- Beranda
- Komunitas
- Surat Pembaca
PT. Bhineka Usada Raya terkait korupsi Proyek Flu Burung


TS
adijoko1234
PT. Bhineka Usada Raya terkait korupsi Proyek Flu Burung
[JAKARTA] Mantan Direktur Bina Pelayanan Medik Dasar Kementerian Kesehatan, Ratna Dewi Umar terancam pidana 20 tahun penjara.
Ia dianggap telah menyalahgunakan kewenangan dalam pengadaan alat kesehatan dan perbekalan, dalam rangka wabah flu burung tahun anggaran 2006-2007 di Kementerian Kesehatan (Kemkes).
Akibat perbuatannya, negara dirugikan Rp 50.477.847.078.
"Perbuatan terdakwa diancam pidana dalam Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke (1) jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP. Subsider, Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP," kata jaksa I Kadek Wiradana dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (27/5).
Dalam penjelasannya, Kadek mengatakan bahwa terdakwa Ratna selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) telah mengatur proses empat pengadaan barang dan jasa, bahkan menggunakan metode penunjukkan langsung.
Pertama, pengadaan alat kesehatan dan perbekalan dalam rangka wabah flu burung tahun anggaran 2006 pada Direktorat Bina Pelayanan Medik Dasar Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan sebesar Rp 42.459.000.000.
Kedua, penggunaan sisa dana Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) tahun 2006 pada direktorat yang sama sebesar Rp 8.823.800.000.
Ketiga, pengadaan peralatan kesehatan untuk melengkapi rumah sakit rujukan penanganan flu burung dari DIPA APBN-P tahun anggaran 2007 pada direktorat yang sama sebesar Rp 50 miliar .
Keempat, pengadaan reagent dan consumable penanganan virus flu burung dari DIPA tahun anggaran 2007 pada direktorat yang sama sebesar Rp 30 miliar.
Menurut Kadek, terdakwa dalam pengadaan proyek pertama melakukan kesepakatan dengan Bambang Rudjianto Tanoesoedibjo selaku Dirut PT Prasasti Mitra bahwa pelaksanaan pekerjaan dikerjakan oleh Prasasti dengan menggunakan PT Rajawali Nusindo yang dipimpin oleh Sutikno.
Tetapi, dalam pelaksanaannya ternyata, pengadaan alat kesehatan tersebut mengambil dari beberapa agen tunggal, yakni PT Fondaco Mitratama, PT Prasasti Mitra, PT Meditec Iasa Tronica dan PT Airindo Sentra Medika, PT Kartika Sentamas dengan harga lebih murah.
Sehingga, dianggap menguntungkan PT Rajawali Nusindo Rp 1,5 miliar, PT Prasasti Mitra Rp 4,932 miliar, PT Airindo Sentra Medika Rp 999 juta, PT Fondaco Mitratama Rp 102 juta, PT Kartika Sentamas Rp 55 jutaa dan PT heltindo Internationl Rp 1,7 miliar.
Sedangkan, untuk pengadaan kedua, Ratna diduga menyalahgunakan kewenangan dalam menggunakan sisa anggaran pengadaan pertama sebesar Rp 8.823.800.000 untuk pembelian tambahan alat kesehatan, yaitu 13 ventilator.
Sama seperti pengadaan pertama, pada pengadaan kedua PT Rajawali Nusindo yang ditunjuk sebagai pelaksana kembali menyerahkan pengadaan ke PT Prasasti Mitra yang juga menyerahkan ke agen-agen tunggal yang sama.
Sehingga, menguntungkan Rajawali sebesar Rp 1,8 miliar dan Prasasti sebesar Rp 5,4 miliar. Kemudian, PT Airindo Sentra Medika sebesar Rp 999 juta, PT Fondaco Rp 102 juta, PT Kartika Rp 55 juta dan PT Heltindo Rp 1,7 miliar.
Demikian juga, dengan pengadaan ketiga, terdakwa Ratna Dewi Umar dianggap menyalahgunakan kewenangan dengan memerintahkan panitia pengadaan melaksanakan proyek pengadan dengan metode penunjukkan langsung dengan alasan situasi masih dalam Kejadian Luar Biasa (KLB) flu burung. Sehingga, menunjuk PT Kimia Farma Trading Distribution (KFTD) sebagai pelaksana kegiatan.
Namun, ditetapkan bahwa PT KFTD mendapat dukungan dari PT Bhineka Usada Raya (BUR). Padahal, dalam penentuan harga perkiraan sendiri sudah menggunakan perhitungan dari PT BUR. Atas perbuatan tersebut, menguntungkan PT KFTD sebesar Rp 2 miliar dan PT BUR sebesar Rp 25 miliar.
Dalam pengadaan keempat, Ratna Dewi Umar juga didakwa menyalahgunakan wewenang dengan memerintahkan panitia pengadaan agar menunjuk langsung PT KFTD sebagai pelaksana proyek.
Tetapi, harga perkiraan sendiri yang digunakan adalah milik PT Cahaya Prima Cemerlang (CPC) yang jauh lebih rendah dari anggaran yang ditentukan, yaitu sebesar Rp 29,810 miliar. Sehingga, menguntungkan PT CPC sebesar Rp 10,861 miliar dan PT KFTD sebesar Rp 1,4 miliar.
Atas dakwaan tersebut, Ratna terancam dengan pidana penjara maksimal 20 tahun penjara. [N-8]
2
Ia dianggap telah menyalahgunakan kewenangan dalam pengadaan alat kesehatan dan perbekalan, dalam rangka wabah flu burung tahun anggaran 2006-2007 di Kementerian Kesehatan (Kemkes).
Akibat perbuatannya, negara dirugikan Rp 50.477.847.078.
"Perbuatan terdakwa diancam pidana dalam Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke (1) jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP. Subsider, Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP," kata jaksa I Kadek Wiradana dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (27/5).
Dalam penjelasannya, Kadek mengatakan bahwa terdakwa Ratna selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) telah mengatur proses empat pengadaan barang dan jasa, bahkan menggunakan metode penunjukkan langsung.
Pertama, pengadaan alat kesehatan dan perbekalan dalam rangka wabah flu burung tahun anggaran 2006 pada Direktorat Bina Pelayanan Medik Dasar Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan sebesar Rp 42.459.000.000.
Kedua, penggunaan sisa dana Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) tahun 2006 pada direktorat yang sama sebesar Rp 8.823.800.000.
Ketiga, pengadaan peralatan kesehatan untuk melengkapi rumah sakit rujukan penanganan flu burung dari DIPA APBN-P tahun anggaran 2007 pada direktorat yang sama sebesar Rp 50 miliar .
Keempat, pengadaan reagent dan consumable penanganan virus flu burung dari DIPA tahun anggaran 2007 pada direktorat yang sama sebesar Rp 30 miliar.
Menurut Kadek, terdakwa dalam pengadaan proyek pertama melakukan kesepakatan dengan Bambang Rudjianto Tanoesoedibjo selaku Dirut PT Prasasti Mitra bahwa pelaksanaan pekerjaan dikerjakan oleh Prasasti dengan menggunakan PT Rajawali Nusindo yang dipimpin oleh Sutikno.
Tetapi, dalam pelaksanaannya ternyata, pengadaan alat kesehatan tersebut mengambil dari beberapa agen tunggal, yakni PT Fondaco Mitratama, PT Prasasti Mitra, PT Meditec Iasa Tronica dan PT Airindo Sentra Medika, PT Kartika Sentamas dengan harga lebih murah.
Sehingga, dianggap menguntungkan PT Rajawali Nusindo Rp 1,5 miliar, PT Prasasti Mitra Rp 4,932 miliar, PT Airindo Sentra Medika Rp 999 juta, PT Fondaco Mitratama Rp 102 juta, PT Kartika Sentamas Rp 55 jutaa dan PT heltindo Internationl Rp 1,7 miliar.
Sedangkan, untuk pengadaan kedua, Ratna diduga menyalahgunakan kewenangan dalam menggunakan sisa anggaran pengadaan pertama sebesar Rp 8.823.800.000 untuk pembelian tambahan alat kesehatan, yaitu 13 ventilator.
Sama seperti pengadaan pertama, pada pengadaan kedua PT Rajawali Nusindo yang ditunjuk sebagai pelaksana kembali menyerahkan pengadaan ke PT Prasasti Mitra yang juga menyerahkan ke agen-agen tunggal yang sama.
Sehingga, menguntungkan Rajawali sebesar Rp 1,8 miliar dan Prasasti sebesar Rp 5,4 miliar. Kemudian, PT Airindo Sentra Medika sebesar Rp 999 juta, PT Fondaco Rp 102 juta, PT Kartika Rp 55 juta dan PT Heltindo Rp 1,7 miliar.
Demikian juga, dengan pengadaan ketiga, terdakwa Ratna Dewi Umar dianggap menyalahgunakan kewenangan dengan memerintahkan panitia pengadaan melaksanakan proyek pengadan dengan metode penunjukkan langsung dengan alasan situasi masih dalam Kejadian Luar Biasa (KLB) flu burung. Sehingga, menunjuk PT Kimia Farma Trading Distribution (KFTD) sebagai pelaksana kegiatan.
Namun, ditetapkan bahwa PT KFTD mendapat dukungan dari PT Bhineka Usada Raya (BUR). Padahal, dalam penentuan harga perkiraan sendiri sudah menggunakan perhitungan dari PT BUR. Atas perbuatan tersebut, menguntungkan PT KFTD sebesar Rp 2 miliar dan PT BUR sebesar Rp 25 miliar.
Dalam pengadaan keempat, Ratna Dewi Umar juga didakwa menyalahgunakan wewenang dengan memerintahkan panitia pengadaan agar menunjuk langsung PT KFTD sebagai pelaksana proyek.
Tetapi, harga perkiraan sendiri yang digunakan adalah milik PT Cahaya Prima Cemerlang (CPC) yang jauh lebih rendah dari anggaran yang ditentukan, yaitu sebesar Rp 29,810 miliar. Sehingga, menguntungkan PT CPC sebesar Rp 10,861 miliar dan PT KFTD sebesar Rp 1,4 miliar.
Atas dakwaan tersebut, Ratna terancam dengan pidana penjara maksimal 20 tahun penjara. [N-8]
2
0
3.4K
0
Thread Digembok
Thread Digembok
Komunitas Pilihan