Halo agan-agan semua yang baik hati, tidak sombong, rajin menabung, dan suka membantu orang tua. Panggil aja aku, Mike. Aku cuma pengen berbagi cerita tentang kehidupanku yang mungkin biasa-biasa aja, tapi banyak hal yang bener-bener ngubah hidup aku sampai sekarang.
Aku ga pinter-pinter amat ngungkapin sesuatu lewat tulisan. Tapi aku suka nulis. Walaupun ga ada orang yang baca tulisanku. Selama ini aku cuma nulis di kompie aku dan beberapa aku posting di web secara sembunyi-sembunyi. Nah, sekarang aku memberanikan diri posting tulisan-tulisanku di sini.
Ok deh. Perkenalannya lewat tulisan aku yang satu ini aja ya. Semoga berkenan.
Spoiler for sekapur tulis:
...sekapur tulis...
Sore ini sore yang tenang dan aku duduk dengan nyamannya di kantorku. Ruangan ukuran 3 x 5 meter yang dikelilingi tembok putih dengan sebuah jendela yang menghadap ke perumahan sederhana untuk masa depan alias kuburan. Ya, kalian nggak salah dengar. Kantorku emang tetanggaan sama kuburan. Untung aja nggak ada tetangga yang tiba-tiba ketok pintu kantorku dan bilang “boleh minta gulanya pak, saya kehabisan gula”. Cukup! Cukup! Jangan bikin aku jadi males ngantor. Kantorku bisa dibilang nyaman. Kalau siang bisa ngadem soalnya ada AC yang bikin aku males keluar ruangan untuk berjibaku melawan serangan gelombang panas. OK, aku emang lebay. Tapi, kota tempat aku kerja bukan lagi kota yang adem seperti waktu zaman engkong aku masih muda. Kalau siang panasnya bisa bikin keringat di kulit langsung nguap. Maksudku, nguap itu perubahan dari air menjadi gas, bukan nguap karena aku begadang nungguin bola yang ternyata pas pertandingannya main, aku malah molor.
Di depanku ada dua monitor komputer yang bikin seolah-olah monitor aku punya resolusi 2048 x 768. Disebelah monitorku ada setumpuk dokumen yang aku sendiri nggak tahu dari mana asalnya, tiba-tiba numpuk aja di mejaku. Blackberryku nggak diem-diem dari tadi pertanda ada bbm, email, sms, dan nofication facebook yang masuk. Tapi aku tetep cuek ngelanjutin kesibukanku yang sebenarnya nggak bisa disebut kesibukan juga sih. Di ujung ruangan, pas di depan jendela, temen sekantor aku, si Midun, lagi asyik cekakak cekikik sambil chatting. Aku lempar asbakku ke dia supaya dia diam. OK, itu terjadi dalam imajinasi aku. Sejujurnya, aku nggak terganggu ma suara dia yang kaya gorila kejepit pintu. Aku lebih terganggu lihat kelakuannya yang seenaknya sendiri. Lampu kantorku yang masih belum nyala walaupun jam di layar monitor aku udah nunjukin angka 5:25 PM bikin Midun tambah nggak kelihatan. Tersamarkan oleh kulitnya.
Inilah aku, cowok umur 28 tahun, si workaholic yang doyan pake baju warna item, jomblo, dan Milanisti sejati. Aku pekerja kantoran yang jam masuk kerja dan pulang kerjanya nggak tentu. Aku serius kali ini. Aku mau masuk jam 9 boleh. Mau masuk jam 10 juga boleh. Mau pulang jam 3 sore juga nggak masalah. Yang penting buat bosku, kerjaan kelar. Aku lebih suka kerja pas orang-orang udah mulai pulang. Seperti sekarang ini. Orang-orang udah santai di rumah, nonton TV, atau nongkrong sama temen-temennya, aku ma temen sekantor aku yang juga suka kerja di luar jam kantor masih nongkrongin kerjaan. Aku suka nonton film. Aku bela-belain tiap minggu ke kota tetangga buat nonton bioskop. Nasib kerja di kota kecil lah. Aku juga suka baca buku. Aku punya cita-cita bikin perpustakaan pribadi di rumah. Jadi, aku udah mulai nyicil beli-beli buku koleksi gitu deh. Aku pernah belanjain voucher belanja buku di salah satu toko buku senilai 1 juta dalam waktu 15 menit dan thanks God, masih harus nombok 200-ribuan. Hobi aku yang lain adalah travelling. Salah satu alasan aku bertahan di tempat kerjaku yang sekarang adalah aku bisa jalan-jalan keliling Indonesia bahkan sampai ke luar negeri kalau ada tugas dinas. Di bidang seni, aku bisa main piano dan gitar. Lumayan lah buat modal ngegaet cewek. Dan satu lagi, aku bersyukur banget kalau aku dianugerahi otak yang encer. Aku pernah dapat beasiswa untuk nyelesaiin program Sarjana aku pas di saat-saat genting aku nggak ada duit dan aku dapat beasiswa untuk gelar Masterku.
Aku dilahirkan bukan dari keluarga yang kaya. Keluargaku sederhana. Papi mami aku kerja keras buat biaya hidup aku sama adek aku. Mereka yang ngajarin aku hidup sederhana. Aku masih ingat waktu kecil dulu, kalau makan harus mikirin yang lain. Kalau pengen sesuatu, nggak boleh ngrengek-ngrengek minta barangnya langsung ada. Aku dibiasain sama papi mami aku, kalau pengen sesuatu harus memenuhi kewajiban aku dulu. Misalnya pas aku pengen sepeda, aku harus dapet nilai bagus dulu di caturwulan itu baru aku dibeliin sepeda. Itulah yang bikin aku sekarang punya pemikiran, kalau pengen sesuatu harus usaha dulu. Nggak bisa yang instan-instan aja. Aku punya adek satu, cewek. Dia baru nyelesaiin kuliahnya. Aku sama dia nggak begitu deket. Kata mami aku, waktu dulu adek aku lahir, aku malah cuek aja, tetep sibuk sama mainan aku. Tapi jangan salah, aku sayang banget sama adek aku. Nggak banyak yang bisa diceritain tentang keluarga aku. Yang pasti, aku bersyukur punya mereka sebagai keluarga aku.
Aku hidup penuh dengan mimpi-mimpi dan aku selalu berencana untuk menggapai mimpi-mimpi aku. Mimpi-mimpi yang akan ngebawa aku untuk satu tahap lebih maju dalam kehidupan aku. Salah satu hal penting yang aku pahami dari kehidupan ini adalah, pengalaman nggak bisa dibeli dengan uang. Dan pengalaman itu aku dapat dari orang-orang di sekitar aku, lingkungan aku, dan perjalanan aku melihat dunia. Saat aku melihat dunia, saat itulah aku melihat ke dalam diri aku sendiri.