- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
SBY Himbau Revolusi 1966 & 1998 Tak Perlu Diulang


TS
Aanmedia
SBY Himbau Revolusi 1966 & 1998 Tak Perlu Diulang
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan refleksi soal 15 tahun perjalanan reformasi. Soal reformasi 1966 dan 1998 juga disinggungnya.
Hal ini disampaikan SBY saat berbuka puasa dengan para menteri dan awak media di Istana Negara, Selasa (16/7/2013).
Dalam refleksi itu, SBY menyampaikan lima poin refleksi 15 tahun reformasi dari pandangannya setelah menjadi presiden selama sembilan tahun.
SBY mengatakan, pasca 15 tahun reformasi Indonesia harus kembali instrospeksi diri soal pencapaian-pencapaianya. Jika ada yang belum sempurna maka hal itu bisa dikoreksi, sebab hal itu untuk mencegah koreksi besar-besaran seperti yang terjadi di tahun 1966 dan 1998.
"Tidak perlu kita melakukan yang revolusioner seperti itu lagi," ujar SBY di Istana Negara, Selasa (16/7/2013).
Poin kedua yang disampaikan SBY soal refleksi 15 tahun reformasi adalah soal hubungan demokrasi, stabilitas, dan pembangunan. Menurutnya ketiga hal tersebut apakah bisa bisa berkesinambungan sehingga bisa membangun kearah yang lebih baik.
Lebih lanjut, SBY memandang, setelah masa krisi di tahun 1998 banyak yang perlu ditelaah kembali apakah penggunaan kebebasan yang keliru dan kepatutan yang rendah dapat mengganggu stabilitas publik dan juga perekonomian.
"Ada pandangan mulai muncul 1-2 tahun ini karena mereka tidak suka kalau di exercise dan freedom dibawa ke sana ke mari, tetapi mereka rindu pada sistem yang teratur. Tetapi mereka sebut kembali sistem yang otoritarian yang tidak kacau, meski saya juga tidak setuju," ungkapnya.
SBY mengaku jika dirinya tidak sepakat dengan sistem semi otoritarian yang pernah menyelimuti pemerintahan Indonesia. Pasalnya masa seperti itu dinilai tidak tepat diterapkan saat ini karena Indonesia saat ini mengandalkan hukum yang efektif dan kuat.
"Maknanya apa, jikalau ada pelanggaran hukum yang tegas dan kepolisian melakukan tindakan jangan dianggap hukum yang represif dan melanggar HAM. We have to choose. Seolah-olah itu melanggar Ham dan kembali ke era dulu. Mari kita berpikir. Artinya bukan sesuatu yang ilusif sambil melakukan perubahan di sana sini," tuturnya.
Poin berikutnya, SBY menyinggung soal bagaimana hubungan negara, pemerintah dan masyarakat. Pasalnya menurut dia negara saat ini tidak perlu menggunakan model otoritarian untuk mengatasi sejumlah masalah, termasuk konflik komunal beragama.
"Kita melihat sebagian kita, pemerintah yang memimpin di era otoritarian dan menggambarkan negara begitu besarnya, dan mengabaikan kaedah-kaedah rule of law yang merupakan proses reformasi. 15 tahun sudah kita lewati. 15 tahun ke depan seperti apa. Ini bangsa kita sendiri. Kita bisa belajar ke Eropa, Amerika, tetapi kita harus memilih apa yang harus kita pilih," ungkapnya.
SUMBER
Hal ini disampaikan SBY saat berbuka puasa dengan para menteri dan awak media di Istana Negara, Selasa (16/7/2013).
Dalam refleksi itu, SBY menyampaikan lima poin refleksi 15 tahun reformasi dari pandangannya setelah menjadi presiden selama sembilan tahun.
SBY mengatakan, pasca 15 tahun reformasi Indonesia harus kembali instrospeksi diri soal pencapaian-pencapaianya. Jika ada yang belum sempurna maka hal itu bisa dikoreksi, sebab hal itu untuk mencegah koreksi besar-besaran seperti yang terjadi di tahun 1966 dan 1998.
"Tidak perlu kita melakukan yang revolusioner seperti itu lagi," ujar SBY di Istana Negara, Selasa (16/7/2013).
Poin kedua yang disampaikan SBY soal refleksi 15 tahun reformasi adalah soal hubungan demokrasi, stabilitas, dan pembangunan. Menurutnya ketiga hal tersebut apakah bisa bisa berkesinambungan sehingga bisa membangun kearah yang lebih baik.
Lebih lanjut, SBY memandang, setelah masa krisi di tahun 1998 banyak yang perlu ditelaah kembali apakah penggunaan kebebasan yang keliru dan kepatutan yang rendah dapat mengganggu stabilitas publik dan juga perekonomian.
"Ada pandangan mulai muncul 1-2 tahun ini karena mereka tidak suka kalau di exercise dan freedom dibawa ke sana ke mari, tetapi mereka rindu pada sistem yang teratur. Tetapi mereka sebut kembali sistem yang otoritarian yang tidak kacau, meski saya juga tidak setuju," ungkapnya.
SBY mengaku jika dirinya tidak sepakat dengan sistem semi otoritarian yang pernah menyelimuti pemerintahan Indonesia. Pasalnya masa seperti itu dinilai tidak tepat diterapkan saat ini karena Indonesia saat ini mengandalkan hukum yang efektif dan kuat.
"Maknanya apa, jikalau ada pelanggaran hukum yang tegas dan kepolisian melakukan tindakan jangan dianggap hukum yang represif dan melanggar HAM. We have to choose. Seolah-olah itu melanggar Ham dan kembali ke era dulu. Mari kita berpikir. Artinya bukan sesuatu yang ilusif sambil melakukan perubahan di sana sini," tuturnya.
Poin berikutnya, SBY menyinggung soal bagaimana hubungan negara, pemerintah dan masyarakat. Pasalnya menurut dia negara saat ini tidak perlu menggunakan model otoritarian untuk mengatasi sejumlah masalah, termasuk konflik komunal beragama.
"Kita melihat sebagian kita, pemerintah yang memimpin di era otoritarian dan menggambarkan negara begitu besarnya, dan mengabaikan kaedah-kaedah rule of law yang merupakan proses reformasi. 15 tahun sudah kita lewati. 15 tahun ke depan seperti apa. Ini bangsa kita sendiri. Kita bisa belajar ke Eropa, Amerika, tetapi kita harus memilih apa yang harus kita pilih," ungkapnya.
SUMBER
0
959
6


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan