Kaskus

News

citoxsonAvatar border
TS
citoxson
Ketika 'Profesi' Mengemis Hasilkan Duit Lebihi Manager di JKT, Bunuh2an bisa Terjadi
Ketika 'Profesi' Mengemis Hasilkan Duit Lebihi Manager di JKT, Bunuh2an bisa Terjadi

Pengemis Musiman Bulan Ramadan
Persaingan Pengemis di Istiqlal, Ancam Saling bunuh
Kamis, 18 Juli 2013 06:15:00

Persaingan mencari rezeki dan pengaruh memang tak pernah memandang profesi. Termasuk di dalam dunia pengemis sekalipun. Pengemis senior menjadi penguasa wilayah. Bumbu persaingan pun diwarnai ancaman pembunuhan. Seperti dituturkan Atika (40), pengemis yang merasa terganggu oleh ulah rekan seprofesinya, yang disebutnya Mama Zahra. Atika menganggap Mama Zahra, bermulut besar dan suka mengaku sebagai orang terlama di Masjid Istiqlal. "Saya nih yang paling lama. Tanya sama yang lainnya. Saya dari 2003 sudah di sini," kata Atika saat berbincang dengan merdeka.com di Masjid Istiqlal, Jakarta, Rabu (17/7).

Atika pun menceritakan kalau saingannya itu kerap mengambil jatah pengemis lain, hingga mencuri barang-barang di masjid. "Dia berantem sama office boy, berebutan botol aqua sekardus, dia bawa lari tuh. Kalau ada yang kasih Rp 100.000 dia enggak mau bagi-bagi, padahal itu kan buat semua," ucap Atika berapi-api. Wanita asal Citayam, Depok itu, mengaku pernah mencakar muka Mama Zahra, setelah ada seseorang mengaku mau membunuhnya karena disuruh Mama Zahra. "Dia kasih orang gila uang Rp 100.000 buat bunuh saya. Orang gilanya ngaku sama saya, untung enggak jadi bunuh saya. Saya samperin dia, saya cakar mukanya sampai beset-beset," cerita Atika sambil marah-marah.

Selain Atika, Devi, pengemis yang baru mangkal beberapa bulan terakhir di Masjid Istiqlal pun mengaku pernah ditipu oleh Mama Zahra. "Dia bilang katanya anak dia dapat Rp 250.000 sumbangan anak yatim. Padahal dia anaknya bukan yatim. Saya juga mau saya temui pengurus minta tapi enggak dapat," tutur wanita yang ditinggal mati suaminya ini. Di sore itu, keduanya memang bergosip sambil sesekali memerintahkan anaknya untuk tidak meleng mencari rezeki. Mereka adalah sebagian kecil dari banyaknya pengemis musiman di bulan Ramadan ini. Masjid Istqlal mereka anggap sebagai tempat mencari rezeki terbaik di bulan suci Ramadan.
http://www.merdeka.com/peristiwa/per...n-ramadan.html

Pengemis sekedar 'professi', tapi gaya hidup?
Samalah dengan ente yang suka resto instant ala Amrik!

Ketika 'Profesi' Mengemis Hasilkan Duit Lebihi Manager di JKT, Bunuh2an bisa Terjadi
Ketika 'Profesi' Mengemis Hasilkan Duit Lebihi Manager di JKT, Bunuh2an bisa Terjadi
Ketika 'Profesi' Mengemis Hasilkan Duit Lebihi Manager di JKT, Bunuh2an bisa Terjadi
Seorang pengemis dan anaknya. Siang mengemis, sore usai lelah,
perlu santai dan santap malam bersama keluarga di restoran Amerika



Penghasilan Pengemis di Jakarta Lebih Besar dari Manajer
Rabu, 26 Juni 2013 04:31:00

Dengan muka memelas mereka menyusuri jalan-jalan Jakarta yang berdebu. Menadahkan tangan meminta sedekah. Sebagian tampil dengan anggota tubuh tak lengkap, sebagian lagi membawa bayi mungil yang dekil dalam gendongan. Penampilan para pengemis itu mengundang iba. Selembar seribu atau dua ribuan dengan ikhlas direlakan para dermawan untuk mereka. Benarkah para pengemis yang setiap hari lalu lalang itu hidup menderita? Ternyata tidak semua.

Petugas Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan menemukan fakta mengejutkan. Dalam sehari, pengemis di Jakarta bisa mengantongi penghasilan sekitar Rp 750 ribu hingga Rp 1 juta. "Kalau yang segitu biasanya didapat pengemis dengan tingkat kekasihanan yang sangat sangat kasihan. Seperti pengemis kakek-kakek atau ibu-ibu yang mengemis dengan membawa anaknya," ujar Kepala Seksi Rehabilitasi Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan, Miftahul Huda saat ditemui di kantornya, Selasa (25/6). Kemudian, lanjutnya, untuk pengemis dengan tingkat kasihan yang standar atau biasa saja dalam sehari bisa mendapatkan sekitar Rp 450 ribu hingga Rp 500 ribu. "Itu seperti anak-anak jalanan yang saat mengemis mengandalkan muka memelas," tuturnya.

Satu hari Rp 1 juta, kalikan 30 hari. Pengemis ini bisa dapat Rp 30 juta per bulan. Bermodal perkusi dari tutup botol, anak-anak jalanan mengantongi Rp 12 juta lebih. Maka silakan bandingkan dengan gaji manajer di Jakarta. Penelusuran merdeka.com, gaji manajer di Jakarta rata-rata berkisar Rp 12 hingga 20 jutaan. Gaji pemimpin cabang sebuah bank rata-rata Rp 16 juta. Sementara Kepala Divisi Rp 20 juta. Rata-rata butuh waktu sekitar tujuh tahun bagi seorang profesional mencapai level manajer. Tak mudah mencapai posisi itu.

Untuk fresh graduate atau sarjana yang baru lulus dan tak punya pengalaman kerja. Kisaran gajinya Rp 2 juta hingga Rp 3,5 juta. Jika beruntung, ada perusahaan yang mau memberi hingga di atas Rp 4 juta. Tapi sangat jarang. "Saya kerja jadi teller di bank. Sudah lima tahun, paling bawa pulang Rp 4 juta. Kaget juga dengar pengemis bisa dapet belasan sampai Rp 30 juta," kata Rani, seorang pegawai bank pemerintah saat berbincang dengan merdeka.com.

Luar biasa memang. Gaji seorang manajer kalah oleh pengemis. Teller bank yang selalu tampil cantik dan modis, gajinya hanya sepertiga anak jalanan yang bermodal tampang memelas. "Karena pendapatan yang terbilang fantastis itulah, para pengemis enggan beralih profesi. Cukup bermodal tampang memelas, tanpa skill apapun mereka bisa dapat uang banyak dengan mudah," kata Miftahul Huda. Dia menambahkan maraknya pengemis dan gelandangan yang tersebar di Ibukota disinyalir sudah teroganisir. Diduga ada sindikat yang mengatur kelompok pengemis yang kerap mendrop mereka di suatu tempat untuk kemudian 'beroperasi' di wilayah yang telah ditentukan. "Kita pernah menelusuri ke kampung halamannya. Dan memang nyatanya mereka punya rumah yang bisa dibilang lebih dari cukuplah di kampungnya itu. Itu fakta yang kita dapatkan," jelas Miftahul.

Untuk itu, Miftahul mengimbau kepada masyarakat yang ingin memberikan sumbangan menyalurkan ke tempat yang tepat. "Dengan menyalurkan ke badan zakat yang resmi, akan disalurkan ke yang berhak menerimanya. Dan secara otomatis ini mengurangi pengemis, karena tidak ada yang mau memberi di jalan," tandasnya.
http://www.merdeka.com/peristiwa/pen...i-manajer.html

Ketika 'Profesi' Mengemis Hasilkan Duit Lebihi Manager di JKT, Bunuh2an bisa Terjadi

Pengemis Musiman Bisa Dapatkan Rp 4 juta Sebulan
Jumat, 19 Juli 2013 | 19:39

Jakarta - Masyarakat diimbau tidak memberikan uang atau sekedah di jalan selama Ramadan ini. Hal ini untuk mengurangi maraknya pengemis musiman di bulan Ramadan yang jumlah diperkirakan lebih dari 2.000 orang setiap tahunnya. Menurut Direktur Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial Sonny W Manalu gelandangan pengemis (gepeng) musiman adalah seseorang atau sekelompok orang dimana pada saat tertentu. Mereka meyakini dapat uang dengan pergi dari kampung ke kota untuk mengemis dengan target kumpulkan uang untuk memenuhi keinginan. Hal ini erat kaitannya dengan kemiskinan dan moralitas.

Kemsos lanjutnya hanya memiliki domain di gepeng permanen. Gepeng musiman melibatkan tanggungjawab pemerintah daerah. "Jelang Ramadan seharusnya dibuka program kerja padat karya. Sehingga tidak ada lagi alasan paceklik ketika ada program padat karya," ungkapnya. Dari hasil penelusuran Sonny, gepeng musiman rata-rata memiliki target uang yang cukup besar bisa mencapai Rp 4 juta selama Ramadan. Bahkan gepeng musiman ada yang berkelompok dan dikoordinir.
http://www.beritasatu.com/aktualitas...a-sebulan.html

Ketika 'Profesi' Mengemis Hasilkan Duit Lebihi Manager di JKT, Bunuh2an bisa Terjadi


Membongkar Mafia Pengemis
Mengemis di Kota, Hidup Mewah di Desa
Kamis, 08/09/2011 17:02 WIB

Jakarta - Gang-gang sempit dengan rumah yang saling berhimpitan menjadi pandangan khas di Kebon Singkong, Kelurahan Klender, Jakarta Timur. Inilah kampung pengemis. Ada sekitar 3 RW di kawasan ini. Warga yang tinggal di Kebon Singkong kebanyakan pendatang. Mayoritas mereka berasal dari Indramayu, Jawan Barat. Dulunya kawasan padat penduduk ini hanyalah hamparan kebun singkong. Namun sejak tahun 1980-an perlahan-lahan rumah semi permanen dibangun menggantikan tanaman singkong. “Sampai sekarang meski perkebunan singkong sudah tidak ada, kampung ini tetap disebut Kebon Singkong,” kata Yayan, tokoh pemuda di Jakarta Timur.

Seiring perkembangan, daerah Kebon Singkong menjadi kawasan padat dan ramai. Bahkan kawasan ini belakangan dilabeli "danger" sebab banyak residivis yang bersembunyi dan tinggal di kawasan ini. Selain dikenal sebagai daerah yang rawan kriminalitas, daerah ini juga disebut-sebut sebagai kampung jablay. Dulu banyak perempuan penghibur yang sering mangkal di lokalisasi Prumpung, Jatinegara, mengontrak di daerah ini. Namun seiring meredupnya lokalisasi Prumpung, para pekerja seks komersial (PSK) yang tinggal di daerah tersebut perlahan berkurang. Sekarang di Kebon Singkong banyak dihuni para pengemis. Mereka adalah warga Indramayu. “Setiap bulan puasa ratusan orang dengan menumpang truk datang ke sini mengontrak rumah," ujar Berra Hanson, warga Kebon Singkong, kepada detik+. Hanson yang memiliki 20 petak kontrakan mengaku kecipratan untung setiap bulan puasa. Sebab seluruh kontrakannya penuh terisi. Padahal bulan biasa paling hanya terisi separuhnya. Para pengontrak itu adalah pengemis yang rutin beroperasi di wilayah Menteng dan Jatinegara.

Tarif kontrakan milik Hanson bervariasi. Untuk petakan yang ada di bawah yang ukurannya 3x6 meter dipatok Rp 350 ribu-Rp 500 ribu per bulan. Untuk petakan yang di atas yang ukuranya lebih kecil harga sewa yang dikenakan Rp 150 ribu- Rp 250 ribu. Harga-harga itu sudah termasuk biaya listrik. "Biar pengemis mereka bayar kontrakan selalu tepat waktu. Dan mereka membayar dengan uang pecahan seribuan hasil mengemis. Sudah diiketin duitnya sama mereka," celetuk Hanson sambil tersenyum. Di Kebon Singkong, terdapat ratusan kontrakan yang dihuni para pengemis. Kalau bulan puasa tiba, jumlahnya makin banyak lagi. Sekitar 200-300 orang menyusul datang.

Para pengontrak tinggal dengan peralatan seadanya. Paling hanya tikar dan kasur lipat. Tidak ada perabot-perabot yang mewah. Padahal pendapatan mereka rata-rata per hari bisa dibilang lumayan. Mereka bisa mendapatkan uang paling kecil Rp 200 ribu per hari. "Seorang pengemis yang ngontrak di saya bilang, paling apes mereka dalam sehari dapatnya Rp 200 ribu per hari. Tapi umumnya mereka dapat uang sekitar 500 ribu-Rp 600 ribu per hari," ujar Hanson. Omongan Hanson bukan isapan jempol belaka. Sebab beberapa waktu lalu seorang nenek-nenek buta yang menghuni kontrakan miliknya mengaku kehilangan celengan. Nenek itu bilang uang yang ada di dalam celengan jumlahnya Rp 900 ribu hasil mengemis selama 4 hari sebelumnya. "Bayangin aja dalam 4 hari saja nenek itu bisa menabung Rp 900 ribu. Kalau sebulan bisa dapat berapa duit itu nenek," kata pria asal Medan itu.

Sekalipun dapat duit banyak dari mengemis, namun kehidupan mereka di kontrakan seperti orang tidak punya. Sebab uang hasil mengemis biasanya secara rutin dikirim ke kampung untuk beli sawah dan membangun rumah. Hanson mengaku pernah melihat rumah-rumah mereka saat menghadiri kondangan warga setempat yang menggelar acara khitanan anaknya di daerah Haur Geulis, Indramayu. Saat datang ikut hajatan di sana ia ditunjuki rumah para pengemis yang ngontrak di Kebon Singkong. Alangkah terkejutnya Hanson karena ternyata rumah mereka di kampung besar dan rapi. Bahkan saat dia bertamu melihat perabotannya sangat wah. "Kamar mandi saja ada bathtubnya. Malah ada yang punya kolam renang segala," kata Hanson takjub.

Dari situlah Hanson dan sejumlah warga di Kebon Singkong maklum mengapa dari waktu ke waktu, warga dari Indramayu banyak berdatangan. Mereka ingin mengikuti jejak saudara atau tetangganya yang bisa hidup wah di kampung hanya dengan mengemis. Nuki Senan, juga warga setempat, menjelaskan para pengemis yang tinggal di Kebon Singkong kebanyakan orang-orang tua, cacat dan anak-anak. Sementara bapak-bapak atau ibu-ibunya bertugas mengawasi dan mengantar jemput para pengemis. Mengapa demikian? Sebab bila yang mengemis adalah orang buta atau anak-anak biasanya mendapat uang banyak. Kalau orang dewasa apalagi dalam kondisi normal dapatnya sedikit. "Dapat Rp 30 ribu per hari saja sudah syukur," ujar Nuki. Jangan heran jika orang-orang dewasa berasal dari desa tempat tinggal pengemis lebih menggantungkan ekonomi kepada anak-anaknya. Mereka disuruh mengemis. Hanya orang dewasa yang cacat yang justru mencari uang sendiri karena kondisi itu akan menerbitkan empati. Demi mendapat empati, maka banyak orang buta di Kebon Singkong tidak mau diobati. Mobil-mobil pelayanan penyakit katarak yang sempat datang ke daerah itu selalu sepi peminat. "Mereka (orang buta) tidak mau diobati. Sebab kebutaan mereka anggap sebagai aset untuk mengemis. Begitu juga yang cacat," ujar Nuki.

Begitu berharganya orang buta di kalangan pengemis sampai-sampai antar sesama pengemis sering berselisih. Mereka berupaya mendapatkan mobil, ini merupakan istilah untuk orang buta yang mengemis. Terkadang terjadi persaingan harga sewa bagi pengemis buta ini. "Di sini pengemis buta banyak yang beristri lebih dari satu orang. Mereka (orang buta) jadi rebutan karena dianggap sebagai aset untuk dapat uang," terangnya. Sekalipun wilayahnya banyak dihuni para pengemis, namun warga setempat yang bukan pengemis tidak merasa terganggu bila dicap sebagai kampung pengemis. Pasalnya, warga bisa ikut meraup berkah dari para pengemis itu. Paling tidak, kata Nuki, warung atau rumah petakan jadi laku. Hubungan simbiosis mutualisme antara pengemis dan warga membuat hubungan bertetangga di Kebon Singkong berjalan harmonis. "Mereka tidak banyak berulah karena mereka kebanyakan menghabiskan waktunya di luar. Datang ke kontrakan hanya untuk istirahat saja," pungkasnya.
[url]http://news.detik..com/read/2011/09/08/170252/1718474/159/mengemis-di-kota-hidup-mewah-di-desa[/url]

Kampung Pengemis di Brebes, Supplier Utama Jakarta


Ini Dia Kampung Penghasil Pengemis, Dimanakah?
Sabtu, 11 Agustus 2012, 09:41 WIB

Ketika 'Profesi' Mengemis Hasilkan Duit Lebihi Manager di JKT, Bunuh2an bisa Terjadi


REPUBLIKA.CO.ID, Terbatasnya lahan pekerjaan membuat sejumlah warga di Desa Grinting, Kecamatan Bulukamba, Brebes, Jawa Tengah terpaksa harus mengais rezeki di luar kota termasuk Jakarta. Sayangnya karena tidak dibekali keahlian yang memadai, banyak diantara mereka akhirnya mengais rezeki di jalan dengan menjadi pengemis. Alhasil, sudah menjadi rahasia umum jika desa ini dikenal khalayak luas sebagai desa penghasil pengemis di Jawa Tengah.

Suasana lengang nan sepi khas pedesaan langsung terasa saat kali pertama beritajakarta.com menginjakan kaki di desa itu. Sejauh mata memandang, terlihat rumah-rumah warga yang berjejer rapi dan sebagiannya justru terlihat bagus dan layak huni. Informasi yang kami terima, rumah-rumah itu ternyata sebagiannya merupakan milik warga yang menjadi penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) di Jakarta. Warga sekitar memang seolah tak menjadi malu atau risih dengan profesi itu, karena sejak puluhan tahun lalu, secara turun temurun banyak warga yang mengadu nasib ke Jakarta sebagai pengemis.

Seperti yang pernah dialami Karnila (50), warga RT 07/01 Desa Grinting ini. Wanita paruh baya yang telah dikaruniai tujuh anak dan lima cucu ini lebih memilih merantau ke ibu kota demi menghidupi keluarganya. Ia pun rela menjadi pengemis di ibu kota lantaran tidak memiliki keahlian lain. Saat di Jakarta, ia mengaku hanya tinggal di rumah bedeng di kawasan Kebayoranlama, Jakarta Selatan. Padahal, di kampung halamannya, ia memiliki rumah yang cukup representatif berukuran 7x10 meter dan layak huni. Di halaman depan rumahnya, terdapat satu unit sepeda motor bebek keluaran tahun 2000-an serta satu unit sepeda lipat yang terparkir di halaman rumah. Sementara di sudut yang lain, terdapat bale yang terbuat dari bambu berukuran 2x1,5 meter yang kerap digunakannya sebagai tempat bercengkerama bersama sanak keluarganya. Kanila sendiri sempat mendekam selama beberapa pekan di Panti Sosial Kedoya. Dirinya diciduk petugas yang menggelar razia di kawasan Kebayoranlama awal Ramadhan lalu.

Ikhsan (60 tahun), ketua RT 07/01 Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Brebes, Jawa Tengah, membenarkan, dari sekitar 83 Kepala Keluarga KK warganya, 75 persen di antaranya menggantungkan hidup dengan merantau di Jakarta. Dari jumlah itu, sebagian besar merupakan pengemis, sisanya pedagang asongan, pengamen, dan pemulung. Wajar saja jika desa yang berada tak jauh dari Pasar Bawang Bulakamba ini sehari-harinya sunyi lantaran banyak warganya yang mengadu nasib ke luar kota. "Kondisi desa kami ya begini, sepi karena mayoritas merantau ke Jakarta. Ada yang jadi pengemis, pemulung, pedagang asongan dan sebagainya. Seperti Kanila, memang sering ke Jakarta dan pulang setiap bulan menengok anak cucunya di rumah. Sebagian rumah warga di sini yang merantautu ke Jakarta memang bagus-bagus," katanya.

Ikhsan mengungkapkan, mereka yang merantau ke Jakarta mulai dari anak-anak hingga orang tua. "Warga di sini lebih senang merantau karena tak ada pekerjaan menjanjikan di kampungnya. Untuk menjadi kuli bangunan saja, hanya diupahi Rp 35 ribu per hari. Bahkan jika hanya membantu menanam padi hanya diupahi Rp 12 ribu. Padahal, menjadi seorang pengemis di Jakarta, penghasilannya bisa mencapai Rp 6 juta per bulan. Tentu saja orang lebih senang pergi Jakarta," ucapnya dengan logat khas Tegal. Wirso (40), warga sekitar yang juga tetangga Kanila membenarkan jika sebagian besar warga Grinting memang lebih memilih beramai-ramai meninggalkan desa untuk mencari nafkah di Jakarta. Sehingga di saat-saat tertentu suasana desa tampak sepi. Bahkan, saat lebaran Idul Fitri maupun Idul Adha pun juga demikian. Biasanya, mereka akan kembali ke kampung halamannya beberapa pekan setelah Idul Fitri atau Idul Adha. "Kalau lebaran, mereka justru sedang asik-asiknya mengais rezeki dari kedermawanan warga Jakarta. Tapi kalau saya lebih baik di kampung daripada harus menjadi pengemis," kata Wirso yang lebih memilih menjadi agen penjualan tiket bus AKAP di kampungnya. Wirso menambahkan, di daerah Brebes lainnya seperti Losari, juga ada suatu desa atau kampung yang profesi warganya sebagian besar sama dengan penduduk di Desa Grinting. Alasan mereka pun sama, yakni demi menghidupi keluarga dengan penghasilan yang besar.
http://www.republika.co.id/berita/na...is-dimanakah-1

-------------------------

Bayangkan! Jadi pengemis di Jakarta, penghasilannya melebihi seorang Manajer di Jakarta. Dan sudah pastilah lebih tinggi dari gaji seorang dokter muda yang jadi sukarelawan PTT di daerah terpencil di luar jawa sana. Apalagi kalau hanya dibandingkan gaji pertama seorang lulusan S1 .... wuakakkkk .... sudah sekolah susah-susah, mahal, ternyata "professi" pengemis lebih menjanjikan? ... negeri aneh itu, yaaaa Indonesiah!


emoticon-Ngakak
Diubah oleh citoxson 21-07-2013 11:02
tien212700Avatar border
tien212700 memberi reputasi
1
4.2K
14
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan