sandstoneAvatar border
TS
sandstone
Tradisi Lebaran di Berbagai Daerah di Indonesia




Welcome To My Thread


Spoiler for No repost:


Lebaran agaknya bukan hanya bagi kaum muslimin yang merayakannya, melainkan juga telah menjadi tradisi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Apalagi setiap daerah memiliki kekhasannya masing-masing dalam merayakan hari raya tersebut.

Di sejumlah daerah di Indonesia, tradisi Lebaran dirayakan dengan beragam festival unik. Sebagian di antaranya boleh dibilang merupakan bagian dari ritual yang sudah berusia sangat tua. Sayangnya, beberapa tradisi sudah mulai ditinggalkan. Oleh karena itu, sangat layak jika festival-festival tersebut menjadi agenda wisata Indonesia agar dapat terus lestari Berikut beberapa di antaranya yang masih dilestarikan secara turun-temurun.


Jogja
Di Yogyakarta, tradisi Grebeg Syawal sudah sangat terkenal. Grebeg Syawal merupakan sebuah ritual Keraton Yogyakarta dalam memperingati Idul Fitri yang dilangsukan tepat pada 1 Syawal.

Masyarakat setempat percaya, Gunungan Grebeg membawa berkah dan ketenteraman. Upacara tersebut diawali dengan keluarnya Gunungan Lanang (Kakung) dan dibawa ke Masjid Gede Keraton Ngayogyakarta untuk didoakan.

Gunung Lanang terbuat dari sayur-sayuran dan hasil bumi lainnya. Gunungan tersebut dikawal oleh prajurit keraton. Nantinya, masyarakat berebutan mengambil hasil bumi yang terdapat di gunungan. Tradisi ini pun sudah berlangsung secara turun temurun.

Spoiler for buka :

Spoiler for buka :


Gorontalo
di Gorontalo terdapat festival Tumbilotohe. Masyarakat setempat memasang lampu sejak tiga malam terakhir menjelang Idul Fitri.

Tradisi memasang lampu tersebut awalnya untuk memudahkan warga memberikat zakat fitrah di malam hari. Kala itu, lampu terbuat dari damar dan getah pohon. Seiring waktu, lampu diganti dengan minyak kelapa dan kemudian beralih menggunakan minyak tanah.

Tradisi ini sudah berlangsung sejak abad ke-15 M. Kini, lampu yang dipasang hadir dalam berbagai bentuk dan warna. Lampu dipasang tak hanya di rumah, melainkan di kantor, masjid, hingga sawah.
Spoiler for buka:

Spoiler for buka:

Spoiler for buka:

Spoiler for buka:

Spoiler for buka:


Bali
Tradisi makan-makan pun dikenal di kalangan "nyama Selam" di Bali. Nyama selam yang artinya saudara dari kalangan Muslim, merupakan sebutan khas penduduk Bali yang mayoritas Hindu kepada kerabat sekampung yang beragama Islam.

Salah satu tradisi yang kental dilakukan nyama Selam adalah "ngejot" yang sudah berlangsung secara turun temurun. Tradisi ini juga menyiratkan keindahan toleransi beragama.

Menjelang Idul Fitri, warga Muslim akan melakukan "ngejot" atau memberikan hidangan kepada masyarakat sekitarnya, tidak peduli apapun agamanya. Tradisi ini sudah dilakukan sejak masa kerajaan dan hampir dapat ditemukan di sebagian besar daerah di Bali. Biasanya, umat Hindu akan memberikan balasan dengan melakukan "ngejot" kepada warga Muslim di hari Nyepi atau Galungan.

Spoiler for buka:


Lombok

Beralih ke Lombok, NTB, suku Sasak memiliki tradisi yang disebut Lebaran Topat. Tradisi ini baru dilaksanakan seminggu setelah Idul Fitri. Saat itu, masyarakat suku Sasak akan saling bersilahturahim dan berziarah.

Hanya saja, di Pura Lingsar yang berlokasi di Lombok Barat terdapat tradisi unik, yaitu Perang Topat. Masyarakat sekitar pura akan saling melempar ketupat. Mereka percaya dengan melakukan ritual tersebut, Tuhan akan mengabulkan doa mereka.

Spoiler for buka:

Spoiler for buka:

Spoiler for judul spoiler:


Pontianak
Sedangkan di Pontianak, Kalimantan Barat, terdapat tradisi yang sudah dilakukan sejak lebih dari 200 tahun yang lalu. Festival tersebut disebut sebagai Festival Meriam Karbit.

Meriam karbit merupakan meriam besar dengan diameter lebih dari 30 sentimeter dan terbuat dari kayu. Meriam tersebut dipasang di tepian Sungai Kapuas. Saat meriam dinyalakan, suara dentuman keras akan terdengar membahana. Awalnya, meriam tersebut dibunyikan untuk mengusir kuntilanak. Kini, meriam itu dibunyikan untuk menyambut Idul Fitri.


Spoiler for buka:

Spoiler for buka:


Bengkulu
Bengkulu memiliki tradisi "Bakar Gunung Api". Suku Serawai melakukan tradisi tersebut secara turun temurun selama beratus tahun. Ritual "Bakar Gunung Api" dilaksanakan dalam rangka menyambut Idul Fitri. Oleh karena itu, ritual pun biasa dilakukan di halaman rumah saat malam takbiran atau setelah shalat Isya.

Dalam ritual, batok kelapa disusun seperti tusuk sate sehingga bentuknya menjadi tinggi menjulang, kemudian batok kelapa dibakar. Ada nuansa magis saat melihat api yang membumbung. Batok kelapa ini menjadi simbol ucapan syukur kepada Tuhan dan juga doa bagi arwah keluarga agar tentram di dunia akhirat.

Spoiler for buka:


Banten
Ngadongkapkeun adalah wujud syukur bagi warga Desa Cisungsang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Tradisi ngadongkapkeun merupakan perpaduan adat lokal dengan ajaran Islam. Intinya bentuk rasa syukur warga kepada Allah SWT dan penghormatan pada leluhur yang telah berjasa sehingga anak cucunya bisa hidup bahagia.

"Tradisi ngadongkapkeun dilakukan di saat ada rezeki berlebih, berlangsung pada hari pertama bulan puasa, hari terakhir puasa, setelah salat Idul Fitri, sehabis ziarah kubur, pada bulan purnama dan magrib. Ngadongkapkeun bisa dipimpin langsung para pemimpin adat seperti olot atau kokolot lembur (tetua kampung)," ujar Agus Suhendra, kokolot Lembur Gede, Kaolotan Cisungsang.

Pada perayaan Idul Fitri tahun ini, tradisi ngadongkapkeun tak dilewatkan masyarakat di kaki Gunung Halimun ini. Di Cisungsang, ada empat kokolot lembur, yaitu Lembur Gede, Babakan, Tonggoh, dan Lebak.

Dengan berpakaian khas Banten Kidul, yakni berwarna hitam serta penutup kepala, kokolot lembur langsung memanjatkan doa kepada Allah SWT. Sehabis berdoa, masyarakat pun sungkem pada kokolot lembur.

"Di kala kita memiliki rezeki berlebih sudah sewajarnya mengingat dan mengucapkan terima kasih pada para leluhur yang telah mendahului. Jadi, wajar setelah satu bulan berpuasa dan merayakan kemenangan, kita mengingat leluhur dengan mengadakan tradisi ngadongkapkeun," ujar Agus.

Bukti berjalan sejajarnya tradisi dan agama itu bisa dilihat ketika masyarakat sangat antusias dalam melaksanakan takbiran dan salat Idul Fitri. Dua mesjid di Cisungsang, Baiturrahman dan Cisungsang, ramai dijadikan ajang takbiran dan salat Ied.


Kupatan di Jawa
Berawal dari Tradisi Wali Songo

Ketupat atau tradisi Jawa-nya kupatan bukan hanya sebuah tradisi Lebaran dengan menghidangkan ketupat, sejenis makanan atau beras yang dimasak dan dibungkus daun janur berbentuk prisma maupun segi empat. Sebab, kupatan memiliki makna dan filososi mendalam.

Dari sisi sejarah, tradisi kupatan berangkat dari upaya-upaya walisongo memasukkan ajaran Islam. Karena zaman dulu orang Jawa selalu menggunakan simbol-simbol tertentu, akhirnya para walisongo memanfaatkan cara tersebut. ''Tradisi kupatan akhirnya menggunakan simbol janur atau daun kelapa muda berwarna kuning”.

Dari sisi bahasa, kupat berarti mengaku lepat atau mengakui kesalahan. Bertepatan dengan momen Lebaran, kupat mengusung semangat saling memaafkan, semangat taubat pada Allah, dan sesama manusia. Dengan harapan, tidak akan lagi menodai dengan kesalahan di masa depan. ''Kupat dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kafi. Yakni, kuffat yang berarti sudah cukup harapan".

Dengan berpuasa satu bulan penuh di bulan Ramadan, lalu Lebaran 1 syawal, dan dilanjutkan dengan puasa sunnah enam hari syawal, maka orang-orang yang kuffat merasa cukup ibadahnya. Apalagi, berdasarkan hadis riwayat Imam Muslich bahwa ibadah tersebut sama dengan berpuasa satu tahun lamanya. ''Karena itulah, kuffat berarti orang-orang yang merasa cukup".

Terlebih, ditambah lagi dengan tradisi silaturahim selama sepekan penuh pada kerabat dan masyarakat sekitar. Sehingga, tradisi kupatan benar-benar dirasa lengkap.

Sedang dari sisi penyimbolan, dipilihnya janur karena janur biasa digunakan masyarakat Jawa dalam suasana suka cita. Umumnya, dipasang saat ada pesta pernikahan atau momen menggembirakan lain. Janur dalam bahasa Arab berasal dari kata Jaa Nur atau telah datang cahaya. Sebuah harapan cahaya menuju rahmat Allah, sehingga terwujud negeri yang makmur dan penuh berkah.

Sedang isinya, dipilih beras baik-baik yang dimasak jadi satu sehingga membentuk gumpalan beras yang sangat kempel. Ini pun memiliki makna tersendiri, yakni makna kebersamaan dan kemakmuran. ''Harapan para Wali Songo dulu, tradisi kupatan ini bukan sebuah formalitas, tapi menjadi semangat kebersamaan umat".

Selain itu, biasanya kupatan dimaknai dengan potongan miring sebagai simbol perempuan. Potongan kupat miring tersebut lazim disandingkan dengan lepet berbahan beras ketan dengan bentuk lonjong sebagai simbol laki-laki. ''Artinya, pasangan suami istri juga harus selalu hidup rukun dan bersanding".

Dalam perjalanan, para kiai dan ulama menjadikan tradisi kupatan untuk menyampaikan pesan persatuan dan silaturahim. Ajakan tersebut, tak perlu sulit-sulit dengan imbauan lisan, tapi cukup dengan simbol-simbol. Sehingga, ajaran agama menjadi tidak asing bagi umat. ''Dengan menggunakan simbol yang melekat di kehidupan sehari-hari, ajaran agama bukan lagi hal menakutkan. Karena alat perantaranya telah melekat dihati".

Bagaimana dengan sandingan sayur kupat, apa mengandung makna tertentu juga? Disinggung soal itu, Marzuki menandaskan sayur pendamping kupat hanyalah selera lidah masyarakat. Tidak ada makna khusus karena biasanya sayur pendamping kupat disesuaikan dengan masakan khas daerah masing-masing.


Spoiler for buka:

Spoiler for buka:

Spoiler for buka:

Sumber : dari berbagai sumber

sekian cerita tradisi yang ane tahu, share juga tradisi di daerah agan ya
emoticon-Cendol (S)

budayakan cendol ya gan emoticon-Cendol (S)

Update dari agan2
Spoiler for Madiun:


Spoiler for Gorontalo:
Diubah oleh sandstone 02-08-2013 04:48
0
4.4K
47
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan