

TS
hellomad
"The AYAH"
It’s All About Loving Your Dad.
Quote:
“Kris, sarapan sudah siap sayang”.
“Iya, Mah. Bentar lagi”.
Ya, kehidupan biasanya tidak dimulai lebih awal disini. Teriakan-teriakan kecil seperti itu jarang terdengar rutin setiap pagi di rumah ini. Desisan suara teko listrik, bunyi irisan-irisan pisau yang beradu dengan papan iris dan dentang-denting serta suara bising lainnya yang bersumber dari dapur seolah menjadi alarm alternatif bagiku. Aku masih setengah terjaga menyosori lorong lantai dua rumahku sembari mengucek-ngucek mata yang sepertinya tidak rela harus membuka secepat ini di Minggu pagi. Dari pagar pembatas lantai atas, melengos kulihat dibawah sang mamah sibuk berbenah menghias meja makan.
Aku langsung turun menuju ruang dapur menghampiri freezer mengambil air putih dingin untuk menggantikan ion-ion tubuh yang menghilang pasca dehidrasi usai tidur pulasku. Tidak biasanya aku tidur lebih cepat seperti ini, apalagi ketika harus melewatkan indahnya malam Minggu bersama teman-temanku. Yah, alasannya ini, supaya aku menikmati momen absurd seperti ini disetiap Minggu pagi.
Belum lagi kutuang air putih tadi kedalam gelasku, suara berat dari ujung ruang tamu tiba-tiba mengagetkanku “Kamu gak harus minum air es seperti itu pagi-pagi begini”, suara papah mengejutkanku. Sigap tangan mamah meraih gelasku dan menggantikannya dengan segelas susu putih hangat berukuran besar. Ekspresiku datar, kutenggak habis sambil melirik kearah papahku yang ternyata masih mendelik melihatku, tangannya memegang koran harian yang rutin tukang loper hantarkan kerumah ini walau jarang samasekali dibaca oleh beliau. Posisinya bersender di kursi sofa dengan kaki tersilang masih memperhatikanku, dugaanku cuma untuk memastikan kalau aku benar-benar menghabiskan susuku.
“Oke, Done! Mandi dulu kali yaa...” kataku sambil berlalu melewati posisinya sekarang. Anak mata papah mengikutiku naik tangga.
“Kris, ditunggu 10 menit dibawah, kita sarapan bareng”. Mamaku meneriakiku dengan nada bicara seriang mungkin.
Dikamar mandi masih dalam guyuran shower, terbesit olehku “Oke, respek. Setidaknya mereka sedang berusaha mencuri perhatianku”. Dengan tidak mengurangi rasa hormatku, aku pikir setidaknya mereka telah berusaha bertindak layaknya orangtua seperti kebanyakan keluarga lainnya. Keluarga yang memiliki ayah, ibu dan anak. Ya, aku sudah memiliki fitur itu, fitur ayah dan ibu, pikirku. Ahh, setidaknya aku punya ayah dan ibu. Aku membathin.
Aku keluar kamar beberapa menit kemudian dan mendapati suara yang terdengar samar cenderung berbisik-bisik dari lantai bawah. Bunyi kakiku saat menapaki anak tanggalah yang spontan membuat suara-suara itu hilang. Aku tau kalau barusan pasti ada debat kecil antara mamah dan papah, dipertengahan tangga menuju bawah aku mencuri padang kearah mamah berdiri diseberang dapur menopang keningnya namun tiba-tiba dibuatnya seolah-olah baru saja mengusap kepalanya sehingga yang kutangkap terkesan beliau sedang merapikan rambutnya. Papah masih diam diujung ruang tamu, sekarang pandangannya datar keluar jendela.
“Sarapan, kita?” aku mencoba membelah suasana. Papah beranjak dari duduknya menuju meja makan, tanpa berkata sepatahpun. Ahh, pemandangan biasa.
Proses eksekusi sarapanpun berlangsung hikmat, tidak ada seorangpun membuka percakapan. Aku hanya memandangi sisa kol ku yang tidak minat kuhabiskan karena menurutku rasanya aneh.
“Kenapa gak kamu makan sayur kolnya, sayang?” kata mamah membelah kesunyian meja makan.
“Ehrrmm, aku kurang suka, mah”. Sahutku.
“Habiskan, sana. Kamu gak tau betapa beruntungnya kita masih bisa makan sayur-sayuran segar ini dibanding banyak orang diluaran sana yang makan nasi putih saja susah!” papahku menyahut jawabanku dengan aksen lantang hampir-hampir membuatku kaget. Gema suaranya hilir-mudik saling memantul dari ruangan ke ruangan rumah besar yang sunyi ini.
“Tidak perlu membentaknya begitu, pah. Biarin aja mungkin selera si Kris lagi gak bagus aja”. Mamah menimpali perkataan ayah sembari menggeser kursinya dan mengelus-elus bahuku.
“Nggak!!! Kayak gini nih, kamu kalau dibilangin justru main bela terus anakmu tanpa mikir kedepan dia bakal nurut apa enggak sama orangtuanya!!” satu gebrakan meja cukup memberi efek suara gelas piring dan pealatan lainnya menimbulkan bunyi terangkat bising bersahutan karenanya, masih sambil berdiri papahku menatap tajam padaku saat mulutnya membuka dan akan bersiap mengatakan hal-hal lainnya,
“Papah, cukup!!!” potong mamahku setengah menjerit, matanya membeliak menatap papahku sengit.
Dengan gesit kutarik kembali piringku yang berisikan sisa-sisa kol tadi lalu kulesatkan satupersatu masuk kedalam mulutku hingga penuh nyaris terdengar nafas sesakku tersengal-sengal mengunyah kol-kol berengsek itu. Mataku memerah, rasanya ada butiran cair hangat mendesak keluar bersamaan dengan itu.
“Kris, pelan-pelan, nak”. Mamah meneriakiku khawatir.
Terdengar bunyi kursi didorong keras kebelakang, papahku beranjak dari meja makan meninggalkan porsi piringnya tersisa setengah belum habis. Syukurlah, ketidaksukaanku pada sayur kol pagi ini mampu memberikan inspirasi bagi kedua orangtuaku untuk memulai sebuah percakapan. Aku tidak menuntut apa-apa, setidaknya ada interaksi dirumah ini. Entah itu arahnya bagus atau justru seperti keadaan sekarang ini.
Aku sukses mengacaukan hari Minggu rutin keluargaku. Hari dimana enam hari sebelumnya nyaris tanpa tatap muka samasekali. Hari dimana seharusnya mampu menjadi tempat berkumpul bagi ketiga penghuni rumah untuk menghabiskan waktu luang sebagai keluarga seutuhnya. Aku lelah menikmati ini sebagai sebuah kepura-puraan, aku itdak menikmatinya. Dan tidak ada sisi menarik samasekali yang bisa kupetik sebagai anak usia 19 tahun yang tidak lebih diperlakukan selayaknya anak ingusan. Alhasil, kepedihan yang kadang-kadang kusimpan sendiri sudah saatnya harus diangkat kepermukaan. Walau dengan cara-cara yang tak lazim hingga ketika suatu saat nanti orangtuaku mengetahuinya.
“Iya, Mah. Bentar lagi”.
Ya, kehidupan biasanya tidak dimulai lebih awal disini. Teriakan-teriakan kecil seperti itu jarang terdengar rutin setiap pagi di rumah ini. Desisan suara teko listrik, bunyi irisan-irisan pisau yang beradu dengan papan iris dan dentang-denting serta suara bising lainnya yang bersumber dari dapur seolah menjadi alarm alternatif bagiku. Aku masih setengah terjaga menyosori lorong lantai dua rumahku sembari mengucek-ngucek mata yang sepertinya tidak rela harus membuka secepat ini di Minggu pagi. Dari pagar pembatas lantai atas, melengos kulihat dibawah sang mamah sibuk berbenah menghias meja makan.
Aku langsung turun menuju ruang dapur menghampiri freezer mengambil air putih dingin untuk menggantikan ion-ion tubuh yang menghilang pasca dehidrasi usai tidur pulasku. Tidak biasanya aku tidur lebih cepat seperti ini, apalagi ketika harus melewatkan indahnya malam Minggu bersama teman-temanku. Yah, alasannya ini, supaya aku menikmati momen absurd seperti ini disetiap Minggu pagi.
Belum lagi kutuang air putih tadi kedalam gelasku, suara berat dari ujung ruang tamu tiba-tiba mengagetkanku “Kamu gak harus minum air es seperti itu pagi-pagi begini”, suara papah mengejutkanku. Sigap tangan mamah meraih gelasku dan menggantikannya dengan segelas susu putih hangat berukuran besar. Ekspresiku datar, kutenggak habis sambil melirik kearah papahku yang ternyata masih mendelik melihatku, tangannya memegang koran harian yang rutin tukang loper hantarkan kerumah ini walau jarang samasekali dibaca oleh beliau. Posisinya bersender di kursi sofa dengan kaki tersilang masih memperhatikanku, dugaanku cuma untuk memastikan kalau aku benar-benar menghabiskan susuku.
“Oke, Done! Mandi dulu kali yaa...” kataku sambil berlalu melewati posisinya sekarang. Anak mata papah mengikutiku naik tangga.
“Kris, ditunggu 10 menit dibawah, kita sarapan bareng”. Mamaku meneriakiku dengan nada bicara seriang mungkin.
Dikamar mandi masih dalam guyuran shower, terbesit olehku “Oke, respek. Setidaknya mereka sedang berusaha mencuri perhatianku”. Dengan tidak mengurangi rasa hormatku, aku pikir setidaknya mereka telah berusaha bertindak layaknya orangtua seperti kebanyakan keluarga lainnya. Keluarga yang memiliki ayah, ibu dan anak. Ya, aku sudah memiliki fitur itu, fitur ayah dan ibu, pikirku. Ahh, setidaknya aku punya ayah dan ibu. Aku membathin.
Aku keluar kamar beberapa menit kemudian dan mendapati suara yang terdengar samar cenderung berbisik-bisik dari lantai bawah. Bunyi kakiku saat menapaki anak tanggalah yang spontan membuat suara-suara itu hilang. Aku tau kalau barusan pasti ada debat kecil antara mamah dan papah, dipertengahan tangga menuju bawah aku mencuri padang kearah mamah berdiri diseberang dapur menopang keningnya namun tiba-tiba dibuatnya seolah-olah baru saja mengusap kepalanya sehingga yang kutangkap terkesan beliau sedang merapikan rambutnya. Papah masih diam diujung ruang tamu, sekarang pandangannya datar keluar jendela.
“Sarapan, kita?” aku mencoba membelah suasana. Papah beranjak dari duduknya menuju meja makan, tanpa berkata sepatahpun. Ahh, pemandangan biasa.
Proses eksekusi sarapanpun berlangsung hikmat, tidak ada seorangpun membuka percakapan. Aku hanya memandangi sisa kol ku yang tidak minat kuhabiskan karena menurutku rasanya aneh.
“Kenapa gak kamu makan sayur kolnya, sayang?” kata mamah membelah kesunyian meja makan.
“Ehrrmm, aku kurang suka, mah”. Sahutku.
“Habiskan, sana. Kamu gak tau betapa beruntungnya kita masih bisa makan sayur-sayuran segar ini dibanding banyak orang diluaran sana yang makan nasi putih saja susah!” papahku menyahut jawabanku dengan aksen lantang hampir-hampir membuatku kaget. Gema suaranya hilir-mudik saling memantul dari ruangan ke ruangan rumah besar yang sunyi ini.
“Tidak perlu membentaknya begitu, pah. Biarin aja mungkin selera si Kris lagi gak bagus aja”. Mamah menimpali perkataan ayah sembari menggeser kursinya dan mengelus-elus bahuku.
“Nggak!!! Kayak gini nih, kamu kalau dibilangin justru main bela terus anakmu tanpa mikir kedepan dia bakal nurut apa enggak sama orangtuanya!!” satu gebrakan meja cukup memberi efek suara gelas piring dan pealatan lainnya menimbulkan bunyi terangkat bising bersahutan karenanya, masih sambil berdiri papahku menatap tajam padaku saat mulutnya membuka dan akan bersiap mengatakan hal-hal lainnya,
“Papah, cukup!!!” potong mamahku setengah menjerit, matanya membeliak menatap papahku sengit.
Dengan gesit kutarik kembali piringku yang berisikan sisa-sisa kol tadi lalu kulesatkan satupersatu masuk kedalam mulutku hingga penuh nyaris terdengar nafas sesakku tersengal-sengal mengunyah kol-kol berengsek itu. Mataku memerah, rasanya ada butiran cair hangat mendesak keluar bersamaan dengan itu.
“Kris, pelan-pelan, nak”. Mamah meneriakiku khawatir.
Terdengar bunyi kursi didorong keras kebelakang, papahku beranjak dari meja makan meninggalkan porsi piringnya tersisa setengah belum habis. Syukurlah, ketidaksukaanku pada sayur kol pagi ini mampu memberikan inspirasi bagi kedua orangtuaku untuk memulai sebuah percakapan. Aku tidak menuntut apa-apa, setidaknya ada interaksi dirumah ini. Entah itu arahnya bagus atau justru seperti keadaan sekarang ini.
Aku sukses mengacaukan hari Minggu rutin keluargaku. Hari dimana enam hari sebelumnya nyaris tanpa tatap muka samasekali. Hari dimana seharusnya mampu menjadi tempat berkumpul bagi ketiga penghuni rumah untuk menghabiskan waktu luang sebagai keluarga seutuhnya. Aku lelah menikmati ini sebagai sebuah kepura-puraan, aku itdak menikmatinya. Dan tidak ada sisi menarik samasekali yang bisa kupetik sebagai anak usia 19 tahun yang tidak lebih diperlakukan selayaknya anak ingusan. Alhasil, kepedihan yang kadang-kadang kusimpan sendiri sudah saatnya harus diangkat kepermukaan. Walau dengan cara-cara yang tak lazim hingga ketika suatu saat nanti orangtuaku mengetahuinya.
***
to be continued
Diubah oleh hellomad 04-08-2013 01:58


anasabila memberi reputasi
1
1.4K
Kutip
6
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan