- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Hidup Orang Malind di Papua Terancam, Pemerintah Didesak Hentikan Proyek MIFEE


TS
putroephang
Hidup Orang Malind di Papua Terancam, Pemerintah Didesak Hentikan Proyek MIFEE
JAKARTA - Sebanyak 27 Organisasi Masyarakat Sipil meminta Komisi CERD (Convention on the Elimination of Racial Discrimination atau Komisi untuk Mengurangi Diskriminasi Ras) di Jenewa, untuk melaksanakan prosedur peringatan dini dan mendesak Pemerintah Indonesia segera menghentikan proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) di Provinsi Papua.
Ke-27 organisasi masyarakat sipil tersebut bergerak di bidang hak asasi manusia dan hak atas lingkungan, yang berbasis di Indonesia, Inggris dan Jerman. Mereka menilai, Proyek pengembangan perluasan lahan untuk pangan tersebut akan mengancam kelangsungan hidup Orang Malind di Papua.
Atas persoalan itu, organisasi tersebut telah mengajukan surat permohonan sebanyak 40 paragraf kepada Komisi CERD. Surat permohonan itu berisi desakan dan rekomendasi kepada Komisi PBB, untuk memperhatikan dan mempertimbangkan situasi Orang Malind dan masyarakat adat lainnya, di wilayah pemerintahan Kabupaten Merauke, Provinsi Papua.
Meskipun Komisi CERD sudah mengungkapkan keprihatiannya tentang situasi di Papua, melalui surat yang disampaikan kepada misi permanen Indonesia untuk PBB pada September 2011, namun pemerintah Indonesia dianggap telah gagal mengambil langkah-langkah perbaikan dan situasi semakin memburuk dan mengancam keberlangsung hidup Orang Malind di Merauke.
Semenjak tahun 2007 hingga 2013, pemerintah telah menerbitkan Ijin Lokasi dan Rekomendasi untuk akusisi lahan demi kepada 80 perusahaan untuk berbagai jenis bisnis dalam proyek MIFEE dan proyek besar pembangunan jalan, jembatan dan kanal-kanal irigasi untuk mendukung pergerakan barang dan sumber daya ke dan dari proyek MIFEE.
"Orang Malind yang kehidupannya sangat tergantung pada tanah, kawasan hutan, padang dan rawa, telah megalami kesulitan dan terbatasnya akses untuk memanfaatkan sumber kehidupannya, terutama pangan. Perusahaan mengambil alih tanah-tanah masyarakat dengan cara curang manipulasi, dengan pemberian ganti rugi yang rendah sebesar Rp. 2000 hingga Rp. 300.000 per hektar untuk waktu selama 35 tahun," kata Y.L Franky, pimpinan Yayasan PUSAKA kepada acehonline.info, melalui email, Kamis (25/7).
Masyarakat Malind di sekitar perusahaan, Franky menjelaskan, kehilangan mata pencaharian atau menjadi 'buruh kasar' secara terpaksa dan dengan upah borongan yang nilainya dibawah standard hidup layak yakni Rp 70 ribu perhari.
Menurut Franky, orang Malind telah didiskriminasi dan dikalahkan oleh penduduk pekerja yang baru datang dalam jumlah yang besar. Perusahaan menggunakan aparat keamanan TNI/Polri melakukan tekanan dan tindakan kekerasan dalam proses negosiasi mendapatkan tanah, mengamankan dan memperlancar operasi perusahaan, menghadapi dan menghalangi protes warga.
Sementara itu Pengkampanye Pangan dan Energi Walhi, Mohammad Islah, turut mengingatkan ancaman bencana ekologis dari kegiatan pembangunan lahan pangan nasional itu.
"Eksploitasi pembongkaran hutan dan rawa skala luas yang ekstrim, serta menggusur tempat penting Orang Malind telah menimbulkan dampak besar sangat berarti bagi perubahan relasi masyarakat dengan kawasan hidupnya, mengancam kelangsungan kehidupan sosial ekonomi dan budaya Orang Malind, menurunnya kualitas dan daya dukung lingkungan alam," ujar Islah.
Iklim kekerasan yang meluas dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat di Papua, termasuk diskriminasi yang mengakar di semua tingkat masyarakat, menurut Islah, merupakan faktor buruk yang membuat situasi semakin mendesak dan ekstrim untuk melindungi masyarakat adat Papua, serta untuk mendapatkan perhatian dan pengawasan internasional.(sumber)
Hasil alam Papua habis dikeruk pemerintah pusat, masyarakat disana baju pun tak ada, cuma KOTEKA doank,,,,,

Ke-27 organisasi masyarakat sipil tersebut bergerak di bidang hak asasi manusia dan hak atas lingkungan, yang berbasis di Indonesia, Inggris dan Jerman. Mereka menilai, Proyek pengembangan perluasan lahan untuk pangan tersebut akan mengancam kelangsungan hidup Orang Malind di Papua.
Atas persoalan itu, organisasi tersebut telah mengajukan surat permohonan sebanyak 40 paragraf kepada Komisi CERD. Surat permohonan itu berisi desakan dan rekomendasi kepada Komisi PBB, untuk memperhatikan dan mempertimbangkan situasi Orang Malind dan masyarakat adat lainnya, di wilayah pemerintahan Kabupaten Merauke, Provinsi Papua.
Meskipun Komisi CERD sudah mengungkapkan keprihatiannya tentang situasi di Papua, melalui surat yang disampaikan kepada misi permanen Indonesia untuk PBB pada September 2011, namun pemerintah Indonesia dianggap telah gagal mengambil langkah-langkah perbaikan dan situasi semakin memburuk dan mengancam keberlangsung hidup Orang Malind di Merauke.
Semenjak tahun 2007 hingga 2013, pemerintah telah menerbitkan Ijin Lokasi dan Rekomendasi untuk akusisi lahan demi kepada 80 perusahaan untuk berbagai jenis bisnis dalam proyek MIFEE dan proyek besar pembangunan jalan, jembatan dan kanal-kanal irigasi untuk mendukung pergerakan barang dan sumber daya ke dan dari proyek MIFEE.
"Orang Malind yang kehidupannya sangat tergantung pada tanah, kawasan hutan, padang dan rawa, telah megalami kesulitan dan terbatasnya akses untuk memanfaatkan sumber kehidupannya, terutama pangan. Perusahaan mengambil alih tanah-tanah masyarakat dengan cara curang manipulasi, dengan pemberian ganti rugi yang rendah sebesar Rp. 2000 hingga Rp. 300.000 per hektar untuk waktu selama 35 tahun," kata Y.L Franky, pimpinan Yayasan PUSAKA kepada acehonline.info, melalui email, Kamis (25/7).
Masyarakat Malind di sekitar perusahaan, Franky menjelaskan, kehilangan mata pencaharian atau menjadi 'buruh kasar' secara terpaksa dan dengan upah borongan yang nilainya dibawah standard hidup layak yakni Rp 70 ribu perhari.
Menurut Franky, orang Malind telah didiskriminasi dan dikalahkan oleh penduduk pekerja yang baru datang dalam jumlah yang besar. Perusahaan menggunakan aparat keamanan TNI/Polri melakukan tekanan dan tindakan kekerasan dalam proses negosiasi mendapatkan tanah, mengamankan dan memperlancar operasi perusahaan, menghadapi dan menghalangi protes warga.
Sementara itu Pengkampanye Pangan dan Energi Walhi, Mohammad Islah, turut mengingatkan ancaman bencana ekologis dari kegiatan pembangunan lahan pangan nasional itu.
"Eksploitasi pembongkaran hutan dan rawa skala luas yang ekstrim, serta menggusur tempat penting Orang Malind telah menimbulkan dampak besar sangat berarti bagi perubahan relasi masyarakat dengan kawasan hidupnya, mengancam kelangsungan kehidupan sosial ekonomi dan budaya Orang Malind, menurunnya kualitas dan daya dukung lingkungan alam," ujar Islah.
Iklim kekerasan yang meluas dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat di Papua, termasuk diskriminasi yang mengakar di semua tingkat masyarakat, menurut Islah, merupakan faktor buruk yang membuat situasi semakin mendesak dan ekstrim untuk melindungi masyarakat adat Papua, serta untuk mendapatkan perhatian dan pengawasan internasional.(sumber)
Hasil alam Papua habis dikeruk pemerintah pusat, masyarakat disana baju pun tak ada, cuma KOTEKA doank,,,,,


0
2.8K
30


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan