- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Pengamen dan Pengemis
TS
Ulinae
Pengamen dan Pengemis
mo share sedikit cerita dari tmn saya nih gan dan smga bermanfaat bagi smuanya yg berkenan membacanya
kmarin2 ane juga pernah baca tentang "jangan mengasih pengemis/ peminta2" dan dalam hati sempat membenarkan,tp ternyata stlh baca tulisan ini jd berfikir lagi
Spoiler for :
Sebenarnya saya agak malu ketika mengetikkan kata demi kata dalam catatan ini. Takut mendapatkan respon negatif, takut dikira membela hal-hal yang tidak produktif bahkan menyalahi Kepres tentang larangan memberikan bantuan Cuma-Cuma kepada anak-anak jalanan, pengemis atau pengamen. Iya, saya merasa sedikit terganggu dengan sifat sebagian kawan yang suka mengebiri pengemis atau pengamen. Bahkan baru-baru ini salah satu media nasional juga banyak blog keroyokan yang menghitung-hitung penghasilan pengemis dan pengamen di Jakarta per hari juga kalkulasinya dalam sebulan! Astaghfirullah… kok ya tega gitu? Kenapa nggak mending mengkalkulasi secara ilmiah keborosan anggaran di banggar atau korupsi yang semakin menjadi itu?
Maksud saya,
Kalau nggak mau ngasih ke Pengemis atau pengamen yang ada di jalanan, ya sudah. Kalau mau ngasih, ngasih ya ngasih aja. Jangan sampai menghitung-hitung pendapatannya, apalagi sampai mikir “itu pasti di kampungnya udah kaya tuh.” Kalau nggak pengen ngasih karena memang kita lagi nggak ada, ya sudah, bilang,”maaf mas/pak/bu, lagi nggak ada…” Mereka juga manusia. Sama seperti kita dan yang lainnya.
Di setiap sudut-sudut jalan, kita seringkali menemui anak-anak jalanan dengan wajah yang sama. Bahkan jika kalian punya warung langganan untuk makan, pasti kalian akan menemukan bahwa yang ngamen di warung “A” itu ya itu-itu saja. Mereka memang seperti berbagi rezeki, berupa daerah kerja dengan yang lainnya. Di tukang angkringan depan kampus, bahkan saya tau kalau mas-mas pengamennya Cuma hafal lagu-lagu Armada. *Yeah! Pasukan Armada mana suaranyaaa* ~
Kawan, Kalau mereka lebih beruntung dari kita, pastilah mereka nggak akan mengorbankan harga diri mereka dengan mengamen atau meminta-minta. Mereka juga ingin pekerjaan yang lebih layak dan tidak melulu dikebiri oleh banyak orang “normal” lainnya. Kalau memang mereka punya pilihan yang lebih seperti kita, pastilah mereka memanfaatkan alternative pilihan-pilihan itu. Mereka, barangkali adalah orang-orang yang tidak punya pilihan.
Tapi kan masih muda? Masih sehat? Kenapa tidak usaha yang lebih terhormat gitu? Memanfaatkan tenaganya misalnya?
Agus namanya. Bekerja di “gudang” distribusi produk merk ternama. Tiap harinya “hanya” mendapat gaji 15 ribu di tahun 2013 ini. Mungkin lebih sedikit dari uang jajan kita semua (pasti lebih sedikit). Dia belum bisa mendapatkan pekerjaan selain pekerjaan itu. Kenapa? Ijazah lulus dari SMA belum juga bisa ditebusnya karena dia belum menuntaskan urusan administrasi sudah hampir dua tahun yang lalu. Sedang ia juga anak muda yang sama seperti kita. Ingin main-main, ingin jalan-jalan sesekali, juga ingin jatuh cinta walaupun kepada sesama gadis miskin seusianya.
Sementara ibunya Agus, terusik aku untuk bertanya pada beliau mengapa tidak berangkat ke pengajian, mengapa tidak berangkat ke acara hiburan sebuah walimah padahal acaranya gratis. Kawanku,ketika kita bicara tentang persamaan hak di zaman yang merdeka ini, sesungguhnya budaya feudal masih sangat dekat dengan kita. Orang-orang miskin nggak akan berani duduk di pusat sebuah lingkaran pengajian ibu-ibu. Mereka memilih duduk di pojok, dekat pintu keluar yang tidak terlihat oleh orang-orang. Mereka merasa malu duduk sejajar dengan kaum ibu lain yang suaminya pegawai atau orang kantoran. Di tengah keramaian warga desa, mereka bilang mereka tidak punya baju yang layak untuk berkumpul bersama masyarakat lainnya. Mereka malu nggak bisa ikut arisan seperti ibu-ibu yang lain. Mereka malu nggak pernah datang ke sebuah undangan walimah karena tidak ada uang amplopan. Akhirnya mereka merasa diri mereka tidak layak ada di tengah-tengah manusia lain.
Banyak diantara mereka yang kita kebiri karena kita anggap pemalas dan kumuh, tanpa kita tahu bahwa ibu mereka sedang sakit keras di rumah, dan uang hasil ngamennya digunakan untuk hidup sehari-hari juga tambahan berobat ibunya itu. Pernah terpikirkan? Ada banyak diantara mereka yang uangnya digunakan untuk sebuah cita-cita bahwa suatu saat adiknya mendapatkan pendidikan formal yang lebih layak daripada dirinya. Pernah terpikirkan?
Saya akrab dengan lingkungan warga yang kurang mampu (tidak mampu). Disaat generasi jaman sekarang akrab dengan game online dan warnet, saudara saya yang ibunya janda buruh cuci, masih cukup senang dengan mainan tradisional yang ia buat sendiri. Dapat jatah jajan seribu rupiah per hari saja sudah sebuah kemewahan baginya.
Kawan terkadang kita berpikir : kenapa dia tidak berusaha sekeras mungkin? Saya bisa jadi seperti ini karena berusaha! Kenapa dia tidak menjadi anak yang berprestasi saat sekolah? Belajar yang rajin? Pasti bisa dapat beasiswa, kuliah dan meningkatkan derajat keluarganya!
Sungguh jika mereka bisa, mereka pasti sangat ingin. Karena nyatanya, ada bagian dari "takdir" Allah yang bekerja disana. Saya sendiri masih mempercayai bahwa menjadi orang kaya juga orang pintar adalah bagian dari anugerah Allah. Mereka layaknya mukjizat yang dititipkan Allah pada Nabi, juga karomah-karomah yang ada pada wali. Tidak semua orang mendapatkan itu semua. Atau...pernahkah kita berpikir bahwa disaat kita bisa kursus bahasa asing dan belajar, tetapi ada seorang gadis remaja yang berbelanja di pasar, membantu ibunya memeras santan, kemudian berjualan di pinggir jalan hingga larut malam? Kulitnya coklat kehitaman. Kadang-kadang dia menyempatkan untuk beli body lotion murahan, hanya karena..dia juga diam-diam naksir teman sekelasnya. Ah...sounds so drama, but that's real.
Masih ingin protes?
Berpikirlah bahwa banyak generasi yang dilahirkan di dunia ini dalam kondisi abnormal dan tidak beruntung mendapatkan lingkungan baik sejak lahir. Mengubahnya tak cukup lewat ayat suci ataupun program-program terpadu berkelanjutan. Tidak cukup. Butuh "hati yang sama" dengan mereka untuk dapat memahami apa yang mereka pikirkan. Mereka anak-anak yang bapaknya pemabuk, bapaknya kabur dengan wanita lain, ibunya sakit-sakitan, mereka yang adiknya cacat total sejak lahir, mereka korban penggusuran, mereka dan mereka lainnya. Kita lebih beruntung dari mereka.
Tapi kan biasanya pengamen-pengamen itu suka beli rokok dan mabuk-mabukkan? Jika mungkin itu benar, selidikilah dahulu kebenarannya apakah memang benar seperti itu. Jika benar begitu, lakukan edukasi secara baik-baik lewat Pak RT/ Pak RW. Adakan acara di desa mereka. Kalian berkenan? Luang? Dan jikalau tidak luang, cobalah berpikir, apalagi hiburan mereka selain rokok atau mungkin miras? Rokok dan Miras bagi mereka sudah berubah funsi sebagai alat perekat solidaritas sesame kaum miskin yang lelah pada harap kosong akan kemakmuran yang dijanjikan negeri ini. Satu-satunya harta yang mereka miliki hanyalah persahabatan. Mereka nggak bisa ganti hape android, ngetwit, atau gonta-ganti warna motor kesukaan. Mereka nggak bisa seperti banyak orang yang punya pilihan… Toh, sampai di rumah, mereka masih bertanggung jawab pada orangtuanya yang sakit keras, pada adik-adiknya yang masuk tahun ajaran baru, dan pada kebutuhan sehari-hari agar tidak terus menyusahkan orang lain. Mereka terhormat. Mereka tidak korupsi.
Jika kita berpikir mereka “berlebih” dengan hasil dari mengemis atau mengamen, sesungguhnya kita lebih jauh diatas mereka. Kita tak layak mengebiri dan memperbincangkan nasib mereka jika kita tak pernah berbuat apa-apa…
Pesan Soekarno, Sang Guru Bangsa, "Selama masih ada ratap tangis di gubug-gubug orang miskin...maka tugamu belum usai!" Tuhan ada pada gubug-gubug mereka. Jumlah mereka sangat banyak. Ini tugas besar yang tak tahu akan selesai kapan.
Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya. Bukan meminta sebanyak-banyaknya. -Pak Harfan, dalam Laskar Pelangi.
Maksud saya,
Kalau nggak mau ngasih ke Pengemis atau pengamen yang ada di jalanan, ya sudah. Kalau mau ngasih, ngasih ya ngasih aja. Jangan sampai menghitung-hitung pendapatannya, apalagi sampai mikir “itu pasti di kampungnya udah kaya tuh.” Kalau nggak pengen ngasih karena memang kita lagi nggak ada, ya sudah, bilang,”maaf mas/pak/bu, lagi nggak ada…” Mereka juga manusia. Sama seperti kita dan yang lainnya.
Di setiap sudut-sudut jalan, kita seringkali menemui anak-anak jalanan dengan wajah yang sama. Bahkan jika kalian punya warung langganan untuk makan, pasti kalian akan menemukan bahwa yang ngamen di warung “A” itu ya itu-itu saja. Mereka memang seperti berbagi rezeki, berupa daerah kerja dengan yang lainnya. Di tukang angkringan depan kampus, bahkan saya tau kalau mas-mas pengamennya Cuma hafal lagu-lagu Armada. *Yeah! Pasukan Armada mana suaranyaaa* ~
Kawan, Kalau mereka lebih beruntung dari kita, pastilah mereka nggak akan mengorbankan harga diri mereka dengan mengamen atau meminta-minta. Mereka juga ingin pekerjaan yang lebih layak dan tidak melulu dikebiri oleh banyak orang “normal” lainnya. Kalau memang mereka punya pilihan yang lebih seperti kita, pastilah mereka memanfaatkan alternative pilihan-pilihan itu. Mereka, barangkali adalah orang-orang yang tidak punya pilihan.
Tapi kan masih muda? Masih sehat? Kenapa tidak usaha yang lebih terhormat gitu? Memanfaatkan tenaganya misalnya?
Agus namanya. Bekerja di “gudang” distribusi produk merk ternama. Tiap harinya “hanya” mendapat gaji 15 ribu di tahun 2013 ini. Mungkin lebih sedikit dari uang jajan kita semua (pasti lebih sedikit). Dia belum bisa mendapatkan pekerjaan selain pekerjaan itu. Kenapa? Ijazah lulus dari SMA belum juga bisa ditebusnya karena dia belum menuntaskan urusan administrasi sudah hampir dua tahun yang lalu. Sedang ia juga anak muda yang sama seperti kita. Ingin main-main, ingin jalan-jalan sesekali, juga ingin jatuh cinta walaupun kepada sesama gadis miskin seusianya.
Sementara ibunya Agus, terusik aku untuk bertanya pada beliau mengapa tidak berangkat ke pengajian, mengapa tidak berangkat ke acara hiburan sebuah walimah padahal acaranya gratis. Kawanku,ketika kita bicara tentang persamaan hak di zaman yang merdeka ini, sesungguhnya budaya feudal masih sangat dekat dengan kita. Orang-orang miskin nggak akan berani duduk di pusat sebuah lingkaran pengajian ibu-ibu. Mereka memilih duduk di pojok, dekat pintu keluar yang tidak terlihat oleh orang-orang. Mereka merasa malu duduk sejajar dengan kaum ibu lain yang suaminya pegawai atau orang kantoran. Di tengah keramaian warga desa, mereka bilang mereka tidak punya baju yang layak untuk berkumpul bersama masyarakat lainnya. Mereka malu nggak bisa ikut arisan seperti ibu-ibu yang lain. Mereka malu nggak pernah datang ke sebuah undangan walimah karena tidak ada uang amplopan. Akhirnya mereka merasa diri mereka tidak layak ada di tengah-tengah manusia lain.
Banyak diantara mereka yang kita kebiri karena kita anggap pemalas dan kumuh, tanpa kita tahu bahwa ibu mereka sedang sakit keras di rumah, dan uang hasil ngamennya digunakan untuk hidup sehari-hari juga tambahan berobat ibunya itu. Pernah terpikirkan? Ada banyak diantara mereka yang uangnya digunakan untuk sebuah cita-cita bahwa suatu saat adiknya mendapatkan pendidikan formal yang lebih layak daripada dirinya. Pernah terpikirkan?
Saya akrab dengan lingkungan warga yang kurang mampu (tidak mampu). Disaat generasi jaman sekarang akrab dengan game online dan warnet, saudara saya yang ibunya janda buruh cuci, masih cukup senang dengan mainan tradisional yang ia buat sendiri. Dapat jatah jajan seribu rupiah per hari saja sudah sebuah kemewahan baginya.
Kawan terkadang kita berpikir : kenapa dia tidak berusaha sekeras mungkin? Saya bisa jadi seperti ini karena berusaha! Kenapa dia tidak menjadi anak yang berprestasi saat sekolah? Belajar yang rajin? Pasti bisa dapat beasiswa, kuliah dan meningkatkan derajat keluarganya!
Sungguh jika mereka bisa, mereka pasti sangat ingin. Karena nyatanya, ada bagian dari "takdir" Allah yang bekerja disana. Saya sendiri masih mempercayai bahwa menjadi orang kaya juga orang pintar adalah bagian dari anugerah Allah. Mereka layaknya mukjizat yang dititipkan Allah pada Nabi, juga karomah-karomah yang ada pada wali. Tidak semua orang mendapatkan itu semua. Atau...pernahkah kita berpikir bahwa disaat kita bisa kursus bahasa asing dan belajar, tetapi ada seorang gadis remaja yang berbelanja di pasar, membantu ibunya memeras santan, kemudian berjualan di pinggir jalan hingga larut malam? Kulitnya coklat kehitaman. Kadang-kadang dia menyempatkan untuk beli body lotion murahan, hanya karena..dia juga diam-diam naksir teman sekelasnya. Ah...sounds so drama, but that's real.
Masih ingin protes?
Berpikirlah bahwa banyak generasi yang dilahirkan di dunia ini dalam kondisi abnormal dan tidak beruntung mendapatkan lingkungan baik sejak lahir. Mengubahnya tak cukup lewat ayat suci ataupun program-program terpadu berkelanjutan. Tidak cukup. Butuh "hati yang sama" dengan mereka untuk dapat memahami apa yang mereka pikirkan. Mereka anak-anak yang bapaknya pemabuk, bapaknya kabur dengan wanita lain, ibunya sakit-sakitan, mereka yang adiknya cacat total sejak lahir, mereka korban penggusuran, mereka dan mereka lainnya. Kita lebih beruntung dari mereka.
Tapi kan biasanya pengamen-pengamen itu suka beli rokok dan mabuk-mabukkan? Jika mungkin itu benar, selidikilah dahulu kebenarannya apakah memang benar seperti itu. Jika benar begitu, lakukan edukasi secara baik-baik lewat Pak RT/ Pak RW. Adakan acara di desa mereka. Kalian berkenan? Luang? Dan jikalau tidak luang, cobalah berpikir, apalagi hiburan mereka selain rokok atau mungkin miras? Rokok dan Miras bagi mereka sudah berubah funsi sebagai alat perekat solidaritas sesame kaum miskin yang lelah pada harap kosong akan kemakmuran yang dijanjikan negeri ini. Satu-satunya harta yang mereka miliki hanyalah persahabatan. Mereka nggak bisa ganti hape android, ngetwit, atau gonta-ganti warna motor kesukaan. Mereka nggak bisa seperti banyak orang yang punya pilihan… Toh, sampai di rumah, mereka masih bertanggung jawab pada orangtuanya yang sakit keras, pada adik-adiknya yang masuk tahun ajaran baru, dan pada kebutuhan sehari-hari agar tidak terus menyusahkan orang lain. Mereka terhormat. Mereka tidak korupsi.
Jika kita berpikir mereka “berlebih” dengan hasil dari mengemis atau mengamen, sesungguhnya kita lebih jauh diatas mereka. Kita tak layak mengebiri dan memperbincangkan nasib mereka jika kita tak pernah berbuat apa-apa…
Pesan Soekarno, Sang Guru Bangsa, "Selama masih ada ratap tangis di gubug-gubug orang miskin...maka tugamu belum usai!" Tuhan ada pada gubug-gubug mereka. Jumlah mereka sangat banyak. Ini tugas besar yang tak tahu akan selesai kapan.
Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya. Bukan meminta sebanyak-banyaknya. -Pak Harfan, dalam Laskar Pelangi.
kmarin2 ane juga pernah baca tentang "jangan mengasih pengemis/ peminta2" dan dalam hati sempat membenarkan,tp ternyata stlh baca tulisan ini jd berfikir lagi
0
4.6K
Kutip
22
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan