- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Ultras dan Dua Jilid Revolusi di Mesir
TS
kremlin87
Ultras dan Dua Jilid Revolusi di Mesir
Ultras dan Dua Jilid Revolusi di Mesir
"Football It's not just a simple game. It’' a weapon of the revolution," ungkap pemimpin gerilyawan berhaluan kiri yang tenar di Amerika Selatan, Ernesto 'Che' Guevara.
Sebagai seorang revolusioner yang bekerja multiprofesi -- dokter, penulis, diplomat, ahli teori militer, serta pemain dan pecandu sepakbola --, Che sadar betul akan kekuatan sepakbola. Bahwa sepakbola adalah satu-satunya olahraga yang memiliki inner power untuk membangkitkan passion kebersamaan dalam melakukan perlawanan. Entah itu guna melakukan revolusi, ataupun kudeta atas kekuasaan yang sah.
Apa yang diucapkan Che ada benarnya. Jika Anda tak percaya, coba tanyakan kepada Negeri Firaun. Tanyakan juga pada Hosni Mubarak dan Muhamed Mosri tentang sikap mereka terhadap Ultras di Mesir. Hanya kekesalan-lah yang mungkin dilontarkan dua penguasa yang diturunkan secara paksa pada dua tahun terakhir itu. Bagaimanapun juga sepakbola adalah salah satu bagian motor penggerak revolusi mesir.
Fenomena ultras di Mesir sendiri baru berumur jagung, yaitu mulai merebak sejak tahun 2007. Awal mulanya, ultras adalah pelarian dari tak mampunya partai oposisi menyuarakan haknya.
Noam Chomsky dalam buku Media Control the Spectacular Achievements of Propaganda memaparkan sepakbola adalah cara efektif untuk meredam kaum pandir terlibat aktif dalam berpolitik. Teori inilah yang diadopsi oleh Rezim Husni Mubarak sampai muncul sebuah anekdot, "satu-satunya katup rilis di mana orang bisa mengekspresikan diri adalah Ikhwanul Muslimin di Masjid, dan ultras di Stadion sepakbola."
Memang, sepakbola telah sering digunakan oleh Mubarak sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian warga dari penindasan mereka sehari-hari. Bahkan sepakbola pun sering dijadikan untuk menimbulkan ketegangan antara lingkungan, kota, dan bangsa; sepakbola sebagai alat devide et impera. Terbukti beberapa kali rezim membiarkan, bahkan merancang, kerusuhan sepakbola.
Jika di Indonesia mayoritas kelompok suporter diciptakan dan disokong oleh oleh penguasa politik, kelompok suporter Mesir adalah organisasi independen. Mereka hadir saat kebebasan berserikat diberantas habis oleh rezim Mubarak.
Saat suporter kita senang dipolitisir oleh penguasa, ultras Mesir selalu melawan. Dave Zirin, seorang pengamat politik olahraga Amerika Serikat, pernah membahas sejarah politik sepakbola di Mesir. Menurutnya klub, ultras, serta organisasi anti-pemerintah berjalan bersama dengan satu tujuan: kejatuhan rezim diktator Mubarak.
Bergabung dengan Musuh dan Menjatuhkan Mubarak
Meski sikap apolitis tetap dijadikan pegangan kuat oleh ultras, tak ikut berpolitik bukan juga berarti diam. Sama seperti di Iran, stadion adalah tempat efektif menentang rezim. Yel-yel anti Mubarak kerap disuarakan.
Arabian spring yang melanda Mesir di penghujung tahun 2010 membuat ultras akhirnya turun ke jalan dan keluar dari jalurnya sebagai suporter. Mereka bergabung bersama jutaan rakyat mesir lainnya dalam Revolusi 25 Januari. Mereka memaksa mundur Husni Mubarak, yang keotoriterannya sudah berlangsung selama 30 tahun dengan cara memanfaatkan militer dan membuat demokrasi semu di Mesir. Jika rezim memasang polisi dan tentara tameng di depan, maka ultras-lah garda terdepan melindungi para demonstran.
Pendiri ultras Ahlawy (fans Al-Ahly), Mohamed Gamal Besheer, dalam Kitab Al-Ultras (The Ultras Book) menceritakan kronologi peristiwa bersejarah itu. Menurutnya, sejak sore hari tanggal 25 Januari 2011, kelompok ultras mulai bergabung dengan demonstrasi. Mereka muncul sebagai elemen paling mencolok di Qasr Al-Aini Street, kemudian meningkatkan kegiatan mereka pada tanggal 26 dan 27 Januari di seluruh lingkungan, mulai dari Bulaq, Guiza dan Shubra.
Secara heroik para ultras mempertahankan garis depan di seluruh bentrokan yang berbeda, mulai dari 18 hari Pertempuran Unta, bentrokan di luar Kedutaan Besar Israel pada bulan September, dan selama pertempuran Mohamed Mahmoud pada bulan November.
Aksi-aksi ini selalu disebarluaskan lewat dunia maya. Mereka berusaha meyakinkan publik untuk tidak takut bergabung jadi bagian demonstran. Tak perlu takut polisi, karena mereka akan dilindungi oleh ultras yang memiliki pengalaman bentrok dengan polisi. Mereka berani membela para pengunjuk rasa terhadap serangan dari pasukan keamanan dan membantu orang untuk mengatasi hambatan rasa takut tentang menghadapi rezim.
Sejarah pun mencatat ini adalah untuk kali pertama kelompok ultras dari dua klub yang kerap berseberangan, Al Ahly dan Zamalek, bergabung berbaris dalam ribuan demonstran di Tahrir Square.
"Kami berusaha untuk membuat perjanjian damai dengan Al Ahlawy, karena kita berjuang dalam arah yang sama.Selama perjalanan kami merayakan dengan satu sama lain. Kami berkelahi disamping Al Ahlawy di garis depan," kata Ahmed, seorang pemimpin Ultras White Knight (UWK) kelompok pendukung Zamalek.
"Kami tahu taktik polisi seperti apa. Kita harus membuat mereka lari, karena itu kami mengajari para demonstran cara melempar batu bata," katanya lagi.
Dalam sebuah pernyataan di halaman Facebook-nya, Ultras Ksatria Putih (UWK) meminta rekan-rekan Al Ahlawy mereka untuk menyatakan gencatan senjata sebelum ikut turun menggelar aksi demonstrasi. "Kami meminta mereka untuk mengakhiri pertumpahan darah dan berdamai bersatu demi Mesir," kata Ksatria Putih.
Namun, perjuangan di luar lapangan para ultras ini harus dibayar mahal saat rezim Mubarak berhasil diturunkan. Ini dikarenakan kejatuhan Mubarak tak disertai dengan antek-anteknya yang masih bercokol dalam jajaran tinggi pejabat militer.
Konsekuensi ketidaksukaan rezim kepada ultras harus dibayar Ahlawy dengan kasus di Port Said 2012 silam. Kala itu 74 orang tewas dan 1.000 orang terluka akibat kerusuhan antarsuporter Al Ahly dan Al Masry. Insiden ini adalah yang terburuk dalam sejarah olahraga Mesir. Diyakini secara luas bahwa militer ingin mengajarkan Ultras pelajaran.
"Kami menyalahkan pihak berwenang," timpal petinggi Ahlawy.
Mundur dari Panggung Politik?
Bersama-sama berjuang menentang rezim Mubarak, hubungan ultras dan Ikhwanul Muslimin kian mendekat. "Selama masa revolusi, ultras berdampingan dengan Ikhwanul Muslimin dan aktifis," ucap Assad, pimpinan Ahlawy, kepada CNN.
Mohamed Morsi, yang baru-baru ini dikudeta oleh militer, juga adalah kader Ikhwanul Muslimin yang kerap bergabung dengan ultras di Tahrir Square. Ikhwan juga yang menyerukan penyelidikan bahwa insiden Port Said didalangi oleh militer.
Kedekatan inilah yang membuat pimpinan Ultras Ahlawy menahan diri untuk tak turut serta dalam demonstrasi menurunkan Morsi, yang didalangi kaum gerakan 'Tamarud-Pemberontak', 30 Juni lalu. Mereka mengeluarkan sebuah pernyataan tegas bahwa Ultras Ahlawy hanyalah sekelompok penggemar sepakbola yang tidak ada hubungannya dengan politik. Sebuah pencitraan untuk menjaga hati Ikhwan.
Sebuah hipotesa menarik dipaparkan kontributor Jadaliyya, Mohamed Elgohari. Muncul sebuah pertanyaan, mengapa kelompok ultras mundur dari panggung politik, dan memilih untuk fokus pada perjuangan mereka untuk kembali ke stadion?
Menurutnya, revolusi 25 Januari menciptakan konteks baru di Mesir. Semua pelaku sosial, tidak hanya ultras, menemukan diri baru mereka di tengah-tengah konflik politik dan sosial.
Sementara itu, dilema kelompok ultras tentang partisipasi pasca revolusi berasal dari dua fitur utama mereka: sifat intrinsik yang apolitis, serta keragaman internal berbagai kelompok yang membebaskan preferensi politik kepada masing-masing individu anggota. [Gagasan yang membuat ultras tak punya landasan ideologis atau latar belakang politik yang sama, melainkan didasari cinta dan loyalitas kepada klub.]
Di tengah ketegangan ini, para pemimpin ultras tampaknya telah menyimpulkan bahwa melanjutkan keterlibatan politik mempertaruhkan mengikis identitas kolektif kelompok, yang mungkin menyebabkan runtuhnya mereka. Mereka berhak marah melihat kegagalan Morsi mengembalikan stabilitas ekonomi yang tak kunjung membaik. Gaya Morsi yang dilihat sebagai kelanjutan dari otoritarianisme Mubarak membuat beberapa individu bagian dari ultras bergabung dengan golongan Tamarud. Dilaporkan, sebelum menggulingkan Morsi kelompok ini telah mengumpulkan 15 juta tanda tangan petisi menuntut pengunduran diri Morsi dan pemilu baru. Sejumlah besar jumlah ultras militan diyakini telah menjadi bagian ini.
Tak hanya itu, di golongan Tamarud kini muncul kelompok Black Bloc, sebuah kelompok warga sipil bertopeng dan berpakaian hitam yang selalu menjadi garda terdepan saat berdemonstrasi melawan Mursi. Disiyalir ini adalah bagian dari kelompok ultras. Tentu saja ini dibantah oleh kelompok ultras. Mereka berujar pemimpin ultras militan berjuang untuk mengendalikan anak buah mereka yang sering gatal berkonfrontasi dengan pasukan keamanan yang mereka lihat sebagai simbol pembuat onar penderitaan yang mereka rasakan. "Persetan dengan para pemimpin kita. Ini bukan saat yang tepat untuk kemunduran," ucap seorang pemuda menyikapi sikap pemimpin mereka kepada James M. Dorse, peneliti konflik Timur Tengah.
Kejatuhan Morsi, ditangkapnya para petinggi ikhwan dan kembalinya arogansi militer terhadap demosntran pendukung Morsi yang menyebabkan 32 orang tewas dan 1.138 orang terluka, membuat banyak kalangan ultras beralih haluan mendekat kembali ke ikhwan. Tetapi pada akhirnya individu ultras jugalah yang berada di balik aksi demonstrasi kejatuhan Morsi. Wajar saja jika rekan ikhwan mereka kecewa. Dan mengabaikan niat baik ultras tersebut.
Akan tetapi, kekecewaan Ikhwanul Muslimin terhadap ultras Mesir itu justru menegaskan satu hal unik dan sudah terbukti dalam sepakbola Mesir: suporter dan ultras bukanlah mayoritas bisu yang pandir. Mereka adalah kelompok yang sangat sadar politik. Jika pun ada di antara mereka yang memilih apolitis, itu lebih karena banyak dari mereka yang akhirnya memutuskan: kecintaan mereka terhadap sepakbola dan klub kesayangannya jauh lebih kuat ketimbang afiliasi politik sesaat.
"Football It's not just a simple game. It’' a weapon of the revolution," ungkap pemimpin gerilyawan berhaluan kiri yang tenar di Amerika Selatan, Ernesto 'Che' Guevara.
Sebagai seorang revolusioner yang bekerja multiprofesi -- dokter, penulis, diplomat, ahli teori militer, serta pemain dan pecandu sepakbola --, Che sadar betul akan kekuatan sepakbola. Bahwa sepakbola adalah satu-satunya olahraga yang memiliki inner power untuk membangkitkan passion kebersamaan dalam melakukan perlawanan. Entah itu guna melakukan revolusi, ataupun kudeta atas kekuasaan yang sah.
Apa yang diucapkan Che ada benarnya. Jika Anda tak percaya, coba tanyakan kepada Negeri Firaun. Tanyakan juga pada Hosni Mubarak dan Muhamed Mosri tentang sikap mereka terhadap Ultras di Mesir. Hanya kekesalan-lah yang mungkin dilontarkan dua penguasa yang diturunkan secara paksa pada dua tahun terakhir itu. Bagaimanapun juga sepakbola adalah salah satu bagian motor penggerak revolusi mesir.
Fenomena ultras di Mesir sendiri baru berumur jagung, yaitu mulai merebak sejak tahun 2007. Awal mulanya, ultras adalah pelarian dari tak mampunya partai oposisi menyuarakan haknya.
Noam Chomsky dalam buku Media Control the Spectacular Achievements of Propaganda memaparkan sepakbola adalah cara efektif untuk meredam kaum pandir terlibat aktif dalam berpolitik. Teori inilah yang diadopsi oleh Rezim Husni Mubarak sampai muncul sebuah anekdot, "satu-satunya katup rilis di mana orang bisa mengekspresikan diri adalah Ikhwanul Muslimin di Masjid, dan ultras di Stadion sepakbola."
Memang, sepakbola telah sering digunakan oleh Mubarak sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian warga dari penindasan mereka sehari-hari. Bahkan sepakbola pun sering dijadikan untuk menimbulkan ketegangan antara lingkungan, kota, dan bangsa; sepakbola sebagai alat devide et impera. Terbukti beberapa kali rezim membiarkan, bahkan merancang, kerusuhan sepakbola.
Jika di Indonesia mayoritas kelompok suporter diciptakan dan disokong oleh oleh penguasa politik, kelompok suporter Mesir adalah organisasi independen. Mereka hadir saat kebebasan berserikat diberantas habis oleh rezim Mubarak.
Saat suporter kita senang dipolitisir oleh penguasa, ultras Mesir selalu melawan. Dave Zirin, seorang pengamat politik olahraga Amerika Serikat, pernah membahas sejarah politik sepakbola di Mesir. Menurutnya klub, ultras, serta organisasi anti-pemerintah berjalan bersama dengan satu tujuan: kejatuhan rezim diktator Mubarak.
Bergabung dengan Musuh dan Menjatuhkan Mubarak
Meski sikap apolitis tetap dijadikan pegangan kuat oleh ultras, tak ikut berpolitik bukan juga berarti diam. Sama seperti di Iran, stadion adalah tempat efektif menentang rezim. Yel-yel anti Mubarak kerap disuarakan.
Arabian spring yang melanda Mesir di penghujung tahun 2010 membuat ultras akhirnya turun ke jalan dan keluar dari jalurnya sebagai suporter. Mereka bergabung bersama jutaan rakyat mesir lainnya dalam Revolusi 25 Januari. Mereka memaksa mundur Husni Mubarak, yang keotoriterannya sudah berlangsung selama 30 tahun dengan cara memanfaatkan militer dan membuat demokrasi semu di Mesir. Jika rezim memasang polisi dan tentara tameng di depan, maka ultras-lah garda terdepan melindungi para demonstran.
Pendiri ultras Ahlawy (fans Al-Ahly), Mohamed Gamal Besheer, dalam Kitab Al-Ultras (The Ultras Book) menceritakan kronologi peristiwa bersejarah itu. Menurutnya, sejak sore hari tanggal 25 Januari 2011, kelompok ultras mulai bergabung dengan demonstrasi. Mereka muncul sebagai elemen paling mencolok di Qasr Al-Aini Street, kemudian meningkatkan kegiatan mereka pada tanggal 26 dan 27 Januari di seluruh lingkungan, mulai dari Bulaq, Guiza dan Shubra.
Secara heroik para ultras mempertahankan garis depan di seluruh bentrokan yang berbeda, mulai dari 18 hari Pertempuran Unta, bentrokan di luar Kedutaan Besar Israel pada bulan September, dan selama pertempuran Mohamed Mahmoud pada bulan November.
Aksi-aksi ini selalu disebarluaskan lewat dunia maya. Mereka berusaha meyakinkan publik untuk tidak takut bergabung jadi bagian demonstran. Tak perlu takut polisi, karena mereka akan dilindungi oleh ultras yang memiliki pengalaman bentrok dengan polisi. Mereka berani membela para pengunjuk rasa terhadap serangan dari pasukan keamanan dan membantu orang untuk mengatasi hambatan rasa takut tentang menghadapi rezim.
Sejarah pun mencatat ini adalah untuk kali pertama kelompok ultras dari dua klub yang kerap berseberangan, Al Ahly dan Zamalek, bergabung berbaris dalam ribuan demonstran di Tahrir Square.
"Kami berusaha untuk membuat perjanjian damai dengan Al Ahlawy, karena kita berjuang dalam arah yang sama.Selama perjalanan kami merayakan dengan satu sama lain. Kami berkelahi disamping Al Ahlawy di garis depan," kata Ahmed, seorang pemimpin Ultras White Knight (UWK) kelompok pendukung Zamalek.
"Kami tahu taktik polisi seperti apa. Kita harus membuat mereka lari, karena itu kami mengajari para demonstran cara melempar batu bata," katanya lagi.
Dalam sebuah pernyataan di halaman Facebook-nya, Ultras Ksatria Putih (UWK) meminta rekan-rekan Al Ahlawy mereka untuk menyatakan gencatan senjata sebelum ikut turun menggelar aksi demonstrasi. "Kami meminta mereka untuk mengakhiri pertumpahan darah dan berdamai bersatu demi Mesir," kata Ksatria Putih.
Namun, perjuangan di luar lapangan para ultras ini harus dibayar mahal saat rezim Mubarak berhasil diturunkan. Ini dikarenakan kejatuhan Mubarak tak disertai dengan antek-anteknya yang masih bercokol dalam jajaran tinggi pejabat militer.
Konsekuensi ketidaksukaan rezim kepada ultras harus dibayar Ahlawy dengan kasus di Port Said 2012 silam. Kala itu 74 orang tewas dan 1.000 orang terluka akibat kerusuhan antarsuporter Al Ahly dan Al Masry. Insiden ini adalah yang terburuk dalam sejarah olahraga Mesir. Diyakini secara luas bahwa militer ingin mengajarkan Ultras pelajaran.
"Kami menyalahkan pihak berwenang," timpal petinggi Ahlawy.
Mundur dari Panggung Politik?
Bersama-sama berjuang menentang rezim Mubarak, hubungan ultras dan Ikhwanul Muslimin kian mendekat. "Selama masa revolusi, ultras berdampingan dengan Ikhwanul Muslimin dan aktifis," ucap Assad, pimpinan Ahlawy, kepada CNN.
Mohamed Morsi, yang baru-baru ini dikudeta oleh militer, juga adalah kader Ikhwanul Muslimin yang kerap bergabung dengan ultras di Tahrir Square. Ikhwan juga yang menyerukan penyelidikan bahwa insiden Port Said didalangi oleh militer.
Kedekatan inilah yang membuat pimpinan Ultras Ahlawy menahan diri untuk tak turut serta dalam demonstrasi menurunkan Morsi, yang didalangi kaum gerakan 'Tamarud-Pemberontak', 30 Juni lalu. Mereka mengeluarkan sebuah pernyataan tegas bahwa Ultras Ahlawy hanyalah sekelompok penggemar sepakbola yang tidak ada hubungannya dengan politik. Sebuah pencitraan untuk menjaga hati Ikhwan.
Sebuah hipotesa menarik dipaparkan kontributor Jadaliyya, Mohamed Elgohari. Muncul sebuah pertanyaan, mengapa kelompok ultras mundur dari panggung politik, dan memilih untuk fokus pada perjuangan mereka untuk kembali ke stadion?
Menurutnya, revolusi 25 Januari menciptakan konteks baru di Mesir. Semua pelaku sosial, tidak hanya ultras, menemukan diri baru mereka di tengah-tengah konflik politik dan sosial.
Sementara itu, dilema kelompok ultras tentang partisipasi pasca revolusi berasal dari dua fitur utama mereka: sifat intrinsik yang apolitis, serta keragaman internal berbagai kelompok yang membebaskan preferensi politik kepada masing-masing individu anggota. [Gagasan yang membuat ultras tak punya landasan ideologis atau latar belakang politik yang sama, melainkan didasari cinta dan loyalitas kepada klub.]
Di tengah ketegangan ini, para pemimpin ultras tampaknya telah menyimpulkan bahwa melanjutkan keterlibatan politik mempertaruhkan mengikis identitas kolektif kelompok, yang mungkin menyebabkan runtuhnya mereka. Mereka berhak marah melihat kegagalan Morsi mengembalikan stabilitas ekonomi yang tak kunjung membaik. Gaya Morsi yang dilihat sebagai kelanjutan dari otoritarianisme Mubarak membuat beberapa individu bagian dari ultras bergabung dengan golongan Tamarud. Dilaporkan, sebelum menggulingkan Morsi kelompok ini telah mengumpulkan 15 juta tanda tangan petisi menuntut pengunduran diri Morsi dan pemilu baru. Sejumlah besar jumlah ultras militan diyakini telah menjadi bagian ini.
Tak hanya itu, di golongan Tamarud kini muncul kelompok Black Bloc, sebuah kelompok warga sipil bertopeng dan berpakaian hitam yang selalu menjadi garda terdepan saat berdemonstrasi melawan Mursi. Disiyalir ini adalah bagian dari kelompok ultras. Tentu saja ini dibantah oleh kelompok ultras. Mereka berujar pemimpin ultras militan berjuang untuk mengendalikan anak buah mereka yang sering gatal berkonfrontasi dengan pasukan keamanan yang mereka lihat sebagai simbol pembuat onar penderitaan yang mereka rasakan. "Persetan dengan para pemimpin kita. Ini bukan saat yang tepat untuk kemunduran," ucap seorang pemuda menyikapi sikap pemimpin mereka kepada James M. Dorse, peneliti konflik Timur Tengah.
Kejatuhan Morsi, ditangkapnya para petinggi ikhwan dan kembalinya arogansi militer terhadap demosntran pendukung Morsi yang menyebabkan 32 orang tewas dan 1.138 orang terluka, membuat banyak kalangan ultras beralih haluan mendekat kembali ke ikhwan. Tetapi pada akhirnya individu ultras jugalah yang berada di balik aksi demonstrasi kejatuhan Morsi. Wajar saja jika rekan ikhwan mereka kecewa. Dan mengabaikan niat baik ultras tersebut.
Akan tetapi, kekecewaan Ikhwanul Muslimin terhadap ultras Mesir itu justru menegaskan satu hal unik dan sudah terbukti dalam sepakbola Mesir: suporter dan ultras bukanlah mayoritas bisu yang pandir. Mereka adalah kelompok yang sangat sadar politik. Jika pun ada di antara mereka yang memilih apolitis, itu lebih karena banyak dari mereka yang akhirnya memutuskan: kecintaan mereka terhadap sepakbola dan klub kesayangannya jauh lebih kuat ketimbang afiliasi politik sesaat.
Spoiler for sumber:
0
1.7K
1
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan