Chuunibyou, kasarnya berarti “sindrom anak SMP”, suatu gejala pada anak berusia sekitar 14, atau baru memasuki masa pubertas, yang cenderung sok tahu, bersikap seolah-olah memiliki kekuatan supranatural dan semacamnya. Mereka bersikap labil, jijikan, sombong, dan meremehkan orang di sekitarnya. Namun, ada juga orang yang sudah dewasa, usia SLA ke atas, yang masih bersikap seperti ini.
Tiga Jenis Chuunibyou
1. DQN (DQN系, dokyun-kei), yaitu cenderung berpura-pura bersikap anti-sosial atau menjadi anak nakal padahal tidak. Biasanya ia mengarang tentang cerita tawuran atau semacamnya. “DQN” bermakna “si anti-sosial” atau “si anak nakal”.

2. Subkultural/Hipster (サブカル系, SubCul-kei), yaitu cenderung memilih non-mainstream atau yang peminatnya sedikit agar ia merasa berbeda. Terkadang orang seperti ini jarang suka budaya sendiri, namun lebih memilih budaya luar agar dianggap keren karena berbeda minat dengan orang lain.

3. Mata Iblis (邪気眼系, Jakigan-kei),yaitu cenderung merasa memiliki kekuatan supranatural. Jenis ini sering menghayal yang aneh-aneh.

Weeabo, Wapanese (Want to be Japanese), atau Japanese Wannabe, yaitu “orang Jepang jadi-jadian” atau “alay Jejepangan” yang senang
memperlihatkan dirinya “sangat jepang” melebihi orang Jepang sendiri. Mereka bertingkah seperti orang Jepang dan seolah sedang tinggal di Jepang, bersifat dan berbicara Jepang seolah mereka hidup dalam anime/manga.

Nijikon, berasal dari kata “Nijigen Kompurekkusu” (Kompleks 2 Dimensi), merupakan slang dalam bahasa Jepang yang merujuk pada orang yang hanya tertarik/terobsesi pada wujud dua dimensional berupa karakter anime, manga dan video game, yang notabene depiksi dua dimensi di atas kertas/layar atau figur boneka dari karakter tersebut. Pada kasus yang serius, laki-laki penderita Nijikon, misalnya, hanya memiliki rasa cinta pada karakter perempuan dalam anime/manga atau video game. Otaku jenis ini menolak disebut nijikon, mereka menyebut diri mereka Nijigen Otaku (Niji Ota)

HIkikomori, berarti menarik diri. Diduga ada 2 juta remaja Jepang berusia 13-20 tahun yang mengalami sindrome ini. 80% hikikomori adalah laki-laki, Mereka tidak pernah keluar rumah atau keluar kamar. Fenomena ini sering dijumpai di negara maju dan dianggap sebagai penyakit psikologi, sindrom PDD dan autisme. Masyarakat menganggap bahwa faktor keluarga berada di balik kasus-kasus hikikomori, seperti hilangnya figur ayah karena terlalu sibuk bekerja, ibu yang terlalu memanjakan anak, tekanan akademik di sekolah, school bullying, dan maraknya video game di Jepang.

mungkin karena perbedaan presepsi ALAY di Indonesia dan di Jepang kali yah gan?
ane ga maksud buruk ko bikin trit ini.
tolong lurusin ane klo ane dalam kebengkokan.!!!



gara2 ini langsung ganti judul