- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Max Timisela : Legenda yang memilih Hidup Menderita Demi Sepakbola


TS
Roy.Marijan
Max Timisela : Legenda yang memilih Hidup Menderita Demi Sepakbola
In thread pertama ane gan, maaf kalau acak-acakan 
Minta
dong gan 

Quote:
Max Timisela: Folklor Usang Warga Kota Kembang [Bagian 1]

Walaupun dikenal sebagai kota sepakbola, Bandung tak punya tradisi langgeng sebagai pemasok besar pemain-pemain timnas Indonesia. Tapi satu yang pernah mereka lahirkan adalah Max Timisela.
Saat ini, misalnya, nama-nama beken di timnas seperti Supardi, Muhammad Ridwan, Firman Utina, dan Sergio Van Dijk notabene bukan merupakan pemain asli olahan dari pelatih dan penggiat sepakbola di tatar Sunda (Jawa Barat). Bahkan ketika Persib -- pernah dijuluki 'Brasil-nya' Indonesia' -- berjaya di tahun 1983-1984, hanya Robby Darwis yang menjadi langganan timnas.
Meski begitu, ada suatu masa ketika produk sepakbola Bandung berjaya di timnas, yaitu pada tahun 50-an hingga awal 60-an. Tak tanggung-tanggung, 6-8 starting eleven timnas juga membela Persib Bandung. Jika saat ini Persib lebih sering mengimpor pemain bintang dari timnas ke klub, maka kondisi kala itu berkebalikan. Persib-lah yang lebih sering mengekspor pemain bintang dari klub ke timnas.
Namun, masa kejayaan itu sempat diwarnai oleh aib terbesar yang mesti ditanggung Persib sepanjang masa. Enam punggawa Maung Bandung terkena skandal suap pengaturan skor para tauke. Tak hanya dipulangkan ke kampung halaman, mereka pun diberi sanksi larangan berkecimpung di dunia sepakbola sepanjang masa oleh KOGOR (KONI). [Baca kisahnya di sini]
Hukuman itu kemudian diperingan menjadi hanya satu tahun. Alhasil jelang Ganefo I di Jakarta tahun 1963, bintang-bintang Persib yang terkena suap kembali dipanggil bersama pemain muda baru seperti Djadjang Haris, Emen Suwarman, Komar, Rukman dan Masri. Aroma anak-anak Bandung sangat kental terasa di timnas. Bahkan dari 24 yang dipanggil, 11 di antaranya adalah pemain Persib.
Di antara beberapa pemain itu masih bertahan sebuah nama. Nama yang kini jadi legenda bagi para pecinta sepakbola di Kota Bandung. Dia adalah pemain terakhir dari sisa kejayaan generasi Persib di timnas. Ia pun penerus trah keluarga Timisela yang pernah merajai sepakbola Bandung dan nasional.
Bukan karena prestasi hingga ia lebih tenar dibanding pemain kenamaan Persib lainnya. Bukan juga teknik dan skill individu. Tapi karena sebuah kisah nasionalisme yang sampai membuat Presiden Soekarno bergidik.
Dia adalah orang bodoh yang menolak pinangan Werder Bremen, sang juara Bundesliga di tahun 1965. Ia tolak tawaran itu demi sebuah nasionalisme. Nama lelaki itu Max. Max Timisela.
**
Dari balik kotak jendela yang dilapisi jeruji besi, seorang lelaki tua berkulit coklat legam berkepala plontos asyik memandangi rintikan hujan deras yang mengguyur kota. Di jari tangan kanannya terselip sebatang rokok filter, yang kemudian ia hisap dalam-dalam.
Sembari memejamkan mata, bibirnya meracau. Dalam pikirannya, seolah ia merasa kembali ke masa lampau. Ke suatu hari yang dingin di tanggal 14 Juni 1965.
Umpan datar datang dari arah pertahanan timnas Indonesia. Serangan balik cepat dilakukan Soetjipto Soentoro Cs ke gawang kesebelasan Werder Bremen. Dari tengah lapang, Max Timisela berlari dengan kencang sementara bola bergulir datar mengarah kepadanya. Dengan sekali cup menggunakan ujung kaki, bola langsung melambung ke atas, over head!! Lawanpun tertipu. Secara cepat Max, sapaan akrabnya, berbalik badan berputar meninggalkan lawan yang menjaga ketat dirinya. Lawan pun tertipu, sehingga tertinggal beberapa meter.
Di sayap kiri secara sigap Maxi mengejar bola yang masih melambung tinggi. Setelah bola kembali menyetuh tanah, dengan sekali sentuhan ia menyepak bola ke arah Soetjipto yang berdiri bebas di depan gawang. Jjelegerr.. gawang Werder Bremen pun bergetar. Stadion Westerllen yang kala itu dipadati lebih dari 23.000 orang itu mendadak bisu. Semua orang masih tak percaya dengan penampilan individu ciamik yang diperagakan Max Timisela dan shooting keras Soetjipto Soendoro yang mengarah ke pojok kanan gawang. Di menit 30, Indonesia mampu unggul menyamakan skor 2-2.
Operan-operan panjang PSSI membuat pemain Bremen yang didominasi pemain timnas Jerman Barat frustasi. Silih balas gol jadi tontonan menarik bagi penonton. Skor pun berganti dari 2-2, jadi 2-3, 3-3, dan hingga kedudukan 3-4 PSSI selalu berhasil lebih unggul. Namun dengan bantuan wasit, Bremen mendapat hadiah pinalti dan unggul 6-4.
Tik-tak ciamik duet Gareng (panggilan Soetjipto Soentoro) -- Maxi membuahkan gol penutup pertandingan menjadi 6-5 lewat sepakan Maxi.
Meski kalah 6-5, timnas tetap pulang dengan kepala tegak. Soalnya Werder Bremen berstatus juara Bundesliga dan dihuni sejumlah penggawa timnas Jerman Barat. Juga, belum pernah ada sampai saat itu sebuah tim tamu yang mampu mencetak lima gol di kandang Bremen.
Usai pertandingan perhatian lantas tertuju pada sosok Maxi dan Gareng yang menjadi idola baru publik kota Bremen. Teriakan "Pele... Pele... " bergemuruh disebut-sebut suporter di seantero stadion.
Keesokan harinya, media-media lokal Jerman pun membuat headline berita yang cukup membanggakan bagi bangsa Indonesia: "Pele from Indonesia". Hal ini untuk menyirat permainan Max dan Gareng yang menyerupai Pele, yaitu cepat dan lincah.
Di kubu lawan, rasa lelah berbaur kagum dan heran. Stereotype bangsa Asia ditepis dengan tenaga kuda yang dikombinasikan dengan gorengan bola yang aduhai dan sedap dipandang.
"Saya pikir pertandngan lebih cocok draw. Pemain-pemain Indonesia sangat pandai menguasai bola dan gesit. Demikian juga dengan permainan yang sering memberikan cross-passing dari sayap ke sayap yang lain," ucap Pelatih Bremen Herr Brocker kepada wartawan Antara.
Tawaran dari Jerman
Keterkejutan publik Bremen atas permainan Indonesia dibarengi dengan tawaran klub untuk merekrut dua sejoli pasangan sekamar, Max Timisela dan Soetjipto 'Gareng' Soentoro. Brocker sendiri memang menaruh minat besar pada kedua pemain yang meneror gawang Bremen tersebut. Ia meminta Maxi dan Gareng untuk pindah ke Jerman dan bergabung dengan klub yang ia latih.
Tawaran ini membuat Kosasih Poerwanegara [ketua rombongan PSSI] bangga sekaligus resah. Bagaimana tidak. Di Indonesia kemarahan publik atas aksi pembelotan salah satu anak didiknya, Dominggus, ke negeri Belanda masih hangat-hangatnya. Isu itu merembet ke politik sehingga PKI sampai mengultimatum Soekarno agar segera memulangkan "pengkhianat" itu ke tanah air.
Entah apa yang dikata jika publik tahu bahwa setelah Dominggus tak pulang, dua pemain andalan lainnya Maxi dan Gareng mengikuti jejaknya. Apalagi tur Eropa PSSI kala itu bukanlah sekedar bertamasya. Maxi dkk diberangkatkan dengan uang rakyat yang dipas-pas seirit mungkin. Di saat kondisi perekonomian sedang carut marut. Belum lagi nafas kuda Maxi dan Gareng dibutuhkan untuk kekuatan PSSI menghadapi Asian Games dan Ganefo yang digelar 1966.
Alhasil setelah dibahas secara matang-matang -- bahkan Soekarno dan Maladi sampai menggelar rapat dadakan -- pinangan Bremen lalu ditolak mentah-mentah. Melalui atase militer yang ikut dalam rombongan, Kolonel Gatot Suwagio, penolakan ini disampaikan kepada pelatih Bremen.
"Mereka lebih mencintai main untuk bangsanya. Tenaga mereka dibutuhkan untuk Asian games 1966 di Tokyo," ujar sang Kolonel yang dibalas Herr Brocker dengan menaik-turunkan dagunya.
Kabar penolakan tawaran ini hinggap ditelinga Max dan Gareng di malam hari. Larangan Soekarno disikapi dingin tanpa adanya hasrat pemberontakan sedikit pun. Dua anak Bengal yang kerap buat onar di Bremen itu menerima secara legowo.
Kejadian itu terjadi hampir 48 tahun silam. Maxi yang dulu dipuja-puja kini hanyalah seperti orang terbuang.
Bangkit dari tempat duduknya, ia kemudian berujar bahwa pengabdian terhadap timnas merupakan sebuah prioritas ketimbang memenuhi keinginan pribadi sesaat. "PSSI lebih penting," ujarnya.
Pembicaraan kami pun berakhir dengan asap rokok yang mengebul dan hujan yang mereda. (Bersambung)

Walaupun dikenal sebagai kota sepakbola, Bandung tak punya tradisi langgeng sebagai pemasok besar pemain-pemain timnas Indonesia. Tapi satu yang pernah mereka lahirkan adalah Max Timisela.
Saat ini, misalnya, nama-nama beken di timnas seperti Supardi, Muhammad Ridwan, Firman Utina, dan Sergio Van Dijk notabene bukan merupakan pemain asli olahan dari pelatih dan penggiat sepakbola di tatar Sunda (Jawa Barat). Bahkan ketika Persib -- pernah dijuluki 'Brasil-nya' Indonesia' -- berjaya di tahun 1983-1984, hanya Robby Darwis yang menjadi langganan timnas.
Meski begitu, ada suatu masa ketika produk sepakbola Bandung berjaya di timnas, yaitu pada tahun 50-an hingga awal 60-an. Tak tanggung-tanggung, 6-8 starting eleven timnas juga membela Persib Bandung. Jika saat ini Persib lebih sering mengimpor pemain bintang dari timnas ke klub, maka kondisi kala itu berkebalikan. Persib-lah yang lebih sering mengekspor pemain bintang dari klub ke timnas.
Namun, masa kejayaan itu sempat diwarnai oleh aib terbesar yang mesti ditanggung Persib sepanjang masa. Enam punggawa Maung Bandung terkena skandal suap pengaturan skor para tauke. Tak hanya dipulangkan ke kampung halaman, mereka pun diberi sanksi larangan berkecimpung di dunia sepakbola sepanjang masa oleh KOGOR (KONI). [Baca kisahnya di sini]
Hukuman itu kemudian diperingan menjadi hanya satu tahun. Alhasil jelang Ganefo I di Jakarta tahun 1963, bintang-bintang Persib yang terkena suap kembali dipanggil bersama pemain muda baru seperti Djadjang Haris, Emen Suwarman, Komar, Rukman dan Masri. Aroma anak-anak Bandung sangat kental terasa di timnas. Bahkan dari 24 yang dipanggil, 11 di antaranya adalah pemain Persib.
Di antara beberapa pemain itu masih bertahan sebuah nama. Nama yang kini jadi legenda bagi para pecinta sepakbola di Kota Bandung. Dia adalah pemain terakhir dari sisa kejayaan generasi Persib di timnas. Ia pun penerus trah keluarga Timisela yang pernah merajai sepakbola Bandung dan nasional.
Bukan karena prestasi hingga ia lebih tenar dibanding pemain kenamaan Persib lainnya. Bukan juga teknik dan skill individu. Tapi karena sebuah kisah nasionalisme yang sampai membuat Presiden Soekarno bergidik.
Dia adalah orang bodoh yang menolak pinangan Werder Bremen, sang juara Bundesliga di tahun 1965. Ia tolak tawaran itu demi sebuah nasionalisme. Nama lelaki itu Max. Max Timisela.
**
Dari balik kotak jendela yang dilapisi jeruji besi, seorang lelaki tua berkulit coklat legam berkepala plontos asyik memandangi rintikan hujan deras yang mengguyur kota. Di jari tangan kanannya terselip sebatang rokok filter, yang kemudian ia hisap dalam-dalam.
Sembari memejamkan mata, bibirnya meracau. Dalam pikirannya, seolah ia merasa kembali ke masa lampau. Ke suatu hari yang dingin di tanggal 14 Juni 1965.
Umpan datar datang dari arah pertahanan timnas Indonesia. Serangan balik cepat dilakukan Soetjipto Soentoro Cs ke gawang kesebelasan Werder Bremen. Dari tengah lapang, Max Timisela berlari dengan kencang sementara bola bergulir datar mengarah kepadanya. Dengan sekali cup menggunakan ujung kaki, bola langsung melambung ke atas, over head!! Lawanpun tertipu. Secara cepat Max, sapaan akrabnya, berbalik badan berputar meninggalkan lawan yang menjaga ketat dirinya. Lawan pun tertipu, sehingga tertinggal beberapa meter.
Di sayap kiri secara sigap Maxi mengejar bola yang masih melambung tinggi. Setelah bola kembali menyetuh tanah, dengan sekali sentuhan ia menyepak bola ke arah Soetjipto yang berdiri bebas di depan gawang. Jjelegerr.. gawang Werder Bremen pun bergetar. Stadion Westerllen yang kala itu dipadati lebih dari 23.000 orang itu mendadak bisu. Semua orang masih tak percaya dengan penampilan individu ciamik yang diperagakan Max Timisela dan shooting keras Soetjipto Soendoro yang mengarah ke pojok kanan gawang. Di menit 30, Indonesia mampu unggul menyamakan skor 2-2.
Operan-operan panjang PSSI membuat pemain Bremen yang didominasi pemain timnas Jerman Barat frustasi. Silih balas gol jadi tontonan menarik bagi penonton. Skor pun berganti dari 2-2, jadi 2-3, 3-3, dan hingga kedudukan 3-4 PSSI selalu berhasil lebih unggul. Namun dengan bantuan wasit, Bremen mendapat hadiah pinalti dan unggul 6-4.
Tik-tak ciamik duet Gareng (panggilan Soetjipto Soentoro) -- Maxi membuahkan gol penutup pertandingan menjadi 6-5 lewat sepakan Maxi.
Meski kalah 6-5, timnas tetap pulang dengan kepala tegak. Soalnya Werder Bremen berstatus juara Bundesliga dan dihuni sejumlah penggawa timnas Jerman Barat. Juga, belum pernah ada sampai saat itu sebuah tim tamu yang mampu mencetak lima gol di kandang Bremen.
Usai pertandingan perhatian lantas tertuju pada sosok Maxi dan Gareng yang menjadi idola baru publik kota Bremen. Teriakan "Pele... Pele... " bergemuruh disebut-sebut suporter di seantero stadion.
Keesokan harinya, media-media lokal Jerman pun membuat headline berita yang cukup membanggakan bagi bangsa Indonesia: "Pele from Indonesia". Hal ini untuk menyirat permainan Max dan Gareng yang menyerupai Pele, yaitu cepat dan lincah.
Di kubu lawan, rasa lelah berbaur kagum dan heran. Stereotype bangsa Asia ditepis dengan tenaga kuda yang dikombinasikan dengan gorengan bola yang aduhai dan sedap dipandang.
"Saya pikir pertandngan lebih cocok draw. Pemain-pemain Indonesia sangat pandai menguasai bola dan gesit. Demikian juga dengan permainan yang sering memberikan cross-passing dari sayap ke sayap yang lain," ucap Pelatih Bremen Herr Brocker kepada wartawan Antara.
Tawaran dari Jerman
Keterkejutan publik Bremen atas permainan Indonesia dibarengi dengan tawaran klub untuk merekrut dua sejoli pasangan sekamar, Max Timisela dan Soetjipto 'Gareng' Soentoro. Brocker sendiri memang menaruh minat besar pada kedua pemain yang meneror gawang Bremen tersebut. Ia meminta Maxi dan Gareng untuk pindah ke Jerman dan bergabung dengan klub yang ia latih.
Tawaran ini membuat Kosasih Poerwanegara [ketua rombongan PSSI] bangga sekaligus resah. Bagaimana tidak. Di Indonesia kemarahan publik atas aksi pembelotan salah satu anak didiknya, Dominggus, ke negeri Belanda masih hangat-hangatnya. Isu itu merembet ke politik sehingga PKI sampai mengultimatum Soekarno agar segera memulangkan "pengkhianat" itu ke tanah air.
Entah apa yang dikata jika publik tahu bahwa setelah Dominggus tak pulang, dua pemain andalan lainnya Maxi dan Gareng mengikuti jejaknya. Apalagi tur Eropa PSSI kala itu bukanlah sekedar bertamasya. Maxi dkk diberangkatkan dengan uang rakyat yang dipas-pas seirit mungkin. Di saat kondisi perekonomian sedang carut marut. Belum lagi nafas kuda Maxi dan Gareng dibutuhkan untuk kekuatan PSSI menghadapi Asian Games dan Ganefo yang digelar 1966.
Alhasil setelah dibahas secara matang-matang -- bahkan Soekarno dan Maladi sampai menggelar rapat dadakan -- pinangan Bremen lalu ditolak mentah-mentah. Melalui atase militer yang ikut dalam rombongan, Kolonel Gatot Suwagio, penolakan ini disampaikan kepada pelatih Bremen.
"Mereka lebih mencintai main untuk bangsanya. Tenaga mereka dibutuhkan untuk Asian games 1966 di Tokyo," ujar sang Kolonel yang dibalas Herr Brocker dengan menaik-turunkan dagunya.
Kabar penolakan tawaran ini hinggap ditelinga Max dan Gareng di malam hari. Larangan Soekarno disikapi dingin tanpa adanya hasrat pemberontakan sedikit pun. Dua anak Bengal yang kerap buat onar di Bremen itu menerima secara legowo.
Kejadian itu terjadi hampir 48 tahun silam. Maxi yang dulu dipuja-puja kini hanyalah seperti orang terbuang.
Bangkit dari tempat duduknya, ia kemudian berujar bahwa pengabdian terhadap timnas merupakan sebuah prioritas ketimbang memenuhi keinginan pribadi sesaat. "PSSI lebih penting," ujarnya.
Pembicaraan kami pun berakhir dengan asap rokok yang mengebul dan hujan yang mereda. (Bersambung)
Quote:
Max Timisela : Jauh dari Sepakbola adalah Sebenar-benarnya Kesunyian (bagian 2-Habis)

Dua jam sebelum waktu berbuka puasa tiba, Max Timisela sedang sibuk menggenggam batang kayu sapu lidi. Ia kerahkan tenaga yang tersisa untuk menghempaskan daun-daun kering yang berserakan di depan halaman Gedung Persib di Jalan Gurame. Dia sedang menyapu.
Semenjak awal bulan puasa ini, gedung memang tak terawat. Itu disebabkan karena Max lebih memilih mengawali bulan puasa bersama kerabat dekatnya di Cikalong -- wilayah di dekat perbatasan Purwakarta. Daun-daun yang berserakan itu membuat ia tak sedap memandang. "Lumayanlah bersih-bersih sambil ngabuburit," ucapnya.
Pemain yang pernah menolak pinangan Werder Bremen ini secara kasat mata memang hidup merana. Sepulang dari Bremen, rekannya di tim nasional, Soetjipto "Gareng" Soentoro kian mentereng baik sebagai pemain, pelatih hingga politisi. Lain hal dengan Max yang naik turun fluktuatif tak menentu. Di timnas posisinya hanya sebagai pelapis. Di Persib, masa-masanya boleh dibilang sama seperti masa kini, berada dalam kesuraman soal prestasi dan gelar.
Kariernya sebagai pemain di Persib dan sepakbola pun ditutup dengan hal yang menyakitkan: menjadi bagian dari skuat yang "membenamkan" Persib ke jurang degradasi di tahun 1979.
"Habis itu saya langsung pensiun," ucapnya layu, seperti daun-daun yang baru saja disapunya.
Max lahir dari keluaga yang gemar beolahraga. Bapaknya seorang tentara kesatuan Angkatan Udara KNIL. Ia bungsu dari 8 bersaudara. Dari 8 bersaudara itu, 7 di antaranya menjadi pemain bola, satu-satunya saudara perempuannya jadi atlet lari nasional.
Kakak-kakaknya adalah langganan Persib bahkan tim nasional: Henkie Timisela, Freddie Timisela atau Pietje Timisela. Max adalah Timisela terakhir yang memperkuat tim nasional Indonesia.
Max memang tak sesial Freddy Timisela yang mengguratkan takdir harus mati di usia muda. Tapi Max juga tak seberuntung Hengky Timisela, yang selain bermain bola juga masih sempat memikirkan pendidikan, merasakan kesempatan sekolah ke Jepang, dan pulang jadi pejabat tinggi di perusahaan Astra.
Semasa berjaya sebagai pemain bola, Max lupa bahwa usia akan semakin bertambah. Materi yang dimiliki ia hambur-hamburkan untuk berfoya-foya, tak pernah diinvestasikan. Pendidikan pun ia lupakan.
"Kalau boleh dibilang menyesal, ya… bisa juga. Tapi ya mau gimana lagi, saya sudah telanjur memilih fokus kepada sepakbola," ucapnya seperti mencoba membela pilihannya.
Sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer pernah menulis kalimat yang mungkin tepat untuk mengilutrasikan yang dialami Max itu. "Sifat pemuda: biasa tidak membanding-bandingkan kemungkinan untuk hari depan. Paham mereka hidup untuk hari ini". Itulah yang terjadi pada Max.
Sepakbola yang selalu ia banggakan dan agungkan itu ternyata tak memberi apa-apa di usia senjanya -- kini 69 tahun. Kini pria tua itu hidup terkatung-katung, hanya jadi pesuruh di Gedung Persib. Tugasnya adalah merawat, membersihkan dan menjaga gedung kramat simbol kejayaan Persib itu dari para maling, dari serbuan laba-laba yang membuat sarang, juga dari debu dan daun-daun kering yang beguguran.
Boleh dibilang, Max kini tak ubahnya kuncen Gedung Persib. Ia kuncen karena memang ia hidup, bernafas, makan, tidur dan mandi di sana -- seorang diri selama nyaris 23 tahun.
Di dalam Gedung Persib itu, ada deretan meja rapat yang diapit dan disusun sedemikian rupa di pojok ruangan aula lantai dua. Meja-meja itu untuk menyembunyikan hamparan kasur yang tiap malam dipakainya sebagai alas tidur. Kumal nian kasur busa itu. Saat aula dipakai untuk rapat, tentunya ia harus segera mengungsi, memindahkan baju-baju yang bergantungan dan kasur busa kumal ke dalam gudang sementara waktu. Kecukupannya soal bertahan hidup jangan ditanya. Gaji sebagai penjaga gedung hanya 350 ribu per bulan. Cukup? Jangan tanya. [Lihat galeri fotonya di sini]
Pinjam sana pinjam sini sudah jadi kebiasaan, gali lubang tutup lubang. Pendapatannya yang lain adalah jika ada pertandingan kandang Persib atau Pelita Bandung Raya. Max pasti diperbantukan sebagai bagian dari panitia pertandingan. Sekali laga dibayar Rp 250 ribu. Kalau libur kompetisi tentu ia akan kelabakan.
Perkenalan saya dan Max sudah berlangsung lama, dan kami merasa dekat. Sering kali saya menginap di "rumahnya" itu untuk berbincang-bincang soal sejarah sepakbola, atau sekadar melihat-lihat piala. Ia juga kerap berbaik hati memberi kemudahan saya untuk mengakses arsip-arsip Persib yang tersimpan di lemari besi. Kadang-kadang saya juga memintanya menerjemahkan arsip-arsip koran berbahasa Belanda. [Max fasih berbahasa Londo karena keluarganya dulu biasa berkomunikasi dengan tiga bahasa: Indonesia, Sunda, dan Belanda.]
Secara kasat mata orang memandang Max memang hidup pahit. Cerita kepahitannya jadi folklor [cerita turun-temurun, yang tidak dibukukan] yang kerap didendangkan media massa -- seperti halnya dua gol yang dicetaknya ke gawang Werder Bremen puluhan tahun silam.
Tapi siapa sangka, ia memang lebih memilih kepahitan itu secara sadar, sesuai dengan intuisi kemauannya sendiri. Toh ia tak sesengsara apa yang orang kira. Anak-anaknya kini sudah hidup mapan dalam ruang kesuksesan. Linda Timisela, anak pertamanya, berada di Yunani bekerja di KBRI dan bersuami orang bule. Anak keduanya, Inggrid Timisela, tinggal di Bekasi dalam situasi ekonomi yang mapan. Adapun sang istri diajak oleh Inggrid untuk membantu mengurusi cucu.
Namanya anak, tentu tak tega melihat hidup bapaknya tak keruan. Ajakan untuk tinggal bersama bukan sekali dua kali diajukan anak-anaknya itu. Namun Max selalu menolaknya. Alasannya sederhana: ia tak ingin menyusahkan anak-anaknya. Lagipula ia sudah memilih untuk melakukan apa yang bisa ia lakukan untuk sesuatu apa yang pernah membesarkan namanya: Persib dan Sepakbola.
Sepakbola nyatanya tak kunjung terlepas dari kehidupan Max yang umurnya sudah mendekati kepala tujuh ini. Bagi orang yang selalu berfikir logis, Max adalah master dari pelaku kebodohan. Saat muda dulu ia pernah tolak Werder Bremen akibat nasionalisme. Di masa tuanya pun ia menolak hidup nyaman (bersama anak-anaknya) karena idealisme.
Mengurusi gedung Persib, bercengkrama dengan piala-piala usang, menjadi panitia pertandingan dan sesekali bermain sepakbola bersama para mantan pemain, baginya merupakan anugerah tak terkira yang tak bisa ditebus dengan materi dan hidup nyaman. Anugerah itu yang membuatnya hingga kini masih bugar dan jarang memiliki masalah dengan kesehatannya.
Menurutnya lagi, jauh dari sepakbola adalah sebenar-benarnya kesunyian hidup di masa tua. Bersama keluarga, mungkin ia akan hidup nyaman. Tapi tanpa sepakbola ia akan sakit, sekarat dan mati dengan lebih cepat -- kendati itu mungkin kematian dalam hangatnya dekapan keluarga.
===
* Ditulis dari hasil wawancara dengan @aqfiazfan dari @panditfootball untuk @detiksport

Dua jam sebelum waktu berbuka puasa tiba, Max Timisela sedang sibuk menggenggam batang kayu sapu lidi. Ia kerahkan tenaga yang tersisa untuk menghempaskan daun-daun kering yang berserakan di depan halaman Gedung Persib di Jalan Gurame. Dia sedang menyapu.
Semenjak awal bulan puasa ini, gedung memang tak terawat. Itu disebabkan karena Max lebih memilih mengawali bulan puasa bersama kerabat dekatnya di Cikalong -- wilayah di dekat perbatasan Purwakarta. Daun-daun yang berserakan itu membuat ia tak sedap memandang. "Lumayanlah bersih-bersih sambil ngabuburit," ucapnya.
Pemain yang pernah menolak pinangan Werder Bremen ini secara kasat mata memang hidup merana. Sepulang dari Bremen, rekannya di tim nasional, Soetjipto "Gareng" Soentoro kian mentereng baik sebagai pemain, pelatih hingga politisi. Lain hal dengan Max yang naik turun fluktuatif tak menentu. Di timnas posisinya hanya sebagai pelapis. Di Persib, masa-masanya boleh dibilang sama seperti masa kini, berada dalam kesuraman soal prestasi dan gelar.
Kariernya sebagai pemain di Persib dan sepakbola pun ditutup dengan hal yang menyakitkan: menjadi bagian dari skuat yang "membenamkan" Persib ke jurang degradasi di tahun 1979.
"Habis itu saya langsung pensiun," ucapnya layu, seperti daun-daun yang baru saja disapunya.
Max lahir dari keluaga yang gemar beolahraga. Bapaknya seorang tentara kesatuan Angkatan Udara KNIL. Ia bungsu dari 8 bersaudara. Dari 8 bersaudara itu, 7 di antaranya menjadi pemain bola, satu-satunya saudara perempuannya jadi atlet lari nasional.
Kakak-kakaknya adalah langganan Persib bahkan tim nasional: Henkie Timisela, Freddie Timisela atau Pietje Timisela. Max adalah Timisela terakhir yang memperkuat tim nasional Indonesia.
Max memang tak sesial Freddy Timisela yang mengguratkan takdir harus mati di usia muda. Tapi Max juga tak seberuntung Hengky Timisela, yang selain bermain bola juga masih sempat memikirkan pendidikan, merasakan kesempatan sekolah ke Jepang, dan pulang jadi pejabat tinggi di perusahaan Astra.
Semasa berjaya sebagai pemain bola, Max lupa bahwa usia akan semakin bertambah. Materi yang dimiliki ia hambur-hamburkan untuk berfoya-foya, tak pernah diinvestasikan. Pendidikan pun ia lupakan.
"Kalau boleh dibilang menyesal, ya… bisa juga. Tapi ya mau gimana lagi, saya sudah telanjur memilih fokus kepada sepakbola," ucapnya seperti mencoba membela pilihannya.
Sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer pernah menulis kalimat yang mungkin tepat untuk mengilutrasikan yang dialami Max itu. "Sifat pemuda: biasa tidak membanding-bandingkan kemungkinan untuk hari depan. Paham mereka hidup untuk hari ini". Itulah yang terjadi pada Max.
Sepakbola yang selalu ia banggakan dan agungkan itu ternyata tak memberi apa-apa di usia senjanya -- kini 69 tahun. Kini pria tua itu hidup terkatung-katung, hanya jadi pesuruh di Gedung Persib. Tugasnya adalah merawat, membersihkan dan menjaga gedung kramat simbol kejayaan Persib itu dari para maling, dari serbuan laba-laba yang membuat sarang, juga dari debu dan daun-daun kering yang beguguran.
Boleh dibilang, Max kini tak ubahnya kuncen Gedung Persib. Ia kuncen karena memang ia hidup, bernafas, makan, tidur dan mandi di sana -- seorang diri selama nyaris 23 tahun.
Di dalam Gedung Persib itu, ada deretan meja rapat yang diapit dan disusun sedemikian rupa di pojok ruangan aula lantai dua. Meja-meja itu untuk menyembunyikan hamparan kasur yang tiap malam dipakainya sebagai alas tidur. Kumal nian kasur busa itu. Saat aula dipakai untuk rapat, tentunya ia harus segera mengungsi, memindahkan baju-baju yang bergantungan dan kasur busa kumal ke dalam gudang sementara waktu. Kecukupannya soal bertahan hidup jangan ditanya. Gaji sebagai penjaga gedung hanya 350 ribu per bulan. Cukup? Jangan tanya. [Lihat galeri fotonya di sini]
Pinjam sana pinjam sini sudah jadi kebiasaan, gali lubang tutup lubang. Pendapatannya yang lain adalah jika ada pertandingan kandang Persib atau Pelita Bandung Raya. Max pasti diperbantukan sebagai bagian dari panitia pertandingan. Sekali laga dibayar Rp 250 ribu. Kalau libur kompetisi tentu ia akan kelabakan.
Perkenalan saya dan Max sudah berlangsung lama, dan kami merasa dekat. Sering kali saya menginap di "rumahnya" itu untuk berbincang-bincang soal sejarah sepakbola, atau sekadar melihat-lihat piala. Ia juga kerap berbaik hati memberi kemudahan saya untuk mengakses arsip-arsip Persib yang tersimpan di lemari besi. Kadang-kadang saya juga memintanya menerjemahkan arsip-arsip koran berbahasa Belanda. [Max fasih berbahasa Londo karena keluarganya dulu biasa berkomunikasi dengan tiga bahasa: Indonesia, Sunda, dan Belanda.]
Secara kasat mata orang memandang Max memang hidup pahit. Cerita kepahitannya jadi folklor [cerita turun-temurun, yang tidak dibukukan] yang kerap didendangkan media massa -- seperti halnya dua gol yang dicetaknya ke gawang Werder Bremen puluhan tahun silam.
Tapi siapa sangka, ia memang lebih memilih kepahitan itu secara sadar, sesuai dengan intuisi kemauannya sendiri. Toh ia tak sesengsara apa yang orang kira. Anak-anaknya kini sudah hidup mapan dalam ruang kesuksesan. Linda Timisela, anak pertamanya, berada di Yunani bekerja di KBRI dan bersuami orang bule. Anak keduanya, Inggrid Timisela, tinggal di Bekasi dalam situasi ekonomi yang mapan. Adapun sang istri diajak oleh Inggrid untuk membantu mengurusi cucu.
Namanya anak, tentu tak tega melihat hidup bapaknya tak keruan. Ajakan untuk tinggal bersama bukan sekali dua kali diajukan anak-anaknya itu. Namun Max selalu menolaknya. Alasannya sederhana: ia tak ingin menyusahkan anak-anaknya. Lagipula ia sudah memilih untuk melakukan apa yang bisa ia lakukan untuk sesuatu apa yang pernah membesarkan namanya: Persib dan Sepakbola.
Sepakbola nyatanya tak kunjung terlepas dari kehidupan Max yang umurnya sudah mendekati kepala tujuh ini. Bagi orang yang selalu berfikir logis, Max adalah master dari pelaku kebodohan. Saat muda dulu ia pernah tolak Werder Bremen akibat nasionalisme. Di masa tuanya pun ia menolak hidup nyaman (bersama anak-anaknya) karena idealisme.
Mengurusi gedung Persib, bercengkrama dengan piala-piala usang, menjadi panitia pertandingan dan sesekali bermain sepakbola bersama para mantan pemain, baginya merupakan anugerah tak terkira yang tak bisa ditebus dengan materi dan hidup nyaman. Anugerah itu yang membuatnya hingga kini masih bugar dan jarang memiliki masalah dengan kesehatannya.
Menurutnya lagi, jauh dari sepakbola adalah sebenar-benarnya kesunyian hidup di masa tua. Bersama keluarga, mungkin ia akan hidup nyaman. Tapi tanpa sepakbola ia akan sakit, sekarat dan mati dengan lebih cepat -- kendati itu mungkin kematian dalam hangatnya dekapan keluarga.
===
* Ditulis dari hasil wawancara dengan @aqfiazfan dari @panditfootball untuk @detiksport
Minta




nona212 memberi reputasi
1
3.6K
Kutip
1
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan