- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Gaya Blusukan Jokowi Terus-Terusan di Hantam


TS
yandhias
Gaya Blusukan Jokowi Terus-Terusan di Hantam
Pengamat: Jokowi Hanya Blusukan, Prestasi Nol!
Quote:
Popularitas Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo yang terus melambung dan meninggalkan beberapa tokoh politik di negeri ini berdasarkan hasil beberapa lembaga survey akhir-akhir ini nampaknya mulai mengganggu kenyamanan tokoh-tokoh yang bermaksud mencalonkan diri sebagai presiden 2014 mendatang. Tak mau ketinggalan kerete, mereka bergerak cepat dengan berbagai manuver. Ada yang langsung menemui Jokowi dengan berbagai alasannya, ada pula yang galau dan menjadikan media untuk mendekatkannya pada Jokowi.
Popularitas Jokowi jelas membuat pihak-pihak tertentu meradang, sebab Jokowi begitu mendadak menjadi tokoh yang begitu didambakan sebagian besar masyarakat. Jokowi bagi para pendukung, simpatisan, atau bahkan pengagumnya adalah ibarat tokoh alternatif diantara himpitan tokoh-tokoh lama yang saling berhimpitan dalam menapaki jabatan orang nomor satu di negeri ini.
Tak ayal, Jokowi harus menerima hantaman dari pihak lain imbas dari kepopulerannya, meski pihak tersebut bukan berasal dari parpol atau tokoh-tokoh yang mencapreskan dirinya sendiri secara langsung. “Celah” pertama yang digunakan untuk menyerangnya adalah gaya blusukan yang kerap ia lakukan dalam bekerja. Hantaman untuk menggerogoti kepopuleran Jokowi justru datang dari Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia Transparansi Anggaran (FITRA), Uchok Sky Chadafi, minggu (19/7).
Ucok menyoroti gaya blusukan Jokowi dengan menyatakan bahwa anggaran blusukan Jokowi adalah Rp 26,6 miliar tepatnya Rp.26.670.450.000 per tahun. Ucok kemudian merincikan, perbulan anggaran blusukan Jokowi sebesar Rp 2,2 miliar per bulan, perhari sebesar Rp.74 juta, dan kalau dibagi dua antara Jokowi dengan Wakil Gubernur Basuki T Purnama (Ahok), masing-masing untuk satu orang sebesar Rp 37 juta per oarang. (JakartaBagus.com, 21/7/2013).
Tak berhenti sampai di situ, Ucok juga melakukan perbandingan anggaran yang dikeluarkan Jokowi dengan gubernur Jakarta sebelumnya, Fauzi Bowo yang anggarannya di tahun 2012 katanya cuma Rp 17.640.355.000. Sebuah perbandingan yang sebenarnya sangat dipaksakan sebab cara dan mekanisme termasuk kebijakan dari kedua gubernur tersebut jelas berbeda. Melalui media masa, kita sudah tahu bantahan Jokowi dengan tudingan tersebut. Menurutnya, gaya blusukan yang ia pakai hanya bermodal jalan kaki, sebuah sanggahan yang kesannya sangat nyantai tapi sejatinya langsung menohok.
Lain Jokowi, lain pula Ahok sang wakil gubernur dalam menanggapi tudingan FITRA. Jika Jokowi kalem, Ahok sebagaimana gaya hasnya, langsung menuding bahwa FITRA ditunggangi partai politik tertentu.
“Jadi, maksud FITRA ini apa? Ingin membangun kesan buruk tentang kami, terus ada partai politik yang masuk yang mengatakan seolah kami nggak boleh blusukan karena menghabiskan duit terlalu banyak?,” ucap Ahok berapi-api kepada wartawan di Balaikota, Jakarta Pusat, Selasa (Ibid, 23/7).
Syahdan, seiring dengan tudingan FITRA yang salah kaprah sebagaimana kata Ahok, kali ini muncul lagi tudingan miring yang dialamatkan pada Jokowi yang berasal dari pengamat polituk Universitas Indonesia, Iberamsjah. Modusnya hampir sama dengan Ucok yakni melakukan perbandingan antara Jokowi dan pihak lain. Jika Ucok membandingkan anggaran blusukan Jokowi dengan anggaran Foke, kali ini Jokowi dibandingkan dengan sang presiden, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Menurut Iberamsjah, Jokowi tak akan bisa mengikuti jejak Susilo Bambang Yudhoyono jika hanya bermodalkan popularitas. Sebab menurutnya, SBY bisa menjadi presiden tidak hanya bermodal popularitas tapi juga prestasi sejak menjadi taruna. Bahkan menurutnya Jokowi hanya bermodal popularitas semata tanpa adanya prestasi yang bisa dibanggakan.
“Tidak bisa kita menyamakan SBY dan Jokowi. Itu ibarat bumi dan langit. SBY sebelum menjadi presiden popularitasnya didukung oleh fakta bahwa dia adalah sosok yang cerdas dengan segudang prestasi. (RMOL.co, 22/7/2013).
Iberamsjah lebih jauh melanjutkan analisisnya dengan menyatakan bahwa popularitas Jokowi lambat laun akan pudar seiring dengan kesadaran masyarakat bahwa tidak ada prestasi yang dihasilkan Jokowi selama menjabat Gubernur DKI. Bahkan untuk mendukung keakuratan analisanya, Iberamsjah mencontohkan banjir yang masih terjadi di Jakarta dan permasalahan PKL yang belum terselesaikan adalah bukti kalau Jokowi tidak berprestasi.
“Kerjanya hanya blusukan, tapi prestasi nol,” tekannya. (Ibid).
Jika kita jeli dalam melihat dua kritikan di atas, baik dari Ucok FITRA dan pengamat politik UI, Iberamsjah ini ada beberapa kesamaannya. Kesamaan tersebut bisa kita lihat dari cara mereka dalam mengkritik yakni sama-sama menghadapkan Jokowi dengan pihak lain. Kedua, gaya mereka sama; yakni menyampaikan kritikan terhadap Jokowi lewat rilis yang diberikan pada para awak media. Jika melihat gaya yang terakhir ini, sangat mungkin sinyalemen Ahok benar bahwa mereka hanyalah perpanjangan tangan dari pihak-pihak yang merasa terancam dengan popularitas Jokowi dalam merebutkan jabatan presiden 2014 nanti.
Popularitas Jokowi jelas membuat pihak-pihak tertentu meradang, sebab Jokowi begitu mendadak menjadi tokoh yang begitu didambakan sebagian besar masyarakat. Jokowi bagi para pendukung, simpatisan, atau bahkan pengagumnya adalah ibarat tokoh alternatif diantara himpitan tokoh-tokoh lama yang saling berhimpitan dalam menapaki jabatan orang nomor satu di negeri ini.
Tak ayal, Jokowi harus menerima hantaman dari pihak lain imbas dari kepopulerannya, meski pihak tersebut bukan berasal dari parpol atau tokoh-tokoh yang mencapreskan dirinya sendiri secara langsung. “Celah” pertama yang digunakan untuk menyerangnya adalah gaya blusukan yang kerap ia lakukan dalam bekerja. Hantaman untuk menggerogoti kepopuleran Jokowi justru datang dari Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia Transparansi Anggaran (FITRA), Uchok Sky Chadafi, minggu (19/7).
Ucok menyoroti gaya blusukan Jokowi dengan menyatakan bahwa anggaran blusukan Jokowi adalah Rp 26,6 miliar tepatnya Rp.26.670.450.000 per tahun. Ucok kemudian merincikan, perbulan anggaran blusukan Jokowi sebesar Rp 2,2 miliar per bulan, perhari sebesar Rp.74 juta, dan kalau dibagi dua antara Jokowi dengan Wakil Gubernur Basuki T Purnama (Ahok), masing-masing untuk satu orang sebesar Rp 37 juta per oarang. (JakartaBagus.com, 21/7/2013).
Tak berhenti sampai di situ, Ucok juga melakukan perbandingan anggaran yang dikeluarkan Jokowi dengan gubernur Jakarta sebelumnya, Fauzi Bowo yang anggarannya di tahun 2012 katanya cuma Rp 17.640.355.000. Sebuah perbandingan yang sebenarnya sangat dipaksakan sebab cara dan mekanisme termasuk kebijakan dari kedua gubernur tersebut jelas berbeda. Melalui media masa, kita sudah tahu bantahan Jokowi dengan tudingan tersebut. Menurutnya, gaya blusukan yang ia pakai hanya bermodal jalan kaki, sebuah sanggahan yang kesannya sangat nyantai tapi sejatinya langsung menohok.
Lain Jokowi, lain pula Ahok sang wakil gubernur dalam menanggapi tudingan FITRA. Jika Jokowi kalem, Ahok sebagaimana gaya hasnya, langsung menuding bahwa FITRA ditunggangi partai politik tertentu.
“Jadi, maksud FITRA ini apa? Ingin membangun kesan buruk tentang kami, terus ada partai politik yang masuk yang mengatakan seolah kami nggak boleh blusukan karena menghabiskan duit terlalu banyak?,” ucap Ahok berapi-api kepada wartawan di Balaikota, Jakarta Pusat, Selasa (Ibid, 23/7).
Syahdan, seiring dengan tudingan FITRA yang salah kaprah sebagaimana kata Ahok, kali ini muncul lagi tudingan miring yang dialamatkan pada Jokowi yang berasal dari pengamat polituk Universitas Indonesia, Iberamsjah. Modusnya hampir sama dengan Ucok yakni melakukan perbandingan antara Jokowi dan pihak lain. Jika Ucok membandingkan anggaran blusukan Jokowi dengan anggaran Foke, kali ini Jokowi dibandingkan dengan sang presiden, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Menurut Iberamsjah, Jokowi tak akan bisa mengikuti jejak Susilo Bambang Yudhoyono jika hanya bermodalkan popularitas. Sebab menurutnya, SBY bisa menjadi presiden tidak hanya bermodal popularitas tapi juga prestasi sejak menjadi taruna. Bahkan menurutnya Jokowi hanya bermodal popularitas semata tanpa adanya prestasi yang bisa dibanggakan.
“Tidak bisa kita menyamakan SBY dan Jokowi. Itu ibarat bumi dan langit. SBY sebelum menjadi presiden popularitasnya didukung oleh fakta bahwa dia adalah sosok yang cerdas dengan segudang prestasi. (RMOL.co, 22/7/2013).
Iberamsjah lebih jauh melanjutkan analisisnya dengan menyatakan bahwa popularitas Jokowi lambat laun akan pudar seiring dengan kesadaran masyarakat bahwa tidak ada prestasi yang dihasilkan Jokowi selama menjabat Gubernur DKI. Bahkan untuk mendukung keakuratan analisanya, Iberamsjah mencontohkan banjir yang masih terjadi di Jakarta dan permasalahan PKL yang belum terselesaikan adalah bukti kalau Jokowi tidak berprestasi.
“Kerjanya hanya blusukan, tapi prestasi nol,” tekannya. (Ibid).
Jika kita jeli dalam melihat dua kritikan di atas, baik dari Ucok FITRA dan pengamat politik UI, Iberamsjah ini ada beberapa kesamaannya. Kesamaan tersebut bisa kita lihat dari cara mereka dalam mengkritik yakni sama-sama menghadapkan Jokowi dengan pihak lain. Kedua, gaya mereka sama; yakni menyampaikan kritikan terhadap Jokowi lewat rilis yang diberikan pada para awak media. Jika melihat gaya yang terakhir ini, sangat mungkin sinyalemen Ahok benar bahwa mereka hanyalah perpanjangan tangan dari pihak-pihak yang merasa terancam dengan popularitas Jokowi dalam merebutkan jabatan presiden 2014 nanti.
Spoiler for sumber:
http://m.kompasiana.com/post/politik/2013/07/23/pengamat-jokowi-hanya-blusukan-prestasi-nol
JakartaBagus.com
JakartaBagus.com
ane bingung di Indonesia ini banyak banget PENGAMAT. dari pengamat politik, sepak bola, ampe pengamat teroris pun ada. kalo lg berkomentar serasa orang paling pinter di dunia. SALUT lah buat para pengamat. tapi mudah2an ga ada anak2 di Indonesia ini yang bercita-cita jadi pengamat


Diubah oleh yandhias 08-08-2013 21:14
0
8.7K
Kutip
123
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan