- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
[1945] Nasionalis Vs Separatis?


TS
mitabusikai
[1945] Nasionalis Vs Separatis?
MERDEKA... MERDEKA!!!merdeka???
Sehubungan dengan perayaan kemerdekaan RI ane merasa bangga menjadi salah satu warga hidup dan lahir bertumpah darah Indonesia.
Ane ingin share sedikit informasi gan Agan demi membuka wawasan nusantara kita.
ceKitOut....
1. Seulawah Vs Garuda Indonesia
2. Radio Rimba Raya Vs RRI
Masa penyiaran
Radio yang berdaya pancar 1 kilowatt dan bekerja pada frekuensi 19,25 dan 61 meter ini mulai bersiaran sejak terjadinya Agresi Belanda I sampai dengan Konferensi Meja Bundar berakhir dan tentara pendudukan Belanda ditarik dari Indonesia.
Penyiar-penyiarnya adalah W. Schutz, Raden Sarsono, Abdullah Arief, M. Syah Asyik, Syarifuddin, Ramli Melayu, Syarifuddin Taib, Syamsudin Rauf, dan Agus Sam.[1]
Melalui radio inilah disiarkan pesan–pesan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Karena pada saat itu Yogyakarta yang merupakan ibu kota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia telah dikuasai Belanda. Radio ini memiliki panggilan sinyal: “Suara Radio Republik Indonesia”, “Suara Indonesia Merdeka”, “Radio Rimba Raya”, “Radio Divisi X”, “Radio Republik Indonesia”.
Membantah provokasi Belanda
Radio Rimba Raya berperan sangat besar terhadap kelangsungan pemerintahan Republik Indonesia. Pada saat itu Belanda telah menguasai ibu kota pemerintahan Indonesia. Dan mengumumkan lewat radio Hilversum (milik Belanda) kepada dunia, bahwa Negara Indonesia tidak ada lagi. Tapi dengan suara yang sayup lantang dari Dataran Tinggi Tanah Gayo, Radio Rimba Raya membatalkan berita tersebut dan mengatakan bahwa Indonesia masih ada. Siaran itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di Semenanjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina) bahkan Australia dan Eropa. Akhirnya, akibat berita yang disuarakan itu, banyak negara dunia dengan serta merta mengakui kemerdekaan Indonesia. Dan dengan ada berita yang disiarkan Radio Rimba Raya merupakan pukulan “KO” bagi Pemerintahan Belanda.
Kontroversi pengadaan peralatan siar
Perangkat Radio Rimba Raya itu dipesan oleh tentara Divisi Gajah I dan dibeli melalui raja penyelundup Asia Tenggara waktu itu, John Lie (seorang pahlawan nasional, Tionghoa dari Manado) yang menjadi perantara pembelian perangkat radio tersebut, menjelang Agresi Militer Belanda I bulan Juli 1947.[2] Perangkat Radio Rimba Raya itu dibeli di Malaya dan dibawa ke kota juang Bireuen.
Untuk mengangkut perangkat penyiaran dari Malaya ke Aceh, John Lie menggunakan dua buah speedboat, yang satu berisi bahan makanan dan kelontong, yang satunya lagi berisi alat pemancar radio. Ketika berpapasan dengan patroli laut Belanda, speedboat yang berisi bahan makanan dan kelontong melaju dengan kencang untuk memberi kesan mencurigakan. Patroli Belanda terpancing lalu mengejar speedboat tersebut dan berhasil dilumpuhkan. Sedangkan speedboat yang berisi alat pemancar dengan enak melaju menuju pantai Sumatera dan mendarat di Sungai Yu, Aceh Timur.
Tapi, keterangan lain menyebutkan, orang yang membeli peralatan itu adalah Nip Xarim, pernah menjabat Wakil Pemerintah Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo yang berkedudukan di Pangkalan Brandan. Gubernur Militer waktu itu dijabat Daud Beureueh. Nip Xarim membeli perakatan radio itu bersama Dr. Sofyan, justru sebelum Agresi Militer I 1947 dan disimpan di Pangkalan Brandan. Peralatan dibeli di Malaya. Sejarawan UGM, Mukhtar Ibrahim membenarkan hal ini.[3]
Tiba di Aceh
Terlepas dari siapa yang membeli peralatan pesawat tersebut, Radio Rimba Raya dibawa ke Bireuen. Setelah beberapa bulan dengan pertimbangan agar bisa menyiarkan secara cepat dan luas, pemancar tersebut dipindahkan ke Koetaradja (Banda Aceh) dan sempat dirangkai komponen-komponennya pada akhir tahun 1948, namun belum sempat mengudara. Pemancarnya dipasang di kawasan pegunungan sebelah selatan Banda Aceh, Cot Gue, sebagai cadangan sewaktu-waktu bisa digunakan apabila Koetaradja direbut musuh. Studio siarannya berada di sebuah rumah peninggalan Belanda Peunayong. Sayangnya, pemancar radio di Cot Gue sama sekali tidak pernah bisa digunakan, karena pada saat yang sama terjadi Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948. Dalam situasi yang tidak mendukung itu, Gubernur Militer Teungku Muhammad Daud Beureueh memerintahkan alat pemancar dipindahkan ke tempat lain. Maka disepakatilah Aceh Tengah sebagai daerah tujuan. Daerah ini dianggap lebih aman karena wilayahnya bergunung dan berhutan-hutan.
Sebelumnya, perangkat radio itu direncanakan akan dibawa ke kampung Burni Bies, kecamatan Silih Nara. Namun karena kondisi keamanan di kawasan itu tidak baik, penjajah Belanda sedang memantau proses pengiriman perangkat radio itu, maka oleh pejuang-pejuang Aceh, perangkat radio itu dibawa ke kampung Rime Raya yang saat itu masuk Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Aceh Tengah.[4]
Peralatan “diungsikan” ke Aceh Tengah tanggal 20 Desember 1948, dalam suatu pengawalan ketat dan rahasia. Daerah yang hendak dituju Burni Bies. Perjalanan menuju Tanah Gayo dilukiskan begitu dramatis. Berkali-kali rombongan terpaksa menyingkir dari jalan raya untuk bersembunyi dari kejaran Belanda yang mengintai dengan pesawat udara. Karena risiko perjalanan sangat tinggi, akhirnya rencana yang semula menuju Burni Bies dialihkan ke tempat lain, yakni Rime Raya (Rimba Raya).
Pada awalnya pemancar tersebut dipasang di Krueng Simpo, lebih kurang 20 km dari Bireuen arah Takengon. Di tempat inilah akhirnya pemancar didirikan. Namun, waktu itu muncul kesulitan, tak ada mesin listrik. Ny Ummi Salamah, istri Kolonel Husein Yoesoef berusaha mendapatkannya ke Lampahan dan Bireuen. Usaha itu gagal. Mesin listrik akhirnya diperoleh Ummi dari Kuala Simpang. Beres soal listrik, muncul masalah lain, kabel tak cukup. Kabel dicari lagi ke Lampahan dan Bireuen, dan berhasil ditemukan.
Sender radio dibangun di pucuk gunung dan tersembunyi, hingga sukar dideteksi musuh. Sebuah rumah juga dibangun untuk tempat peralatan kelengkapan radio. Kolonel Husein Yoesoef sendiri kemudian mendirikan rumah di Areal Pertanian Tentara Pembangunan di Rime (Rimba) Raya. Daerah itu sebelumnya bernama Desa Tanoh Ilang (Tanah Merah). Studionya berada di salah satu kamar rumah kediaman Komandan Divisi X, Kolonel Husein Yoesoef.
Mulai mengudara
Setelah melewati perjuangan berat dalam mendirikan Radio Rimba Raya, akhirnya Desember 1948, Radio Rimba Raya mengudara yang memberitakan bahwa Republik Indonesia masih eksis kepada dunia luar. Dari Radio Rimba Raya ini para pahlawan Aceh mengumandangkan pesan kepada pejuang-pejuang kemerdekaan lainnya untuk terus berjuang mempertahankan negara dari penjajahan Belanda. Selain berita kemerdekaan Republik Indonesia yang diinformasikan, Radio Rimba Raya juga menyiarkan berita tentang kenduri akbar di Aceh.
Sebagai pemancar gerilya, Radio Rimba Raya juga menyajikan acara pilihan pendengar dengan menghidangkan nyanyian-nyanyian rakyat yang dapat membakar semangat pejuang, bahkan merupakan satu-satunya sarana diplomasi politik Indonesia.
Kontak dengan India[sunting]
Radio Rimba Raya setiap hari juga melakukan kontak dengan perwakilan Republik Indonesia di New Delhi, India. Berita-berita itu selain diterima langsung oleh petugas sandi perwakilan RI di New Delhi, juga dikutip oleh All India Radio dan seterusnya disampaikan ke alamat yang dituju.
Ketika Konferensi Asia tentang Indonesia digelar tanggal 20-23 Januari 1949 di New Delhi, jam kerja Radio Rimba Raya diperpanjang mengingat banyaknya berita yang harus dikirim ke wakil-wakil Indonesia yang menghadiri konferensi tersebut.
Akhir penyiaran
Radio ini terus berperan sampai saat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Pemerintahan Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
Perangkat tua radio Rimba Raya itu teronggok di salah satu sudut ruang Museum Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Yogyakarta. Teregistrasi dengan No 60.607.318. Tertera sebuah keterangan pendek, “Pemancar hasil selundupan dari Malaya, digunakan oleh Pemerintah RI di Sumatera/Aceh 1948.” Sama sekali tidak ada keterangan lain tentang Radio Rimba Raya di museum itu. Ironi dan menyedihkan. Padahal, Radio Rimba Raya pernah menjadi penyelamat Indonesia, dan satu-satunya radio yang menyuarakan keberadaan Indonesia, setelah RRI Jogjakarta jatuh ke tangan Belanda pada 19 Desember 1948.[5]
Monumen peringatan
Monumen Radio Rimba Raya dibangun untuk mengenang sejarah Radio Rimba Raya yang berperan sangat besar dalam mempertahankan Indonesia dari agresi Belanda. Monumen ini diresmikan oleh Menteri Koperasi/Kepala Badan Urusan Logistik, Bustanil Arifin pada 27 Oktober 1987 pukul 10.30 WIB. Monumen tersebut terletak di Kampung Rime Raya, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah.
Pengoperasionalan kembali
Sejak tahun 2008, Pemerintah Kabupaten Bener Meriah berupaya mengoperasionalkan kembali stasiun radio ini dengan membeli seperangkat alat penyiaran radio yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) Bener Meriah sebesar Rp. 287.000.000,00[7].
Materi penyiaran yang direncanakan adalah informasi dan hiburan bagi masyarakat Bener Meriah dan sekitarnya. Bagaimanapun pelaksanaan penyiaran kembali radio ini mengalami beberapa hambatan, misalnya krisis listrik yang belum juga usai.
3. Monas Vs Markam
4. Fee Investasi orang Aceh hanya didapat secara langsung dari Baitul Asyi (Pemondokan Aceh) di Arab Saudi. Rp.3jt per jamaah haji tiap tahun
5. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya
6. To be continue...

Sehubungan dengan perayaan kemerdekaan RI ane merasa bangga menjadi salah satu warga hidup dan lahir bertumpah darah Indonesia.
Ane ingin share sedikit informasi gan Agan demi membuka wawasan nusantara kita.
ceKitOut....
1. Seulawah Vs Garuda Indonesia
Quote:
1940an-1950an:
Garuda Indonesia berawal dari tahun 1940-an, di mana Indonesia masih berperang melawan Belanda. Pada saat itu, Garuda terbang jalur spesial dengan pesawat DC-3.
Pada tanggal 26 Januari 1949 dianggap sebagai hari jadi Garuda Indonesia. Pada saat itu nama maskapai adalah Indonesian Airways. Pesawat pertama mereka bernama Seulawah atau Gunung Emas, yang diambil dari nama gunung terkenal di Aceh. Dana untuk membeli pesawat ini didapatkan dari sumbangan rakyat Aceh, pesawat tersebut dibeli seharga 120,000 Dollar Malaya yang sama dengan 20 kg emas. Maskapai ini tetap mendukung Indonesia sampai revolusi terhadap Belanda berakhir. Garuda Indonesia mendapatkan konsesi monopoli penerbangan dari Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1950 dari Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij, perusahaan penerbangan nasional Hindia Belanda. Garuda pada awalnya adalah hasil joint venture antara Pemerintah Indonesia dengan maskapai Belanda, Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM). Pada awalnya, Pemerintah Indonesia memiliki 51% saham dan selama 10 tahun pertama, perusahaan ini dikelola oleh KLM. Karena paksaan nasionalis, KLM menjual sebagian dari sahamnya pada tahun 1953 ke pemerintah Indonesia.
Pemerintah Burma banyak menolong maskapai ini pada masa awal maskapai ini. Oleh karena itu, pada saat maskapai ini diresmikan sebagai perusahaan pada 31 Maret 1950, Garuda menyumbangkan sebuah pesawat DC-3 kepada Pemerintah Burma. Pada mulanya, Garuda memiliki 27 pesawat terbang, staf terdidik, bandara dan jadwal penerbangan, sebagai kelanjutan dari KNILM. Ini sangat berbeda dengan perusahaan-perusahaan pionir lainnya di Asia.
Pada tahun 1953, maskapai ini memiliki 46 pesawat. Tahun 1956 mereka mengangkut jamaah haji dan membuat jalur penerbangan pertama ke Mekkah.(sumber Wikipedia, namun dalam website GI tidak dijelaskan)
![[1945] Nasionalis Vs Separatis?](https://dl.kaskus.id/upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/1/1f/Seulawah_Garuda_Indonesia_1.JPG/800px-Seulawah_Garuda_Indonesia_1.JPG)
Garuda Indonesia berawal dari tahun 1940-an, di mana Indonesia masih berperang melawan Belanda. Pada saat itu, Garuda terbang jalur spesial dengan pesawat DC-3.
Pada tanggal 26 Januari 1949 dianggap sebagai hari jadi Garuda Indonesia. Pada saat itu nama maskapai adalah Indonesian Airways. Pesawat pertama mereka bernama Seulawah atau Gunung Emas, yang diambil dari nama gunung terkenal di Aceh. Dana untuk membeli pesawat ini didapatkan dari sumbangan rakyat Aceh, pesawat tersebut dibeli seharga 120,000 Dollar Malaya yang sama dengan 20 kg emas. Maskapai ini tetap mendukung Indonesia sampai revolusi terhadap Belanda berakhir. Garuda Indonesia mendapatkan konsesi monopoli penerbangan dari Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1950 dari Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij, perusahaan penerbangan nasional Hindia Belanda. Garuda pada awalnya adalah hasil joint venture antara Pemerintah Indonesia dengan maskapai Belanda, Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM). Pada awalnya, Pemerintah Indonesia memiliki 51% saham dan selama 10 tahun pertama, perusahaan ini dikelola oleh KLM. Karena paksaan nasionalis, KLM menjual sebagian dari sahamnya pada tahun 1953 ke pemerintah Indonesia.
Pemerintah Burma banyak menolong maskapai ini pada masa awal maskapai ini. Oleh karena itu, pada saat maskapai ini diresmikan sebagai perusahaan pada 31 Maret 1950, Garuda menyumbangkan sebuah pesawat DC-3 kepada Pemerintah Burma. Pada mulanya, Garuda memiliki 27 pesawat terbang, staf terdidik, bandara dan jadwal penerbangan, sebagai kelanjutan dari KNILM. Ini sangat berbeda dengan perusahaan-perusahaan pionir lainnya di Asia.
Pada tahun 1953, maskapai ini memiliki 46 pesawat. Tahun 1956 mereka mengangkut jamaah haji dan membuat jalur penerbangan pertama ke Mekkah.(sumber Wikipedia, namun dalam website GI tidak dijelaskan)
2. Radio Rimba Raya Vs RRI
Quote:
Masa penyiaran
Radio yang berdaya pancar 1 kilowatt dan bekerja pada frekuensi 19,25 dan 61 meter ini mulai bersiaran sejak terjadinya Agresi Belanda I sampai dengan Konferensi Meja Bundar berakhir dan tentara pendudukan Belanda ditarik dari Indonesia.
Penyiar-penyiarnya adalah W. Schutz, Raden Sarsono, Abdullah Arief, M. Syah Asyik, Syarifuddin, Ramli Melayu, Syarifuddin Taib, Syamsudin Rauf, dan Agus Sam.[1]
Melalui radio inilah disiarkan pesan–pesan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Karena pada saat itu Yogyakarta yang merupakan ibu kota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia telah dikuasai Belanda. Radio ini memiliki panggilan sinyal: “Suara Radio Republik Indonesia”, “Suara Indonesia Merdeka”, “Radio Rimba Raya”, “Radio Divisi X”, “Radio Republik Indonesia”.
Membantah provokasi Belanda
Radio Rimba Raya berperan sangat besar terhadap kelangsungan pemerintahan Republik Indonesia. Pada saat itu Belanda telah menguasai ibu kota pemerintahan Indonesia. Dan mengumumkan lewat radio Hilversum (milik Belanda) kepada dunia, bahwa Negara Indonesia tidak ada lagi. Tapi dengan suara yang sayup lantang dari Dataran Tinggi Tanah Gayo, Radio Rimba Raya membatalkan berita tersebut dan mengatakan bahwa Indonesia masih ada. Siaran itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di Semenanjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina) bahkan Australia dan Eropa. Akhirnya, akibat berita yang disuarakan itu, banyak negara dunia dengan serta merta mengakui kemerdekaan Indonesia. Dan dengan ada berita yang disiarkan Radio Rimba Raya merupakan pukulan “KO” bagi Pemerintahan Belanda.
Kontroversi pengadaan peralatan siar
Perangkat Radio Rimba Raya itu dipesan oleh tentara Divisi Gajah I dan dibeli melalui raja penyelundup Asia Tenggara waktu itu, John Lie (seorang pahlawan nasional, Tionghoa dari Manado) yang menjadi perantara pembelian perangkat radio tersebut, menjelang Agresi Militer Belanda I bulan Juli 1947.[2] Perangkat Radio Rimba Raya itu dibeli di Malaya dan dibawa ke kota juang Bireuen.
Untuk mengangkut perangkat penyiaran dari Malaya ke Aceh, John Lie menggunakan dua buah speedboat, yang satu berisi bahan makanan dan kelontong, yang satunya lagi berisi alat pemancar radio. Ketika berpapasan dengan patroli laut Belanda, speedboat yang berisi bahan makanan dan kelontong melaju dengan kencang untuk memberi kesan mencurigakan. Patroli Belanda terpancing lalu mengejar speedboat tersebut dan berhasil dilumpuhkan. Sedangkan speedboat yang berisi alat pemancar dengan enak melaju menuju pantai Sumatera dan mendarat di Sungai Yu, Aceh Timur.
Tapi, keterangan lain menyebutkan, orang yang membeli peralatan itu adalah Nip Xarim, pernah menjabat Wakil Pemerintah Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo yang berkedudukan di Pangkalan Brandan. Gubernur Militer waktu itu dijabat Daud Beureueh. Nip Xarim membeli perakatan radio itu bersama Dr. Sofyan, justru sebelum Agresi Militer I 1947 dan disimpan di Pangkalan Brandan. Peralatan dibeli di Malaya. Sejarawan UGM, Mukhtar Ibrahim membenarkan hal ini.[3]
Tiba di Aceh
Terlepas dari siapa yang membeli peralatan pesawat tersebut, Radio Rimba Raya dibawa ke Bireuen. Setelah beberapa bulan dengan pertimbangan agar bisa menyiarkan secara cepat dan luas, pemancar tersebut dipindahkan ke Koetaradja (Banda Aceh) dan sempat dirangkai komponen-komponennya pada akhir tahun 1948, namun belum sempat mengudara. Pemancarnya dipasang di kawasan pegunungan sebelah selatan Banda Aceh, Cot Gue, sebagai cadangan sewaktu-waktu bisa digunakan apabila Koetaradja direbut musuh. Studio siarannya berada di sebuah rumah peninggalan Belanda Peunayong. Sayangnya, pemancar radio di Cot Gue sama sekali tidak pernah bisa digunakan, karena pada saat yang sama terjadi Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948. Dalam situasi yang tidak mendukung itu, Gubernur Militer Teungku Muhammad Daud Beureueh memerintahkan alat pemancar dipindahkan ke tempat lain. Maka disepakatilah Aceh Tengah sebagai daerah tujuan. Daerah ini dianggap lebih aman karena wilayahnya bergunung dan berhutan-hutan.
Sebelumnya, perangkat radio itu direncanakan akan dibawa ke kampung Burni Bies, kecamatan Silih Nara. Namun karena kondisi keamanan di kawasan itu tidak baik, penjajah Belanda sedang memantau proses pengiriman perangkat radio itu, maka oleh pejuang-pejuang Aceh, perangkat radio itu dibawa ke kampung Rime Raya yang saat itu masuk Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Aceh Tengah.[4]
Peralatan “diungsikan” ke Aceh Tengah tanggal 20 Desember 1948, dalam suatu pengawalan ketat dan rahasia. Daerah yang hendak dituju Burni Bies. Perjalanan menuju Tanah Gayo dilukiskan begitu dramatis. Berkali-kali rombongan terpaksa menyingkir dari jalan raya untuk bersembunyi dari kejaran Belanda yang mengintai dengan pesawat udara. Karena risiko perjalanan sangat tinggi, akhirnya rencana yang semula menuju Burni Bies dialihkan ke tempat lain, yakni Rime Raya (Rimba Raya).
Pada awalnya pemancar tersebut dipasang di Krueng Simpo, lebih kurang 20 km dari Bireuen arah Takengon. Di tempat inilah akhirnya pemancar didirikan. Namun, waktu itu muncul kesulitan, tak ada mesin listrik. Ny Ummi Salamah, istri Kolonel Husein Yoesoef berusaha mendapatkannya ke Lampahan dan Bireuen. Usaha itu gagal. Mesin listrik akhirnya diperoleh Ummi dari Kuala Simpang. Beres soal listrik, muncul masalah lain, kabel tak cukup. Kabel dicari lagi ke Lampahan dan Bireuen, dan berhasil ditemukan.
Sender radio dibangun di pucuk gunung dan tersembunyi, hingga sukar dideteksi musuh. Sebuah rumah juga dibangun untuk tempat peralatan kelengkapan radio. Kolonel Husein Yoesoef sendiri kemudian mendirikan rumah di Areal Pertanian Tentara Pembangunan di Rime (Rimba) Raya. Daerah itu sebelumnya bernama Desa Tanoh Ilang (Tanah Merah). Studionya berada di salah satu kamar rumah kediaman Komandan Divisi X, Kolonel Husein Yoesoef.
Mulai mengudara
Setelah melewati perjuangan berat dalam mendirikan Radio Rimba Raya, akhirnya Desember 1948, Radio Rimba Raya mengudara yang memberitakan bahwa Republik Indonesia masih eksis kepada dunia luar. Dari Radio Rimba Raya ini para pahlawan Aceh mengumandangkan pesan kepada pejuang-pejuang kemerdekaan lainnya untuk terus berjuang mempertahankan negara dari penjajahan Belanda. Selain berita kemerdekaan Republik Indonesia yang diinformasikan, Radio Rimba Raya juga menyiarkan berita tentang kenduri akbar di Aceh.
Sebagai pemancar gerilya, Radio Rimba Raya juga menyajikan acara pilihan pendengar dengan menghidangkan nyanyian-nyanyian rakyat yang dapat membakar semangat pejuang, bahkan merupakan satu-satunya sarana diplomasi politik Indonesia.
Kontak dengan India[sunting]
Radio Rimba Raya setiap hari juga melakukan kontak dengan perwakilan Republik Indonesia di New Delhi, India. Berita-berita itu selain diterima langsung oleh petugas sandi perwakilan RI di New Delhi, juga dikutip oleh All India Radio dan seterusnya disampaikan ke alamat yang dituju.
Ketika Konferensi Asia tentang Indonesia digelar tanggal 20-23 Januari 1949 di New Delhi, jam kerja Radio Rimba Raya diperpanjang mengingat banyaknya berita yang harus dikirim ke wakil-wakil Indonesia yang menghadiri konferensi tersebut.
Akhir penyiaran
Radio ini terus berperan sampai saat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Pemerintahan Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
Perangkat tua radio Rimba Raya itu teronggok di salah satu sudut ruang Museum Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Yogyakarta. Teregistrasi dengan No 60.607.318. Tertera sebuah keterangan pendek, “Pemancar hasil selundupan dari Malaya, digunakan oleh Pemerintah RI di Sumatera/Aceh 1948.” Sama sekali tidak ada keterangan lain tentang Radio Rimba Raya di museum itu. Ironi dan menyedihkan. Padahal, Radio Rimba Raya pernah menjadi penyelamat Indonesia, dan satu-satunya radio yang menyuarakan keberadaan Indonesia, setelah RRI Jogjakarta jatuh ke tangan Belanda pada 19 Desember 1948.[5]
Monumen peringatan
Monumen Radio Rimba Raya dibangun untuk mengenang sejarah Radio Rimba Raya yang berperan sangat besar dalam mempertahankan Indonesia dari agresi Belanda. Monumen ini diresmikan oleh Menteri Koperasi/Kepala Badan Urusan Logistik, Bustanil Arifin pada 27 Oktober 1987 pukul 10.30 WIB. Monumen tersebut terletak di Kampung Rime Raya, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah.
Pengoperasionalan kembali
Sejak tahun 2008, Pemerintah Kabupaten Bener Meriah berupaya mengoperasionalkan kembali stasiun radio ini dengan membeli seperangkat alat penyiaran radio yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) Bener Meriah sebesar Rp. 287.000.000,00[7].
Materi penyiaran yang direncanakan adalah informasi dan hiburan bagi masyarakat Bener Meriah dan sekitarnya. Bagaimanapun pelaksanaan penyiaran kembali radio ini mengalami beberapa hambatan, misalnya krisis listrik yang belum juga usai.
3. Monas Vs Markam
Quote:
Ternyata 38 kg emas yang dipajang di puncak tugu Monumen Nasional (Monas) Jakarta, 28 kg di antaranya adalah sumbangan dari salah seorang saudagar Aceh yang pernah menjadi orang terkaya Indonesia, Teuku Markam.
Orang-orang hanya tahu bahwa emas tersebut memang benar sumbangan saudagar Aceh. Namun tak banyak yang tahu, bahwa Teuku Markam-lah saudagar yang dimaksud itu.
Itu baru segelintir sumbangan Teuku Markam untuk kepentingan negeri ini. Sumbangsih lainnya, ia pun ikut membebaskan lahan Senayan untuk dijadikan pusat olah raga terbesar Indonesia.
Tentu saja banyak bantuan-bantuan Teuku Markam lainnya yang pantas dicatat dalam memajukan perekonomian Indonesia di zaman Soekarno, hingga menempatkan Markam dalam sebuah legenda.
Di zaman Orba, karyanya yang terbilang monumental adalah pembangunan infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat. Jalan Medan-Banda Aceh, Bireuen-Takengon, Meulaboh, Tapaktuan dan lain-lain adalah karya lain dari Teuku Markam yang didanai oleh Bank Dunia.
Mengingat peran yang begitu besar dalam percaturan bisnis dan perekonomian Indonesia, Teuku Markam pernah disebut-sebut sebagai anggota kabinet bayangan pemerintahan Soekarno. Peran Markam menjadi runtuh seiring dengan berkuasanya pemerintahan Soeharto.
Ia ditahan selama delapan tahun dengan tuduhan terlibat PKI. Harta kekayaannya diambil alih begitu saja oleh Rezim Orba. Pernah mencoba bangkit sekeluar dari penjara, tapi tidak sempat bertahan lama.
Tahun 1985 ia meninggal dunia. Aktivitas bisnisnya ditekan habis-habisan. Ahli warisnya hidup terlunta-lunta sampai ada yang menderita depresi mental. Hingga kekuasaan Orba berakhir, nama baik Teuku Markam tidak pernah direhabilitir.
Anak-anaknya mencoba bertahan hidup dengan segala daya upaya dan memanfaatkan bekas koneksi-koneksi bisnis Teuku Markam. Dan kini, ahli waris Teuku Markam tengah berjuang mengembalikan hak-hak orang tuanya.
Mengenal Lebih Dekat Sosok Teuku Markam?
Teuku Markam turunan uleebalang. Lahir tahun 1925. Ayahnya Teuku Marhaban. Kampungnya Seuneudon dan Alue Capli, Panton Labu Aceh Utara. Sejak kecil Teuku Markam sudah menjadi yatim piatu.
Ketika usia 9 tahun, Teuku Marhaban meninggal dunia. Sedangkan ibunya telah lebih dulu meninggal. Teuku Markam kemudian diasuh kakaknya Cut Nyak Putroe. Sempat mengecap pendidikan sampai kelas 4 SR (Sekolah Rakyat).
Teuku Markam tumbuh lalu menjadi pemuda dan memasuki pendidikan wajib militer di Koeta Radja (Banda Aceh sekarang) dan tamat dengan pangkat letnan satu. Teuku Markam bergabung dengan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan ikut pertempuran di Tembung, Sumatera Utara bersama-sama dengan Jendral Bejo, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin dan lain-lain.
Selama bertugas di Sumatera Utara, Teuku Markam aktif di berbagai lapangan pertempuran. Bahkan ia ikut mendamaikan clash antara pasukan Simbolon dengan pasukan Manaf Lubis.
Sebagai prajurit penghubung, Teuku Markam lalu diutus oleh Panglima Jenderal Bejo ke Jakarta untuk bertemu pimpinan pemerintah. Oleh pimpinan, Teuku Markam diutus lagi ke Bandung untuk menjadi ajudan Jenderal Gatot Soebroto. Tugas itu diemban Markam sampai Gatot Soebroto meninggal dunia. Adalah Gatot Soebroto pula yang mempercayakan Teuku Markam untuk bertemu dengan Presiden Soekarno. Waktu itu, Bung Karno memang menginginkan adanya pengusaha pribumi yang betul-betul mampu menangani masalah perekonomian Indonesia.
Tahun 1957, ketika Teuku Markam berpangkat kapten (NRP 12276), ia kembali ke Aceh dan mendirikan PT Karkam. Ia sempat bentrok dengan Teuku Hamzah (Panglima Kodam Iskandar Muda) karena "disiriki" oleh orang lain.
Akibatnya Teuku Markam ditahan dan baru keluar tahun 1958. Pertentangan dengan Teuku Hamzah berhasil didamaikan oleh Sjamaun Gaharu.
Keluar dari tahanan, Teuku Markam kembali ke Jakarta dengan membawa PT Karkam. Perusahaan itu dipercaya oleh Pemerintah RI mengelola rampasan perang untuk dijadikan dana revolusi.
Selanjutnya Teuku Markam benar-benar menggeluti dunia usaha dengan sejumlah aset berupa kapal dan beberapa dok kapal di Palembang, Medan, Jakarta, Makassar, Surabaya.
Bisnis Teuku Markam semakin luas karena ia juga terjun dalam ekspor - impor dengan sejumlah negara. Antara lain mengimpor mobil Toyota Hardtop dari Jepang, besi beton, plat baja dan bahkan sempat mengimpor senjata atas persetujuan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) dan Presiden.
Komitmen Teuku Markam adalah mendukung perjuangan RI sepenuhnya termasuk pembebasan Irian Barat serta pemberantasan buta huruf yang waktu itu digenjot habis-habisan oleh Soekarno.
Hasil bisnis Teuku Markam konon juga ikut menjadi sumber APBN serta mengumpulkan sejumlah 28 kg emas untuk ditempatkan di puncak Monumen Nasional (Monas). Sebagaimana kita tahu bahwa proyek Monas merupakan salah satu impian Soekarno dalam meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Peran Teuku Markam menyukseskan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika tidak kecil berkat bantuan sejumlah dana untuk keperluan KTT itu.
Teuku Markam termasuk salah satu konglomerat Indonesia yang dikenal dekat dengan pemerintahan Soekarno dan sejumlah pejabat lain seperti Menteri PU Ir Sutami, politisi Adam Malik, Soepardjo Rustam, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin, Suhardiman, pengusaha Probosutedjo dan lain-lain.
Pada zaman Soekarno, nama Teuku Markam memang luar biasa populer. Sampai-sampai Teuku Markam pernah dikatakan sebagai kabinet bayangan Soekarno.
Sejarah kemudian berbalik. Peran dan sumbangan Teuku Markam dalam membangun perekonomian Indonesia seakan menjadi tiada artinya di mata pemerintahan Orba. Ia difitnah sebagai PKI dan dituding sebagai koruptor dan Soekarnoisme.
Tuduhan itulah yang kemudian mengantarkan Teuku Markam ke penjara pada tahun 1966. Ia dijebloskan ke dalam sel tanpa ada proses pengadilan.
Pertama-tama ia dimasukkan tahanan Budi Utomo, lalu dipindahkan ke Guntur, selanjutnya berpindah ke penjara Salemba, Jl. Percetakan Negara. Lalu dipindah lagi ke tahanan Cipinang, dan terakhir dipindahkan ke tahanan Nirbaya, tahanan untuk politisi di kawasan Pondok Gede Jakarta Timur. Tahun 1972 ia jatuh sakit dan terpaksa dirawat di RSPAD Gatot Subroto selama kurang lebih dua tahun.
Peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto membuat hidup Teuku Markam menjadi sulit dan prihatin. Ia baru bebas tahun 1974. Ini pun, kabarnya, berkat jasa-jasa baik dari sejumlah teman setianya.
Teuku Markam dilepaskan begitu saja tanpa ada kompensasi apapun dari pemerintahan Orba. "Memang betul, saat itu Teuku Markam tidak akan menuntut hak-haknya. Tapi waktu itu ia kan tertindas dan teraniaya," kata Teuku Syauki Markam, salah seorang putra Teuku Markam.
Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet Ampera, pada 14 Agustus 1966 mengambil alih aset Teuku Markam berupa perkantoran, tanah dan lain-lain yang kemudian dikelola PT. PP Berdikari yang didirikan Suhardiman untuk dan atas nama pemerintahan RI.
Suhardiman, Bustanil Arifin, Amran Zamzami (dua orang terakhir ini adalah tokoh Aceh di Jakarta) termasuk teman-teman Markam. Namun tidak banyak menolong mengembalikan asset PT Karkam. Justru mereka ikut mengelola aset-aset tersebut di bawah bendera PT PP Berdikari.
Suhardiman adalah orang pertama yang memimpin perusahaan tersebut. Dijajaran direktur tertera Sukotriwarno, Edhy Tjahaja, dan Amran Zamzami. Selanjutnya PP Berdikari dipimpin Letjen Achmad Tirtosudiro, Drs Ahman Nurhani, dan Bustanil Arifin SH.
Pada tahun 1974, Soeharto mengeluarkan Keppres N0 31 Tahun 1974 yang isinya antara lain penegasan status harta kekayaan eks PT Karkam/PT Aslam/PT Sinar Pagi yang diambil alih pemerintahan RI tahun 1966 berstatus "pinjaman" yang nilainya Rp 411.314.924,29 sebagai penyertaan modal negara di PT. PP Berdikari. Kepres itu terbit persis pada tahun dibebaskannya Teuku Markam dari tahanan. Sumber : yafi20.blogspot.com
Orang-orang hanya tahu bahwa emas tersebut memang benar sumbangan saudagar Aceh. Namun tak banyak yang tahu, bahwa Teuku Markam-lah saudagar yang dimaksud itu.
Itu baru segelintir sumbangan Teuku Markam untuk kepentingan negeri ini. Sumbangsih lainnya, ia pun ikut membebaskan lahan Senayan untuk dijadikan pusat olah raga terbesar Indonesia.
Tentu saja banyak bantuan-bantuan Teuku Markam lainnya yang pantas dicatat dalam memajukan perekonomian Indonesia di zaman Soekarno, hingga menempatkan Markam dalam sebuah legenda.
Di zaman Orba, karyanya yang terbilang monumental adalah pembangunan infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat. Jalan Medan-Banda Aceh, Bireuen-Takengon, Meulaboh, Tapaktuan dan lain-lain adalah karya lain dari Teuku Markam yang didanai oleh Bank Dunia.
Mengingat peran yang begitu besar dalam percaturan bisnis dan perekonomian Indonesia, Teuku Markam pernah disebut-sebut sebagai anggota kabinet bayangan pemerintahan Soekarno. Peran Markam menjadi runtuh seiring dengan berkuasanya pemerintahan Soeharto.
Ia ditahan selama delapan tahun dengan tuduhan terlibat PKI. Harta kekayaannya diambil alih begitu saja oleh Rezim Orba. Pernah mencoba bangkit sekeluar dari penjara, tapi tidak sempat bertahan lama.
Tahun 1985 ia meninggal dunia. Aktivitas bisnisnya ditekan habis-habisan. Ahli warisnya hidup terlunta-lunta sampai ada yang menderita depresi mental. Hingga kekuasaan Orba berakhir, nama baik Teuku Markam tidak pernah direhabilitir.
Anak-anaknya mencoba bertahan hidup dengan segala daya upaya dan memanfaatkan bekas koneksi-koneksi bisnis Teuku Markam. Dan kini, ahli waris Teuku Markam tengah berjuang mengembalikan hak-hak orang tuanya.
Mengenal Lebih Dekat Sosok Teuku Markam?
Teuku Markam turunan uleebalang. Lahir tahun 1925. Ayahnya Teuku Marhaban. Kampungnya Seuneudon dan Alue Capli, Panton Labu Aceh Utara. Sejak kecil Teuku Markam sudah menjadi yatim piatu.
Ketika usia 9 tahun, Teuku Marhaban meninggal dunia. Sedangkan ibunya telah lebih dulu meninggal. Teuku Markam kemudian diasuh kakaknya Cut Nyak Putroe. Sempat mengecap pendidikan sampai kelas 4 SR (Sekolah Rakyat).
Teuku Markam tumbuh lalu menjadi pemuda dan memasuki pendidikan wajib militer di Koeta Radja (Banda Aceh sekarang) dan tamat dengan pangkat letnan satu. Teuku Markam bergabung dengan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan ikut pertempuran di Tembung, Sumatera Utara bersama-sama dengan Jendral Bejo, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin dan lain-lain.
Selama bertugas di Sumatera Utara, Teuku Markam aktif di berbagai lapangan pertempuran. Bahkan ia ikut mendamaikan clash antara pasukan Simbolon dengan pasukan Manaf Lubis.
Sebagai prajurit penghubung, Teuku Markam lalu diutus oleh Panglima Jenderal Bejo ke Jakarta untuk bertemu pimpinan pemerintah. Oleh pimpinan, Teuku Markam diutus lagi ke Bandung untuk menjadi ajudan Jenderal Gatot Soebroto. Tugas itu diemban Markam sampai Gatot Soebroto meninggal dunia. Adalah Gatot Soebroto pula yang mempercayakan Teuku Markam untuk bertemu dengan Presiden Soekarno. Waktu itu, Bung Karno memang menginginkan adanya pengusaha pribumi yang betul-betul mampu menangani masalah perekonomian Indonesia.
Tahun 1957, ketika Teuku Markam berpangkat kapten (NRP 12276), ia kembali ke Aceh dan mendirikan PT Karkam. Ia sempat bentrok dengan Teuku Hamzah (Panglima Kodam Iskandar Muda) karena "disiriki" oleh orang lain.
Akibatnya Teuku Markam ditahan dan baru keluar tahun 1958. Pertentangan dengan Teuku Hamzah berhasil didamaikan oleh Sjamaun Gaharu.
Keluar dari tahanan, Teuku Markam kembali ke Jakarta dengan membawa PT Karkam. Perusahaan itu dipercaya oleh Pemerintah RI mengelola rampasan perang untuk dijadikan dana revolusi.
Selanjutnya Teuku Markam benar-benar menggeluti dunia usaha dengan sejumlah aset berupa kapal dan beberapa dok kapal di Palembang, Medan, Jakarta, Makassar, Surabaya.
Bisnis Teuku Markam semakin luas karena ia juga terjun dalam ekspor - impor dengan sejumlah negara. Antara lain mengimpor mobil Toyota Hardtop dari Jepang, besi beton, plat baja dan bahkan sempat mengimpor senjata atas persetujuan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) dan Presiden.
Komitmen Teuku Markam adalah mendukung perjuangan RI sepenuhnya termasuk pembebasan Irian Barat serta pemberantasan buta huruf yang waktu itu digenjot habis-habisan oleh Soekarno.
Hasil bisnis Teuku Markam konon juga ikut menjadi sumber APBN serta mengumpulkan sejumlah 28 kg emas untuk ditempatkan di puncak Monumen Nasional (Monas). Sebagaimana kita tahu bahwa proyek Monas merupakan salah satu impian Soekarno dalam meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Peran Teuku Markam menyukseskan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika tidak kecil berkat bantuan sejumlah dana untuk keperluan KTT itu.
Teuku Markam termasuk salah satu konglomerat Indonesia yang dikenal dekat dengan pemerintahan Soekarno dan sejumlah pejabat lain seperti Menteri PU Ir Sutami, politisi Adam Malik, Soepardjo Rustam, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin, Suhardiman, pengusaha Probosutedjo dan lain-lain.
Pada zaman Soekarno, nama Teuku Markam memang luar biasa populer. Sampai-sampai Teuku Markam pernah dikatakan sebagai kabinet bayangan Soekarno.
Sejarah kemudian berbalik. Peran dan sumbangan Teuku Markam dalam membangun perekonomian Indonesia seakan menjadi tiada artinya di mata pemerintahan Orba. Ia difitnah sebagai PKI dan dituding sebagai koruptor dan Soekarnoisme.
Tuduhan itulah yang kemudian mengantarkan Teuku Markam ke penjara pada tahun 1966. Ia dijebloskan ke dalam sel tanpa ada proses pengadilan.
Pertama-tama ia dimasukkan tahanan Budi Utomo, lalu dipindahkan ke Guntur, selanjutnya berpindah ke penjara Salemba, Jl. Percetakan Negara. Lalu dipindah lagi ke tahanan Cipinang, dan terakhir dipindahkan ke tahanan Nirbaya, tahanan untuk politisi di kawasan Pondok Gede Jakarta Timur. Tahun 1972 ia jatuh sakit dan terpaksa dirawat di RSPAD Gatot Subroto selama kurang lebih dua tahun.
Peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto membuat hidup Teuku Markam menjadi sulit dan prihatin. Ia baru bebas tahun 1974. Ini pun, kabarnya, berkat jasa-jasa baik dari sejumlah teman setianya.
Teuku Markam dilepaskan begitu saja tanpa ada kompensasi apapun dari pemerintahan Orba. "Memang betul, saat itu Teuku Markam tidak akan menuntut hak-haknya. Tapi waktu itu ia kan tertindas dan teraniaya," kata Teuku Syauki Markam, salah seorang putra Teuku Markam.
Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet Ampera, pada 14 Agustus 1966 mengambil alih aset Teuku Markam berupa perkantoran, tanah dan lain-lain yang kemudian dikelola PT. PP Berdikari yang didirikan Suhardiman untuk dan atas nama pemerintahan RI.
Suhardiman, Bustanil Arifin, Amran Zamzami (dua orang terakhir ini adalah tokoh Aceh di Jakarta) termasuk teman-teman Markam. Namun tidak banyak menolong mengembalikan asset PT Karkam. Justru mereka ikut mengelola aset-aset tersebut di bawah bendera PT PP Berdikari.
Suhardiman adalah orang pertama yang memimpin perusahaan tersebut. Dijajaran direktur tertera Sukotriwarno, Edhy Tjahaja, dan Amran Zamzami. Selanjutnya PP Berdikari dipimpin Letjen Achmad Tirtosudiro, Drs Ahman Nurhani, dan Bustanil Arifin SH.
Pada tahun 1974, Soeharto mengeluarkan Keppres N0 31 Tahun 1974 yang isinya antara lain penegasan status harta kekayaan eks PT Karkam/PT Aslam/PT Sinar Pagi yang diambil alih pemerintahan RI tahun 1966 berstatus "pinjaman" yang nilainya Rp 411.314.924,29 sebagai penyertaan modal negara di PT. PP Berdikari. Kepres itu terbit persis pada tahun dibebaskannya Teuku Markam dari tahanan. Sumber : yafi20.blogspot.com
4. Fee Investasi orang Aceh hanya didapat secara langsung dari Baitul Asyi (Pemondokan Aceh) di Arab Saudi. Rp.3jt per jamaah haji tiap tahun
5. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya
6. To be continue...
0
3.4K
Kutip
3
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan