- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Teknisi Komputer Benerin Laptop Pake Mantra


TS
udhindbokek
Teknisi Komputer Benerin Laptop Pake Mantra
Assalamualaikum wr wb dan Salam sejahtera untuk semuanya.
Pertama ts numpang minal aidzin walfaidzin dulu buat agan2 semua..
:maafgan
langsung aja sedikit berbagi info..

Gideon Bosker awalnya menganggap remeh orang Indonesia. Menurutnya, sangat sulit menemukan pribumi yang memiliki skill atau kemampuan seperti orang di negaranya, Amerika Serikat.
Kepercayaan ini masih muncul ketika dirinya berlibur di Bali, seperti yang ditulisnya dalam kolom Frequent Flier di situs The New York Times (22/7). Namun, seketika pandangannya tentang orang Indonesia luntur saat itu juga.
Singkat cerita, Bosker yang seorang dokter ini membawa laptonya saat di Bali. Namun, ternyata laptop yang sedianya digunakan untuk bekerja ini rusak di sana.
Dirinya pun merasa kesusahan apalagi sedang ada tugas penting yang harus diselesaikannya dengan laptop ini. Dirinya pun memutar otak agar bisa bekerja.
Yang terlintas pertama adalah mengembalikan laptop ini ke toko tempat pembelian yang tak lain berada di AS. Dirinya pun juga memikirkan untuk membeli laptop baru di Bali.
Namun, niatnya ini ternyata urung dilakukan setelah berkonsultasi dengan petugas front desk hotel tempatnya menginap. Oleh sang petugas, dirinya disarankan untuk menemui tukang reparasi laptop yang dikenalnya.
Bosker pun awalnya agak ragu mengingat di Bali memang tak memiliki fasilitas teknologi mirip dengan yang ada di negaranya. Apalagi, setelah diantar oleh petugas hotel, ternyata tempat tukang reparasi ini terletak di pemukiman terpencil.
Di bengkel reparasi yang juga berperan sebagai toko komputer ini, pramuniaga kemudian mengarahkan Bosker untuk menuju sang tukang reparasi. Dirinya pun menyerahkan laptopnya dengan sedikit merasa kurang yakin.
Setelah diperiksa, tukang reparasi yang masih remaja ini mengatakan bahwa laptop milik Bosker tak bisa berjalan karena tak mau booting. Bosker sendiri sudah mengetahui masalah tersebut sebelum berangkat ke sana.
Saat itu juga, Bosker kemudian menanyakan apakah remaja tersebut bisa memperbaiki laptopnya. Dengan tersenyum, seketika remaja ini pun mengambil laptop Bosker.
Keheranan mulai muncul dari wajah Bosker ketika 'operasi' laptopnya dilakukan. Sang pemuda ternyata tak menggunakan perlengkapan mutakhir untuk memeriksa bagian mana yang rusak.
Seperti yang ditulis Bosker, pemuda itu hanya mengetuk-ngetuk beberapa bagian laptopnya sambil mendengarkan suara yang dihasilkan dengan seksama. "Hal ini mengingatkanku saat aku memeriksa pasien tua yang mengidap pneumonia," terangnya.
Sejurus kemudian, bagian belakang laptop pun sudah dilepas satu per satu. Sang remaja kemudian mengutak-atik beberapa kabel dan sambungan yang ada di dalamnya.
Kemudian, cover belakang laptop dikembalikan seperti semula dan kejadian mistis pun tampak. Seketika itu juga, ternyata laptop Bosker yang dari tadi tak bisa digunakan tiba-tiba berjalan seperti biasa.
Awalnya Bosker rela untuk membayar berapapun biaya yang diminta remaja tersebut atas jasanya memperbaiki laptop itu. Namun, sang remaja ternyata hanya meminta imbalan sebesar Rp 20 ribu saja.
Bosker sendiri keheranan karena apa yang dilakukan remaja tadi seperti tak ada sangkut pautnya dengan metode reparasi laptop. Semenjak saat itu, dirinya pun tak lagi meremehkan orang lain, terutama orang Indonesia.
"Namun yang lebih penting adalah saya mempelajari bahwa kadang Anda tak bisa mengendalikan apapun. Kadang Anda harus menaruh kepercayaan bahkan ke orang yang sepertinya tidak bisa," tulisnya.
moga ga
gan..
Comment ane sih, emang banyak manusia manusia berbakat di Indonesia..
terbelakangnya teknologi malah bikin teknisi komputer di Indonesia jadi lebih punya skill timbang bule2 yang ketergantungan sama alat alat canggih buat diagnosa penyakitnya..
cek TKP gan
update tulisannya si Gideon Bosker di Nytimes
WHEN I was practicing medicine, I used to give lectures all over the world. Now, most of my travel is focused on developing medical education programs and attending scientific congresses, as well as researching books that I write. I’m kind of a control freak. That’s not good, especially when traveling for business, when everything that can go wrong often really does.
I was in Bali, Indonesia, and my trip was going very well until about the third day, when my laptop computer broke down. I needed it for work, and like everyone who has experienced a broken computer, I felt out of control and out of touch. That’s not a good feeling for me.
My first instincts were to just dump the computer, ship it home to Oregon for repair or buy a new computer somewhere in Indonesia. Each of those ideas had its own drawbacks, so I finally decided to try to get the thing fixed in Bali. At the time, Bali had a good electronic infrastructure for commerce, but not everyone was as plugged in as we are in the United States. I still figured there must be a few computer repair technicians available somewhere in Bali who could help me out.
The hotel front desk directed my driver to a computer dealer. We drove out of the hotel district, and cruised through neighborhoods crammed with shops for baskets, teak furniture and kites. When we passed some beautifully manicured rice fields, I really thought I had made a poor decision, since we were in rural Indonesia. We finally got to the computer store, and a woman there directed us to the computer repair part of the establishment, which was in a shed packed with pool tables. It looked to me like the most out-of-control high-tech service center anywhere in the world. It was like a computer graveyard, with parts strewn all over the place. To say I was a little concerned is an understatement.
No one seemed to speak English, but an older man finally pointed to a teenage boy who apparently could help me. The young man quickly said my computer wasn’t booting up, which didn’t give me much confidence, since I already knew that. But I asked him if he thought he could fix it. He smiled and took my laptop.
Instead of using that magic electronic tester that I saw computer repair people use at my shop back home, this young man began tapping on my computer’s plastic shell with his fingers. It reminded me of how I used to check the backs of my older patients for pneumonia. He then put his ear down on the computer’s surface, which made my blood pressure rise even more. I could not figure out what this young man was doing since he was doing absolutely nothing high tech. It was really more like he was performing a deep Balinese massage on my computer. I nearly lost my mind when he started to take it apart. Screws were all over the place, and he was jiggling wires and jamming connections together. I thought everything on my computer was lost.
But then he put the cover back, flipped the switch, and everything was fixed. Best of all, nothing was lost. I would have paid him anything, but he only asked for 20,000 rupiah, which was at the time about $3.18 in American dollars. I gave him much more.
The computer worked like a charm for years after his repair. But even more important is that I learned thatsometimes you simply can’t control everything. Sometimes you have to trust the most unlikely of people. It’s a good lesson to learn, especially when you are on the road.
TKP nya gan..
Pertama ts numpang minal aidzin walfaidzin dulu buat agan2 semua..

langsung aja sedikit berbagi info..
Quote:

Gideon Bosker awalnya menganggap remeh orang Indonesia. Menurutnya, sangat sulit menemukan pribumi yang memiliki skill atau kemampuan seperti orang di negaranya, Amerika Serikat.
Kepercayaan ini masih muncul ketika dirinya berlibur di Bali, seperti yang ditulisnya dalam kolom Frequent Flier di situs The New York Times (22/7). Namun, seketika pandangannya tentang orang Indonesia luntur saat itu juga.
Singkat cerita, Bosker yang seorang dokter ini membawa laptonya saat di Bali. Namun, ternyata laptop yang sedianya digunakan untuk bekerja ini rusak di sana.
Dirinya pun merasa kesusahan apalagi sedang ada tugas penting yang harus diselesaikannya dengan laptop ini. Dirinya pun memutar otak agar bisa bekerja.
Yang terlintas pertama adalah mengembalikan laptop ini ke toko tempat pembelian yang tak lain berada di AS. Dirinya pun juga memikirkan untuk membeli laptop baru di Bali.
Namun, niatnya ini ternyata urung dilakukan setelah berkonsultasi dengan petugas front desk hotel tempatnya menginap. Oleh sang petugas, dirinya disarankan untuk menemui tukang reparasi laptop yang dikenalnya.
Bosker pun awalnya agak ragu mengingat di Bali memang tak memiliki fasilitas teknologi mirip dengan yang ada di negaranya. Apalagi, setelah diantar oleh petugas hotel, ternyata tempat tukang reparasi ini terletak di pemukiman terpencil.
Di bengkel reparasi yang juga berperan sebagai toko komputer ini, pramuniaga kemudian mengarahkan Bosker untuk menuju sang tukang reparasi. Dirinya pun menyerahkan laptopnya dengan sedikit merasa kurang yakin.
Setelah diperiksa, tukang reparasi yang masih remaja ini mengatakan bahwa laptop milik Bosker tak bisa berjalan karena tak mau booting. Bosker sendiri sudah mengetahui masalah tersebut sebelum berangkat ke sana.
Saat itu juga, Bosker kemudian menanyakan apakah remaja tersebut bisa memperbaiki laptopnya. Dengan tersenyum, seketika remaja ini pun mengambil laptop Bosker.
Keheranan mulai muncul dari wajah Bosker ketika 'operasi' laptopnya dilakukan. Sang pemuda ternyata tak menggunakan perlengkapan mutakhir untuk memeriksa bagian mana yang rusak.
Seperti yang ditulis Bosker, pemuda itu hanya mengetuk-ngetuk beberapa bagian laptopnya sambil mendengarkan suara yang dihasilkan dengan seksama. "Hal ini mengingatkanku saat aku memeriksa pasien tua yang mengidap pneumonia," terangnya.
Sejurus kemudian, bagian belakang laptop pun sudah dilepas satu per satu. Sang remaja kemudian mengutak-atik beberapa kabel dan sambungan yang ada di dalamnya.
Kemudian, cover belakang laptop dikembalikan seperti semula dan kejadian mistis pun tampak. Seketika itu juga, ternyata laptop Bosker yang dari tadi tak bisa digunakan tiba-tiba berjalan seperti biasa.
Awalnya Bosker rela untuk membayar berapapun biaya yang diminta remaja tersebut atas jasanya memperbaiki laptop itu. Namun, sang remaja ternyata hanya meminta imbalan sebesar Rp 20 ribu saja.
Bosker sendiri keheranan karena apa yang dilakukan remaja tadi seperti tak ada sangkut pautnya dengan metode reparasi laptop. Semenjak saat itu, dirinya pun tak lagi meremehkan orang lain, terutama orang Indonesia.
"Namun yang lebih penting adalah saya mempelajari bahwa kadang Anda tak bisa mengendalikan apapun. Kadang Anda harus menaruh kepercayaan bahkan ke orang yang sepertinya tidak bisa," tulisnya.
Spoiler for dibuka aja gpp kok, gak sakit:
moga ga

Comment ane sih, emang banyak manusia manusia berbakat di Indonesia..
terbelakangnya teknologi malah bikin teknisi komputer di Indonesia jadi lebih punya skill timbang bule2 yang ketergantungan sama alat alat canggih buat diagnosa penyakitnya..

cek TKP gan
update tulisannya si Gideon Bosker di Nytimes
Spoiler for Bahasa Linggis gan.. :
WHEN I was practicing medicine, I used to give lectures all over the world. Now, most of my travel is focused on developing medical education programs and attending scientific congresses, as well as researching books that I write. I’m kind of a control freak. That’s not good, especially when traveling for business, when everything that can go wrong often really does.
I was in Bali, Indonesia, and my trip was going very well until about the third day, when my laptop computer broke down. I needed it for work, and like everyone who has experienced a broken computer, I felt out of control and out of touch. That’s not a good feeling for me.
My first instincts were to just dump the computer, ship it home to Oregon for repair or buy a new computer somewhere in Indonesia. Each of those ideas had its own drawbacks, so I finally decided to try to get the thing fixed in Bali. At the time, Bali had a good electronic infrastructure for commerce, but not everyone was as plugged in as we are in the United States. I still figured there must be a few computer repair technicians available somewhere in Bali who could help me out.
The hotel front desk directed my driver to a computer dealer. We drove out of the hotel district, and cruised through neighborhoods crammed with shops for baskets, teak furniture and kites. When we passed some beautifully manicured rice fields, I really thought I had made a poor decision, since we were in rural Indonesia. We finally got to the computer store, and a woman there directed us to the computer repair part of the establishment, which was in a shed packed with pool tables. It looked to me like the most out-of-control high-tech service center anywhere in the world. It was like a computer graveyard, with parts strewn all over the place. To say I was a little concerned is an understatement.
No one seemed to speak English, but an older man finally pointed to a teenage boy who apparently could help me. The young man quickly said my computer wasn’t booting up, which didn’t give me much confidence, since I already knew that. But I asked him if he thought he could fix it. He smiled and took my laptop.
Instead of using that magic electronic tester that I saw computer repair people use at my shop back home, this young man began tapping on my computer’s plastic shell with his fingers. It reminded me of how I used to check the backs of my older patients for pneumonia. He then put his ear down on the computer’s surface, which made my blood pressure rise even more. I could not figure out what this young man was doing since he was doing absolutely nothing high tech. It was really more like he was performing a deep Balinese massage on my computer. I nearly lost my mind when he started to take it apart. Screws were all over the place, and he was jiggling wires and jamming connections together. I thought everything on my computer was lost.
But then he put the cover back, flipped the switch, and everything was fixed. Best of all, nothing was lost. I would have paid him anything, but he only asked for 20,000 rupiah, which was at the time about $3.18 in American dollars. I gave him much more.
The computer worked like a charm for years after his repair. But even more important is that I learned thatsometimes you simply can’t control everything. Sometimes you have to trust the most unlikely of people. It’s a good lesson to learn, especially when you are on the road.
TKP nya gan..
0
3.3K
Kutip
29
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan