

TS
hemibee
“Luka”
Kamis, 25 Juli 2013
05:36
05:36
“Lukaku”
“Maybe they are right. Maybe I did get my hopes up too high. Maybe I was in over my head. Maybe I am the stupid one for ever thinking that you loved me, but maybe, I am tired of being alone.”
Hari masih gelap, matahari bahkan belum muncul. Tebak apa yang seorang perempuan malas yang hampir selalu telat ke sekolah karena bangun kesiangan di pagi buta dalam hari liburnya seperti ini? Oh, jelasnya, aku bukan baru bangun, aku belum tidur. Aku mencintai pagi. Aku mencintai hawa dingin yang berbeda dengan hawa dingin ketika malam, aku kecanduan rasa dimana hawa dingin itu menggelitik telapak kakiku dan memaksaku membuka pintu lebar-lebar sambil menunggu cahaya pagi masuk perlahan. Aku selalu menggosokan pipiku di bantal dan bergulingan dalam selimutku yang hangat.
Aku seringkali menutup mata dan menikmati suara kicau burung yang disertai suara adik-adikku yang bersiap ke sekolah. Meskipun pada awal liburan ini, pagi hari adalah hari yang menyiksaku, aku menunggu dering hp dan menunggu sms dari kekasihku muncul. Mengucapkan selamat pagi, dan betapa dia merindukan aku. Entah mengapa sulit rasanya berhenti membohongi diriku sendiri bahwa dia tidak lagi peduli. Dia tidak lagi mau tahu. Dia bukan lagi bagian dari hidupku.
Beberapa bulan ini aku berhenti menulis. Aku benci menangis dan mengingat kenangan yang membuat kepalaku ingin meledak dan nafasku sesak. Aku ingin hidup normal seperti ketika aku merasa tidak ada yang pantas aku cintai lebih dari diriku sendiri. Aku benci memutar lagu kenangan-kenangan kita selama dua tahun sambil memeluk gulingku atau menatapi foto-foto kita yang sampai sekarang tak pernah terfikir untuk kubuang. Aku mencegah diri untuk memflashback semua memori.
Dulunya aku pikir mustahil. Tapi aku melihat kamu. Melihat bahwa hal ini dapat kamu lakukan, dan mencaci maki diriku: kenapa aku tidak bisa melakukan hal yang sama?
Mungkin, kita punya kebahagiaan yang berbeda. Dulunya aku pikir kebahagiaanku adalah memiliki liburan yang panjang tanpa pertengkaran, handphone yang tetap diam sunyi selama seminggu tanpa ada sms yang membuatku marah atau kecemburuan tak beralasan dari kekasihku. Kamu. Dulunya kebahagiaan yang aku kejar adalah prestasi, karena itu akan menentukan masa depanku, menentukan kedudukan dan harga diriku di mata orang tua, keluarga besar, teman-teman, dan menjadi teladan untuk adik-adikku. Aku ingin masuk UGM. Aku ingin orangtuaku lebih memperhatikan aku dan berhenti memarahiku dan menganggapku tidak berguna.
Sementara dulu, buatmu, bahagiamu adalah hal yang sangat simple. Melihatku bahagia, sehingga bisa meraih cita-cita kita berdua. Bahagiamu adalah ketika aku membawakan kamu bekal, ketika aku menghampiri kamu di kelas dan memelukmu erat. Bahagia terbesarmu adalah ketika aku bilang aku akan ke rumahmu dan bertanya apa kamu ingin dibawakan sesuatu. Bahagiamu adalah ketika kita pergi ke suatu tempat dan menambah kenangan-kenangan kita dengan kejadian yang romantis. Bahagiamu adalah ketika mendengar semua rencanaku untuk masa depan kita, dan menyaksikan sebagian demi sebagian terlaksana.
Sekarang. Aku masuk UGM. Aku belajar banyak hal tentang berdandan dan aku punya banyak orang yang tergila-gila padaku dan rela melakukan apapun untuk aku. Aku punya banyak baju-baju lucu yang sudah aku serasikan dengan aksesoris yang dibelikan mama sebagai hadiah aku masuk UGM. Aku punya banyak teman, dan semenjak aku kabur, jarang aku bertengkar parah dengan kedua orang tuaku. Dan kalau ini terjadi dulu, mungkin dulu hidup macam inilah yang aku inginkan. Tapi sekarang, aku melihat cermin dan menyaksikan betapa rapuh dan tidak berdayanya aku. Bahwa mimpi ini tidak seindah yang aku inginkan.
Aku masuk UGM, tapi ketika aku membaca surat penerimaanku, bukan kamu yang ada di sampingku untuk kupeluk. Aku bahkan membayangkan setiap malam seandainya kita masih bersama, pasti kamu yang ada di sampingku untuk membaca pengumuman dan kita akan berpelukan atau berciuman untuk menunjukkan betapa lega dan bahagianya aku bisa diterima. Aku mungkin tidak akan belanja semua baju yang menggemaskan itu dengan mamaku, aku akan pergi bersamamu dan memintamu memilihkannya. Lalu mungkin aku akan menraktirmu entah dimana dan kita akan bermanja sepanjang liburan karena kita akan jarang bertemu kalau kuliah.
Sekarang, setiap membuka lemari dan melihat baju-baju itu terpajang rapi di lemariku, aku merasa sakit dan merasa bodoh karena tidak pernah memikirkan, kapan baju-baju itu bisa aku pakai? Patinya bukan bersamamu. Aku menyesali diriku yang tidak pernah berdandan ketika kita mau jalan bersama. Aku memang bisa pergi, entah dengan siapa atau ke mana, tapi aku tidak mau. Rasanya beda, rasanya tidak seperti jalan denganmu. Aku tidak mau memeluk lengan orang lain dan mencium wangi colonge d lengan bajunya, merebahkan kepalaku di bahunya ketika aku lelah. Aku bahkan menangis ketika pergi ke bioskop tanpa kamu.
Kamu tahu kenapa aku memilih berhenti menulis? Aku sudah berjanji pada diriku sendiri kalau aku nggak akan pernah menulis tentang ini, tentang kata-katamu dan tentang semua yang terjadi di antara kita saat kita bertemu untuk terakhir kali. Aku benar-benar tidak mau membacanya suatu saat nanti dan kembali terpuruk dan menangis tidak karuan. Aku ingin meyakinkan diriku bahwa semua itu tidak pernah terjadi. Tapi aku akhirnya mengambil resiko itu. Seperti ketika aku mengambil resiko untuk mencintaimu dalam keadaan apapun juga.
Terakhir kali kita bertemu, kamu meninggalkan aku. Melewati aku yang tengah meringkuk di luar rumahmu ketika hari mulai gelap. Kamu melewati aku seperti anjing. Dan aku menangis keras hingga rasanya aku ingin mati saja. Aku terus mengirimkan sms untukmu, berusaha menghubungimu. Yang aku inginkan adalah melanjutkan mimpi kita, mimpi untuk tetap bersama sampai kita mati. Aku terus menunggu sampai kamu bilang bisa dihubungi. Aku terus memeriksa twittermu dan meneteskan air mataku ketika kamu menggoda adik-adik kelas lewat tweet maupun retweetmu. Aku ingin sekali menghubungi mereka dan mengatakan bahwa mereka tidak ingin bernasib seperti aku.
Aku benci menemukan posting darimu tentang JKT 48, personilnya atau apapun itu. Aku terus mengutuki diriku yang begitu bodoh ketika mengijinkan diriku jatuh dalam pelukan dan nafsumu ketika kita bertemu sebelumnya. Aku merasa dibodohi ketika menemukan diriku tersenyum bahagia melihat smsmu yang isinya ‘i will always love you’. Aku merasa bodoh mau percaya begitu saja dengan semua ceritamu dan menyangka kita bisa memperbaiki semuanya kembali, dan merasa bahwa kamu masih orang yang dulu begitu aku cintai.
Lalu, kutemukan diriku dalam pelukanmu, melepaskan semua hasrat dan rindu yang aku pendam. Aku tahu kamu, kamu hanya ingin tidur denganku. Kamu hanya rindu rasanya bercinta denganku. Dan kamu tidak pernah ingin kembali, dan semua yang kamu katakan hanyalah untuk meyakinkan aku melakukannya. Kamu berbohong, dan aku tahu itu. Aku kenal kamu. Tapi aku menggunakan sisa keyakinan dalam hatiku untuk mempercayaimu. Dan mempertaruhkan rasa sakit yang sangat dalam kalau saja kamu meninggalkan aku lagi.
Benar. Setelah kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan, kamu mengambil semua harapan itu dan mengatakan bahwa kita tidak bisa bersama lagi. Aku terus menghubungimu dan yang kamu katakan hanya menambah rasa sakit di hatiku “Aku bosan denganmu! Bukannya mantan-mantanku sudah memperingatkan kamu, kenapa kamu tetap percaya aku?” “Kamu tahu secantik dan sebaik apapun kamu, kalau aku bosan ya bosan, aku mau coba dengan yang lain! Jangan ganggu aku!” Tapi aku terus menghubungimu, meskipun aku tahu lama kelamaan itu akan membunuhku. Sampai akhirnya kamu tidak lagi menjawab. Dan buatku, rasanya hari itu rasa percayaku sudah mati.
Aku terus berdoa, aku ingin kembali dan hidup di masa dimana aku adalah orang paling berarti dalam hidupku dan menjadi alasan bagimu untuk bahagia. Tapi Tuhan tidak memberiku jawaban. Semua orang mengatakan bahwa Tuhan sebenarnya telah menjawabku dengan mengirimkan orang-orang yang mengejarku dan mencoba mendapatkan hatiku. Buatku, itu Bullshit. Karena setiap bersama mereka, aku merasakan perbedaan mereka darimu. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan mereka, kesalahan mereka hanyalah; Mereka bukan kamu. Aku selalu membandingkan lelucon mereka dengan leluconmu dan merasakan kekurangan yang tidak bisa aku lengkapi tanpa kamu.
Aku tidak tahu apa yang aku inginkan, Aku ingin bersama kamu, mencintai kamu, tapi jelas bukan kamu yang sekarang, kamu yang dulu. Kamu yang takkan berubah selamanya. Kamu yang bisa aku percaya dan menganggap tidak ada perempuan yang bisa lebih membahagiakan kamu selain aku. Kamu yang selalu bisa membatasi diri kamu supaya aku tidak cemburu. Kamu yang mendukung semua cita-cita dan harapanku. Kamu yang mau melakukan apa saja supaya kita bisa menjadi satu selamanya. Kamu yang tidak pernah rasis dan membeda-bedakan orang cina, islam, atau apapun juga, meskipun beberapa orang mengucilkan aku, kamu, dan hubungan kita karena kita dari ras maupun agama yang berbeda. Kamu tidak pernah membicarakan tentang semua itu.
Kamu yang seperti itu adalah kebahagiaanku yang paling lengkap dan sempurna. Kebahagiaan yang lebih penting daripada UGM, daripada punya banyak teman dan penggemar, daripada kembali diterima dalam keluarga. Kamu yang seperti itu tidak akan membiarkan aku belum tidur di jam segini dan menangis sambil mendengarkan lagu “Maaf”-nya Calvin Jeremy. Kamu yang seperti itu tentu akan menemaniku berfoto saat wisuda, membuatku rela dimarahi habis-habisan untuk ikut promnite dan mengisi hari liburku dengan telfon setiap malamnya atau menemaniku nonton film sambil minum susu cokelat panas saat hujan.
Dulu, aku tidak pernah berdoa supaya kamu tidak pernah berubah dan selamanya ada di sampingku. Sekarang, aku sangat menyesal karena lupa mendoakan itu. Karena Tuhan mengabulkan hampir semua doaku untuk masuk UGM, punya banyak teman dan lebih diterima dalam keluarga, kalau saja waktu itu aku berdoa untuk kita, mungkin kebahagiaanku lengkap sudah. Dan sekarang, sempurna hanyalah sebuah kata yang membuatku ingin muntah karena kerap diucapkan setiap laki-laki genit yang tidak mau berhenti mengejarku.
Aku melihat embun menetes perlahan di kaca jendelaku. "Apalah arti dikelilingi laki-laki, kalau aku tahu dengan jelas siapa laki-laki yang aku inginkan? apalah arti mencapai cita-cita tanpa seorang yang kita cintai untuk mendampingi kita saat meraihnya?" dan itu benar. Kalau semua bahagia ini bisa kutukar untuk bersamamu, aku tidak akan berfikir dua kali. Cita-cita yang kita bangun bersama, kalau tidak tercapai bersama hanya akan membuatku semakin hancur. Andai kamu tahu, sayang, di balik senyum dan keberhasilan ini, ada derita. Derita rindu bersamamu, derita kehilanganmu, derita, tak lagi mengenal siapa kamu.
--THE END--
Diubah oleh hemibee 22-08-2013 22:31


anasabila memberi reputasi
1
1.2K
3
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan