- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
[Masih mau nyapres???] Ical Versus Bobotoh


TS
Opick27
[Masih mau nyapres???] Ical Versus Bobotoh
Quote:
![[Masih mau nyapres???] Ical Versus Bobotoh](https://dl.kaskus.id/i1053.photobucket.com/albums/s469/memoarema1/aburizal-bakrie.jpg)
Quote:
INILAH, Bandung - Apa yang terjadi bila Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) berlangsung hari ini? Di Jawa Barat, bisa dipastikan calon yang diusung Partai Golkar, Aburizal Bakrie menderita kekalahan. Tak sedikit pemilih yang lari meninggalkannya hanya gara-gara persoalan sepele: wasit!
Wasit? Ya, wasit sepak bola. Hampir 5 juta jiwa bobotoh Persib, entah berapa persen di antaranya yang mempunyai hak pilih, akan memilih selain Ical.
Mereka tak sudi memilih Ical karena keluarga Bakrie ada di belakang Arema Cronous. Dan wasit, oleh bobotoh, dianggap menguntungkan Arema, terutama lewat kesalahannya pada laga Barito Putra lawan Persib beberapa waktu lalu.
Seusai kejadian itu, kalau kita lihat di berbagai sosial media, kemarahan terhadap wasit ditumpahkan tidak lagi dalam koridornya. Dia sudah melebar kemana-mana. Termasuk juga ke ranah politik. Ada yang menyarankan tidak memilih Ical, ada yang menyarankan tidak mencoblos Partai Kuning.
Tindakan bobotoh –atau kelompok pendukung klub manapun—terlihat naif. Di luar logika sehat. Bahkan di luar logika politik. Bagaimana mengaitkan Pilpres dengan Kompetisi ISL? Tapi, dengan fanatisme tingkat tinggi, semua logika dijungkirbalikkan oleh sentimen-sentimen semacam itu.
Tak perlu mencari kesalahan siapa-siapa. Tak perlu pula menyalahkan
pendukung klub sepak bola. Mereka memang tidak diajarkan bagaimana berpolitik yang baik. Mereka bahkan diajarkan bagaimana menyeret-nyeret politik ke lapangan hijau. Yang mengajarkan siapa lagi kalau bukan para politisi.
Ketika politik terhadap sepak bola kebablasan, maka tak ada lagi yang bisa menyelamatkan PSSI, organisasi sepak bola nasional itu. Sebab, tak satu pun pihak yang berpikir dengan latar belakang olahraga yang menjunjung sportivitas dan fairness. Yang ada adalah curiga-mencurigai, menduga bahwa sesuatu pasti ditunggangi kepentingan sesuatu.
Dalam setahun-dua ini, pikiran para penggemar bola dicekoki dengan politik. Bahwa PSSI Djohar Arifin sebelum rekonsiliasi ditunggangi Partai Demokrat, padahal di kepengurusannya ada juga orang PDIP. Bahwa kepengurusan Nurdin Halid mengusung kepentingan Partai Golkar, sementara di kepengurusannya bahkan juga ada orang Partai Demokrat. Bahwa KPSI adalah Partai Golkar karena dekat dengan Nirwan Bakrie, sementara Nirwan adalah adiknya Ical.
Penjejalan pemikiran-pemikiran politik praktis terhadap penggemar bola itulah yang membuat apapun yang terjadi di lapangan hijau saat ini, selalu dikaitkan dengan politik. Itu pulalah yang membelah dua penggemar bola.
Maka, konsekuensinya harus dihadapi pula oleh politisi sungguhan seperti Ical. Mungkin tidak masuk akal, tapi inilah fakta yang terjadi: popularitas dan elektabilitasnya di kalangan bobotoh melorot tajam. Tidak memilih bukan karena tak punya harapan pada Ical, melainkan hanya karena keluarga Bakrie –sedikit banyaknya—terkait Arema Cronous. [den]
Wasit? Ya, wasit sepak bola. Hampir 5 juta jiwa bobotoh Persib, entah berapa persen di antaranya yang mempunyai hak pilih, akan memilih selain Ical.
Mereka tak sudi memilih Ical karena keluarga Bakrie ada di belakang Arema Cronous. Dan wasit, oleh bobotoh, dianggap menguntungkan Arema, terutama lewat kesalahannya pada laga Barito Putra lawan Persib beberapa waktu lalu.
Seusai kejadian itu, kalau kita lihat di berbagai sosial media, kemarahan terhadap wasit ditumpahkan tidak lagi dalam koridornya. Dia sudah melebar kemana-mana. Termasuk juga ke ranah politik. Ada yang menyarankan tidak memilih Ical, ada yang menyarankan tidak mencoblos Partai Kuning.
Tindakan bobotoh –atau kelompok pendukung klub manapun—terlihat naif. Di luar logika sehat. Bahkan di luar logika politik. Bagaimana mengaitkan Pilpres dengan Kompetisi ISL? Tapi, dengan fanatisme tingkat tinggi, semua logika dijungkirbalikkan oleh sentimen-sentimen semacam itu.
Tak perlu mencari kesalahan siapa-siapa. Tak perlu pula menyalahkan
pendukung klub sepak bola. Mereka memang tidak diajarkan bagaimana berpolitik yang baik. Mereka bahkan diajarkan bagaimana menyeret-nyeret politik ke lapangan hijau. Yang mengajarkan siapa lagi kalau bukan para politisi.
Ketika politik terhadap sepak bola kebablasan, maka tak ada lagi yang bisa menyelamatkan PSSI, organisasi sepak bola nasional itu. Sebab, tak satu pun pihak yang berpikir dengan latar belakang olahraga yang menjunjung sportivitas dan fairness. Yang ada adalah curiga-mencurigai, menduga bahwa sesuatu pasti ditunggangi kepentingan sesuatu.
Dalam setahun-dua ini, pikiran para penggemar bola dicekoki dengan politik. Bahwa PSSI Djohar Arifin sebelum rekonsiliasi ditunggangi Partai Demokrat, padahal di kepengurusannya ada juga orang PDIP. Bahwa kepengurusan Nurdin Halid mengusung kepentingan Partai Golkar, sementara di kepengurusannya bahkan juga ada orang Partai Demokrat. Bahwa KPSI adalah Partai Golkar karena dekat dengan Nirwan Bakrie, sementara Nirwan adalah adiknya Ical.
Penjejalan pemikiran-pemikiran politik praktis terhadap penggemar bola itulah yang membuat apapun yang terjadi di lapangan hijau saat ini, selalu dikaitkan dengan politik. Itu pulalah yang membelah dua penggemar bola.
Maka, konsekuensinya harus dihadapi pula oleh politisi sungguhan seperti Ical. Mungkin tidak masuk akal, tapi inilah fakta yang terjadi: popularitas dan elektabilitasnya di kalangan bobotoh melorot tajam. Tidak memilih bukan karena tak punya harapan pada Ical, melainkan hanya karena keluarga Bakrie –sedikit banyaknya—terkait Arema Cronous. [den]
Quote:
Dengan popularitas Jokowi yang terus meroket, dan blunder besar di liga jeger sejagat, masih mau nyapres?? Persib bukan hanya milik Bandung, tapi juga Jawa Barat. Siap-siap aja seret kalo tetep jadi capres

SUMUR
Diubah oleh Opick27 31-07-2013 03:18
0
5.3K
Kutip
79
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan