Kaskus

News

dragonroarAvatar border
TS
dragonroar
Kolonialisme di Tanah Batak
PENDAHULUAN

Relasi antara kristenisasi dan kolonialisme Belanda telah lama bergulir menjadi perbincangan serius di kalangan peminat sejarah pekabaran Injil di Indonesia. Kenyataan ini membuat pihak Kristen, termasuk Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), hari ini merasa bahwa hal tersebut merupakan beban sejarah.[1] Di satu sisi banyak penulis yang berusaha mengungkapkan kaitan keduanya sebagai semacam simbiosis mutualisme, sementara di pihak lain berupaya menegasikannya.

W.B. Sidjabat, akademisi Kristen, menegaskan bahwa misi penginjilan sama sekali terlepas dari kolonialisme. Ia berargumen bahwa tujuan Belanda sangat berbeda dengan maksud bangsa Portugis. Kedatangan bangsa Portugis ke dunia Timur memiliki 2 (dua) tugas yaitu berdagang dan sekaligus menyebarkan agama Kristen. Sementara niat Belanda hanya untuk berdagang. Sebagai penguat argumentasi, Sidjabat memperlihatkan bukti kasus berupa kasus pengusiran orang Portugis dan Spanyol oleh Hideyoshi dari Jepang pada tahun 1595. Sikap Hideyoshi ini dilatarbelakangi oleh tindakan orang Portugis dan Spanyol yang berusaha menyebarkan Kristen di Jepang. Sementara orang Belanda, menurut Sidjabat, diterima baik oleh Jepang pada tahun 1600, sebab hanya bermaksud berdagang dan bukan menyebarkan agama Kristen.[2] Contoh yang digunakan oleh Sidjabat ini tidak tidak cukup kuat untuk mendukung gagasannya. Orang-orang Belanda justru membuktikan bahwa mereka tidak berbeda dengan bangsa Spanyol maupun Portugis. Belanda juga mengalami nasib serupa, diusir dari Jepang akibat menyebarkan agama Kristen.[3]

Terkait Pekabaran Injil di Tanah Batak, W.B. Sidjabat mengarahkan bahwa para pejuang Batak yang mengambil sikap anti-kolonialis tidak pernah memiliki “masalah” dengan para zending. Sidjabat membuat sebuah imaginasi bahwa sejak Sisingamangaraja X hingga XII senantiasa memelihara hubungan baik dengan para misionaris asing tersebut.[4] Tulisan W.B. Sidjabat ini sejatinya adalah upaya menyelamatkan wajah zending dari konklusi yang mengarahkan kepada adanya relasi antara misionarisme dan kolonialisme. Pendekatan yang bersifat hitam putih semacam ini agaknya tidak sesuai dengan realitas yang terjadi. Juga kurang didukung dengan bukti yang berasal dari catatan para penginjil asing itu sendiri yang justru memperlihatkan fakta sebaliknya.

“BATAK” DAN EVASIVE IDENTITY

Kolonialisme di Tanah Batak

Berdasarkan kajian etnologi, Daniel Perret, seorang akademisi di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Perancis – merupakan salah satu ilmuwan yang berkecimpung mendalami tema ini dengan mengambil lingkup penelitian di Tanah Batak – memperlihatkan bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah “keluarga besar Batak” baru terjadi pada era kolonialisme Belanda. Bahkan disertasi J. Pardede tahun 1975, sebagaimana disebutkan oleh Perret, mengemukakan bahwa istilah “Tanah Batak” dan “rakyat Batak” merupakan sebuah terminologi baru yang diciptakan oleh pihak asing.[5]

Perret menyebutkan bahwa perbedaan antara “Batak” dan “Melayu”, seperti telah menjadi sebuah kesepakatan para penulis, hanya terletak pada faktor kanibalisme.[6] Dalam literatur sekitar tahun 1290-an, Marcopolo menyebutkan bahwa Kerajaan Ferlec (Perlak), wilayah Aceh bagian Timur, belum lama menjadi penganut Islam. Rakyat kerajaan ini sebelumnya merupakan para penyembah berhala. Hal ini hanya berlaku bagi penduduk yang tinggal diperkotaan. Namun penduduk yang tinggal di wilayah lebih pedalaman di Sumatera bagian Utara masih hidup seperti binatang. Marcopolo mengambarkan bahwa mereka memakan daging apa pun baik dalam keadaan bersih maupun kotor, termasuk daging manusia.[7]

Friedrich Martin Schnitger, sarjana ilmu Purbakala dalam penelitiannya pada 1935 di sebuah Candi di Padang Lawas, Batak sebelah Selatan, mengungkapkan bahwa keberadaan Agama Hindhu-Budha dari sekte Bhairawa turut mempengaruhi kanibalisme di “tanah Batak”. Candi-candi tersebut dibangun secara tidak serentak selama masa antara abad XXI sampai XXIV.[8] Pemujaan kaum Bhairawa ini dilakukan pada malam hari dengan mempersembahkan tumpukan mayat manusia yang dibakar kepada para dewa. Semakin menyengat bau mayat yang terbakar semakin menyenangkan bagi mereka, sebab bau tersebut disetarakan dengan wangi sepuluh ribu bunga yang membawa keselamatan bagi mereka. Biasanya manusia-manusia yang masih hidup dikorbankan pula. Korban tersebut ditelentangkan, kemudian seorang pendeta akan menusukkan pisau besar ke perut korban dan mengirisnya ke arah tulang rusuk bagian bawah. Jantungnya kemudian diambil dan darahnya diperas ke dalam sebuah gelas tengkorak atau bejana lainnya untuk selanjutnya diminum sampai habis. Proses menuang dan meminum darah ini dilakukan berulangkali. Sang pendeta yang mengalami kondisi trance kemudian menari-nari sambil bersuara histeris. Upacara keagamaan yang mengerikan ini biasanya diringi ritual persetubuhan dengan para perempuan.[9] Secara rinci ritual ini meliputi perilaku antara lain bersemadi, menari-nari, mengucapkan mantra-mantra, membakar jenazah, memakan daging jenazah, minum darah, tertawa-tawa, dan mengeluarkan bunyi seperti banteng[10] serta termasuk persetubuhan.

Nicolo de’ Conti yang pernah tinggal di kota Samudra (Sumatra) pada tahun 1430, menjadi orang pertama yang menyebutkan nama tempat “Batech” yang dikaitkan dengan sebuah populasi yang bersifat kanibal dan gemar berperang. Keberadaan bangsa kanibal ini telah diketahui sejak abad II M, melalui tulisan Ptolemaeus yang menyebutkan bahwa bagian utara Sumatra merupakan daerah yang dihuni masyarakat pemakan manusia. Hal ini bahkan masih berlangsung hingga awal abad XX.[11]

Oleh karena itulah, awalnya sebutan nama “Batak” awalnya dianggap sebagai sebuah penghinaan bagi penduduk setempat. Nama “Batak” tidak dipakai oleh orang setempat ketika berbicara tentang diri mereka sendiri. Kata ini menjadi semacam evasive identity yang secara umum digunakan untuk menunjuk “orang lain” atau untuk memperlihatkan sebuah kategori yang meliputi pemakan babi darimanapun asalnya.[12] Van der Tuuk, ahli Bahasa yang bekerja untuk Nederlands Bijbelgenootschap (NBG), dalam suratnya tertanggal 15 November 1855, pernah mengusulkan kepada pengurus NBG agar istilah “Batak” dan “Melayu” tidak digunakan secara resmi. Usulan ini penyebabnya adalah istilah “Batak” telah berubah menjadi ungkapan yang bersifat makian. Keberadaan ungkapan ini selanjutnya juga menegaskan bahwa orang Melayu yang telah memeluk Islam seolah derajatnya lebih tinggi dari orang yang berada di wilayah yang sekarang disebut “Batak”. Sebagai gantinya van der Tuuk mengusulkan penyebutan seperti “Mandailing”, “Angkola”, dan lain sebagainya.[13]

Daniel Perret mengungkapkan adanya fenomena yang lebih aneh bahwa sebutan “Batak” justru digunakan oleh penduduk dusun untuk mengidentifikasi para misionaris Belanda dan orang Tiong Hwa, karena alasan yang sama, yaitu mereka memakan babi. Sebutan “Batak” tampaknya juga tidak dapat ditemukan dalam karya sastra era pra-kolonial.[14] Dalam perkembangan waktu selanjutnya istilah “Batak” ini kemudian diterima sebagai sebuah identitas etnis tertentu. Daniel Perret mengungkapkan, setelah keberadaan”orang-orang Batak” diterima oleh orang Barat, kemudian mulailah diciptakanlah batas-batas “Tanah Batak”.[15]

Versi lain tentang arti “Batak” dapat ditemukan dalam buku Riwayat Poeloe Soematra yang ditulis pada 1903 oleh Dja Endar Moeda, tokoh yang mendapat julukan sebagai “Raja Koran Sumatra”. Menurut Dja Endar Moeda, sebagaimana dikutip oleh Baharuddin Aritonang dalam buku Orang Batak Berpuasa, istilah “Batak” memiliki makna “orang yang pandai berkuda”.[16] Pemaknaan istilah yang terakhir ini tentu baru timbul pada era yang lebih belakangan. Sebab jika istilah tersebut sekedar bermakna “ahli berkuda” maka tidak akan menimbulkan evasive identity, sebuah identitas yang pada masa lalu justru sedapat mungkin dihindari.

Berdasarkan kajian etnografi yang dilakukan oleh Daniel Perret di atas, dapat dikemukakan sebuah benang merah bahwa istilah “Batak” merupakan identitas yang sengaja diciptakan pada sekitar era kolonialisme di daerah Sumatra Utara. Penciptaan istilah yang awalnya “kurang” dikenal oleh etnis setempat ini sangat mungkin memiliki kepentingan yang identik dengan sebuah upaya segregasi sosial. Studi Perret menunjukkan adanya pola dimana istilah “Batak” sengaja dimuncul sebagai pembeda sebuah etnis di Sumatra Utara dengan bangsa Melayu yang identik memeluk Islam. Pertanyaan apakah pemunculan identitas “Batak” ini merupakan bagian dari strategi misionarisme terhadap suatu etnis tertentu, kurang terpotret dengan jelas dalam kajian Daniel Perret. Namun bisa dicermati, bahwa saat ini etnis “Batak” seringkali diidentikkan pula sebagai “etnis Kristen”, meskipun terdapat kenyataan bahwa dari etnis ini juga terdapat kalangan pemeluk agama Islam. Selanjutnya, kita hanya berharap akan muncul kajian lain yang akan mengungkapkan fenomena ini secara lebih jelas.
Diubah oleh dragonroar 04-08-2013 21:57
0
7.2K
27
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan