- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ahok Perlu Pendamping Pengacara


TS
hernawant
Ahok Perlu Pendamping Pengacara
Ahok Perlu Pendamping Pengacara
MELIHAT sepak terjang Wakil Gubernur DKI, Ahok selalu bikin kejutan. Omongannya yang ceplas-ceplos dan to the point kadang bisa membikin risih lawan bicaranya. Ahok tidak hanya sekedar ceplas-ceplos sembarangan dan asal bunyi, tapi selalu menyertakan hal-hal logis dari apa yang diomongkan. Dengan kata lain, apa yang diomongkan Ahok ada jalur logika kebenaran, rasionil dan masuk akal.
Sifat logis, praktis dan masuk akal itu menelanjangi basa-basi. Ungkapan bahasa yang belak-belok diganjal dengan logika dan penalaran. Masyarakat yang terbiasa dengan omongan penuh dengan bunga-bunga, belak-belok dan berkiasan kadang jadi mati kutu. Kita terbiasa untuk bicara mengambang. Semacam puisi. Sarat dengan penafsiran budaya. Hanya budaya tertentulah yang bisa menangkap isi kandungan arah pembicaraan. Bahasa tersurat diharapkan juga diterjemahkan apa yang tersirat. Bahasa menjadi sarat dengan kandungan emosi budaya.
Masyarakat juga terbiasa dengan bahasa-bahasa yang teoritis dan umum. Suka menggunakan kata-kata umum agar bahasan yang dikemukakan tidak terlalu langsung menukik pada sasaran. Mengharapkan lawan bicara mengerti dengan arah pembicaraan. Inilah yang menjadikan komunikasi bisa salah tangkap. Kadang pembicaraan tidak didukung oleh fakta tapi oleh rasa saling mengerti. Tanpa secara jelas diutarakan. Inilah paradoks komunikasi yang telah melanda sistem sosial kita. Kita diasumsikan untuk mengerti satu sama lain.
Kata-kata sudah banyak kehilangan makna. Apa yang diucapkan, belum tentu berlaku dalam kenyataan. Kata “preman” definisinya sangat luwes. Tidak mengacu pada definisi secara pasti. Kita sering mencari gampangnya memakai simbol-simbol yang tidak gampang dimengerti. Pernyataan-pernyataan sering bersifat umum dan tidak menukik pada definisi dan tindakan nyata. Orang bisa saja dengan enaknya bilang bahwa apa yang tidak benar secara hukum disebutnya sebagai preman.
Pernyataan para pejabat mengandalkan komunikasi paradoks ini. Pejabat membuat statemen bersifat umum untuk kalangan luas. Tanpa terdefinisi dengan jelas kandungan pernyataannya. Pengetahuan tentang keadaan yang berlaku di masyarakat tidak dipahami dengan baik. Atau mungkin saja dipahami dari sudut salah. Misalnya, pernyataan bahwa “polisi tidak membiarkan ormas yang bertindak liar” atau “negara ini negara hukum, siapapun yang melanggar hukum harus ditindak”. Dua pernyataan tersebut amat bersayab.
Polisi bisa saja benar-benar melaksanakan dengan menindak ormas yang bertindak liar. Bagaimana bentuknya, tergantung kita masing-masing untuk menterjemahkan. Mulai penangkapan hingga pembunuhan bisa dikategorikan sebagai tindakan menindak ormas yang bertindak liar. Polisi bisa berkelak dengan pernyataan yang sifatnya umum dan bersayab tersebut jika terjadi kesalahan atau mengundang protes dan kasus hukum. Demikian juga dengan pernyataan bahwa negara yang berdasar hukum. Bagaimana penegakan hukum di masyarakat dalam kenyataan juga tergantung pada interpretasi masing-masing orang.
Kita terbiasa mendengarkan dan memakai bahasa-bahasa bersayab. Memakai simbol-simbol yang kita akrabi secara sosial dan budaya. Kita sudah terbiasa untuk melakukan itu sejak kecil. Pikiran realistis belum menjadi kebiasaan. Kita sering bilang pada anak kecil, kalau makan harus dihabiskan kalau tidak ayamnya nanti mati. Anak perempuan kok senang keluyuran, tidak baik itu. Tidak “elok” atau tidak pantas secara adat dan budaya.
Lahirnya istilah pemimpin kayak Fir’aun adalah salah satu contoh pandainya masyarakat kita untuk memakai simbol-simbol budaya. Simbol-simbol yang amat bersifat umum dan menggeneralisasi sebuah pemikiran dan kenyataan. Biasnya komunikasi kita biarkan tanpa penjelasan.
Kita kehilangan daya kritis kita untuk berpikir secara realistis. Kita kehilangan kemampuan untuk bicara ceplas-ceplos menukik pada inti masalah sebenarnya dengan penalaran obyektif. Karena takut menyakitkan orang lain. Atau menghindari kesan omong kasar. Atau biar dianggap berpendidikan dan tahu sopan santun. Atau menganggap orang lain tahu apa yang dimaksud dengan simbol-simbol yang mengacu pada kebiasaan sosial dan budaya itu.
Ahok dan Pengacara
Bahasa kita telah kehilangan maknanya. Kita menjadi perasa dengan ungkapan-ungkapan bahasa. Karena bahasa tidak dipahami dan dihubungkan dengan kenyataan obyektif ketika berkomunikasi tapi faktor emosi kita kedepankan untuk menangkap simbol-simbol yang terkandung. Kepandaian menangkap simbol-simbol terkandung seolah menjadi tolok ukur pendidikan seseorang, tolok ukur kesopanan, pengetahuan, kepempiminan dan sebagainya. Ucapan yang sering ditujukan pada Ahok adalah, “Bapak sebagai pemimpin, sebaiknya hati-hati dalam bicara.”
Banyak kalangan salah mengerti dengan karakter Ahok. Gayanya dalam berkomunikasi (bicara) hampir selalu dihubungkan dengan karakternya sebagai pemimpin. Menilai obyektifitas dari apa yang diucapkan seolah tidak penting. Banyak yang lebih tertarik menghubungkannya dengan moral, adab, ras, tingkat pendidikan, kelayakan, kesopanan dan sebagainya yang tidak begitu punya hubungan secara kontekstual.
Penilaian yang tidak kontekstual tersebut makin membuka lebarnya jurang salah pengertian. Komunikasi menjadi melenceng dari sasaran dan obyeknya. Sementara tidak terdapat cacat hukum secara kontekstual. Masalah hanya menyangkut pada “rasa” budaya dan tidak pada masalah formal, realitis dan obyektif.
Jurang salah pengertian tersebut bisa mengarah pada kasus hukum yang tidak disebabkan oleh konteks pembicaraan tapi lebih bersinggungan dengan masalah kriminal atau delik aduan hukum yang berkaitan dengan pencemaran nama baik. Karena masing-masing mempertahankan pola komunikasinya masing-masing. Yang satu lugas, yang satu bersayab dan memakai simbol-simbol budaya yang mengacu pada kesopanan, moral, rasa hormat dan sebagainya. Aspek hukum inilah yang perlu disadari oleh Ahok.
Faktor lainnya yang perlu disadari adalah terjadinya ketidak-harmonisan komunikasi. Komunikasi menjadi bias dan tidak kena sasaran. Masing-masing mencari jalan sendiri tanpa didapat pengertian dan persetujuan bersama. Komunikasi yang tidak efektif akan menenggelamkan masing-masing pelaku. Karena pada akhirnya tidak lagi tercipta keinginan untuk berkomunikasi dalam menyelesaikan masalah. Karena masing-masing menganggap bahwa komunikasi yang dilakukan bagai membentur tembok.
Untuk itulah dipandang perlu adanya pihak ketiga sebagai penengah. Selama ini Jokowi bisa dipandang sebagai penengah antara karakter Ahok yang lugas dan ceplas-ceplos berhadapan dengan tuntutan masyarakat yang menghendaki sopan santun, hormat, beradab dan sebagainya yang diharapkan dari seorang pemimpin. Masyarakat umum di Indonesia masih belum berangkat dari pola pimpinan primordial. Kekuasaan masih dipandang sebagai sesuatu yang abstrak. Kekuasaan bukan hasil dari hubungan sosial tapi dari alam supernatural. Pemimpin harus bisa mengayomi masyarakat dan bersikap macam ratu adil. Seorang pemimpin yang ceplas-ceplos dan terkesan kasar adalah bukan cerminan pemimpin yang mandapatkan wahyu kepemimpinan.
Pihak ketiga sebenarnya bisa didapat dari pedamping yang tahu hukum. Seorang pengacara dalam bidang sesuai dengan obyek pembicaraan. Pengacara selain berfungsi penjaga gawang ranah hukum juga melindungi Ahok dari kesan kasar dan tidak tahu adab.
Usaha Ahok untuk merekam lewat video setiap pertemuan selain berfungsi sebagai notulen rapat hidup atau dokumentasi yang dipakai keperluan internal juga berfungsi sebagai perlindungan hukum jika terjadi kasus tuntutan hukum, maka video tersebut bisa diputar kembali untuk mencari kebenaran yang dikehendaki. Selain perekaman video, pengacara pendamping amat diperlukan agar arah pertemuan tidak melenceng dari masalah formal.
Pada awal rapat atau pertemuan yang secara potensial bisa mengundang krisis atau menyinggung kepekaan sosial (masalah PKL, misalnya), Ahok perlu menjelaskan bahwa rapat akan direkam lewat video dan dipantau oleh seorang pengacara hukum yang berkesesuaian dengan materi pembicaraan. Hal ini berfungsi untuk mempersiapkan mental peserta rapat agar secara sadar bahwa apa yang dibicarakan adalah menyangkut masalah formal dan tidak terlepas dengan jeratan hukum bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tidak menyangkut masalah sopan santun, adab, hormat dan sebagainya. Atau hal lain yang melenceng dari materi pembicaraan.
Dalam dunia pewayangan, seorang pemimpin yang didampingin oleh seorang resi - yang mewakili dunia moral dan sosial, lebih punya legitimasi kekuasaannya. Dan bahkan didampingi oleh para punakawan sebagai simbol rakyat. Jadi jika seorang pemimpin bicara maka ia tidak hanya sekedar bicara tapi dengan landasan hukum dan demi mengayomi masyarakat luas.
Bisa saja Ahok bilang bahwa ia bertindak berdasar atas konstitusi dan rela mati mempertahankan konstitusi, tapi tanpa didampingi oleh seorang pengacara yang disadari kehadirannya oleh peserta rapat, maka ucapan Ahok tidak akan punya dampak signifikan. Bisa dianggap sebagai ucapan gertak sambal dan penuh dengan arogansi atau motivasi pribadi. Ucapan membela konstitusi itu akan lebih bergaung jika seorang pengacara hadir di tengah mereka. Sehingga legimitasi hukum atas ucapan peserta rapat mendapat pengakuan bersama.
Kehadiran seorang pengacara pendamping juga berfungsi untuk sosialisasi kesadaran hukum masyarakat. Apa yang diucapkan dalam ranah sosial tidak terlepas dari jeratan hukum jika tidak hati-hati. Peserta pertemuan dihalangi untuk bicara tanpa arah dan kontrol karena dibatasi oleh kesadaran atas jaring-jaring hukum yang penegakan sanksinya diwakili oleh sosok pengacara dalam ruang rapat tersebut.
Kehadiran pengacara juga berfungsi sebagai pihak penjelas jika terjadi ketidak-jelasan akan masalah hukum yang terangkat dalam pertemuan. Tidak mungkin Ahok tahu dan menguasai semua hukum. Di sinilah peranan seorang pengacara bagi Ahok. Ia menyiratkan bahwa ia tahu hukum dan bertindak atas dasar hukum dan membela hukum.*** (HBS)
Sumber: http://hukum.kompasiana.com/2013/07/...ra-581094.html
MELIHAT sepak terjang Wakil Gubernur DKI, Ahok selalu bikin kejutan. Omongannya yang ceplas-ceplos dan to the point kadang bisa membikin risih lawan bicaranya. Ahok tidak hanya sekedar ceplas-ceplos sembarangan dan asal bunyi, tapi selalu menyertakan hal-hal logis dari apa yang diomongkan. Dengan kata lain, apa yang diomongkan Ahok ada jalur logika kebenaran, rasionil dan masuk akal.
Sifat logis, praktis dan masuk akal itu menelanjangi basa-basi. Ungkapan bahasa yang belak-belok diganjal dengan logika dan penalaran. Masyarakat yang terbiasa dengan omongan penuh dengan bunga-bunga, belak-belok dan berkiasan kadang jadi mati kutu. Kita terbiasa untuk bicara mengambang. Semacam puisi. Sarat dengan penafsiran budaya. Hanya budaya tertentulah yang bisa menangkap isi kandungan arah pembicaraan. Bahasa tersurat diharapkan juga diterjemahkan apa yang tersirat. Bahasa menjadi sarat dengan kandungan emosi budaya.
Masyarakat juga terbiasa dengan bahasa-bahasa yang teoritis dan umum. Suka menggunakan kata-kata umum agar bahasan yang dikemukakan tidak terlalu langsung menukik pada sasaran. Mengharapkan lawan bicara mengerti dengan arah pembicaraan. Inilah yang menjadikan komunikasi bisa salah tangkap. Kadang pembicaraan tidak didukung oleh fakta tapi oleh rasa saling mengerti. Tanpa secara jelas diutarakan. Inilah paradoks komunikasi yang telah melanda sistem sosial kita. Kita diasumsikan untuk mengerti satu sama lain.
Kata-kata sudah banyak kehilangan makna. Apa yang diucapkan, belum tentu berlaku dalam kenyataan. Kata “preman” definisinya sangat luwes. Tidak mengacu pada definisi secara pasti. Kita sering mencari gampangnya memakai simbol-simbol yang tidak gampang dimengerti. Pernyataan-pernyataan sering bersifat umum dan tidak menukik pada definisi dan tindakan nyata. Orang bisa saja dengan enaknya bilang bahwa apa yang tidak benar secara hukum disebutnya sebagai preman.
Pernyataan para pejabat mengandalkan komunikasi paradoks ini. Pejabat membuat statemen bersifat umum untuk kalangan luas. Tanpa terdefinisi dengan jelas kandungan pernyataannya. Pengetahuan tentang keadaan yang berlaku di masyarakat tidak dipahami dengan baik. Atau mungkin saja dipahami dari sudut salah. Misalnya, pernyataan bahwa “polisi tidak membiarkan ormas yang bertindak liar” atau “negara ini negara hukum, siapapun yang melanggar hukum harus ditindak”. Dua pernyataan tersebut amat bersayab.
Polisi bisa saja benar-benar melaksanakan dengan menindak ormas yang bertindak liar. Bagaimana bentuknya, tergantung kita masing-masing untuk menterjemahkan. Mulai penangkapan hingga pembunuhan bisa dikategorikan sebagai tindakan menindak ormas yang bertindak liar. Polisi bisa berkelak dengan pernyataan yang sifatnya umum dan bersayab tersebut jika terjadi kesalahan atau mengundang protes dan kasus hukum. Demikian juga dengan pernyataan bahwa negara yang berdasar hukum. Bagaimana penegakan hukum di masyarakat dalam kenyataan juga tergantung pada interpretasi masing-masing orang.
Kita terbiasa mendengarkan dan memakai bahasa-bahasa bersayab. Memakai simbol-simbol yang kita akrabi secara sosial dan budaya. Kita sudah terbiasa untuk melakukan itu sejak kecil. Pikiran realistis belum menjadi kebiasaan. Kita sering bilang pada anak kecil, kalau makan harus dihabiskan kalau tidak ayamnya nanti mati. Anak perempuan kok senang keluyuran, tidak baik itu. Tidak “elok” atau tidak pantas secara adat dan budaya.
Lahirnya istilah pemimpin kayak Fir’aun adalah salah satu contoh pandainya masyarakat kita untuk memakai simbol-simbol budaya. Simbol-simbol yang amat bersifat umum dan menggeneralisasi sebuah pemikiran dan kenyataan. Biasnya komunikasi kita biarkan tanpa penjelasan.
Kita kehilangan daya kritis kita untuk berpikir secara realistis. Kita kehilangan kemampuan untuk bicara ceplas-ceplos menukik pada inti masalah sebenarnya dengan penalaran obyektif. Karena takut menyakitkan orang lain. Atau menghindari kesan omong kasar. Atau biar dianggap berpendidikan dan tahu sopan santun. Atau menganggap orang lain tahu apa yang dimaksud dengan simbol-simbol yang mengacu pada kebiasaan sosial dan budaya itu.
Ahok dan Pengacara
Bahasa kita telah kehilangan maknanya. Kita menjadi perasa dengan ungkapan-ungkapan bahasa. Karena bahasa tidak dipahami dan dihubungkan dengan kenyataan obyektif ketika berkomunikasi tapi faktor emosi kita kedepankan untuk menangkap simbol-simbol yang terkandung. Kepandaian menangkap simbol-simbol terkandung seolah menjadi tolok ukur pendidikan seseorang, tolok ukur kesopanan, pengetahuan, kepempiminan dan sebagainya. Ucapan yang sering ditujukan pada Ahok adalah, “Bapak sebagai pemimpin, sebaiknya hati-hati dalam bicara.”
Banyak kalangan salah mengerti dengan karakter Ahok. Gayanya dalam berkomunikasi (bicara) hampir selalu dihubungkan dengan karakternya sebagai pemimpin. Menilai obyektifitas dari apa yang diucapkan seolah tidak penting. Banyak yang lebih tertarik menghubungkannya dengan moral, adab, ras, tingkat pendidikan, kelayakan, kesopanan dan sebagainya yang tidak begitu punya hubungan secara kontekstual.
Penilaian yang tidak kontekstual tersebut makin membuka lebarnya jurang salah pengertian. Komunikasi menjadi melenceng dari sasaran dan obyeknya. Sementara tidak terdapat cacat hukum secara kontekstual. Masalah hanya menyangkut pada “rasa” budaya dan tidak pada masalah formal, realitis dan obyektif.
Jurang salah pengertian tersebut bisa mengarah pada kasus hukum yang tidak disebabkan oleh konteks pembicaraan tapi lebih bersinggungan dengan masalah kriminal atau delik aduan hukum yang berkaitan dengan pencemaran nama baik. Karena masing-masing mempertahankan pola komunikasinya masing-masing. Yang satu lugas, yang satu bersayab dan memakai simbol-simbol budaya yang mengacu pada kesopanan, moral, rasa hormat dan sebagainya. Aspek hukum inilah yang perlu disadari oleh Ahok.
Faktor lainnya yang perlu disadari adalah terjadinya ketidak-harmonisan komunikasi. Komunikasi menjadi bias dan tidak kena sasaran. Masing-masing mencari jalan sendiri tanpa didapat pengertian dan persetujuan bersama. Komunikasi yang tidak efektif akan menenggelamkan masing-masing pelaku. Karena pada akhirnya tidak lagi tercipta keinginan untuk berkomunikasi dalam menyelesaikan masalah. Karena masing-masing menganggap bahwa komunikasi yang dilakukan bagai membentur tembok.
Untuk itulah dipandang perlu adanya pihak ketiga sebagai penengah. Selama ini Jokowi bisa dipandang sebagai penengah antara karakter Ahok yang lugas dan ceplas-ceplos berhadapan dengan tuntutan masyarakat yang menghendaki sopan santun, hormat, beradab dan sebagainya yang diharapkan dari seorang pemimpin. Masyarakat umum di Indonesia masih belum berangkat dari pola pimpinan primordial. Kekuasaan masih dipandang sebagai sesuatu yang abstrak. Kekuasaan bukan hasil dari hubungan sosial tapi dari alam supernatural. Pemimpin harus bisa mengayomi masyarakat dan bersikap macam ratu adil. Seorang pemimpin yang ceplas-ceplos dan terkesan kasar adalah bukan cerminan pemimpin yang mandapatkan wahyu kepemimpinan.
Pihak ketiga sebenarnya bisa didapat dari pedamping yang tahu hukum. Seorang pengacara dalam bidang sesuai dengan obyek pembicaraan. Pengacara selain berfungsi penjaga gawang ranah hukum juga melindungi Ahok dari kesan kasar dan tidak tahu adab.
Usaha Ahok untuk merekam lewat video setiap pertemuan selain berfungsi sebagai notulen rapat hidup atau dokumentasi yang dipakai keperluan internal juga berfungsi sebagai perlindungan hukum jika terjadi kasus tuntutan hukum, maka video tersebut bisa diputar kembali untuk mencari kebenaran yang dikehendaki. Selain perekaman video, pengacara pendamping amat diperlukan agar arah pertemuan tidak melenceng dari masalah formal.
Pada awal rapat atau pertemuan yang secara potensial bisa mengundang krisis atau menyinggung kepekaan sosial (masalah PKL, misalnya), Ahok perlu menjelaskan bahwa rapat akan direkam lewat video dan dipantau oleh seorang pengacara hukum yang berkesesuaian dengan materi pembicaraan. Hal ini berfungsi untuk mempersiapkan mental peserta rapat agar secara sadar bahwa apa yang dibicarakan adalah menyangkut masalah formal dan tidak terlepas dengan jeratan hukum bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tidak menyangkut masalah sopan santun, adab, hormat dan sebagainya. Atau hal lain yang melenceng dari materi pembicaraan.
Dalam dunia pewayangan, seorang pemimpin yang didampingin oleh seorang resi - yang mewakili dunia moral dan sosial, lebih punya legitimasi kekuasaannya. Dan bahkan didampingi oleh para punakawan sebagai simbol rakyat. Jadi jika seorang pemimpin bicara maka ia tidak hanya sekedar bicara tapi dengan landasan hukum dan demi mengayomi masyarakat luas.
Bisa saja Ahok bilang bahwa ia bertindak berdasar atas konstitusi dan rela mati mempertahankan konstitusi, tapi tanpa didampingi oleh seorang pengacara yang disadari kehadirannya oleh peserta rapat, maka ucapan Ahok tidak akan punya dampak signifikan. Bisa dianggap sebagai ucapan gertak sambal dan penuh dengan arogansi atau motivasi pribadi. Ucapan membela konstitusi itu akan lebih bergaung jika seorang pengacara hadir di tengah mereka. Sehingga legimitasi hukum atas ucapan peserta rapat mendapat pengakuan bersama.
Kehadiran seorang pengacara pendamping juga berfungsi untuk sosialisasi kesadaran hukum masyarakat. Apa yang diucapkan dalam ranah sosial tidak terlepas dari jeratan hukum jika tidak hati-hati. Peserta pertemuan dihalangi untuk bicara tanpa arah dan kontrol karena dibatasi oleh kesadaran atas jaring-jaring hukum yang penegakan sanksinya diwakili oleh sosok pengacara dalam ruang rapat tersebut.
Kehadiran pengacara juga berfungsi sebagai pihak penjelas jika terjadi ketidak-jelasan akan masalah hukum yang terangkat dalam pertemuan. Tidak mungkin Ahok tahu dan menguasai semua hukum. Di sinilah peranan seorang pengacara bagi Ahok. Ia menyiratkan bahwa ia tahu hukum dan bertindak atas dasar hukum dan membela hukum.*** (HBS)
Sumber: http://hukum.kompasiana.com/2013/07/...ra-581094.html
0
2.8K
25


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan