- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Asal Mula Gelar Haji Di Indonesia


TS
djoga
Asal Mula Gelar Haji Di Indonesia





Quote:
Quote:
Haji adalah sebutan atau gelar untuk pria muslim yang telah berhasil menjalankan ibadah haji. Umum digunakan sebagai tambahan di depan nama dan sering disingkat dengan "H". Dalam hal ini biasanya para Haji membubuhkan gelarnya dianggap oleh mayoritas masyarakat sebagai tauladan maupun contoh di daerah mereka. Bisa dikatakan sebagai guru atau panutan untuk memberikan contoh sikap secara lahiriah dan batiniah dalam segi Islam sehari-hari.
Quote:
Asal mula

Sebuah lukisan yang menggambarkan seseorang yang telah menunaikan ibadah haji dan mengenakan pakaian Arab, di masa Hindia Belanda digambar oleh Auguste van Pers, pada tahun 1854.
Penggunaan gelar haji yang sering disematkan pada seseorang yang telah pergi haji, awalnya digunakan pemerintah Hindia Belanda untuk identifikasi para jemaah haji yang mencoba memberontak, sepulangnya dari Tanah Suci. Mereka dicurigai sebagai anti kolonialisme, dengan pakaian ala penduduk Arab yang disebut oleh VOC sebagai “kostum Muhammad dan sorban”.
Dalam gelombang propaganda anti VOC pada 1670-an di Banten, banyak orang meninggalkan pakaian adat Jawa kemudian menggantinya dengan memakai pakaian Arab.[1]
Salah satu lawan tangguh Belanda pada saat itu adalah Pangeran Diponegoro, pemimpin Perang Jawa (1825-1830). Dalam Babad Dipanegara disebutkan Pangeran Diponegoro pergi ke medan perang dengan mengenakan pakaian berupa celana, jubah, dan penutup kepala berwarna putih. Di kesempatan lain, dia mengenakan pakaian hitam dalam gaya Arab dan sorban hitam atau hijau, terlebih setelah dia mengundurkan diri dari kehidupan istana dan mengembara ke pedesaan. Pada masa itu, seiring kepopuleran Wahabi di Mekah, kalangan ulama memang kerap menggunakan busana jubah dan sorban.
Di Pulau Sumatra, Imam Bonjol yang memimpin Perang Padri, dan pasukannya, juga mengenakan pakaian gaya Arab serba putih. Kaum Padri, seperti juga kaum Wahhabi di Arab, menekankan pada pelaksanaan syariat Islam secara ketat. Dalam hal pakaian, mereka mengharuskan perempuan memakai jilbab dan laki-laki mengenakan pakaian putih bergaya Arab, dari sinilah muncul istilah “kaum putih”.
Pemerintah Hinda Belanda akhirnya menjalankan politik Islam, yaitu sebuah kebijakan dalam mengelola masalah-masalah Islam di Nusantara pada masa itu.[2] Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903. Maka sejak tahun 1911, pemerintah Hindia Belanda mengkarantina penduduk pribumi yang ingin pergi haji maupun setelah pulang haji di Pulau Cipir dan Pulau Onrust, mereka mencatat dengan detail nama-nama dan maupun asal wilayah jamaah Haji. Begitu terjadi pemberontakan di wilayah tersebut, Pemerintah Hindia Belanda dengan mudah menemukan warga pribumi, karena di depan nama mereka sudah tercantum gelar haji.
Quote:
Kontroversi
Dalam penggunaan gelar haji yang sering disematkan oleh mayoritas penduduk Asia Tenggara, sering mendapatkan kritikan dari ulama salafy, yang dianggap sebagai perbuatan riya dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para as-sabiqun al-awwalun.[3] Ada ulama yang mengatakan bahwa tidak pernah ada riwayat yang menjelaskan adanya gelar yang pernah disandang oleh rasulallah dan para sahabatnya, sebagai contoh H. Muhammad, H. Abu Bakar, H. Umar bin Khattab, H. Ali bin Abu Thalib dan seterusnya.[4]
Kemudian ulama tersebut mengatakan bahwa di antara 5 rukun Islam hanya ibadah haji saja yang digunakan sebagai gelar, dan mengapa ketika orang mengerjakan rukun Islam yang lain seperti mengucap kalimat syahadat, salat, zakat, puasa tidak diberi gelar seperti halnya ibadah haji.
[CENTER]sumber[/CENTER]
Mengapa Di Indonesia Ada Gelar Haji?
Quote:
- Gelar haji Konon hanya dipakai oleh bangsa melayu. Tidak ada dalil yang mengharuskan jika setelah menunaikan ibadah haji harus diberi gelar haji/hajjah. Bahkan sahabat Rasulullah pun tidak ada yang dipanggil haji.
Sejarah pemberian gelar haji dimulai pada tahun 654H, pada saat kalangan tertentu di kota Makkah bertikai dan pertikaian ini menimbulkan kekacauan dan fitnah yang mengganggu keamanan kota Makkah.
Karena kondisi yang tidak kondusif tersebut, hubungan kota Makkah dengan dunia luar terputus, ditambah kekacauan yang terjadi, maka pada tahun itu ibadah haji tidak bisa dilaksanakan sama sekalai, bahkan oleh penduduk setempat juga tidak.
Setahun kemudian setelah keadaan mulai membaik, ibadah haji dapat dilaksanakan. Tapi bagi mereka yang berasal dari luar kota Makkah selain mempersiapkan mental, mereka juga membawa senjata lengkap untuk perlindungan terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan perengkapan ini para jemaah haji ibaratkan mau berangkat ke medan perang.
Sekembalinya mereka dari ibadah haji, mereka disambut dengan upacara kebesaran bagaikan menyambut pahlawan yang pulang dari medan perang. Dengan kemeriahan sambutan dengan tambur dan seruling, mereka dielu-elukan dengan sebutan “Ya Hajj, Ya Hajj”. Maka berawal dari situ, setiap orang yang pulang haji diberi gelar “Haji”.
Gelar Haji di Indonesia
Di zaman penjajahan belanda, pemerintahan kolonial sangat membatasi gerak-gerik umat muslim dalam berdakwah, segala sesuatu yang berhubungan dengan penyebaran agama terlebih dahulu harus mendapat ijin dari pihak pemerintah belanda. Mereka sangat khawatir dapat menimbulkan rasa persaudaraan dan persatuan di kalangan rakyat pribumi, lalu menimbulkan pemberontakan.
Masalahnya, banyak tokoh yang kembali ke tanah air sepulang naik Haji membawa perubahan. Contohnya adalah Muhammad Darwis yang pergi haji dan ketika pulang mendirikan Muhammadiyah, Hasyim Asyari yang pergi haji dan kemudian mendirikan Nadhlatul Ulama, Samanhudi yang pergi haji dan kemudian mendirikan Sarekat Dagang Islam, Cokroaminoto yang juga berhaji dan mendirikan Sarekat Islam.
Hal-hal seperti inilah yang merisaukan pihak Belanda. Maka salah satu upaya belanda untuk mengawasi dan memantau aktivitas serta gerak-gerik ulama-ulama ini adalah dengan mengharuskan penambahan gelar haji di depan nama orang yang telah menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah air. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903. Pemerintahan kolonial pun mengkhususkan P. Onrust dan P. Khayangan di Kepulauan Seribu jadi gerbang utama jalur lalu lintas perhajian di Indonesia.
Jadi demikianlah, gelar Haji pertama kali dibuat oleh pemerintahan kolonial dengan penambahan gelar huruf “H” yang berarti orang tersebut telah naik haji ke mekah. Seperti disinggung sebelumnya, banyak tokoh yang membawa perubahan sepulang berhaji, maka pemakaian gelar H akan memudahkan pemerintah kolonial untuk mencari orang tersebut apabila terjadi pemberontakan.
Uniknya, pemakaian gelar tersebut sekarang malah jadi kebanggaan. Tak lengkap rasanya bila pulang berhaji tak dipanggil “Pak Haji” atau “Bu Hajjah”. Ritual ibadah yang berubah makna menjadi prestise? Ironis… —
[CENTER]sumber[/CENTER]
Sejarah pemberian gelar haji dimulai pada tahun 654H, pada saat kalangan tertentu di kota Makkah bertikai dan pertikaian ini menimbulkan kekacauan dan fitnah yang mengganggu keamanan kota Makkah.
Karena kondisi yang tidak kondusif tersebut, hubungan kota Makkah dengan dunia luar terputus, ditambah kekacauan yang terjadi, maka pada tahun itu ibadah haji tidak bisa dilaksanakan sama sekalai, bahkan oleh penduduk setempat juga tidak.
Setahun kemudian setelah keadaan mulai membaik, ibadah haji dapat dilaksanakan. Tapi bagi mereka yang berasal dari luar kota Makkah selain mempersiapkan mental, mereka juga membawa senjata lengkap untuk perlindungan terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan perengkapan ini para jemaah haji ibaratkan mau berangkat ke medan perang.
Sekembalinya mereka dari ibadah haji, mereka disambut dengan upacara kebesaran bagaikan menyambut pahlawan yang pulang dari medan perang. Dengan kemeriahan sambutan dengan tambur dan seruling, mereka dielu-elukan dengan sebutan “Ya Hajj, Ya Hajj”. Maka berawal dari situ, setiap orang yang pulang haji diberi gelar “Haji”.
Gelar Haji di Indonesia
Di zaman penjajahan belanda, pemerintahan kolonial sangat membatasi gerak-gerik umat muslim dalam berdakwah, segala sesuatu yang berhubungan dengan penyebaran agama terlebih dahulu harus mendapat ijin dari pihak pemerintah belanda. Mereka sangat khawatir dapat menimbulkan rasa persaudaraan dan persatuan di kalangan rakyat pribumi, lalu menimbulkan pemberontakan.
Masalahnya, banyak tokoh yang kembali ke tanah air sepulang naik Haji membawa perubahan. Contohnya adalah Muhammad Darwis yang pergi haji dan ketika pulang mendirikan Muhammadiyah, Hasyim Asyari yang pergi haji dan kemudian mendirikan Nadhlatul Ulama, Samanhudi yang pergi haji dan kemudian mendirikan Sarekat Dagang Islam, Cokroaminoto yang juga berhaji dan mendirikan Sarekat Islam.
Hal-hal seperti inilah yang merisaukan pihak Belanda. Maka salah satu upaya belanda untuk mengawasi dan memantau aktivitas serta gerak-gerik ulama-ulama ini adalah dengan mengharuskan penambahan gelar haji di depan nama orang yang telah menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah air. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903. Pemerintahan kolonial pun mengkhususkan P. Onrust dan P. Khayangan di Kepulauan Seribu jadi gerbang utama jalur lalu lintas perhajian di Indonesia.
Jadi demikianlah, gelar Haji pertama kali dibuat oleh pemerintahan kolonial dengan penambahan gelar huruf “H” yang berarti orang tersebut telah naik haji ke mekah. Seperti disinggung sebelumnya, banyak tokoh yang membawa perubahan sepulang berhaji, maka pemakaian gelar H akan memudahkan pemerintah kolonial untuk mencari orang tersebut apabila terjadi pemberontakan.
Uniknya, pemakaian gelar tersebut sekarang malah jadi kebanggaan. Tak lengkap rasanya bila pulang berhaji tak dipanggil “Pak Haji” atau “Bu Hajjah”. Ritual ibadah yang berubah makna menjadi prestise? Ironis… —
[CENTER]sumber[/CENTER]
Quote:




Quote:

Quote:

Diubah oleh djoga 11-07-2013 12:44
0
4K
Kutip
26
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan