- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
[BBM Competition] Sebuah Nama, Sebuah Cerita
TS
letnankimi
[BBM Competition] Sebuah Nama, Sebuah Cerita
Ini adalah cerita kelam gue. Cerita yang ingin gue tenggelamkan. Jauh, jauh ke dasar hati. Cerita perjalanan hidup gue yang membuat gue tidak lagi percaya akan adanya sahabat sejati. Tersebutlah sebuah nama, yang mengawali segala rasa, tetapi juga mengakhiri semuanya.
“Ada cerita tentang aku dan dia.
Dan kita bersama saat dulu kala.
Ada cerita tentang masa yang indah.
Saat kita berduka, saat kita tertawa.”
Peterpan – Semua Tentang Kita
Dan kita bersama saat dulu kala.
Ada cerita tentang masa yang indah.
Saat kita berduka, saat kita tertawa.”
Peterpan – Semua Tentang Kita
Spoiler for chapter1:
Cerita bermula di tahun 2006
Gue adalah seorang pelajar STM. Di tahun 2006, gue menginjak kelas XII. Gue punya teman, yang gue panggil dengan nama Tejosh. Bukan nama aslinya, tetapi gue sering manggil dia dengan nama itu. Karena apa? Karena dia adalah orang yang gue anggap sahabat dan dia senang dengan nama itu. Ya, sahabat. Sahabat dalam pemikiran anak berumur 18 tahun. Gue yang saat itu berumur 18 tahun, menganggap sahabat adalah teman yang terbaik. Terbaik dalam segala hal, dan harus diutamakan. Terlebih lagi gue sering baca komik dan melihat film yang bertema sahabat. Nah gue terpengaruh akan hal itu bahwa dalam bersahabat, susah senang harus dijalanin bersama.
Singkat cerita, waktu kelulusan sudah tiba. Kita lulus, walau dengan nilai yang seadanya. Gue senang, sekaligus sedih. Senang karena nantinya bisa bekerja dan membantu orang tua. Sedih karena gue harus berpisah dengan Tejosh. Gue dan Tejosh tidak dalam 1 kota. Jarak rumah kita kurang lebih ada 40km, dan gue waktu itu belum punya sepeda motor. Jadi, hanya saat sekolahlah kita bisa ngumpul bareng.
Di hari penerimaan ijasah, gue dan Tejosh masuk sekolah sekaligus melakukan salam perpisahan. Sedih, sedih banget. Gue harus berpisah dengan sahabat yang tiap harinya bercanda bareng, jajan bareng, ngerjain tugas bareng, hal itu tidak akan ada lagi mulai hari ini. Sebelum berpisah, gue kasih nomer HP yang baru gue beli sekitar 1 bulan lalu. Tetapi sayang, Tejosh tidak punya HP. Maklum, di tahun 2006 harga HP masih tergolong mahal. Akhirnya, bus menuju ke Magetan datang. Tejosh naik bus itu untuk pulang, dan gue menaiki sepeda federal gue untuk pulang.
Spoiler for chapter2:
1 bulan setelahnya, gue diterima bekerja di sebuah perusahaan di Madiun. Karena kesibukkan bekerja, gue lost contact dengan Tejosh. 6 bulan berlalu dan gue mulai bertanya “Kira-kira Tejosh gimana ya khabarnya?”. Tetapi gue hanya bisa bertanya. Gue ga tau letak rumahnya, dan Tejosh ga pernah menghubungi gue. Gue bertanya lewat SMS ke temen lain yang 1 kota dengannya, tetapi tidak ada yang memberikan info menggembirakan. Gue bahkan pernah berkirim salam lewat radio, berharap dia mendengarkan dan memberi khabar, tetapi nihil. Gue hanya bisa berdoa kepada Allah agar gue bisa bertemu dengannya.
Bulan ke 9. ada keajaiban. Ada temen sekolah bernama Anggit yang bekerja di perusahaan tempat gue kerja. Gue samperin dia, gue ajak ngobrol yang intinya gue nanyain alamat rumah Tejosh, dan ternyata dia tau. Gue minta dianter ke rumahnya pulang kerja nanti, dan dia bersedia.
Begitu pulang kerja, gue nunggu Anggit di depan. Tak lama kemudian, Anggit muncul dan gue segera naik duduk di jok belakang sepeda motornya. Perjalanan 30 menit telah ditempuh dan gue sampe di depan rumah Tejosh. Gue senang dan gue ingat dengan betul jalannya biar gue ga nyasar waktu ke sini lagi. Gue panggil nama Tejosh, tapi yang keluar bapaknya. Kata bapaknya, Tejosh lagi main bola di lapangan. Langsung gue dan Anggit susul ke sana.
Sesampai di sana, gue lihat Tejosh sedang bermain bola. Ya, Tejosh. Dia benar-benar ada di depan gue. Orang yang gue cari mati-matian, bahkan langitpun gue tanya, dan akhirnya dia ada di depan gue. Gue teriak, gue panggil namanya, dan dia menoleh ke gue.
“Hai Iosh! Hai Anggit!” sapanya sambil mendekat dan mengulurkan tangan.
Gue jabat tangannya dengan erat dan kita ngobrol sebentar.
Setelah puas, kita pamit pulang dan gue kasih nomer HP gue lagi karena kertas yang gue kasih dulu ternyata ilang. . Gue pulang naik bus karena Anggit tidak bersedia mengantar gue sampai rumah.
Malamnya, Tejosh SMS pakai nomer saudaranya, karena dia belum punya HP. Dari SMS itu, gue nanya macam-macam dan intinya, dia masih nganggur. Sangat butuh pekerjaan untuk biaya adiknya sekolah dan makan. Ayahnya menderita rabun sehingga tidak bisa bekerja, sementara ibunya baru saja ke luar negeri dan belum kirim uang sepeserpun. Buat makan sehari-hari ya seadanya.
Gue trenyuh. Sebagai sahabat, gue ingin menolongnya. Gue ingin nyariin info kerja buat dia.
Spoiler for chapter 3:
Besoknya, gue ke sekolah. Gue cari info lowongan pekerjaan, tetapi ga ada lowongan. Seminggu kemudian, gue ke sekolah lagi untuk cari info lowongan, dan ada! Ada sebuah lowongan di Jakarta, tetapi pendaftar diharuskan membayar 200 ribu sebagai uang pendaftaran. Gue jadi bimbang. Di satu sisi, ini pekerjaan yang Tejosh butuhkan, tapi di sisi lain, gue ragu apakah Tejosh punya uang segitu? Yah tidak ada salahnya untuk mencoba, akhirnya gue SMS Tejosh untuk memberitahukan hal ini, dan jawabannya adalah seperti yang gue pikirkan. Tejosh ga ada uang segitu buat biaya pendaftaran. Dan tak ada pilihan lain selain gue meminjaminya dulu.
Selayaknya test masuk perusahaan, pasti ada test tulis/ psikotestnya. Nah Tejosh mengaku bahwa dia kesulitan dalam test tulis, khususnya test yang ada gambar-gambarnya. Karena gue ga ingin Tejosh gagal, gue beliin dia buku psikotest buat dipelajari. Dan akhirnya saat hari test psikologi, dapat kita lewati dengan sukses.
Hal terberat yang terjadi adalah saat-saat menunggu pengumuman kelolosan antara test 1 dengan test berikutnya. Bayangkan saja, 1 bulan. Dan ada 3 test, jadi total kita harus menunggu selama 3 bulan lebih sampai pengumuman terakhir. Saat yang berat, mengingat Tejosh butuh banget pekerjaan. Di samping itu, lokasi pengumuman juga cukup jauh dari rumah kita sehingga kita, sering bolak-balik untuk melihat pengumuman dan menjalani test berikutnya. Saat seperti itu, HP saudara Tejosh rusak. Dan kita kesulitan dalam berkomunikasi. Yah sekali lagi gue berkorban. HP ibu gue pinjemin ke Tejosh selama 2 minggu, sementara nomer ibu gue non aktifin. Berat banget, benar-benar pengorbanan dan perjuangan yang sulit.
Satu persatu test dapat kita lewati sampai di test terakhir. Gue was-was. Khawatir salah satu di antara kita ga lolos. Seandainya saja ada salah satu yang tidak lolos, lebih baik gue saja yang tidak lolos. Hingga akhirnya tiba pengumuman terakhir. Sore itu, sepulang kerja, gue bela-belain untuk segera melihat hasil pengumuman. Terus terang, gue capek waktu itu. Selesai kerja langsung ke luar kota lagi untuk melihat hasil test. Tapi demi sahabat, gue rela berkorban. Dan ternyata, kita berdua lolos. Gue baca berulang-ulang saking tidak percayanya. Alhamdulillah. Pergorbanan gue dan doa gue dalam setiap Tahajud, dikabulkan oleh Allah. Gue langsung sujud syukur Gan di situ. Gue nangis. Senang banget. Apalagi besok gue ultah ke 20. Ini merupakan kado terindah dalam hidup gue. Gue langsung ke rumah Tejosh untuk memberitahukan khabar gembira ini.
Spoiler for chapter4:
Bulan pertama kost di Jakarta yang kebetulan pas bulan Ramadhan, kita jalani bareng-bareng. Mulai dari sahur dan buka bareng, beli ini itu buat keperluan makan, tidur, lemari, dll sampai jadwal bersih-bersih. Senang Gan bisa mandiri dan melakukan itu semua bersama sahabat. Ketawa bareng, berbagi cerita bareng, ke mall bareng, semua benar-benar menyenangkan.
Bulan ke 6, mulai timbul masalah kecil. Ada beberapa perbedaan yang membuat kita kadang tidak bisa kompak. Selain itu, uang gue yang 200 ribu buat bayar biaya pendaftaran juga belum dibalikkin. Gue bukannya memaksa agar dibalikkin, tapi setidaknya dia tahu diri. Perlu diketahui bahwa posisi dia kerja, lebih baik daripada gue. Gaji dia juga lebih besar dari gue bahkan pernah sampai 2x lipatnya. Tetapi kenapa mengembalikkan uang 200 ribu saja tidak bisa? Apakah memang tidak ada niat untuk itu? Terus terang, gue agak mengeluh.
Setahun berlalu, semakin banyak masalah kecil yang timbul. Ternyata Tejosh orang yang pelit. Dalam pengeluaran, lebih banyak gue daripada Tejosh, padahal itu adalah kebutuhan buat bersama. Contohnya saat lampu mati. Selalu gue yang keluarin uang buat ganti, di samping itu, gue juga yang beli ke warung. Gue ingat waktu itu pas lampu mati. Gue pulang kerja capek, kost dalam keadaan gelap, sedangkan Tejosh di dalam kost malah dengerin musik lewat HP sambil tiduran. Ga ada inisiatif sama sekali untuk beli lampu di warung. Akhirnya gue lagi yang beli. Kesel Gan, gue kesel banget!
15 bulan berlalu, gue sudah jarang ngobrol dengan Tejosh. Dulu makan selalu pergi ke warung bareng, sekarang gue milih untuk pergi sendiri. Dulu juga sering ngobrol bareng sebelum tidur, sekarang udah engga lagi. Gue memilih untuk diam dan asyik bermain game HP daripada ngobrol. Keadaan sudah berubah. Keadaan sudah tidak nyaman lagi untuk dijalani berdua. Tetapi gue masih memilih untuk tetap kost bareng.
Spoiler for chapter5:
Sekeras-kerasnya karang, bila terkena ombak akhirnya hancur juga. Begitulah keadaan 20 bulan kemudian. Keadaan sudah tidak bisa diperbaiki lagi, dan gue memilih untuk pindah kost. Kelakuan Tejosh sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Sudah terlalu banyak keluhan yang gue utarakan kepadanya agar dia memperbaiki diri, tapi ternyata cuma dianggap angin lalu saja. Kekesalan gue memuncak gara-gara masalah gallon.
Sebenarnya masalah ini sudah sering terjadi dan gue juga sering menasihati dia pelan-pelan. Tetapi hari ini kesabaran gue sudah habis. Tejosh punya kebiasaan suka menunda-nunda apa yang jadi tugasnya. Salah satunya adalah beli air gallon. Kita dulu sepakat bahwa untuk pembelian air gallon, kita buat gantian. Nah waktu gilirannya, dia suka menunda untuk beli air gallon. Ada aja alasannya, entah ga ada duit lah, entah udah keburu malam lah, dll. Lalu sudah barang tentu gue kena imbasnya yaitu, gue harus nahan haus. Atau gue harus rebus air sendiri, atau gue harus beli air mineral botolan biar gue bisa minum. Hal yang seharusnya ga perlu gue lakuin dan itu sungguh merugikan. Gue harus keluar duit lagi, harus capek-capek rebus air mentah. Dan hal yang bikin gue pindah kost adalah waktu itu air gallon habis, dan seperti biasa Tejosh belum beli. Gue hanya bisa diam dan untuk mengobati rasa haus, gue minum susu bantal yang gue dapat dari pabrik. Malam itu gue tidur. Tapi jam 2 petang gue bangun. Ya, bangun karena haus. Haus banget karena Jakarta memang panas malam itu. Gue butuh minum, tapi air gallon kosong. Asli, gue geram banget waktu itu. Gue ambil dompet, gue ambil uang lalu gue pergi ke warung dalam keadaan menahan kantuk. Gue ga tau, apakah masih ada warung yang buka di jam segini. Untungnya ada. Gue beli minuman dingin, gue minum sampai habis seketika, lalu gue pulang. Gue mikir, hidup gue sengsara banget di sini. Mau minum saja kesusahan. Dan malam itu, tekad gue untuk pindah kost sudah bulat. Persetan dengan namanya sahabat! Persetan dengan kenangan yang selama ini gue bela-belain agar gue masih bisa lebih bersabar. Semua sudah hilang. Semua sudah menghitam. Segelap malam ini.
Spoiler for chapter6:
Hal yang paling merugikan adalah kurang 4 bulan lagi kontrak kerja gue habis, tetapi gue harus pindah kost. Terus terang, gue harus keluar biaya untuk memulai dari 0 lagi. Tapi hal ini lebih baik daripada gue hidup sengsara. Ini adalah jalan terbaik yang gue pilih. Gue pengen nyaman, gue pengen tenang, walaupun sendirian.
Tiba akhirnya masa kontrak kerja habis. Waktu itu di tahun 2009, ada krisis global, dan pabrik gue kena dampaknya. Akhirnya tidak ada pengangkatan di bagian gue. Tetapi di bagian Tejosh ada pengangkatan, dan Tejosh diangkat pegawai tetap. Gue tersenyum kecut waktu menerima kenyataan ini. Tapi gue tetep stay cool saja. Gue anggap mungkin memang bukan rezeki gue dan mungkin Jakarta bukan termpat terbaik buat gue tinggal. Dan gue pun pulang kampung di Madiun.
1 bulan kemudian, Tejosh SMS gue. Intinya dia minta maaf atas kesalahan yang pernah dia buat. Tapi sudah terlambat. Hati gue sudah membeku terhadapnya. Segala kebaikkan yang pernah gue berikan, dibalas dengan rasa sakit. Ya, sakit sekali hati gue setiap mengingat hal itu. Dia SMS lagi dan masih ga gue bales. Dia coba telephon, gue reject. Dia telephon lagi, gue matiin HP gue. Dan setiap dia SMS, ga pernah gue bales.
1 tahun berlalu, di hari Idul Fitri tahun 2010, gue masih ingat. Dia ngajak ketemuan. Dia pengen banget ketemu gue, bisa jabat tangan gue, bisa minta maaf, tetapi gue tolak. Gue bilang, “Buat apa ketemu? Untuk apa? Ketemu loe malah bikin gue terluka. Udahlah, gue pengen tenang di sini. Tolong ngertiin hal itu.”
Beberapa hari kemudian, dia SMS lagi. Dia pamit ke gue kalo liburan sudah habis dan dia mau balik ke Jakarta. Dia pengen banget ketemu sama gue lagi. Untuk terakhir sebelum dia balik. Huff. Gue serba salah. Gue ga balas SMSnya lagi. Dia SMS lagi. Dia minta maaf lagi sebelum dia berangkat, dia minta doa restu biar perjalanan ke Jakarta selamat sampai tujuan.
“Iosh, gue cuma minta kata maaf darimu sebelum balik ke Jakarta. Gue tau salah gue banyak. Gue tau gue utang budi ke loe. Tapi Iosh, apakah hatimu sudah benar-benar tertutup buat maafin gue? Iosh kereta gue sebentar lagi datang. Gue ga minta loe datang di sini untuk nemuin gue, gue cuma minta loe ngasih gue maaf. Lewat SMS saja sudah lebih dari cukup dan melegakan.”
Hati gue berontak. Gue luluh baca SMSnya. Tetapi ego gue masih ga ingin dikalahkan. Gue diem. Lama, ada 10 menit. Gue ingat lagu Dewa yang gue sukai. Liriknya seperti ini: Bila kamu bisa tuk memaafkan atas kesalahan manusia, yang mungkin tak bisa dimaafkan. Tentu Tuhan pun akan memaafkan atas dosa yang pernah tercipta, yang mungkin tak bisa diampuni.Gue menghembuskan nafas dengan keras, dan akhirnya gue bales SMSnya: “Iya Gus, gue maafin loe.”
Lalu dia balas lagi: “Alhamdulillah Iosh, akhirnya loe mau maafin gue. Kenapa loe manggil gue pake nama asli gue? Biasanya loe manggil gue dengan nama Tejosh?”
“Buat gue, Tejosh adalah nama yang tidak ingin gue ingat lagi. Sebuah nama di masa lalu yang ingin gue tenggelamkan dan berharap tidak pernah muncul di permukaan. OK cukup. Gue sudah maafin loe dan sebaiknya tidak usah dibahas terlalu jauh. Dan selamat jalan semoga selamat sampai tujuan.”
Spoiler for chapter7:
Lebaran tahun 2011 datang dan Tejosh masih ingin sekali mengajak gue ketemuan. Malam itu dia SMS ngajak gue ketemuan di alun-alun kota.
“Sekali ini saja, ini niat baik gue, dan jangan ditolak.”
Gue nyerah. Dan gue menyetujuinya. Gue sadar bahwa Allah tidak suka pada hambaNya yang memendam dendam terlalu lama padahal salah satu sudah minta maaf duluan.
Akhirnya, gue dan Tejosh ketemuan di warung lesehan di pinggiran alun-alun.
Ini adalah pertama kalinya gue bisa bertatap muka langsung dengannya setelah 2 tahun gue ga bertemu –atau lebih tepatnya ga ingin bertemu. Dia ngulurin tangan, gue sambut uluran tangannya.
“Apa khabar Iosh? Met Idul Fitri. Maaf lahir bathin ya.” sapanya.
“Baik Gus, maaf lahir bathin juga” jawab gue. Gue tau ada mimik kecewa di wajahnya, tetapi gue cuek. Kita akhirnya pesen mie ayam dan makan bareng. Kali ini dia lebih sering ngajakin gue ngobrol. Gue jawab ala kadarnya. Gue ga berniat untuk mengakrabkan diri.
“Loe masih nganggap gue sahabat?”
“Engga, hanya teman, seperti yang lainnya.”
“Kenapa?”
“Loe sudah tau jawabannya.”
“Loe masih marah ke gue?”
“Engga, gue udah maafin loe.”
“Loe berubah Iosh, ga seperti dulu.”
“Gue masih sama seperti dulu, gue masih ceking kayak dulu. Gue masih cakep kayak dulu juga.”
“Sikap loe sudah berubah.”
“Sikap gue yang mana? Jangan sok tau!”
“Loe ga asik seperti dulu.”
“Emang asik yang bagaimana?”
“Loe dulu suka banget ngobrol dan bercanda sama gue, tapi sekarang lebih banyak diam.”
“Lebih baik begini, yang penting gue masih menganggap loe teman kan?”
“Bukan sahabat?”
“Sahabat itu tidak ada. Gue udah ga percaya dengan yang namanya sahabat.”
“Gue juga?”
“Iya, loe juga gue anggep temen. Temen biasa. Yang bila ada gue ajak ngobrol tetapi bila ga ada ga gue cari.”
“Ya sudah.”
Akhirnya kita lanjutin makan dan pulang.
Spoiler for chapter8:
Lebaran di tahun 2012 datang dan Tejosh ngajak gue ketemuan.
“Apa khabar Iosh? Met Idul Fitri. Maaf lahir bathin ya.” sapanya.
“Baik Gus, maaf lahir bathin juga” jawab gue. Dan gue akan selalu manggil pakai nama ‘Gus’.
“Keluargamu gimana?”
“Sehat. Keluargamu sendiri?”
“Sehat Iosh, ohya, bapakku nanyain loe,”
Deg. Ada hantaman keras di hati gue saat mendengarnya. Gue ingat dulu waktu sering ke rumah Tejosh. Gue ngobrol sama bapaknya, dan sekarang beliau nanyain gue.
“Nanyain apa?”
“Koq loe ga pernah main ke rumah lagi. Apa sibuk sekali sampai ga sempat mampir?”
Gue diam, gue bingung mau jawab apa. Gue sudah merenggangkan tali silaturahmi. Gue bersalah.
“Iya sori. Mungkin tahun depan gue usahain main ke rumah loe.”
“Janji?”
“Mungkin, gue ga bisa janji.”
“Dulu loe pernah bilang ke gue Iosh, gue ingat kalau kita lolos ke Jakarta, loe mau ngajak main gue ke Sarangan. Kapan?”
Sial… masih ingat aja janji polos gue buat menyemangati waktu test dulu. Tapi keadaan sudah berubah walaupun gue ingat gue berjanji seperti itu. Dan gue bukan tipe cowok yang suka ingkar janji.
“Motor gue ga kuat buat naik gunung,” gue beralasan.
“Pakai motor gue bisa,” jawab Tejosh.
“Iya tapi lain kali saja ya. Masih banyak waktu.”
“Ya sudah.”
Akhirnya sate pesanan datang dan kita makan sejenak.
“Gue pengen keluar dari kerja.”
“Kenapa?” jawab gue kaget.
“Pengen tinggal di Magetan saja ngurus orang tua. Adik gue udah betah tinggal di Tangerang, sedangkan orang tua di rumah sendirian. Gue sebagai anak mau berbhakti.”
“Trus, mau kerja apa? Loe tau kan cari kerja susah.”
“Mau jadi PNS”
Anjrit, gue mau dengernya. “PNS testnya sulit. Ribuan peminat, dan ujung-ujungnya duit.”
“Kalau ga dicoba ga akan tau hasilnya.”
“Loe STM bisa apa jadi PNS?”
“Gue mau kuliah juga.”
“Hah? Sanggup?”
“Iya udah gue niatin.”
“Ya sudah, gue cuma bisa mendoakan.”
anasabila memberi reputasi
1
2.3K
Kutip
5
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan