya, tragedi ini terkubur dalam-dalam dan bertransformasi menjadi kenangan yang kelam. TKP
Kita bertanya-tanya tentang ‘dalang’ di balik semua rentetan pembunuhan keji tersebut. Pandangan masyarakat baik di era 80-an atau era reformasi ini masih melayang tajam pada Soeharto. Bagaimana tidak, Soeharto yang pada saat itu masih berstatus sebagai presiden Indonesia justru’ memberi lampu hijau’ pada kasus Petrus. Dia menyebut pembantaian tersebut sebagai shock therapy. Terapi goncangan untuk mengkonkretkan keberadaan pengendali kejahatan. Namun, apakah harus dengan pembunuhan keji dan sembunyi-sembunyi seperti itu ? Sayangnya, pikiran-pikiran kritis masih tersandung keabstrakan bukti. Belum ada bukti kuat yang menggiring kasus ini ke muara. Sekali lagi, keragu-raguan bisa muncul dan membiaskan jawaban yang sudah mengerucut.
Petrus sebenarnya adalah langkah kontinyu dari Operasi Celurit. Operasi ini diimplementasikan oleh Polda Metro Jaya, Jakarta untuk mereduksi angka kriminalitas yang dinilai berada di ambang kritis. Namun karena hasilnya cukup efektif, operasi ini diadopsi oleh daerah-daerah lain seperti Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Beberapa waktu kemudian Operasi Celurit menjadi semakin liar namun terkesan misterius. Hasilnya, pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Para korban Petrus saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan, dan kebun. Pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan.
Pemandangan mengenaskan ini seolah-olah tidak mampu menggubris hati Soeharto. Ketidakempatiannya yang samar-samar tersurat dalam Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989), yang ditulis Ramadhan K.H., khususnya pada bab 69. Dalam biografinya ini Soeharto menguraikan argumen bahwa kekerasan harus dihadapi dengan kekerasan. “Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi, kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan.. dor.. dor.. begitu saja. Bukan! Yang melawan, mau tidak mau, harus ditembak. Karena melawan, mereka ditembak.” Paragraf ini segera disambung paragraf lima baris: “Lalu, ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Ini supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan itu.” Lantas, Soeharto memaparkan lagi: “Maka, kemudian meredalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu.” Ironis!
Sekali lagi, Petrus memang benar-benar kasus misterius. Siapapun dalangnya, dia sangat terampil mengunci lembaran hitam ini. Tidak ada seorang pun yang bisa menuntaskan kemajemukan persepsi ini. Padahal, zaman sekarang demokrasi sudah digembar-gemborkan keberadaannya. Kita tidak lagi menjadi ‘burung dalam sangkar’ seperti pada era otoriter Soeharto. Pada akhirnya, tragedi ini terkubur dalam-dalam dan bertransformasi menjadi kenangan yang kelam. TKP
Quote:
Suatu malam pertengahan Juni 1983, sebuah jip berwarna gelap berhenti di tengah jembatan Sungai Cimedang, sekitar 70 km sebelah timur Tasikmalaya, yang membatasi Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya. Beberapa penduduk yang sedang meronda melihat kendaraan tersebut berhenti sebentar di tengah jembatan, berputar, lalu ngebut kembali ke timur, arah semula jip itu datang.
Peristiwa itu nyaris tak menarik perhatian jika esok harinya penduduk yang tinggal di dekat jembatan tak menemukan sesosok mayat tersangkut di akar pepohonan di tepi barat sungai. “Tenggorokan mayat itu luka menganga, kepala pecah, dan darah keluat dari mulut, hidung, dan lubang luka itu,” ujar Sabeni (bukan nama sebenarnya), seorang pencari ikan dari Desa Sindangsari, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Ciamis. Tak ada identitas diri ditemukan pada mayat pria berusia tiga puluhan tahun itu, kecuali tubuhnya yang penuh rajah. Oleh penduduk yang pagi itu berniat mandi, mayat itu didorong ke tengah sungai dan dihanyutkan ke hilir. “Kita tidak ingin urusan dengan polisi. Makanya mayat itu tidak kita laporkan,” ujar seorang penduduk Desa Tawang, Kecamatan Panca Tengah, Kabupaten Tasikmalaya. Masyarakat setempat berharap, mayat itu dibawa arus ke laut selatan yang jaraknya sekitar 18 km dari jembatan Cimedang.
“Setelah kejadian malam itu, hampir tiap dua malam sekali jip warna gelap itu melewati desa kami dan berhenti di jembatan,” cerita Icang, seorang penduduk Desa Tawang yang lain. Dan bisa dipastikan, setelah kunjungan jip itu, esoknya sesosok mayat penuh luka ditemukan tersangkut di pinggir sungai. Tak seorang penduduk pun berniat mengetahui dari dekat apa yang dikerjakan jip misterius itu. “Tugas penduduk desa adalah bertani. Sedang pembunuhan itu urusan yang berwajib,” kata Icang. Sampai sepekan menjelang Lebaran, penduduk sepanjang tepian sungai itu telah menemukan 18 mayat, seorang di antaranya perempuan. Semuanya tak mempunyai tanda pengenal, namun semuanya bertato. Mereka tewas dengan kepala remuk atau leher dijerat tali plastik. Semua penemuan itu tak dilaporkan pada kepolisian setempat.
Penduduk Desa Sindangsari dan Tawang tampaknya tak berniat menguburkan mayat-mayat yang mereka temukan. “Mayat itu kan mayat residivis yang selama ini merongrong rakyat,” kata Kasni (bukan nama sebenarnya), penduduk Desa Sindangsari. Jika mayat terdampar di tepi barat sungai, yang berarti wilayah Tasikmalaya, penduduk mendorongnya ke tengah, dan biasanya kemudian tersangkut di tepi timur sungai. Penduduk tepian ini kemudian ganti mendorong mayat itu ke tengah sungai lagi.
Akibat ditemukannya mayat misterius itu penduduk sepanjang tepian sungai itu selalu was-was bila mandi atau mencuci di kali. Mereka khawatir kalau tiba-tiba muncul mayat yang mengambang. Para pencari ikan juga mengeluh. Masyarakat menolak membeli ikan yang ditangkap dari Sungai Cimedang karena khawatir ikan tersebut telah memakan mayat. Penduduk kedua desa itu pun sepakat buat mengajukan keberatan agar mayat tak dibuang lagi di sungai. Tapi kepada siapa? Bukankah pelaku pembunuhan misterius itu tak diketahui. Lewat beberapa wartawan yang berkunjung ke wilayah itu, mereka mengimbau agar di waktu mendatang mayat digeletakkan di pinggir jalan. “Kami yang akan menguburkannya,” kata seorang tokoh masyarakat setempat. Untuk itu setelah Lebaran penduduk menggali tiga lubang kubur di sebuah kebun di Desa Sindangsari. Namun upaya itu ternyata sia-sia. Sebab setelah itu tak ada lagi mayat misterius yang kelihatan mengambang di Sungai Cimedang. Tiga lubang besar itu pun masih menganga sampai sekarang.
Suatu malam, 26 Juli 1983, nun di Lubuk Pakam, 40 kilometer dari Medan. Dari remang-remang, Suwito, pemilik dua warung di desa itu, melihat lima orang yang menghampirinya. Mereka meminta Suwito mengikuti mereka karena butuh keterangan.
Tanpa curiga, Suwito naik ke mobil Landrover putih penjemput. Di dalam mobil, mereka bertanya soal Usman Bais, pemimpin perampok terkenal dari Medan saat itu yang pernah makan di warungnya. Suwito membantah punya hubungan dengan sang perampok, apalagi ketika mereka menuduh Usman Bais sebagai orang yang memberi modal untuk warungnya.
Menurut cerita Suwito, ia dibawa berputar-putar di pinggiran Medan selama dua jam. Ia sempat difoto dua kali. Di Desa Hamparan Perak yang sepi, Suwito dipaksa turun. Seorang penjemputnya ikut turun. “Orangnya sedang-sedang, tegak, tapi agak pincang,” kata Suwito.
Begitu turun, lelaki pincang mencabut pistolnya. “Tiga kali dor, saya jatuh. Saya masih bisa mendengar salah seorang penjemput menyuruh supaya kepala saya ditembak. Tapi orang yang diperintah bilang saya sudah mati, setelah meraba perut saya,” kata Suwito. Ia memang menahan napas berpura-pura mati. Suwito lalu dilempar ke parit di pinggir jalan. TKP
Peristiwa itu nyaris tak menarik perhatian jika esok harinya penduduk yang tinggal di dekat jembatan tak menemukan sesosok mayat tersangkut di akar pepohonan di tepi barat sungai. “Tenggorokan mayat itu luka menganga, kepala pecah, dan darah keluat dari mulut, hidung, dan lubang luka itu,” ujar Sabeni (bukan nama sebenarnya), seorang pencari ikan dari Desa Sindangsari, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Ciamis. Tak ada identitas diri ditemukan pada mayat pria berusia tiga puluhan tahun itu, kecuali tubuhnya yang penuh rajah. Oleh penduduk yang pagi itu berniat mandi, mayat itu didorong ke tengah sungai dan dihanyutkan ke hilir. “Kita tidak ingin urusan dengan polisi. Makanya mayat itu tidak kita laporkan,” ujar seorang penduduk Desa Tawang, Kecamatan Panca Tengah, Kabupaten Tasikmalaya. Masyarakat setempat berharap, mayat itu dibawa arus ke laut selatan yang jaraknya sekitar 18 km dari jembatan Cimedang.
“Setelah kejadian malam itu, hampir tiap dua malam sekali jip warna gelap itu melewati desa kami dan berhenti di jembatan,” cerita Icang, seorang penduduk Desa Tawang yang lain. Dan bisa dipastikan, setelah kunjungan jip itu, esoknya sesosok mayat penuh luka ditemukan tersangkut di pinggir sungai. Tak seorang penduduk pun berniat mengetahui dari dekat apa yang dikerjakan jip misterius itu. “Tugas penduduk desa adalah bertani. Sedang pembunuhan itu urusan yang berwajib,” kata Icang. Sampai sepekan menjelang Lebaran, penduduk sepanjang tepian sungai itu telah menemukan 18 mayat, seorang di antaranya perempuan. Semuanya tak mempunyai tanda pengenal, namun semuanya bertato. Mereka tewas dengan kepala remuk atau leher dijerat tali plastik. Semua penemuan itu tak dilaporkan pada kepolisian setempat.
Penduduk Desa Sindangsari dan Tawang tampaknya tak berniat menguburkan mayat-mayat yang mereka temukan. “Mayat itu kan mayat residivis yang selama ini merongrong rakyat,” kata Kasni (bukan nama sebenarnya), penduduk Desa Sindangsari. Jika mayat terdampar di tepi barat sungai, yang berarti wilayah Tasikmalaya, penduduk mendorongnya ke tengah, dan biasanya kemudian tersangkut di tepi timur sungai. Penduduk tepian ini kemudian ganti mendorong mayat itu ke tengah sungai lagi.
Akibat ditemukannya mayat misterius itu penduduk sepanjang tepian sungai itu selalu was-was bila mandi atau mencuci di kali. Mereka khawatir kalau tiba-tiba muncul mayat yang mengambang. Para pencari ikan juga mengeluh. Masyarakat menolak membeli ikan yang ditangkap dari Sungai Cimedang karena khawatir ikan tersebut telah memakan mayat. Penduduk kedua desa itu pun sepakat buat mengajukan keberatan agar mayat tak dibuang lagi di sungai. Tapi kepada siapa? Bukankah pelaku pembunuhan misterius itu tak diketahui. Lewat beberapa wartawan yang berkunjung ke wilayah itu, mereka mengimbau agar di waktu mendatang mayat digeletakkan di pinggir jalan. “Kami yang akan menguburkannya,” kata seorang tokoh masyarakat setempat. Untuk itu setelah Lebaran penduduk menggali tiga lubang kubur di sebuah kebun di Desa Sindangsari. Namun upaya itu ternyata sia-sia. Sebab setelah itu tak ada lagi mayat misterius yang kelihatan mengambang di Sungai Cimedang. Tiga lubang besar itu pun masih menganga sampai sekarang.
Suatu malam, 26 Juli 1983, nun di Lubuk Pakam, 40 kilometer dari Medan. Dari remang-remang, Suwito, pemilik dua warung di desa itu, melihat lima orang yang menghampirinya. Mereka meminta Suwito mengikuti mereka karena butuh keterangan.
Tanpa curiga, Suwito naik ke mobil Landrover putih penjemput. Di dalam mobil, mereka bertanya soal Usman Bais, pemimpin perampok terkenal dari Medan saat itu yang pernah makan di warungnya. Suwito membantah punya hubungan dengan sang perampok, apalagi ketika mereka menuduh Usman Bais sebagai orang yang memberi modal untuk warungnya.
Menurut cerita Suwito, ia dibawa berputar-putar di pinggiran Medan selama dua jam. Ia sempat difoto dua kali. Di Desa Hamparan Perak yang sepi, Suwito dipaksa turun. Seorang penjemputnya ikut turun. “Orangnya sedang-sedang, tegak, tapi agak pincang,” kata Suwito.
Begitu turun, lelaki pincang mencabut pistolnya. “Tiga kali dor, saya jatuh. Saya masih bisa mendengar salah seorang penjemput menyuruh supaya kepala saya ditembak. Tapi orang yang diperintah bilang saya sudah mati, setelah meraba perut saya,” kata Suwito. Ia memang menahan napas berpura-pura mati. Suwito lalu dilempar ke parit di pinggir jalan. TKP
Quote:
Selama sebulan OPK di Yogyakarta, paling tidak enam tokoh penjahat tewas terbunuh. Para korban OPK yang ditemukan tewas itu rata-rata dengan luka tembak mematikan di kepala dan lehernva. Dua diantara korban OPK yang berhasil diidentifikasi adalah mayat Budi alias Tentrem (29) dan Samudi Blekok alias Black Sam (28). Mayat Budi yang dulu ditakuti dan dikenal lewat geng Mawar Ireng-nya ditemukan dalam parit di tepi jalan di daerah Bantul, Selatan Yogyakarta, tepat pada awal tahun 1985. Sedangkan mayat Black Sam diketemukan tergeletak di semak belukar di kawasan Kotagede yang tidak jauh dari pusat kota Yogyakarta. Dari cara membuang mayatnya, jelas ada semacam pesan yang ditujukan kepada para bromocorah di Yogyakarta, agar segera menyerahkan diri atau menemui ajal seperti rekan-rekannya. Selama OPK paling tidak ada 60 bromocorah Yogyakarta yang menjadi korban Petrus. Sebagian besar tewas tertembak dan beberapa di antaranya terbunuh oleh senjata tajam. Sejumlah korban bahkan diumumkan oleh aparat keamanan tewas akibat keroyokan massa. Salah satu korban yang diklaim aparat keamanan tewas akibat keroyokan massa adalah bromocorah bernama Ismoyo. Selama hidupnya Ismoyo dikenal sebagai gali elite karena lulusan Fakultas Sosial Politik UGM dan berstatus PNS. Sebagai ketua kelompok preman yang sering memalak angkutan kota di daerah kekuasaannya, gali elite itu kemudian diambil oleh aparat keamanan untuk diinterogasi. Namun, menurut versi aparat, Ismoyo mencoba lari dan kemudian tewas dikeroyok massa. Modus menyuruh bromocorah lari lalu diteriaki maling atau kemudian malah dihujani tembakan merupakan cara standar bagi tim OPK untuk menuntaskan tugas membereskan buruannya. Cara lain untuk memberikan shock therapy kepada kaum bromocorah adalah dengan menembak korbannya puluhan kali. Cara ini diterapkan tim OPK saat menghabisi pentolan gali Yogyakarta, Slamet Gaplek. Berdasar informasi, Slamet konon kebal peluru. Slamet Gaplek sempat mencoba melarikan diri dengan cara mematahkan borgol namun akhirnya tersungkur setelah diterjang lebih dari 20 peluru di tubuhnya. Korban yang tewas dengan cara mengenaskan itu kemudian dibuang di tempat yang mudah ditemukan sehingga esoknya langsung menjadi berita besar di surat kabar sehinga efek shock therapy-nya bisa berpengaruh secara maksimal. TKP
Masih perlukah aksi petrus di indonesia pada jaman sekarang ini? kita serahkan kepada agan-sista yang akan menentukannya
Spoiler for Ini Petrus Bukan Ya:
Spoiler for Bahaya:
Yang di Petrus jaman sekarang yang berjenggot bukan lagi yang bertato
Quote:
Petrus atau penembakan misterius memang pernah dilakukan di Indonesia saat Orde Baru, sekitar tahun 1983. Walaupun secara resmi pemerintah saat itu hingga sekarang tidak pernah mengakui kepada publik pernah memerintahkan Petrus untuk membasmi aksi premanisme yang marak kala itu. Namun hal tersebut sudah menjadi rahasia umum, bahwa pemerintah orde barulah yang memerintahkan aksi khusus tersebut. Namanya juga operasi rahasia bukan?
Memang Petrus saat itu merupakan obat yang sangat mujarab dan merupakan shock therapy paling ‘cespleng’ sehingga tingkat premanisme turun sangat drastis selama periode Petrus gencar dilaksanakan, 1983-1985. Tidak hanya pentolan-pentolan preman dan residivis yang ciut nyalinya, anak-anak muda yang mentatto bagian tubuhnya juga sempat dibuat ketakutan terkena imbas dari aksi penembakan misterius. Sepertinya suasana saat itu sangat mencekam kalau kita mencoba mereka ulang kejadian tersebut.
Tetapi turunnya tingkat premanisme tidak berlaku permanen dan dalam tempo yang tidak lama setelah aksi Petrus selesai tingkat premanisme kembali meningkat, merebak seperti bibit jamur di musim hujan. Petrus hanya obat instan untuk mengobati jamur tersebut, butuh obat berdosis rendah namun mujarab dan permanen hasilnya. Apa itu?
Kalau kita melihat tempat kejadian aksi premanisme, di mana tempat paling banyak dan mencolok terjadinya premanisme tersebut? Jakarta bukan?
Tepat sekali! Jakarta!!!
Dari alasan awal terjadinya Petrus tahun 83 hingga saat ini, Jakarta lah merupakan kota yang paling banyak mengalami aksi premanisme di Indonesia. Dan aksi ini dilakukan kebanyakan oleh para pendatang luar Jakarta, bahkan luar Jawa. Sebut saja Flores, Ambon, Maluku, Batak dan Timor. Ini menandakan bahwa Jakarta masih merupakan tempat untuk memperebutkan “kue” terlezat dan termahal. Jakarta masih menjadi magnet kuat untuk menarik penduduk Indonesia berbondong-bondong berebut rejeki di sana. Tentunya berdampak dengan meningkatnya aksi kriminalitas dan premanisme di ibu kota. Karena banyak pendatang tidak melengkapi diri dengan skill yang dibutuhkan melainkan hanya otot semata.
Jadi, lagi-lagi masalah “UUD” alias ujung-ujungnya duit sebagai solusi paling tepat. Tingkat ekonomi dan pemerataan ekonomi yang harus digalakkan ke daerah-daerah yang banyak meng”ekspor” kelompok preman ke ibu kota negara ini yang semestinya dijalankan oleh pemerintah pusat. Memang saat ini otonomi daerah sudah dijalankan oleh pemerintahan SBY untuk membantu daerah mengejar ketertinggalan akan Jawa dan Jakarta. Namun semua memang perlu waktu dan perlu didukung oleh pemerintahan daerah yang kuat, bersih dan profesional sehingga pertumbuhan ekonomi daerahnya mampu berlari kencang.
Meskipun otonomi daerah sudah berjalan, pemerintah pusat tidak serta merta menutup mata terhadap permasalah di daerah-daerah tersebut. Karena bagaimanapun Jakarta dan Jawa masih merupakan pusatnya bisnis, perdagangan dan ekonomi karena sudah didukung oleh sarana dan prasarana yang sangat baik dibanding dengan sarana dan prasarana serupa di luar Pulau Jawa. Perlu niat lebih dari pemerintah pusat agar pusat bisnis dan perdagangan yang tersentral di Jawa bisa disebar ke seluruh Indonesia, terutama di pulau-pulau besar tanah air: Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Irian.
Solusi terakhir namun bukan solusi tepat pemberantasan premanisme secara langsung, sepertinya wacana pemindahan Ibukota Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan harus benar-benar dilaksanakan segera. Wacana yang pertama kali tercetus sejak era Soekarno ini bisa memberikan sedikit ruang lega bagi Jakarta. Jadi akan menjadikan Jakarta hanya sebagai kota bisnis, industri dan central ekonomi. Sedangkan pusat pemerintahannya berpindah ke Kalimantan.
Dengan pemindahan ibukota maka diharapkan penataan kota baru sebagai ibukota negara benar-benar dimulai dari awal. Tata kota yang terencana tentu akan membebaskan ibukota baru tersebut dari banjir musiman yang saat ini menimpa Jakarta. Dengan penataan dari awal maka kemacetan jauh-jauh hari bisa diantisipasi. Pun dengan tingkat kriminalitas akan dapat dinetralisir bila Ibukota Indonesia yang baru itu benar-benar berdiri. Dengan kata lain, ibukota negara terbebas dari aksi premanisme.
Memang butuh dana sangat besar untuk proyek pemindahan ibukota ini dibanding dengan solusi yang berbiaya sangat murah, Petrus! Memang butuh waktu yang cukup lama untuk pemerataan pertumbuhan ekonomi pada era otonomi daerah saat ini daripada solusi singkat dan tepat pemberantasan preman dengan cara Petrus! Tetapi dua program tadi: pemerataan dan perpindahan ibukota lebih mempunyai efek yang permanen dan menjadikan negara ini lebih beradab daripada hanya mengandalkan operasi rahasia bernama Petrus yang pasti lembaga HAM tidak akan tinggal diam bila operasi rahasia ini kembali digelar.
Jadi….masihkan Petrus menjadi pilihan terakhir untuk memberantas premanisme di Indonesia? Jawaban saya kembalikan kepada para kawan semua. TKP
Memang Petrus saat itu merupakan obat yang sangat mujarab dan merupakan shock therapy paling ‘cespleng’ sehingga tingkat premanisme turun sangat drastis selama periode Petrus gencar dilaksanakan, 1983-1985. Tidak hanya pentolan-pentolan preman dan residivis yang ciut nyalinya, anak-anak muda yang mentatto bagian tubuhnya juga sempat dibuat ketakutan terkena imbas dari aksi penembakan misterius. Sepertinya suasana saat itu sangat mencekam kalau kita mencoba mereka ulang kejadian tersebut.
Tetapi turunnya tingkat premanisme tidak berlaku permanen dan dalam tempo yang tidak lama setelah aksi Petrus selesai tingkat premanisme kembali meningkat, merebak seperti bibit jamur di musim hujan. Petrus hanya obat instan untuk mengobati jamur tersebut, butuh obat berdosis rendah namun mujarab dan permanen hasilnya. Apa itu?
Kalau kita melihat tempat kejadian aksi premanisme, di mana tempat paling banyak dan mencolok terjadinya premanisme tersebut? Jakarta bukan?
Tepat sekali! Jakarta!!!
Dari alasan awal terjadinya Petrus tahun 83 hingga saat ini, Jakarta lah merupakan kota yang paling banyak mengalami aksi premanisme di Indonesia. Dan aksi ini dilakukan kebanyakan oleh para pendatang luar Jakarta, bahkan luar Jawa. Sebut saja Flores, Ambon, Maluku, Batak dan Timor. Ini menandakan bahwa Jakarta masih merupakan tempat untuk memperebutkan “kue” terlezat dan termahal. Jakarta masih menjadi magnet kuat untuk menarik penduduk Indonesia berbondong-bondong berebut rejeki di sana. Tentunya berdampak dengan meningkatnya aksi kriminalitas dan premanisme di ibu kota. Karena banyak pendatang tidak melengkapi diri dengan skill yang dibutuhkan melainkan hanya otot semata.
Jadi, lagi-lagi masalah “UUD” alias ujung-ujungnya duit sebagai solusi paling tepat. Tingkat ekonomi dan pemerataan ekonomi yang harus digalakkan ke daerah-daerah yang banyak meng”ekspor” kelompok preman ke ibu kota negara ini yang semestinya dijalankan oleh pemerintah pusat. Memang saat ini otonomi daerah sudah dijalankan oleh pemerintahan SBY untuk membantu daerah mengejar ketertinggalan akan Jawa dan Jakarta. Namun semua memang perlu waktu dan perlu didukung oleh pemerintahan daerah yang kuat, bersih dan profesional sehingga pertumbuhan ekonomi daerahnya mampu berlari kencang.
Meskipun otonomi daerah sudah berjalan, pemerintah pusat tidak serta merta menutup mata terhadap permasalah di daerah-daerah tersebut. Karena bagaimanapun Jakarta dan Jawa masih merupakan pusatnya bisnis, perdagangan dan ekonomi karena sudah didukung oleh sarana dan prasarana yang sangat baik dibanding dengan sarana dan prasarana serupa di luar Pulau Jawa. Perlu niat lebih dari pemerintah pusat agar pusat bisnis dan perdagangan yang tersentral di Jawa bisa disebar ke seluruh Indonesia, terutama di pulau-pulau besar tanah air: Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Irian.
Solusi terakhir namun bukan solusi tepat pemberantasan premanisme secara langsung, sepertinya wacana pemindahan Ibukota Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan harus benar-benar dilaksanakan segera. Wacana yang pertama kali tercetus sejak era Soekarno ini bisa memberikan sedikit ruang lega bagi Jakarta. Jadi akan menjadikan Jakarta hanya sebagai kota bisnis, industri dan central ekonomi. Sedangkan pusat pemerintahannya berpindah ke Kalimantan.
Dengan pemindahan ibukota maka diharapkan penataan kota baru sebagai ibukota negara benar-benar dimulai dari awal. Tata kota yang terencana tentu akan membebaskan ibukota baru tersebut dari banjir musiman yang saat ini menimpa Jakarta. Dengan penataan dari awal maka kemacetan jauh-jauh hari bisa diantisipasi. Pun dengan tingkat kriminalitas akan dapat dinetralisir bila Ibukota Indonesia yang baru itu benar-benar berdiri. Dengan kata lain, ibukota negara terbebas dari aksi premanisme.
Memang butuh dana sangat besar untuk proyek pemindahan ibukota ini dibanding dengan solusi yang berbiaya sangat murah, Petrus! Memang butuh waktu yang cukup lama untuk pemerataan pertumbuhan ekonomi pada era otonomi daerah saat ini daripada solusi singkat dan tepat pemberantasan preman dengan cara Petrus! Tetapi dua program tadi: pemerataan dan perpindahan ibukota lebih mempunyai efek yang permanen dan menjadikan negara ini lebih beradab daripada hanya mengandalkan operasi rahasia bernama Petrus yang pasti lembaga HAM tidak akan tinggal diam bila operasi rahasia ini kembali digelar.
Jadi….masihkan Petrus menjadi pilihan terakhir untuk memberantas premanisme di Indonesia? Jawaban saya kembalikan kepada para kawan semua. TKP
Indikator mengapa Operasi Clurit atau Petrus tahun 1982 digelar:
1. Wibawa aparat kepolisian sudah tidak dipandang lagi
2. Kejahatan dilakukan secara terang-terangan dan semakin berani
3. Keresahan masyarakat sudah memuncak
4. Kelompok preman sudah mencapai populasi yang besar sehingga sulit untuk diatur dan dikendalikan
5. Presiden sudah ikut berbicara yang suka tidak suka itu merupakan titah langsung
Apakah 5 indikator di atas sudah terpenuhi saat ini?
1. Wibawa aparat kepolisian sudah tidak dipandang lagi
2. Kejahatan dilakukan secara terang-terangan dan semakin berani
3. Keresahan masyarakat sudah memuncak
4. Kelompok preman sudah mencapai populasi yang besar sehingga sulit untuk diatur dan dikendalikan
5. Presiden sudah ikut berbicara yang suka tidak suka itu merupakan titah langsung
Apakah 5 indikator di atas sudah terpenuhi saat ini?
Diubah oleh boeladiegh 13-08-2013 09:45
nona212 memberi reputasi
1
12.3K
Kutip
65
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan